Anda di halaman 1dari 10

UJIAN

SKABIES

Oleh :
Siskha Sabilla
G992202071

Pembimbing :
Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, Sp. KK (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2022
PR UJIAN KASUS SKABIES
PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan klasifikasi scabies
2. Jelaskan tanda cardinal morbus hansen
3. Jelaskan klasifikasi morbus hansen menurut WHO
4. Jelaskan pengobatan morbus hansen

JAWABAN
1. Klasifikasi skabies
a. Skabies pada orang bersih
Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya ditemukan pada
orang dengan tingkat kebersihan yang baik. Penderita skabies mengeluh gatal di
daerah predileksi skabies seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan.
Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat. Manifestasi skabies pada orang bersih
adalah lesi berupa papul dan terowongan dengan jumlah sedikit sehingga sulit
diidentifikasi dan sering terjadi kesalahan diagnosis karena gejala yang tidak
khas1.

Gambar 1. Skabies pada orang bersih


b. Skabies Incognito
Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi
atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain. Dapat diketahi pada skabies yang diobati
dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau
tetap ada dan masih dapat menularkan skabies1.

Gambar 2. Skabies Incognito


c. Skabies Nodularis
Disebut skabies nodularis karena lesinya berupa nodus coklat kemerahan yang
gatal di daerah tertutup pakaian. Terbentuknya nodus disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas kulit terhadap S.scabiei dan produknya. Lesi nodularis terjadi
pada 7-10% penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-20mm dan terowongan
biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau jarang ditemukan di
dalam nodus1.

Gambar 3. Skabies nodularis


Lesi berupa nodul coklat kemerahan yang gatal pada daerah tertutup. Nodus
biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan
aksila.Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau
scabies.Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan.
Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun
meskipun telah diberi pengobatan anti scabies dan kortikosteroid1.

d. Skabies Bulosa
Skabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompromised memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami skabies bulosa. Bula yang terbentuk
mirip dengan bula pada pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai
dengan lepuh berukuran besar. Perbedaan antara skabies bulosa dengan pemfigoid
bulosa adalah lokasi lesi, gejala, dan usia penderita. Skabies bulosa biasanya
tersebar di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan genital sedangkan
pemfigoid bulosa tersebar di daerah badan dan ekstremitas1.

Gambar 4. Skabies bulosa


e. Skabies yang Ditularkan Melalui Hewan
Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda, kambing, kelinci,
monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada binatang di Amerika adalah
anjing. Penyebab skabies pada binatang mirip dengan yang menginfestasi manusia
tetapi berbeda strain. Manusia dapat menularkan skabies ke binatang peliharaan,
namun yang lebih sering adalah infestasi silang dari binatang peliharaan seperti
anjing ke manusia. Gejala ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi
terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dapat sembuh sendiri bila menjauhi
hewan tersebut dan mandi1.

Gambar 5. Skabies yang ditularkan melalui hewan

f. Skabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur


Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden) banyak dijumpai
pada orang yang menderita penyakit kronik atau orang berusia lanjut yang
berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama. Lesi pada skabies bedridden
hanya terbatas1.

Gambar 6. Skabies pada orang terbaring di tempat tidur


g. Skabies pada Bayi
Lesi skabies pada bayi dapat timbul di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan
kulit kepala. pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat
terutama malam hari akan tetapi pada bayi. Gambaran klinis tidak khas,
terowongan sulit ditemukan namun vesikel lebih banyak, dapat mengenai seluruh
tubuh, termasuk kepala,leher,telapak tangan, telapak kaki1.
Gambar 7. Skabies pada bayi
h. Skabies pada Santri Pondok

