RSUD WALED KABUPATEN CIREBON Acute Olfactory Dysfunction—A Primary Presentation of COVID-19 Infection Identitas Jurnal Judul: Acute Olfactory Dysfunction—A Primary Presentation of COVID-19 Infection
Penulis: Natalie R. G. Brookes, MA (Oxon), FRCS, FRCS ORL-HNS1 , James W. Fairley, MS, FRCS1 , and Gerald B. Brookes, FRCS1
Ear, Nose & Throat Journal 2020, Vol. 99(9) NP94–NP98
The Author(s) 2020 Article reuse guidelines: sagepub.com/journals-permissions DOI: 10.1177/0145561320940119 journals.sagepub.com/home/ear2 Abstrak COVID-19 adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh jenis baru virus corona dan baru-baru ini dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, perkiraan tingkat kematian 1% - 2% Identifikasi dan isolasi awal pasien pada tahap infektif awal telah menjadi strategi pemerintah untuk membatasi penularan. 4 pasien dibawa ke spesialis THT-KL dengan kehilangan indra penciuman total atau subtotal dalam periode satu minggu, bertepatan dengan peningkatan cepat infeksi COVID-19 di penduduk asli populasi. Diagnosis dikonfirmasi oleh University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) yang divalidasi Tes antibodi Covid-19 yang dilakukan 6-8 minggu setelah timbulnya gejala hidung menunjukkan antibodi ig G (+) pada 3 dari 4 pasien. Anosmia berat akut hampir pasti merupakan gambaran hidung lokal yang tidak biasa dari infeksi virus COVID-19. 4 pasien mencapai pemulihan penciuman parsial yang signifikan dalam 1 minggu setelah pengobatan dengan penilaian subjektif 40%-85% dari normal (rata-rata 60%) dan pemulihan penciuman lengkap setelah 2-3 minggu pada keempat pasien. Signifikansi, kemungkinan patogenesis, dan implikasi kesehatan masyarakat dibahas pada jurnal ini Pendahuluan Krisis kesehatan dan ekonomi global yang diakibatkan oleh pandemi virus corona sindrom pernafasan akut (SARS-CoV-2), yang menyebabkan penyakit manusia bernama COVID-19 (penyakit coronavirus 2019). Identifikasi dan isolasi awal pasien pada tahap infektif merupakan strategi penting untuk mengurangi penularan. Namun, efektivitas pendekatan ini mungkin telah dibatasi oleh pasien dengan penyakit asimtomatik, atipikal, atau sangat ringan yang menghindari deteksi dengan protokol skrining konvensional. Neuritis olfaktori akut adalah penyebab yang tidak umum dari hilangnya indra penciuman yang berat atau total secara tiba-tiba. Empat pasien sehat, berusia 28-37 tahun, dibawa ke spesialis THT-KL dengan gangguan indera penciuman dan rasa yang akut dalam periode 1 minggu. Dua kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali, sementara 2 pasien melaporkan hidung tersumbat ringan selama beberapa hari sebelum onset anosmia. Tidak ada yang menderita demam, batuk, atau gejala pernafasan lainnya yang sesuai dengan pedoman dari Departemen Kesehatan Inggris untuk isolasi mandiri. Tes antibodi Covid-19 spesifik dilakukan 6-8 minggu setelah timbulnya gejala penciuman menunjukkan antibodi ig G positif pada 3 pasien, yang mengkonfirmasi infeksi COVID-19 sebelumnya. Tes antibodi Biozek memiliki spesifisitas 98% untuk antibodi IgG dan tidak ada positif palsu yang diketahui. Selama pandemi ini dan tidak adanya alternatif patologi, sejauh ini penyebab paling masuk akal untuk kelompok besar kasus ini adalah infeksi virus COVID-19 akut. Laporan Kasus 1 Seorang pria Italia berusia 37 tahun S • Kehilangan indra penciumannya yang parah 6 hari sebelumnya, • hidung sedikit tersumbat • Tidak ada keluhan demam, batuk, atau gejala lainnya O • Nasendoskopi menunjukkan akses yang baik ke niche olfaktori kanan. Tidak ada tanda kongesti lokal, infeksi, polip, atau patologi lainnya. • University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) memberikan skor 27/40, menunjukkan derajat sedang dari mikrosmia atau anosmia subtotal. • MRI menunjukkan bulbs olfaktori normal dan plat kribriformis dengan penebalan mukosa minimal di sinus ethmoidal • Pengujian antibodi Covid-19 8 minggu kemudian menunjukkan antibodi IgG positif.
