Anda di halaman 1dari 15

PAPER BAKTERIOLOGI

Mycobacterium leprae

Zulfikran Moh. Rizki Azis (P27834119133)

PROGRAM STUDI D4 ALIH JENJANG ANALIS KESEHATAN

POLTEKKES KEMENKES SURABAYA

2020
1

A. Mycobacterium leprae
Mycobacterium leprae (Filum Actinobacteria) adalah agen penyebab
kusta dan masih merupakan masalah serius di Asia dan Afrika. M. leprae
adalah parasit intraseluler. Setelah dicerna oleh makrofag, ia bertahan dengan
menekan aktivitas defensif sel secara kimia (Mahon et al., 2015), bakteri ini
berukuran 0.2 to 0.6 X 1 to 10 µm, tiak berspora, non motile.

Gambar 1. Microbacterium leprae pada biopsi kulit

Secara ilmiah, Microbacterium diklasifikasikan seperti berikut :


Kingdom: Bakteri
Filum: Actinobacteria
Ordo: Actinomycetales
Subordo: Corynebacterineae
Keluarga: Mycobacteriaceae
Genus: Mycobacterium
Spesies: M. leprae

Microbacterium leprae merupakan pathogen intrasel obligat sehingga


belum dapat dibiakkan invitro (media tak hidup). Bakteri sering ditemukan
pada sel endothelial pembuluh darah atau sel mononuclear (makrofag)
sebagai lingkungan yang baik untuk bertahan hidup dan perkembangbiakan.
Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin
karena kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan
berakumulasi hingga mencapai 1010basil/gram jaringan pada kasus lepratype
2

lepromatus. Kerusakan syaraf perifer yang terjadi merupakan sebuah respon


dari system imun Karena adanya basil ini sebagai antigen (Barley & Scoot,
2015).
Seperti mikobakteri lainnya (atau bakteri ' acid - fast '), Mycobacterium
leprae memiliki waktu yang lama untuk mereplikasi dirinya di luar sel inang.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa M. Leprae adalah parasit intraseluler
fakultatif, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa bakteri tidak bisa
bereplikasi sama sekali di luar sel. Didukung oleh fakta bahwa M. leprae
belum pernah dikultur in vitro. Ketika M. leprae menemukan host yang tepat
maka bakteri ini akan bereplikasi dengan memakan waktu hingga 13 hari
untuk menjalani satu siklus replikasi. Kusta ditandai dengan replikasi bakteri
di dalam vesikel intraseluler makrofag, sel Schwann, dan sel endotel. Secara
umum, M. leprae lebih memilih sel-sel tersebut pada suhu lebih rendah dari
tubuh manusia, yang mengapa cenderung memanifestasikan dirinya di dekat
permukaan kulit . Metabolisme Ideal terjadi pada 33°C dan pH antara 5,1 dan
5,6 (Leber, 2016)

Bentuk-bentuk M. Leprae yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan


mikroskopis adalah (Lastoria, 2014) :
1. Bentuk utuh (solid); dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat
warna secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan
ditengahnya juga dapat dikatakan solid.
2. Bentuk globus ; adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat
dibagi 2, yaitu : Globus besar terdiri dari 200-300 bakteri, dan lobus
kecil terdiri dari 40-60 bakteri.
3. Bentuk pecah (fragmented); dinding bakteri biasanya terputus sebagian
atau seluruhnya, tidak menyerap zat warna secara merata
4. Bentuk berbutir-butir (granuler); tampak seperti titik-titik yang tersusun
5. Bentuk clump; adalah bentuk granuler yang membentuk kelompok
tersendiri, biasanya lebih dari 500 bakteri
3