Gambar 1. Skabies pada


santri pondok

2. Tanda Kardinal Morbus Hansen


Kusta didiagnosis berdasarkan klinis-epidemiologis, terutama didasarkan pada
pemeriksaan dermatologis dan neurologis. Pemeriksaan sensitivitas terhadap suhu, nyeri
dan sensasi sentuhan sangat penting untuk diagnosis klinis. Namun, beberapa lesi seperti
pada kusta indeterminate dan multibasilerdapat muncul dengan sensitivitas normal atau
nyeri selama reaksi2.
Diagnosis kusta dalam praktek saat ini didasarkan pada adanya setidaknya satu
dari tiga tanda utama:
1. Lesi pada bercak kulit pucat (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematosa)
seperti makula atau plak, disertai hilangnya sensasi pada kulit (mati rasa).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba,
suhu dan nyeri
2. Saraf tepi yang menebal atau membesar dengan hilangnya sensasi dan/atau
kelemahan otot yang disuplai oleh saraf tersebut; atau
3. Adanya basil tahan asam pada kerokan lesi kulit dan/atau biopsi. Bahan
pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif3.
3. Klasifikasi Morbus Hansen Menurut WHO
Dengan tujuan untuk mempermudah penerapan Multidrug Therapy
(MDT) di layanan primer, WHO berkali-kali mengubah kriteria klasifikasi
kusta. Pada tahun 1982, mereka merekomendasikan mengklasifikasikan pasien
menjadi pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). Dalam kelompok PB, pasien
dengan kusta I, T dan BT, serta pasien dengan indeks basiloskopik < 2+.
Sedangkan yang termasuk MB yaitu pasien dengan klinis L, BB, BL dan BT,
dengan indeks basiloskopik ≥ 22.
Menurut guideline WHO tahun 1999, klasifikasi lepra berdasarkan mikrobiologi
yakni Paucibacillary dan Multibacillary. Berdasarkan tanda klinik dibagi menjadi7:
- Pausibasiler lesi tunggal : 1 lesi pada kulit
- Pausibasiler : 2-5 patch atau lesi pada kulit
- Multibasiler : >5 patch atau lesi pada kulit

Pada tahun 2016, WHO meluncurkan Global Leprosy Strategy 2016–2020


“Percepatan menuju dunia bebas kusta” dan pada tahun 2017, WHO merevisi definisi
kasus kusta PB dan MB, melalui rilis Monitoring and Evaluation Guide to the Global
Strategy, sebagai berikut2.

a. Kasus pausibasiler (PB): kasus kusta dengan 1 sampai 5 lesi kulit, tanpa
menunjukkan adanya basil pada apusan kulit.
b. Kasus multibasiler (MB): kasus kusta dengan lebih dari lima lesi kulit; atau
dengan keterlibatan saraf (neuritis murni, atau sejumlah lesi kulit dan neuritis);
atau dengan adanya basil yang ditunjukkan pada apusan slit-skin, terlepas dari
jumlah lesi kulit

