Disusun Oleh:
M. Miqdar A. 119810001
Afina Tsalis Maraya 119810004
Alif Hamzah 119810006
Bima Adi Laksono P. 119810009
Dela Destiani Aji 119810013
Dhini Oktaviani 119810015
Dina Alfiana 119810017
Nita Safitri 119810039
Sri Utami Fauziah 119810049
Pembimbing:
dr. Irman Permana, Sp. A(K)
Sistem kesehatan tidak boleh menunggu sampai mencapai titik puncak untuk
mengundang mahasiswa kedokteran untuk berpartisipasi. Mahasiswa kedokteran mahir dalam
banyak peran klinis. Memperbolehkan mereka untuk ikut serta dalam pelayanan klinis jauh
sebelum terjadinya kekurangan tenaga medis, dapat mencegah terjadinya insiden tersebut. Dalam
artikel ini, kami menyarankan beberapa peran bagi mahasiswa kedokteran untuk mengimbangi
beban yang disebabkan oleh COVID-19.
Kami beranggapan bahwa pedoman AAMC yang utama berasal dari kekhawatiran
mengenai risiko infeksi terhadap pasien dan mahasiswa, kekurangan APD, dan terkait
permasalahan tanggung jawab. Risiko-risiko ini memerlukan pertimbangan yang cermat, tetapi
hal ini dapat dikurangi. Kami percaya dengan memperbolehkan mahasiswa kedokteran untuk
melakukan tugas-tugas klinis, dalam kasus tertentu, dapat memberikan manfaat yang lebih besar
kepada pasien dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan adanya keterlibatan mahasiswa.
Pertama, mahasiswa kedokteran dapat membantu perawatan klinis secara rutin pada
pasien rawat jalan. Mahasiswa kedokteran dapat meningkatkan efisiensi untuk meringankan
pekerjaan staff klinik dengan cara mencatat riwayat pasien, memanggil pasien untuk mengambil
hasil laboratorium, mengedukasi pasien, mendokumentasikan kunjungan, dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan pasien mengenai COVID-19. Walaupun pada masa pandemi seperti ini,
pasien dengan penyakit kronis tetap membutuhkan perawatan yang berkelanjutan, contohnya
wanita hamil yang harus memeriksakan kandungan, dan pasien yang sudah dipulangkan yang
tetap memerlukan tindakan lanjut. Kebanyakan dari tugas ini dapat dilakukan dengan layanan
konsultasi medis lewat telepon, sehingga tidak ada risiko terjadinya transmisi penularan infeksi.
Kedua, mahasiswa dapat memberikan perawatan pada layanan rawat inap yang tidak
memiliki pasien COVID-19. Di bawah pengawasan residen senior atau dokter umum, mahasiswa
kedokteran tingkat lanjut (“subinterns”) biasanya membawa pasien mereka sendiri. Dengan tidak
adanya mahasiswa kedokteran, pasien-pasien ini perlu dilindungi oleh petugas rumah, yang
berpotensi memperburuk kekurangan personel yang menjadi perhatian AAMC. Meskipun bentuk
keterlibatan ini membutuhkan APD yang sesuai, mempekerjakan mahasiswa tingkat lanjut di
rumah sakit dapat memaksimalkan ketersediaan dokter lain untuk merawat pasien dengan
COVID-19.
Apabila mahasiswa diizinkan untuk bekerja di rumah sakit, risiko mereka terkena
sindroma pernafasan akut berat akibat coronavirus-2 (SARS-CoV-2) akan meningkat. Meskipun
demikian, mahasiswa juga berisiko lebih tinggi untuk tertular SARS-CoV-2 saat melakukan
skrining pengunjung yang memasuki rumah sakit, mengurus penggunaan APD, dan
menyediakan perawatan anak sebagai dokter, yang semuanya sudah dibagi untuk dilakukan, dan
beberapa di antaranya memerlukan APD. Selain itu, risiko yang timbul dari keterlibatan
mahasiswa mungkin lebih rendah daripada risiko sukarelawan dari dokter yang sudah pensiun,
yang lebih rentan terhadap komplikasi COVID-19 dikarenakan usia mereka. Namun, mengingat
bahwa risiko pribadi tidak dapat dihilangkan, kami setuju dengan AAMC bahwa setiap
keterlibatan langsung dari mahasiswa kedokteran harus bersifat sukarela.