A Neuritis olfaktori virus akut (kemungkinan besar karena pandemi COVID-19)
P • Steroid oral dan steroid topikal (tetes) • Pada tindak lanjut satu minggu kemudian, pasien melaporkan pemulihan 50% subjektif dari indra penciumannya, tanpa gejala baru demam, batuk, atau kesulitan bernapas. Laporan Kasus 2 Seorang perancang busana berusia 33 tahun S • Riwayat 7 hari kehilangan indra penciuman total • Rinorea (-), hidung tersumbat (-), ISPA (-), demam (-), batuk(-), atau gejala dada (-) O • Tes penciuman : anosmia total • Nasendoskopi : akses yang baik ke niche penciuman, infeksi (-), polyposis hidung (-) • MRI : bulbs penciuman normal dan plat kribriformis dengan penebalan mukosa minimal dari ethmoidal air cells • Pengujian antibodi Covid-19, 6 minggu setelah timbulnya gejala hidung menunjukkan antibodi IgG dan IgM negatif. A Neuritis olfaktori virus akut (kemungkinan besar karena pandemi COVID-19) P • Steroid oral dan steroid topikal (tetes) • Pada tindak lanjut satu minggu kemudian, pasien melaporkan pemulihan 50% subjektif dari indra penciumannya, tanpa gejala baru demam, batuk, atau kesulitan bernapas. • Dua hari setelah memulai pengobatan, adanya peningkatan yang signifikan dalam indra penciumannya, dengan pemulihan subjektif lebih lanjut hingga 40% dari normal setelah satu minggu dan pemulihan total dalam 2 minggu. Selain itu, tidak ada gejala baru demam, batuk, atau gangguan pernapasan. Laporan Kasus 3 Seorang manajer pemasaran berusia 28 tahun
S • Kehilangan indra penciuman dan pengecapan sejak 5 hari sebelumnya
• Tiga hari sebelum anosmia, ia mengalami ISPA ringan berupa hidung tersumbat, rinore jernih, bersin-bersin tanpa disertai batuk, atau demam. • Pada hari ke-3, gejala ISPA ringannya telah benar-benar sembuh, tetapi indra penciuman dan pengecapan berkurang drastis dalam semalam O • Pada pemeriksaan fisik : dia mengalami apyrexial • Nasendoskopi rigid : rhinitis dengan sekret bening di rongga hidung, infeksi aktif (-), tidak ada lesi mencurigakan yang terlihat dan niche olfaktori normal. • Skor UPSIT penciumannya adalah 19/40, menunjukkan mikrosmia parah. • Pengujian antibodi Covid-19, 6 minggu setelah timbulnya gejala hidung menunjukkan antibodi IgG positif, mengkonfirmasi infeksi virus Covid-19 sebelumnya. A Neuritis olfaktori virus akut (kemungkinan besar karena pandemi COVID-19) P • Dia sebelumnya menggunakan dekongestan hidung dan irigasi hidung neti pot selama 2 hari, tidak ada perbaikan • Tetes hidung betnesol dan efedrin • 3 hari setelah memulai pengobatan, terdapat peningkatan subjektif 30% dalam fungsi penciuman, yang telah meningkat menjadi 85% pada hari ke 7, dengan pemulihan total dalam 2 minggu. Laporan Kasus 4 Seorang guru laki-laki berusia 31 tahun
S • Kehilangan indra penciuman dan pengecapan sejak 5 hari sebelumnya
• Riwayat ISPA (-), demam (-), batuk (-), gejala pernapasan terkait lainnya (-) O • Pada pemeriksaan fisik : dia mengalami apyrexial • Rigid nasendoskopi : menunjukkan hidung tersumbat, tetapi tidak ada nanah atau polip, niche olfaktorius terlihat jelas, edema mukosa (-) • Skor UPSIT-nya adalah 21/40, menunjukkan mikrosmia parah. • Pengujian antibodi Covid-19, 6 minggu setelah timbulnya gejala hidung menunjukkan antibodi IgG positif, mengkonfirmasi infeksi virus Covid-19 sebelumnya. A Neuritis olfaktori virus akut (kemungkinan besar karena pandemi COVID-19) P • Isolasi mandiri • Pengobatan anti-inflamasi dengan prednisolon oral selama 3 hari diikuti dengan tetes steroid intranasal topikal dimulai • Pada hari ke-6 pengobatan, indera penciuman secara subjektif telah meningkat menjadi 60% dari normal dengan pemulihan total dilaporkan dalam 2 minggu setelah timbulnya gejala hidung. Diskusi COVID-19 telah terbukti sebagai virus yang sangat mudah menular. Beberapa orang yang terinfeksi virus corona tidak memiliki gejala klinis sama sekali, tetapi mungkin masih sangat menular. Gejala umum Covid-19 seperti demam, nyeri tubuh, batuk, hidung tersumbat, pilek, dan sakit tenggorokan. Gejala yang lebih berat seperti sesak napas, dan pneumonia yang mengakibatkan ARDS mungkin saja terjadi. Masa inkubasi antara 3-14 hari, rata-rata 5 hari. Infeksi diperkirakan mencapai puncaknya saat gejala mulai. Virus COVID-19 dapat dideteksi di luar tubuh hingga 3 jam di aerosol, 24 jam di karton, dan 2-3 hari di plastik dan baja. Disfungsi penciuman paska infeksivirus disebabkan oleh peradangan pada reseptor penciuman dengan atau tanpa edema, mukosa yang berdekatan, dan/atau neurodegenerasi sistem saraf penciuman. Virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, dan virus pernafasan syncytial telah lama dikaitkan dengan URTI manusia dan gangguan penciuman, tetapi hanya sedikit kasus yang menyebabkan disfungsi saraf penciuman yang parah atau total. Meskipun neuritis olfaktori akut paska infeksi virus adalah penyebab anosmia, hal ini relatif jarang terjadi pada praktik klinis. Ketika sumbatan hidung hilang setelah 7-10 hari barulah masalah penciuman yang parah dapat menjadi jelas. Oleh karena itu, keluhan ini biasanya tidak ada pada fase akut. Diskusi Pada kasus kami dan kasus lain yang dilaporkan menunjukkan bahwa virus COVID-19 menunjukkan kecenderungan yang secara signifikan lebih tinggi untuk menyebabkan kerusakan inflamasi pada reseptor penciuman hidung dan mukosa yang berdekatan yang mengakibatkan hiposmia /anosmia berat. Dalam kasus yang dilaporkan oleh Eliezer et al, CT-Scan menunjukkan obstruksi inflamasi bilateral dari celah penciuman, gejala yang tidak ada pada gambaran MRI pada 2 kasus pasien dalam jurnal ini. Selain itu, pemeriksaan endoskopi di semua kasus ini memastikan adanya niche olfaktorius yang terlihat jelas dan terbuka. Ciri-ciri ini konsisten dengan etiologi neuritis olfaktorius atau respons inflamasi yang sangat terlokalisasi pada niche olfaktorius/regio cribriform plate. Edema inflamasi pada selubung saraf berpotensi mengakibatkan disfungsi saraf dari kompresi lokal saat serat melewati cribriform plate. Virus COVID-19 menunjukkan aktivitas yang sangat agresif di saluran pernapasan bagian bawah, yang menghasilkan gambaran CT scan yang khas. Enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) adalah reseptor utama manusia untuk glikoprotein SARS S. Meskipun protein ACE2 terdapat pada sel endotel vaskular dan otot polos di semua organ, penelitian menunjukkan konsentrasi yang sangat tinggi pada sel epitel alveolar paru dan enterosit dari usus kecil. Ekspresi ACE2 telah diidentifikasi di lapisan basal mukosa hidung dan nasofaring, meskipun dalam konsentrasi yang lebih rendah. Perbedaan jaringan ACE2 ini mungkin menjelaskan efek samping yang lebih signifikan pada paru-paru daripada jaringan hidung. Diskusi COVID-19 menunjukkan tingkat sitokin proinflamasi yang sangat tinggi dalam serum pasien yang dirawat di rumah sakit karena gangguan pernapasan. Badai sitokin, produksi sel imun yang berlebihan sebagai respons terhadap infeksi, tampaknya terkait dengan tingkat keparahan COVID-19. Respon jaringan lokal hiperinflamasi yang sebanding, didorong oleh interaksi virus-ACE2, yang melibatkan pembuluh darah lokal, mukosa, dan reseptor sensorik dari niche olfaktorius di rongga hidung superior yang menjelaskan perkembangan hiposmia /anosmia akut dan berat yang terlihat dalam penelitian ini. Peningkatan cepat fungsi penciuman pada semua pasien setelah pengobatan anti-inflamasi dan dekongestan topikal lebih konsisten dengan patogenesis inflamasi lokal akut di rongga hidung superior, daripada degenerasi saraf yang signifikan. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan spontan yang signifikan pada disfungsi penciuman paska virus non-COVID-19 sebesar 32%-35% selama periode 4-14 bulan. Steroid sistemik dan topikal, suplementasi vitamin B, dan insulin intranasal semuanya telah digunakan untuk mengobati disfungsi penciuman pasck virus non-COVID-19 dengan tingkat keberhasilan tertentu. Hasil pengobatan awal kami pada kasus COVID-19 menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam fungsi penciuman di keempat kasus, biasanya dimulai dalam waktu 48 jam dengan pemulihan lengkap berikutnya dalam 2 – 3 minggu. Diskusi
Tidak adanya gejala pernapasan terkait dan penyakit paru klinis
menunjukan sifat relatif jinak dari disfungsi penciuman soliter terkait COVID-19. Tampaknya ada spektrum yang luas dari gejala terkait COVID-19, mungkin lebih dari yang terlihat sebelumnya di epidemi SARS / MERS. Penelitian ini menguatkan laporan terbaru yang menunjukkan disfungsi penciuman sebagai satu-satunya gejala yang muncul. Meskipun pasien-pasien ini datang dengan penyakit COVID-19 yang ringan, bukan berarti mereka tidak menular seperti mereka yang memiliki gejala umum, seperti demam dan batuk. Identifikasi dan isolasi dari pasien seperti ini penting sebagai langkah kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari penyakit yang berpotensi mematikan ini. TERIMAKASIH