SURVEILANS KUSTA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
hingga masalah social, ekonomi dan budaya karena kusta sampai saat ini masih
merupakan stigma di masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan.
Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan disabilitas yang ditimbulkan.
Pemerintah Indonesia dan dunia mempunyai tujuan yang sejalan untuk
menuntaskan penyakit ini dengan melaksanakan program eliminasi kusta.
Eliminasi kusta dapat dicapai dengan promosi kesehatan yang intensif, penemuan
kasus dini, pengobatan yang tepat, surveilans adekuat dan pemberian obat
pencegahan untuk menurunkan transmisi dan kecacatan yang diakibatkan oleh
penyakit Kusta dan Frambusia.
Meski telah mencapai eliminasi di tingkat nasional pada tahun 2000,
Indonesia masih melaporkan penemuan kasus baru sebanyak 11.173 kasus di
tahun 2020. 6 (enam) dari 34 provinsi dan 101 kabupaten/kota juga masih
melaporkan angka kasus terdaftar lebih dari 1 per 10.000 penduduk. Proporsi anak
diantara penderita baru sebesar 10.1% serta cacat tingkat 2 diantara penderita
baru sebesar 5.62%. Hal ini menunjukkan bahwa keterlambatan penemuan kasus
dan penularan penyakit kusta masih terus terjadi di masyarakat. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keterlambatan penemuan adalah kelemahan dalam
surveiolans penyakit kusta.
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN UMUM :
TUJUAN KHUSUS :
1
3. Melakukan pengambilan dan pengelolaan sampel kusta
1. Diagnosis Kusta
a. Dasar Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada penemuan tanda utama
(Cardinal sign); yaitu :
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerah-
merahan (eritematous) yang mati rasa (anestesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi
(neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan
(Paralisis)
Gangguan fungsi otonom : Kulit kering dan retak-retak.
3) Basil tahan asam (BTA ) positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin smear) asal
cuping telinga (rutin) dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan tertentu
kadang jaringan diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi). Pemeriksaan
kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Pewarnaan dan
2
pemeriksaan dapat dilakukan di Puskesmas yang memiliki tenaga serta fasilitas
untuk pemeriksaan BTA.
Untuk mendiagnosis penyakit kusta, minimal harus ditemukan satu
Cardinal sign. Tanpa adanya Cardinal sign, kita hanya boleh menyatakan
sebagai tersangka (suspek) kusta dan dicatat pada formulir tersangka.
b. Tanda tanda Mungkin Kusta (Suspek)
1) Tanda-tanda di kulit :
Bercak kulit yang eritema atau hipopigmentasi (gambaran yang paling sering
ditemukan), datar atau menimbul, dapat disertai dengan tidak gatal dan
mengkilap atau kering bersisik
Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat (anhidrosis) dan atau alis mata
tidak berambut (madarosis)
Bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping telinga
Timbul lepuh luka tanpa rasa nyeri pada tangan dan kaki
2) Tanda-tanda pada saraf :
Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf.
Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak atau wajah.
Kelemahan anggota gerak dan atau kelopak mata
Adanya disabilitas (deformitas)
Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3) Tanda suspek lainnya :
Lahir dan tinggal di daerah endemis kusta
Mempunyai kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin,
terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi
Riwayat kontak erat dan lama dengan orang yang mengalami kusta
Tanda-tanda tersebut di atas bukanlah tanda utama penyakit kusta, namun jika
ditemukan sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih teliti.
Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan
adalah :
3
Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis,
frambusia) dan obati.
Tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya mati rasa, jika lesi kulit
tersebut benar kusta maka dalam periode tersebut mati rasa harusnya
menjadi jelas dan kita dapat memulai MDT.
Jika tidak ditemukan adanya mati rasa yang jelas maupun penebalan saraf
namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul, pembengkakan pada
wajah atau cuping telinga, atau infiltrasi pada kulit, perlu dilakukan
pemeriksaan kerokan kulit (skin smear).
Jika hasil pemeriksaan klinis dan BTA masih meragukan, rujuk ke pelayanan
spesialistik
Catatan:
Pada daerah endemik rendah, pengobatan MDT baru diberikan hanya
setelah konfirmasi diagnosis ditegakkan oleh petugas terlatih (Wasor
kabupaten/petugas Puskesmas PRK).
4
2) Bercak Hipopigmentasi Dengan Skuama
Pitiriasis versicolor
Berupa bercak pigmentasi bersisik, superficial dengan bentuk irregular dan
sering berlokasi di leher dan badan
Pityriasis alba
Berupa macula bentuk bundar atau oval dengan sisik
3) Bercak Hipopogmentasi Tanpa Skuama
Vitiligo
Berupa bercak berwarna putih menyerupai susu
4) Papul atau Nodul
Granula Annulare
Berupa pembentukan papul atau nodul berbentuk annular (cincin). Lesinya
indolen dan tidak menimbulkan keluhan
Neurofibromatosis
Kelainan genetic dimana pertumbuhan sel terganggu sehingga tumbuh tumor-
tumor pada jaringan saraf. Tumor tersebut umumnya jinak dan bisa muncul di
berbagai bagian dari system saraf, seperti pada otak maupun saraf tulang
belakang hingga saraf-saraf tepi.