B. Penyakit Kusta
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ
lainnya. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat
kronik. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat dan terjadi pada kulit dan saraf tepi. Kuman
Mycobacterium leprae pertama kali menyerang pada syaraf perifer, yang
kemudian mengenai kulit dan mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikulo endotel penderita, mata, otot, tulang dan testis. Masa inkubasi kusta
bervriasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata inkubasi 3-5 tahun.
Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2-3
minggu. Di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan
sampai 9 hari (Hadi & Kumalasari, 2017).
Dua bentuk kusta yang khas diketahui terjadi, yaitu kusta lepromatosa
dan kusta tuberkuloid. Pada kusta lepromatosa, bentuk penyakit yang lebih
menular, pada penyakit ini respons imun inang ditekan, diikuti oleh
proliferasi organisme yang cepat, cacat parah, dan hilangnya fungsi saraf.
Pada kusta tuberkuloid, respons imun host yang kuat menghasilkan
pembentukan granuloma pada wajah, batang tubuh, dan ekstremitas (Mahon
et al., 2015).
C. Tanda dan Gejala Penyakit Leprae
Penyakit kusta sangat ditakuti karena dapat menimbulkan cacat tubuh,
tetapi gejalanya tidak selalu kelihatan. Harus diwaspadai apabila mempunyai
luka yang tidak kunjung sembuh dan tidak sakit ketika ditekan. Tanda gejala
tahap awal yang muncul adalah berupa kelainan warna kulit. Biasanya terjadi
hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa. Gejala-gejala yang tampak
dari penderita digunakan untuk menegakkan diagnosa. Menurut WHO,
kriteria untuk penegakan diagnosis kusta ada tiga, yaitu ( Dogra et al., 2013.):
1. Lesi kulit yang berupa bercak hipopigmentasi atau lesi kulit kemerahan
dengan berkurangnya sensasi berbatas tegas.
4

2. Adanya keterlibatan syaraf perifer, seperti tampak pada penebalan


berbatas tegas dengan hilangnya sensasi.
3. Ditemukan basil tahan asam (BTA) di lapisan kulit.
D. Klasifikasi Penyakit Kusta
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen
pengobatan, prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk
identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi
kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan
Jopling yang membagi kusta menjadi lima spektrum berdasarkan pada
kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis. Penyakit kusta
menurut para ahli dibedakan menjadi beberapa jenis. Beberapa klasifikasi
tersebut antara lain adalah (Suzuki et al., 2012).
1. Klasifikasi Internasional menurut Madrid pada tahun 1953:
a. Interdeterminate ( I )
Kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang
berjumlah 1 atau 2, pada pemeriksaan bakteriologis jarang
ditemukan hasil yang positif, lesi kulit berbentuk datar yang mana
dapat berupa hipopigmentasi ataupun erythematous, dan pada
reaksi lepromin dapat memberikan hasil positif ataupun negatif.
b. Tuberkuloid ( T )
Terdapat makula atau bercak tipis bulat tidak teratur dengan
jumlah lesi 1 atau beberapa. Permukaan kering, kasar sering
dengan penyembuhan di tengah. Tipe Tuberculoid (T)
memberikan hasil negatif pada pemeriksaan bakteriologis,
banyak pada kasus erythematous skin lession, dan positif terhadap
lepromin.
c. Bordeline ( B )
Kelainan kulit bercak lebih menebal, tidak teratur dan
tersebar. Beberapa kasus timbul dari bentuk tuberculoid sebagai
hasil reaksi ulangan. Tipe Borderline hampir selalu memberikan
hasil positif pada pemeriksaan bakteriologis dan pada reaksi
lepromin umumnya negatif.
5

d. Lepromatosa ( L )
Kelainan kulit berupa bercak-bercak tebal dan difus, bentuk
tidak jelas, berbentuk bintil-bintil (nodule), makula tipis di
seluruh badan dan simetris. Tipe Lepromatous memberikan hasil
positif pada pemeriksaan bakteriologis, infiltrasi pada lesi kulit
dapat dijumpai pada jumlah banyak atau sedikit, dan negatif pada
pemeriksaan terhadap lepromin (Northern, 2010).
2. Klasifikasi menurut WHO pada tahun 1982 yang kemudian
disempurnakan pada tahun 1997 :
Bedasarkana klasifikasi WHO, Penyakit kusta dibagi dua, yaitu
Paucibacillary (PB) dan Multi Bacillary (MB). Klasifikasi dari WHO
tersebut digunakan untuk memudahkan petugas lapangan dan
berdasarkan dari jumlah lesi kulit, yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih
dari 5 lesi kulit serta PB lesi tunggal (single lession paucibacillary atau
SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit. Apabila didapatkan hasil IB
(Indeks Bakteri) yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa
memandang jumlah lesi (Hadi & Kumalasari, 2017).

Gambar 2. Paucibacillary
Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam
(BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT
(tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid) menurut kriteria Ridley
dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit.
Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular.
6

Gambar 4. Multi Bacillary


Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline),
BL (borderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria
Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear
positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular (Hadi &
Kumalasari, 2017).
E. Penularan Penyakit Kusta
Sumber penularan kusta secara pasti belum ditemukan, tetapi sampai
saat ini penularannya adalah melalui mukosa hidung penderita kusta tipe
lepromatous yang belum diobati dan juga ditemukannya kuman pada lesi kulit
nodular yang pecah. Anak-anak lebih mudah tertular dibandingkan dengan
orang dewasa. Orang yang tinggal serumah dengan penderita tipe multibasiler
(MB) terutama lepromatous yang belum mendapat pengobatan mempunyai
risiko tertular 4-10 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak tinggal
serumah. Sedangkan orang yang tinggal serumah dengan penderita tipe
tuberkuloid 2 kali lebih rawan tertular (Infodati, 2015).
Pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2– 7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus ada lesi baik
mikoskopis maupun makroskopis dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sumber infeksi dari M.leprae
terutama terdapat pada orang-orang yang memiliki kadar tinggi bakteri
M.leprae dalam tubuhnya dengan atau tanpa gejala klinis kusta atau sering
disebut subklinis kusta. Kelompok subklinis adalah orang-orang sehat yang
tidak menunjukkan gejala kusta, tetapi mempunyai kadar IgM anti PGL-1 >
7

650 U/ml pada waktu pemeriksaan di laboratorium. IgM anti PGL-1


merupakan antibodi spesifik untuk M. leprae. Dengan ditemukannya DNA
M.leprae yang dideteksi pada darah dan apusan hidung dari kelompok
subklinis penderita kusta menunjukkan bahwa proses infeksi oleh M.leprae
sedang terjadi (Prakoeswa, 2008).
F. Diagnosa Penyakit Kusta
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinis dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta
ditegakkan bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut
(Hadi & Kumalasari, 2017):
1. Lesi kulit disertai anestesi
Lesi kulit dapat berupa makula atau plak eritema berwarna seperti
tembaga, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga berupa infiltrasi
atau edema. Jumlah lesi dapat tunggal atau multipel. Hilangnya fungsi
kelenjar menyebabkan permukaan lesi tampak kering, kasar,
berkeringat atau berkilap. Folikel rambut dapat menghilang. Anestesi
atau gangguan hingga hilangnya fungsi sensorik terhadap rasa raba,
nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang dipersarafi
oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai area
di luar persarafan yang terlibat.
2. Penebalan saraf tepi
Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya
lesi kulit, paling sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus
komunis. Pembesaran saraf multipel. umumnya lebih sering ditemukan
pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus
supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis,
nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan nervus
tibialis posterior
3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam
Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan
sensitivitas lebih rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil
dari kedua lobus telinga, lesi kulit, bagian dorsum interfalang digiti III
8

