Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

MORBUS HANSEN ( KUSTA/LEPRA )


RSUD Dr. SOEDONO MADIUN

Oleh :
Mahfudi Insan Kamil
( 470115019 )

AKADEMI KEPERAWATAN Dr. SOEDONO


MADIUN
TAHUN 2017 / 2018
1.Definisi

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. (Depkes RI, 1998).

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae). (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

1.1. Klasifikasi

1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)

 Indeterminate (I)
 Tuberkuloid (T)
 Boderline-Dimorphous (B)
 Lepromatosa (L)

1. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

 Tuberkoloid (TT)
 Borderline tuberculoid (BT)
 Mid-Borderline (BB)
 Borderline Lepromatous (BL)
 Lepromatosa (LL)

1. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

 Pause Basiler (PB) : I, TT, BT


 Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis yaitu :

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)

Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak


keputihansebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa,
sering di pipi,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan
kulit hilangsama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.

Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering terjadi gejala
kulit tak begitu menonjoltetapi gangguan saraf lebh jelas. Komplikasi saraf serta
kecacatan relative lebih sering terjadi sering terjadi dan timbul lebih awal dari
bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak ditemukan adanya
kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak yang ditemukan di
Indonesia dan terjadi pda orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta
cukup tinggi.

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik diselaput
lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan
tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.

Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan


tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalankulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagaibenjolan-benjolan merah
sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan dauntelinga. Sering disertai
rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung
pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan padabentuk ini umumnya
terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.

Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina). Diantara kedua
bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan(tipe borderline)
yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

3. Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO

Kelainan kulit & hasil


No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
Bercak (makula)

a. Jumlah a. 1-5

b. Ukuran b. Kecil dan besar


a. Banyak
c. Distribusi c. Unilateral atau
b. Kecil-kecil
1. bilateral asimetris
d. Konsistensi
c. Bilateral, simetris
d. Kering dan kasar
e. Batas
d. Halus, berkilat
e. Tegas
f. Kehilangan rasa pada
e. Kurang tegas
bercak f. Selalu ada dan jelas
g. Kehilangan g. Bercak tidak f. Biasanya tidak jelas, jika
berkemampuan berkeringat, berkeringat, ada bulu ada terjadi pada yang sudah
berbulu rontok pada bercak rontok pada bercak lanjut

g. Bercak masih
berkeringat, bulu tidak
rontok
Infiltrat

a. Kulit a. Tidak ada a. Ada, kadang-kadang


2. tidak ada
b. Membrana mukosa b. Tidak pernah ada
tersumbat perdarahan b. Ada, kadang-kadang
dihidung tidak ada
a. Punched out lessi

b. Medarosis
”central healing”
3. Ciri hidung c. Ginecomastia
penyembuhan ditengah
d. Hidung pelana

e. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Terjadi pada yang lanjut
Lebih sering terjadi
5. Penebalan saraf tepi biasanya lebih dari 1 dan
dini, asimetris
simetris
Biasanya asimetris
6. Deformitas cacat Terjadi pada stadium lanjut
terjadi dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif

2. Etiologi

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat


intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran
nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.

Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara
40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8
micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu,
hidup dalam sel dan BTA.
3. Patofisiologi (WOC)

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit


kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.
4. Manifestasi Klinis

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut :

1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul,
nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran
khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot.

2. BTA positif

Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.

3. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi (kesemutan/kebas).

5.Komplikasi

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

6.Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

 Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.


 Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
 Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
 Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:

1. Cuping telinga kiri atau kanan


2. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
 Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

1. Tidak menyenangkan pasien


2. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
3. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
apabila sedian apus kulit negatif.
4. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:


1. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
2. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien
kusta
3. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
4. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
 Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett
 Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB):

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB


digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang


3. Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan


untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

6.Penatalaksanaan

1. Terapi medik

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta


dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,


dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai


berikut:

 Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

1. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas


2. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

 Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

1. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas


2. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
3. DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif.

 Dosis untuk anak

Klofazimin:

1. Umur dibawah 10 tahun :


o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
2. Umur 11-14 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu

 Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien


kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan
RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan.
Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

 Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

 Perawatan umum

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya


cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
 Perawatan mata dengan lagophthalmos

1. Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
2. Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
3. Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.