2. Klasifikasi Kusta
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan
tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta.
a) Dasar Klasifikasi Kusta
Penyakit kusta dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal yaitu :
a. Manifestasi Klinik, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu, dsb.
b. Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan asam (BTA) positif
atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila klasifikasi
meragukan.
b) Tujuan Klasifikasi Kusta
Klasifikasi penyakit kusta penting karena berhubungan dengan beberapa hal :
5
a. Tipe penyakit kusta menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit.
b. Perencanaan logistik
6
2. Faktor risiko penyakit kusta
a. Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium Leprae dimana untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873.
M.Leprae hidup dalam sel dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan Cell)dan sel dari sistem retikulo endotelial.
Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2 – 3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah 27-30°C.
b. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Athymic nude mouse).
c. Cara keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan
hidung dari penderita tipe lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman
sebesar 104 - 107. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe
lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan.
d. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2 – 5 tahun, akan tetapi dapat
juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain.
7
e. Cara masuk kedalam pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum
dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan
bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
f. Pejamu (Tuan rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita,
hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. Leprae termasuk kuman yang obligat
intraseluler, dan sistem kekebalan yang paling efektif adalah kekebalan seluler. Faktor
fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar (95 %) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil
yang dapat ditulari (5%). Dari 5 % yang tertular tersebut sekitar 70 % dapat sembuh
sendiri dan hanya 30 % yang menjadi sakit.
Contoh:
Dari 100 orang yang terpapar; 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri
tanpa obat, 2 orang menjadi sakit dimana hal ini belum memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari 3 kelompok
berikut ini, yaitu :
a) Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok terbesar
yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
b) Pejamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila
menderita penyakit kusta biasanya tipe PB.
c) Pejamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang
merupakan kelompok kecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB.
2. Upaya Pengendalian Atau Pemutusan Mata Rantai Penularan
Penentuan kebijakan dan metoda pengendalian penyakit kusta sangat
ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi kusta dan perkembangan ilmu dan teknologi
di bidang kesehatan.
Upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta dapat dilakukan melalui :
a. Pengobatan MDT pada penderita kusta
b. Kemoprofilaksis
Dalam upaya mengurangi jumlah kasus baru dengan mengurangi penularan
kusta, ada bukti ilmiah bahwa Single Dose Rifampicin (SDR)/Rifampicin dosis
tunggal yang diberikan kepada kontak dekat dari kasus indeks telah terbukti secara
efektif mengurangi risiko kusta. Di sisi lain sampai saat ini belum ada metode lain
yang lebih efektif untuk pencegahan penyakit ini (seperti vaksinasi). Untuk menekan
angka kejadian kusta salah satunya adalah dengan metode kemoprofilaksis untuk
mencegah penularan pada orang sehat. Kemoprofilaksis Rifampicin Dosis Tunggal
sebagai salah satu kegiatan penanggulangan kusta yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2019 yang ditujukan untuk pencegahan kusta.
8
Untuk mencapai eliminasi kusta, kementerian kesehatan berupaya
melakukan akselerasi melalui berbagai inovasi antara lain dengan kemoprofilaksis
rifampicin dosis tunggal. Hasil kemoprofilaksis di beberapa wilayah seperti
kabupaten Bima, Asmat dan Maluku Tenggara Barat menunjukkan terjadinya
penurunan kasus baru kusta sejak kegiatan ini dilakukan
Berikut ini adalah bagan dimana kita dapat melakukan intervensi
terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sakit kusta dalam rangka
memutuskan mata rantai penularan.
Cara Pemutusan Mata Rantai Penularan Penyakit Kusta
- Vaksinasi
- Kemoprofilaksis Pengobatan
MDT
Menjadi sakit dan tubuh
mereka menjadi tempat
perkembangan
Mycobacterium leprae
Penderita
Tuan
Kusta menjadi
rumah/Host:
sumber
yang
penularan
kekebalannya
kurang
Cara penulaan
utama: Melalui
percikan droplet
9
skin smear juga dapat dilakukan di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) yang
sudah memiliki tenaga serta fasilitas pemeriksaan BTA.
A. Tujuan Pemeriksaan Skin Smear
1. Membantu menentukan diagnosis penyakit kusta, terutama pada kasus
tersangka (suspek) kusta
2. Membantu menentukan klasifikasi penyakit kusta pada pasien baru
3. Membantu diagnosis pasien relaps dari pasien yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan
4. Membantu menilai hasil pengobatan (pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali,
yaitu awal pengobatan dan saat RFT)
10
Ingatlah bahwa prosedur pengambila skin smear merupakan tindakan invasif.
Sebelumnya cucilah tangan, kenakan sarung tangan dan gunakan peralatan
yang sudah disterilkan, serta mata pisau scalpel baru bagi tiap pasien. Jangan
mengambil skin smear jika tidak ada indikasi.
E. Melakukan pewarnaan
Buatlah pewarnaan dengan menggunakan metode Ziehl-Nelsen. Pewarnaan
dengan carbol fuchsin 0,3 %, kemudian bilaslah dengan asam alkohol 3 %
untuk menghilangkan semua warna, kecuali pada M. Leprae, kemudian
lakukan lagi pembilasan dengan methyllen blue 0,3 % untuk latar belakang.
Basil kusta akan terlihat seperti batang-batang merah pada latar belakang
biru.
1. Peralatan dan Reagensia
a. Reagen ziehl nelsen yang terdiri dari : Larutan Carbol Fuchsin 0,3 %, asam
alkohol 3 % dan methylen blue 0,3 %.
b. Lampu spiritus (bunsen)
c. Wadah dengan air mengalir
d. Pipet tetes
e. Besi penyangga
f. Timer
g. Rak kaca obyek
h. Sarung tangan
11
Catatan :
Buat register kaca obyek di register laboratorium.
Letakkan kaca obyek di rak pewarnaan dengan sisi apusan menghadap ke
atas. 10 kaca obyek atau lebih dapat diwarnai bersamaan. Pastikan bahwa
kaca obyek tersebut tidak saling bersentuhan satu dan yang lain.
2. Pewarnaan
a. Sebelum digunakan, saringlah carbol fuchsin 0,3 % menggunakan kertas
saring biasa
b. Tutupi seluruh permukaan kaca obyek dengan larutan carbol fuchsin
c. Panaskan kaca obyek dengan hati-hati di atas lampu spiritus sampai uap
carbol fuchsin keluar. Ulangi langkah ini 3 kali selama 5 menit. Pastikan
bahwa pewarnaan tidak sampai mendidih. Jika pewarna mengering
tambahkan lagi reagens dan panaskan lagi.
d. Basuh dengan hati-hati di bawah air mengalir. Keringkan air hingga kaca
obyek tidak lagi berwarna, meskipun apusak akan menjadi merah tua.
3. Pelunturan
a. Tetesi permukaan kaca obyek sampai tertutup dengan asam alkohol 3 %
selama 10 menit.
b. Bilas perlahan dengan air.
4. Counter staining
a. Tetesi sediaan dengan methylen blue 0,3 % selama 1 menit.
b. Bilas dengan air dan biarkan kaca obyek mengering di rak pengeringan
dengan posisi miring dengan sisi apusan menghadap ke bawah.
c. Apusan siap dibaca di bawah mikroskop.
12
b. Pengambilan zat warna tidak merata
3. Bentuk granular (ganulated)
Kelihatan seperti titik-titik tersusun garis lurus atau berkelompok
4. Bentuk globus
Beberapa BTA utuh atau fragmented/granulated mengadakan ikatan atau
kelompok. Kelompok kecil 40-60 BTA. Kelompok besar 200-300 BTA
5. Bentuk Clumps
Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri (lebih dari 500
BTA)
I. Identifikasi kuman
Setelah menemukan lapangan pandang pertama, pindahlah ke lapangan
pandang berikutnya. Periksalah tiap apusann sekitar 100 lapangan pandang.
Carilah keberadaan BTA. BTA akan nampak sebagai batang merah dengan
latar belakang biru. Bentuknya dapat lurus atau melengkung, dan warna
merah dapat merata atau homogen (solid) atau tidak rata (fragmanted dan
granular). Kelompok basil disebut sebagai globi. Basil yang solid menandakan
13
adanya mikroorganisme yang hidup dan dapat dengan mudah terlihat pada
pasien baru yang belum diobati atau pasien relaps.
a. Indeks Bakteriologi (IB)
Indeks bakterilogi merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan apus. Guna IB untuk membantu menentukan tipe kusta dan menilai
hasil pengobatan. Penilaian dilakukaan menurut skala Ridley
Indeks Bacteriologi
0
O BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang
1+
1 – 10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang
2+
1 – 10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 lapangan pandang
Lokasi
Kepadatan Solid Fragmented/Granulated
Pengambilan
1. Daun Telinga
5+ 5 95
Kiri
2.Daun telinga 4+ 6
kanan 94
14
3.Paha kiri 4+ 3 97
4.Bokong kanan 4+ 4 96
Jumlah 17 + 18 382
17 18
IB = ----------- = 4,25 IM = ----------------- X 100 % = 4,50
4 18 + 382
Catatan :
- Hasil pembacaan sediaan apus cukup dinyatakan negatif (-) atau positif (+)
saja.
- Bagi petugas Puskesmas/Kabupaten/Propinsi yang sudah mampu, dapat
menghitung derajat positifnya sesuai indeks bakteri.
PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan di rumah sakit rujukan yang
memiliki fasilitas terkait. Pemeriksaan tersebut, antara lain :
1. Histopatologi
2. Serologis
3. Polimerase Chain Reaction (PCR)
15