manus, dan bagian dorsum digiti I pedis. Pewarnaan dilakukan dengan


metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan slit skin smear dapat
ditentukan IB (indeks bakteriologi) dan indeks morfologis (IM) yang
membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks
bakteriologi merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus yang dihitung menurut skala logaritma Ridley. Nilai IB
berkisar dari terendah +1 yang mengandung jumlah bakteri paling
sedikit, hingga +6 yang mengandung jumlah bakteri paling banyak pada
setiap lapangan pandang.
G. Pemeriksaan Laboratorium Mycobacterium leprae
1. Pemeriksaan Skin smear
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear
merupakan pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau
kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberikan pewarnaan tahan
asam untuk melihat. Dari keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang
tersedia untuk penyakit kusta, pemeriksaan hapusan kulit merupakan
pemeriksaan yang paling sederhana. Tujuan pemeriksaan ini antara lain
untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi penyakit, untuk
mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan
pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak
mengandung bakteri yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan
ibu jari kanan atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping
telinga kanan dan kiri serta lesi kulit yang aktif. Pemeriksaan hapusan
sayatan kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung
menunjukkan gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu
berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas yang rendah ini disebabkan
karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan seperti
kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat dan bahan
seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Mayasari,
2019).
9

Pewarnaan tahan asam atau disebut juga pewarnaan Ziehl


Neelsen merupakan teknik pewarnaan yang digunakan untuk mewarnai
bakteri golongan Mycrobacterium ( M. tuberculosis/ M. leprae ).
Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yaitu dengan menggunakan zat
warna carbol fuchsin 0,3 %, asam alkohol 3 %, dan methylen blue 0,3%.
Pada pemberian warna pertama, yaitu carbol fuchsin, BTA bersifat
mempertahankannya. Carbol fuchsin merupakan fuksin basa yang
dilarutkan dalam larutan fenol 5 %. Larutan ini memberikan warna
merah pada sediaan dahak. Pemasukan zat warna ke dalam sel bakteri
sewaktu proses pemanasan. Fungsi pemanasan untuk melebarkan pori-
pori lemak BTA sehingga carbol fuchsin dapat masuk sewaktu BTA
dicuci dengan larutan pemucat, yaitu asam alkohol, maka zat warna
pertama tidak mudah dilunturkan. Bakteri kemudian dicuci dengan air
mengalir untuk menutup pori-pori dan menghentikan pemucatan. BTA
akan terlihat berwarna merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan asam
akan melarutkan carbol fuchsin dengan cepat sehingga sel bakteri tidak
berwarna. Setelah penambahan zat warna kedua yaitu methylen blue,
bakteri tidak tahan asam akan berwarna biru (Mahon et al., 2015)
Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil
yang masih hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan
granular). Penghitungan dilakukan menurut skala logaritma Ridley
sebagai berikut (Mastra & Nyoman, 2014):
• +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada
satu lapangan pandang.
• +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.
• +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.
• +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.
• +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.
• +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang
• 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang
10

2. Mycobacterium laprae Lateral Flow Assay


Uji ML Flow adalah pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi
anti bodi IgM anti PGL-1 M. leprae. Uji ini merupakan pemeriksaan
dengan imunokromatografi yang terdiri atas strip nitroselulosa. Pada
salahsatu ujung strip terdapat bagian yang terbuat dari serat wool yang
mengandung anti human anti gen yang di label dengan koloid, dan disisi
atasnya berfungsi sebagai absorbsi. Bahan yang digunakan adalah
darah dan serum, jik aterdapat antibodi spesifik maka akan terbentuk
garis Kemerahan. Pemeriksaan ini memeliki sensitivitas 97,4%. (Hadi
& Alamudi, 2017).
3. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction adalah suatu metode enzimatik in
vitro yang digunakan untuk menghasilkan gugus DNA spesifik dalam
jumlah besar dan waktu singkat melalui tahap denaturation, annealing
dan extension pada temperatur yang berbeda. Dari beberapa penelitian
yang telah dilakukan, PCR mempunyai tingkat spesifitas dan
sensitifitas yang tinggi serta waktu yang cepat untuk mendeteksi M.
leprae dari penderita kusta yang menunjukkan gejala klinis maupun sub
klinis. Amplifikasi dilakukan pada berbagai daerah gen yang berbeda
dari genom M. leprae. PCR juga dapat digunakan untuk medeteksi gen
yang mengkode berbagai macam protein M. leprae (18 kDa, 36 kDa,
65 kDa). Penggunaan teknik PCR dalam mendeteksi DNA M. leprae
dapat menggunakan beberapa cara, salah satunya adalah nested PCR.
Nested PCR menggunakan dua pasang primer untuk locus DNA.
Penggunaan primer pertama akan mengamplifikasi locus yang sama
seperti pada single PCR, sedangkan pasangan primer kedua (nested
primer) akan melekat pada produk PCR pertama dan menghasilkan
produk PCR kedua yang lebih pendek dari produk PCR pertama. Nested
PCR untuk mendeteksi DNA M. leprae menggunakan dua set primer
yang mengamplifikasi regio TTC. Dipilihnya daerah ini sebagai target
amplifikasi karena urutan nukleotidanya telah diketahui dan hanya
ditemukan pada M. leprae. (Mudatsir, 2013)
11

a. Prosedur ekstraksi DNA dari spesimen sayatan lesi kulit (irianto,


2017):
• Blade yang digunakan untuk pengambilan lesi kulit
bersama dengan sediaannya dimasukkan dalam tabung
yang berisi alkohol 70%, dilakukan vortexing selama 5
menit dan ambil kembali bladenya.
• Tabung disentrifuge 13.000 rpm selama 20 menit
• Supernatan dibuang, pada pelet dilakukan penambahan
PBST sebanyak 400 µl, disentrifuge kembali pada 13.000
rpm selama 20 menit
• Supernatan dibuang, dan kemudian pada pelet ditambahkan
50 µl lysis buffer dan dipindahkan ke dalam PCR tube
• Masukkan PCR tuhe dalam mesin PCR, inkubasikan pada
600C selama 16 jam dan kemudian dipanaskan pada 94°C
selama 10 menit, lalu dilakukan proses freezing thawing
dengan memanaskan PCR tube pada 100°C serta
dimasukkan ke dalam freezer dengan suhu -20°C selama 10
menit. Proses freezing thawing ini dilakukan sebanyak 2X
secara bergantian.
b. Prosedur amplifikasi DNA
• Dimasukkan master mix (primer L1 1 µl, primer L2 1 µl,
Taq DNA polymerase 0,25 µl, Sterile distilled water 7,75
µl). Lalu tambahkan PreMix sebanyak 12,5 µl dan template
(sampel) sebanyak 2,5 µl. Keseluruh bahan-bahan di atas
dimasukkan dalam PCR tube yang volume keseluruhannya
adalah 25 µl.
• Dilakukan vortexing selamat ±1 menit.
• Masukkan PCR tube dalam mesin PCR.
• Dilakukan pre hear pada 94°C selama 2 menit, denaturasi
94°C selama 30 detik, annealing pada 58°C selama 30 detik
dan ekstensi pada 72°C selama 30 detik, diikuti dengan
12