 Perawatan tangan yang mati rasa

1. Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh
2. Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
jam
3. Keadaan basah diolesi minyak
4. Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
5. Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
6. Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

 Perawatan kaki yang mati rasa

1. Penderita memeriksa kaki tiap hari


2. Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
3. Masih basah diolesi minyak
4. Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
5. Jari-jari bengkok diurut lurus
6. Kaki mati rasa dilindungi

 Perawatan luka

1. Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam


2. Luka dibalut agar bersih
3. Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
4. Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
7.Diagnosa Keperawatan

 Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan


1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kusta.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi kusta.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita kusta.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan yang baik
untuk penderita kusta.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kusta.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi kusta.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita kusta.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan yang baik
untuk penderita kusta.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kusta.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi kusta.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita kusta.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan yang baik
untuk penderita kusta.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kusta.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi kusta.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita kusta.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan yang baik
untuk penderita kusta.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Resiko tinggi kecacatan berhubungan dengan
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kusta.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi kusta.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita kusta.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan yang baik
untuk penderita kusta.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Penentuan Prioritas Masalah

Di dalam menentukan prioritas masalah kesehatan keluarga menggunakan sistim


skoring berdasarkan tipologi masalah dengan pedoman sebagai berikut:

Kriteria Skor Bobot


1. Sifat masalah

Skala: Ancaman kesehatan 2


1
Tidak/kurang sehat 3

Krisis 1
1. Kemungikan masalah dapat diubah

Skala: Dengan mudah 2


2
Hanya sebagian 1

Tidak dapat 0
2. Potensial masalah untuk dicegah

Skala: Tinggi 3
1
Cukup 2

Rendah 1
3. Menonjolnya masalah

Skala: Masalah berat harus 2

ditangani
1
Ada masalah tapi tidak 1

perlu segera ditangani

Masalah tidak dirasakan 0


Skoring :

1. Tentukan skor untuk tiap kriteria


2. Skor dibagi dengan angka tertinggi dan kalikanlah dengan bobot

Skor X bobot : Angka tertinggi

3. Jumlahkan skor untuk semua kriteria, skor tertinggi 5 sama dengan seluruh
bobot

8.Perencanaan Keperawatan

1. Diagnosa 1

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti


dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria :

1. Menunjukkan regenerasi jaringan


2. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan


kondisi sekitar luka

Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses


inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan pengetahuan keluarga mengenai perawatan khusus pada


daerah yang terjadi inflamasi

Rasional : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada


jaringan sekitar.

3. Beri pengetahuan keluarga cara mengevaluasi warna lesi dan


jaringan yang terjadi inflamasi dan anjurkan untuk memperhatika
adakah penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan


mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Anjurkan keluarga untuk membersihan lesi dengan sabun pada
waktu direndam

Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk


mempertahankan kebersihan lesi

5. Anjurkan Klien mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari


tekanan

Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses


penyembuhan

2. Diagnosa 2

Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti


dan berangsur-angsur hilang

Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat


berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Intervensi:

1. Mengajari keluarga cara mengobservasi lokasi, intensitas dan


penjalaran nyeri

Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam


memberikan intervensi.

2. Mengajari keluarga cara mengobservasi tanda-tanda vital

Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan klien melakukan tehnik distraksi dan


relaksasi

Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi klien senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesik sesuai


indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri


3. Diagnosa 3

Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat


teratasi dan aktivitas dapat dilakukan

Kriteria:

1. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari


2. Kekuatan otot penuh

Intervensi:

1. Anjurkan klien untuk mempertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan sirkulasi,


gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Ajari klien dan keluarga cara latihan rentang gerak secara


konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,


meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan


periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap


aktifitas

5. Dorong keluaraga/ orang yang terdekat untuk memberi motivasi


klien dalam latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam


perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
4. Diagnosa 4

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi


secara optimal dan konsep diri meningkat

Kriteria:

1. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri


2. Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional : episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.


Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.


Perhatikan perilaku menarik diri.

Rasional : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap


apa yang terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan


memberikan kenyakinan yang salah

Rasional : meningkatkan perilaku positif dan memberikan


kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif

Rasional : kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya


perilaku koping positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk klien terutama dukungan


keluarga

Rasional : meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan


respon yang lebih membantu pasien
5. Diagnosa 5

Tujuan : Mencegah terjadinya kecacatan pada penyakit kusta

Kriteria hasil : tidak terjadinya kecacatan pada penyakit kusta

Intervensi :

1. Ajarkan klien dan keluarga cara perawatan mata dengan


lagophthalmos

 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau


kotoran
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat dan senam mata
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.
o Ajarkan klien dan keluarga melakukan perawatan tangan yang
mati rasa
 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam,setelah itu disabun dan dikeringkan dengan handuk
kering
 diolesi minyak dengan dipijat-pijat
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
o Ajarkan klien dan keluaraga perawatan kaki yang mati rasa
 Penderita memeriksa kaki tiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam,setelah itu di
keringkan dengan handuk.
 Masih basah diolesi minyak
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
o Ajarkan klien dan keluarga melakukan perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
DAFTAR PUSTAKA

Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta


Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi
II, EGC. Jakarta,
Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science,
Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai