Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENYAKIT KUSTA
(Dosen Pembimbing : Supriadi. SKM.M.Kes)

Di susun oleh :
Kelompok 1

Hamartya utami chandra


Dzul adhan ghifari
Syahrul ramadhan
Siti rahma
Nur indah
Nining
Indri

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN PALU
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Esa karena atas
Rahmat dan Karunia-Nyalah kami selaku penulis makalah yang berjudul “ Penyakit
Kusta “ yang mana makalah ini sebagai salah satu tugas Matakuliah Penyakit Tropis
Khusus Sulteng, Alhamdullilah dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.


Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun sehingga dapat dipergunakan untuk membantu perbaikan mendatang dan
atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum . Wr. Wb

Palu, 6 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..........................................................................................1


B. Rumusan Masalah .....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................2
D. Manfaat Penulisan .....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Kusta …………………………………………………………..3
B. Etiologi ………………………………………………………...……….3
C. Klasifikasi Dan Kriteria
Kusta……………………………………………………………..……..4
D. Manifestasi Klinik…………………………………………………...….6
E. Cara Penularan Kusta…………………………………………………...7
F. Pemeriksaan Klinis Kusta………………………………………………7
G. Penatalaksanaan Kusta ………………………………………………...10
H. Masalah-Masalah Dalam Masyarakat Akibat Penyakit Kusta…………14
I. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta……………………………………15
J. Kelompok Beresiko ……………………………………………………18
K. Peran Perawat Komunitas Dalam Menangani Kusta…………………...18
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………..……20
2. Saran ………….…………………………………………………….….20
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula
menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah
yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit
kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian
petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.
Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu
10 terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak mengalami penurunan.
Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemukan di seluruh Indonesia. Jumlah
penderita lepra di Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah
penderita lepra yang masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi
Selatan, dan Maluku. Khusus Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah
penyandang kusta terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menjadi daerah endemis
penyakit kusta. Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni
Jember, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Sampang, Sumenep,
Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban dan Lamongan.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani
secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi
penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan
negara. Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat
terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat
persoalan sosial ekonomi penderita kusta.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dan penanggulangan dari penyakit tropis kusta?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan penanggulangan penyakit kusta.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi kusta.
2. Menjelaskan penyebab kusta.
3. Menjelaskan klasifikasi kusta.
4. Menjelaskan tanda gejala penyakit kusta.
5. Menjelaskan cara penularan kusta.
6. Menjelaskan pemeriksaan klinis kusta.
7. Menjelaskan penatalaksanaan kusta.
8. Menjelaskan masalah-masalah dalam masyarakat akibat penyakit kusta.
9. Menjelaskan konsep pencegahan penyakit kusta
10. Menjelaskan peran perawat komunitas dalam menangani kusta.
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, etiologi, masalah
kesehatan, serta program dan kebijakan pemerintah dalam upaya
pemberantasan penyakit kusta.
2. Bagi Masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan turut serta dalam
pemberantasan penyakit kusta.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KUSTA
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun
memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai
dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh,
gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-Dictionary of the English
language).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan
dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)

B. PENYEBAB KUSTA
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta ( mycobacterium leprae), yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA).

Gambar .Mycobacterium Leprae


Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun. Pertumbuhan optimal dari
kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C.

C. KLASIFIKASI DAN KRITERIA KUSTA


Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu
menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di
Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a) Tipe PB (Pausi basiler).
b) Tipe MB (Multi basiler).
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada criteria seperti
tabel dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari
kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh criteria.

Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB (Depkes RI-Buku pedoman


pemberantasan kusta, 2007)
Kelainan kulit dan hasil
PB MB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
1-5 Banyak
a. Jumlah
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral
Bilateral, simetris
asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan rasa Biasanya tidak jelas, jika ada,
pada bercak Selalu ada dan jelas terjadi pada yang sudah usia
lanjut.
g. Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan Bercak masih berkeringat, bulu
berkeringat, ada bulu
berkeringat, bulu tidak rontok.
rontok pada bercak.
rontok pada bercak
2. Infiltrat :
Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada
a. Kulit
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat
Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada.
perdarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus 1. Punched out lession **
“central healing” 2. Madarosis
penyembuhan di 3. Ginekomastia
tengah 4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Kadang-
Tidak ada kadang
ada
5. Penebalan syaraf Lebih sering terjadi Terjadi pada
dini, asimetris yang
lanjut,
biasanya
lebih dari
satu dan
simetris.
6. Deformitas (cacat) Terjadi pada
Biasanya asimetris
stadium
terjadi dini
lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

D. Tanda dan Gejala


Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau
“cardinal signs” pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati
rasa yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot
tangan, kaki, atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).