4. Pengobatan Morbus Hansen


1. Nonmedikamentosa
a. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi okupasi.
b. Rehabilitasi non-medis, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.
c. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan
penggunaan obat.
d. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan kecacatan2.
2. Medikamentosa
Pengobatan kusta distandarisasi di seluruh dunia dan berdasarkan
rekomendasi WHO yang dikeluarkan pada tahun 1982. Mirip dengan 20
tuberkulosis, pengobatan kusta melibatkan Multidrug Therapy (MDT). Tiga obat
pilihan pertama adalah: dapson, rifampisin, dan klofazimin. Monoterapi hanya
menggunakan salah satu obat ini sudah ditinggalkan karena terjadinya resistensi2.
Sulfon (diaminodiphenyl sulfone - DDS), juga dikenal sebagai dapson,
terutama memiliki aksi bakteriostatik, dengan aktivitas bakterisida rendah. Ini
mungkin bertindak sebagai antagonis asam para-aminobenzoat (PABA), mencegah
pemanfaatannya dalam sintesis asam folat oleh M.leprae2.
Rifampisin (RMP), turunan semi sintetik dari rifamisin B, terutama memiliki
aksi bakterisida. Ini bertindak menghambat enzim RNA polimerase dalam basil
pengganda2.
Klofazimin (CLF) adalah pewarna iminofenazin, disintesis oleh Barry et al.
pada tahun 1957. Ia memiliki aksi bakterisida ringan, bekerja lambat pada M.
leprae dan menghancurkan 99% bakteri dalam waktu sekitar lima bulan.
Kemanjurannya mirip dengan DDS. CLF memiliki tindakan anti-inflamasi yang
penting. Dalam reaksi tipe 2, digunakan sebagai agen hemat steroid2.
Di antara obat lain yang digunakan untuk pengobatan kusta dalam rejimen
alternatif, yang utama adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin. Ofloksasin
adalah antibiotik dalam kelompok kuinolon, dan juga penting untuk pengobatan
kusta. Ini memiliki aktivitas bakterisida, dan digunakan dalam dosis harian 400mg.
Setelah empat minggu pengobatan, 99,9% basil menjadi tidak dapat hidup. Obat ini
tidak boleh diberikan kepada anak di bawah usia lima tahun, wanita hamil atau
menyusui2.
Minosiklin adalah satu-satunya tetrasiklin dengan aksi bakteri pada M.
leprae; itu lebih unggul dari klaritromisin, tetapi secara substansial lebih rendah
daripada RMP. Ini digunakan dalam dosis 100 mg / hari. Klaritromisin memiliki
aksi bakterisida pada M. leprae; digunakan dalam dosis 500 mg/hari. Dalam
penelitian eksperimental, makrolid ini menghancurkan 99% basil dalam 28 hari,
dan dalam 55 hari, 99,9% basil menjadi tidak dapat hidup2.
Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB
maupun MB. MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti Kusta, salah satunya
Rifampisin sebagai anti Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
Kusta lain bersifat bakteriostatik. MDT tersedia dalam bentuk 4 macam blister
MDT sesuai dengan kelompok umur (PB dewasa, MB dewasa, PB anak dan MB
anak). Tata cara minum MDT adalah dosis hari pertama pada setiap blister MDT
diminum di depan petugas saat penderita Kusta datang atau bertemu penderita
Kusta, selanjutnya diminum di rumah dengan pengawasan keluarga5.
a. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)
Pengobatan Tipe PB diberikan dosis berdasarkan golongan umur sesuai
tabel di bawah.
Berikan satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat
diminum selama 6–9 bulan5.
Tabel 3. MDT tipe pausibasiler (PB)6

b. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)


Pengobatan Tipe MB diberikan dosis berdasarkan golongan umur
sesuai tabel di bawah. Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga
dibutuhkan 12 blister yang dapat diminum selama 12-18 bulan.
Tabel 4. MDT tipe multibasiler (MB)6.

5.
Pencegahan Morbus Hansen
Pencegahan cacat dapat dilakukan dengan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu, diajarkan cara merawat
kulit sehari-hari, dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, ulkus. Setelah itu
tangan dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak kering dan pecah4.
Apabila dirangkum, pencegahan dapat dilakukan dengan:
a. Diagnosis dini yang tepat
b. Pengobatan awal yang cepat dan tepat
c. Imunisasi BCG
d. Hindari kontak dengan penderita MH
DAFTAR PUSTAKA

1. Sungkar S. Skabies. Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. h 1-60.

2. Conceição R, Penna MLF. Leprosy: current situation, clinical and laboratory aspects, treatment
history and perspective of the uniform multidrug therapy for all patients. Anais Brasileiros de
Dermatologia. 2017;92(6):761–73.m
3. Ribeiro MDA, Silva JCA, Oliveira SB, Organization WH, Normas SA, Ministério da Saúde B,
et al. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of leprosy. World Heal Organ.
2020;Jan(2):1-7
4. Djuanda A, Suriadiredja AS., Sudharmono A, Wiryadi BE. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi 7 Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2017. 87–102 p.
5. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2019 Tentang Penanggulangan Kusta. 2019
6. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI); 2017

7. World Health Organization. WHO Recommended Surveilance Standards. World Health


Organization.1999. https://www.who.int/publications-detail-redirect/who-recommended-
surveillance-standards- Diakses April 2022

Anda mungkin juga menyukai