prolong ekstensi pada 72°C selama 9 menit. Untuk


amplifikasi pertama dilakukan sebanyak 35 siklus.
• Diambil produk dari amplifikasi pertama yang digunakan
sebagai template sebanyak 2,5 µl, lalu ditambahkan master
mix yaitu : L3 1 µl; L4 1 µl; Taq DNA polymerase 0,25 µl
dan Distilled water 7,75 µl.
Dan PreMix sebanyak 12,5 µl. Keseluruh bahan-bahan
dimasukkan dalam PCR tube baru yang volume
keseluruhannya 25 µl.
• Dilakukan langkah pada point 2 dan 3.
• Dilakukan 3 langkah amplifikasi yang sama dengan pada
point 4 akan tetapi dilakukan sebanyak 25 siklus.
Setelah amplifikasi fragmen DNA selesai, maka ukuran panjang
amplikon ditentukan dengan agarose gel 2% melalui proses
elektroforesis.
c. Prosedur Elektroforesis gel
• Agarose ditimbang sesuai kebutuhan konsentrasi yang
digunakan adalah 2%.
• 2 g agarose dilarutkan dalam 100 ml TBE jika cetakan 20
ml berarti dilakukan 1/5 nya.
• Campuran dimasukkan dalam microwave sampai cair,
ditunggu sampai suhu 50-60°C.
• Dituang dalam cetakan yang sudah dipasangi sisir
sebelumnya, setelah ½ jam kemudian sisir diangkat.
• Masukkan agar yang sudah mengeras pada alat
elektroforesis yang berisi TBE.
• Teteskan DNA sampel yang telah diamplifikasi sebanyak
10 µl dicampur dengan 2 ul loading buffer pada masing-
masing sumur agar yang sudah mengeras, dan jalankan
elektroforesis pada 100 Volt selama 30 menit.
13

• Agar dicelupkan kedalam ethidium bromide selama jam


kemudian dilihat dengan menggunakan trasiluminator dan
difoto dengan menggunakan film polaroid hitam putih.
• Hasil pemeriksaan PCR dikatakan positif bila pada marker
ketinggian 347 bp terdapat pita dan sejajar dengan kontrol
kuman M. leprae.
14

DAFTAR PUSTAKA

Bailey & Scott’s. 2014. Diagnostic Microbiology. Elsevier, China.


Dogra S, Narang T, Kumar B. 2013. Leprosy – evolution of the path to eradication.
Indian J Med Res 137, halaman 15-35
Hadi, MI. & Kumalasari, MLF. 2017. Kusta Stadium Subklinis Faktor Risiko dan
Permasalahannya. Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Hadi, MI. & Alamudi, MY. 2017. Imunodiagnostik pada Bakteri dan Jamur.
Zifatama Jawara. Surabaya.
Infodatin, 2015. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Kusta
Irianto, K. 2017. Biologi Molekuler. Bandung: ALFA BETA.
Lastoria, J.C. 2014. Leprosy: Review of the Epidemiological, Clinical, and
Etiopathogenic Aspect-Part 1. An Bras Dermatol; 89(2):205-18.
Leber, A. 2016. Clinical microbiology procedures handbook. ASM Press.
Washington, DC, USA.
Mahon, CR., Lehman, DC., Manuselis, G. 2015. Textbook of Diagnostic
Microbiology, Fifth Edition. Elsevier, Maryland.
Mahon, CR., Lehman, DC., Manuselis, G. 2015. Textbook of Diagnostic
Microbiology, Fifth Edition. Elsevier, Maryland.
Mastra, Nyoman. 2014. Bakteriologi. Denpasar : Politektnik Kesehatan Denpasar
Jurusan Analis Kesehatan.
Mayasari, R., Rusmawardiana, Argentina, A., Kartika, I., Rusminan, AS. 2019.
Diagnosis Klinis Morbus Hansen Tipe Mid Borderline (BB) dengan
Gambaran Histopatologis Morbus Hansen Tipe Borderline Tuberculoid (BT).
JKK, 6(3); 57-62.
Mudatsir. 2013. Perkembangan Terkini Penelitian Kusta Secara Biologi Molekuler.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13 (2).
Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the Control of Leprosy in the
Northern Territory.Department of Health and Family.p.1-55.
Prakoeswa, CRS., Agusni, I., Izumi, S. 2008. Tingkat Seropisitifitas Kusta Pada
Murid Sekolah Dasar di Daerah Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Timur.
Palembang: Kongres Nasional XII PERDOSKI Buku Abstrak
Suzuki, K., Akama, T., Kawashima,A., Yoshihara, A., Yotsu, R.R., Ishii, N. 2012.
Current Status of Leprosy: Epidemiology, Basic Science and Clinical
Perspectives. J of Dermatol;39: 121–29

14

Anda mungkin juga menyukai