Gambar . Lesi kulit pada paha


Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda pokok diatas. Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus
dicurigai (suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat
ditegakkan kusta atau penyakit lain.

E. Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti
belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta
dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Depkes RI, 2007).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan.
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak
akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung
pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja
yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang sembuh
sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan
pengaruh pengobatan.

F. Pemeriksaan Klinis
A. Pemeriksaan kulit
1. Persiapan
a. Tempat.
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak
boleh langsung dibawah sinar matahari.
b. Waktu pemeriksaan.
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar
matahari).
c. Yang diperiksa :
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya
tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek,
sedangkan orang dewasa (laki-laki dan wanita) memakai kain sarung
tanpa baju.
2. Pelaksanaan pemeriksaan :
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan pandang,
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
 Pemeriksaan Pandang.
Tahap pemeriksaan.
1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan
petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping
telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan).
Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf
dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan
menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan
menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan
perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah penderita pelan-
pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya
pada waktu memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah
ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai
kiri dengan cara yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan
pemeriksaan dimulai lagi dari :
5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat
tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak
(makula), bintil-bintil (nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan
setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan pelan
dan periksa pada jarak kira-kira ½ meter.
 Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba.
Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus
pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa
bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan
menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan
dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong
kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian
dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya
anaesthesi.
 Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Pemeriksaan syaraf : Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut
n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan
n.tibialis posterior. Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri
tekan atau tidak dan menebal atau tidak. Ia harus memperhatikan raut
muka penderita apakah ia kesakitan atau tidak pada waktu syaraf
diraba.
 Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catatlah
kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai
tandatanda, jumlahnya, besarnya, dan letaknya.

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995)
sebagai berikut:
1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi
dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure
dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT – Dewasa Anak


Kusta PB BB < 35 kg BB > 10-14
35 kg thn
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln   600 450
petugas) mg/bln mg/bl
n(12-
15
mg/k
gBB/
bln)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1-2 100 50
mg/kgBB/hr) mg/hr mg/hr
(1-2
mg/k
gBB/
hr)

2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif
dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak :
Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2
kali/minggu
Umur 11-14 tahun :  bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3  kali/minggu
DDS   : 1 - 2 mg/kg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan
Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT – Dewasa Anak


Kusta MB BB < 35 kg BB > 10-14
35 kg thn
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln   600 450
petugas) mg/bln mg/bln(1
2-15
mg/kgB
B/bln)
Klofazimin  300 mg/bln (diawasi 200
petugas)dan dilanjutkan mg/bln
esok (diawasi
)dan
50 mg/hr (swakelola) dilanjutk
an esok

50 mg/hr
(swakelo
la)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1-2 100 50
mg/kgBB/hr) mg/hr mg/hr(1-
2
mg/kgB
B/hr)

3. Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin
600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung
dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam
6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
a. Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

b. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit
Kusta Depkes  ( 1999) adalah sebagai berikut:
1) Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6
sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2) Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
3) RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
c. Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif    :
1) Tipe PB selama 2 tahun.
2) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
d. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak
mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
1. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT.
e. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.

H. Masalah Kesehatan
Stigma masyarakat
Karena pengertian masyarakat yang keliru tentang penyakit kusta, berkembang
pendapat yang keliru tanpa pembuktian. Untuk itu kekeliruan tersebut harus
diluruskan. Tidak benar bahwa kusta adalah penyakit keturunan atau karena guna-
guna. Tidak benar juga disebutkan kusta terjadi karena berhubungan seks saat
menstruasi atau salah makan. Harus ditegaskan pada masyarakat bahwa kusta
tidak menular dan dapat disembuhkan.
Kesulitan dalam pemberantasan kusta, baik dalam pengobatan, pencegahan dan
penanganan kecacatan disebabkan masih besarnya stigma masyarakat terhadap
penderita kusta sehingga mereka menyembunyikan diri atau dikucilkan. Sebagian
besar penderita adalah dari golongan ekonomi lemah. Dengan adanya kecacatan
itu, akan memperburuk kondisi ekonominya, kehilangan lapangan pekerjaan,
kehilangan kesempatan kerja, kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya.
a. Program Kesehatan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan strategi global untuk
terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global
strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”;
dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% angka cacat kusta
pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010. Dengan demikian, tahun
2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target tersebut. Menkes
menekankan bahwa penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan
sehingga pelu penanganan dari berbagai lintas program dan lintas sektor terkait.
Sektor tersebut antara lain Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rumah Zakat, Persatuan
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Perdoski), Netherland Leprosy Relief
(NLR), tim penggerak PKK Pusat, Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata).

I. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta


 Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum
terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar
atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita,
yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang
diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita
sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya
dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga
penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006).
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi
tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian
dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%,
namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda
pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a) Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi
drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe
tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI,
2006).
 Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
 Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum
cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah
terjadinya kerusakan fungsi saraf.
 Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita
cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang
penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi
adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat
yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar
tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
 Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
 Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal
terbatas pada tangan.
 Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
J. KELOMPOK BERESIKO
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.

K. PERAN PERAWAT
1. Care Giver
Peran perawat sebagai care giver dilakukan dengan memberikan pelayanan
kepada penderita kusta dan keluarga dalam bentuk promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Salah satu bentuk kegiatannya adalah dengan mencegah terjadinya
kecacatan akibat penyakit kusta dan mengadakan penyuluhan-penyuluhan untuk
menekan endemis penyakit kusta.
2. Advokat
Peran perawat sebagai advokat adalah dengan memberikan perlindungan kepada
penderita kusta dan keluarga. Contoh pelaksanaan peran advokat adalah
memastikan bahwa penderita kusta mendapatkan obat sesuai dengan jadwal dan
jenis pengobatannya.
3. Edukator
Perawat memainkan peran sebagai pemberi health education dalam bentuk
penyuluhan yang berisi tentang pemahaman instruksi pengobatan pada penderita
kusta. Karena selama ini fenomena yang ditemukan di masyarakat adalah
banyaknya penderita kusta yang putus pengobatan atau drop out dengan alasan
bahwa obat-obatan yang dikonsumsi terlalu banyak dan lamanya pengobatan. Para
penderita kusta harus mengkonsumsi 6 dosis obat untuk penderita tipe Pausi Basiller
(PB) dan12 dosis multi basiller (MB), dalam kurun waktu untuk PB 6-9 bulan dan
untuk MB 12-18 bulan (Dit Jen PPM & PL, 2002). Kebanyakan dari mereka
berpendidikan rendah, selain itu kualitas interaksi dengan perawat juga belum
terjalin dengan baik, mereka cenderung takut untuk bertanya. Dari kurangnya
pengetahuan, kualitas interaksi yang belum terjalin dengan baik maka motivasi
penderita kusta untuk melakukan pengobatan kurang bahkan memilih untuk drop
out dari pengobatan. Sehingga diharapkan peran perawat lebih dimaksimalkan,
salah satunya adalah dengan memotivasi penderita untuk terus melakukan
pengobatan sampai tuntas serta mengarahkan keluarga pasien untuk selalu
memantau dalam hal peraturan mengkonsumsi obat.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tumbuh lainnya.Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA). Penyakit kusta diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe pausi basiler
(PB), dan multi basiler (MB).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari
beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan
faktor daya tahan tubuh.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan
kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang jelas,
kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot
tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan
kulit (BTA positif).
2. Saran
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam rangka
meningkatkan program pemerintah dalam usaha pemberantasan penderita
kusta sehingga penyakit kusta dapat dibasmi secara tuntas.
2. Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui apa saja
faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya pemberantasan penyakit kusta.
3. Perawat semakin memaksimalkan perannya untuk membantu upaya
pemberantasan penyakit kusta.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2009. Penatalaksanaan kusta di Indonesia. Disitasi dari
https://pramareola14.wordpress.com/2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di indonesia/ .
Diakses pada 17 Januari 20167 jam 13.40 wita.

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,


Depkes Jakarta.

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman


Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.

Yayan, M. 2011. Askep Klien dengan Penyakit Kusta. Disitasi dari


http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-klien-dengan-penyakit-kusta.html .
Diakses pada 17 Januari 2016 jam 14.05 wita.

http://www.kabarmadura.com/jumlah-penderita-kusta-di-jatim-tertinggi.html . diakses
tanggal 17 Januari 2016 pukul 19.42 wita.

http://us.surabaya.detik.com/read/2011/02/02/102259/1558723/466/30-persen-
penderita-kusta-didominasi-warga-jatim?881104465. diakses tanggal 17 januari
2016 pukul 19.25 wita

http://hanyaberita.com/penderita-lepra-di-indonesia-terbesar-ke-3-di-dunia/1936/ .
diakses tanggal 17 oktober 2016 pukul 20.02 wita.

Anda mungkin juga menyukai