Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Distres respirasi atau gangguan nafas, merupakan masalah yang sering


dijumpai pada hari-hari pertama BBL, ditandai dengan takipneu, nafas
cuping hidung, retraksi interkosta, sianosis dan apneu. Kumpulan gejala
tersebut dikenal dengan istilah Sindrom Gawat Nafas (SGN). SGN ini
meliputi Respiratory Distress Syndrom (RDS) akibat paru yang belum
matang, Transient Tachypnea of The Newborn (TTN), Penyakit Membran
Hialin (PMH) dan aspirasi mekonium.1
Sindrom Gawat Nafas pada Neonatus (SGNN) merupakan suatu
sindrom yang sering kita temukan pada neonatus. 1,2 SGNN sesuai dengan
namanya merupakan suatu kegawatan yang dapat berakibat kematian atau
cacat fisik dan mental di masa depan.1
Prevalensi SGNN sangat bervariasi. Menurut Farrel dan Avery (dikutip
Yu, 1986), Penyakit Membran Hialin (PMH) prevalensinya adalah 1 % dari
semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). 1
Prevalensinya akan meningkat bila prevalensi BBLR meningkat karena
sebagian besar SGNN itu disebabkan oleh PMH.1,2,3,4
Dengan melihat insidensi yang terjadi, sampai saat ini SGNN masih
merupakan salah satu faktor penyebab mortalitas dan morbiditas yang
tinggi. Hal ini terutama disebabkan kompleknya faktor etiologi serta adanya
keterbatasan dalam penatalaksanaan penderita.1,5 Akan tetapi dalam dekade
akhir ini tampak kemajuan yang sangat berarti, baik dalam cara diagnostik
dini maupun dalam penatalaksanaan penderita. 5 Sehingga angka kesakitan
dan angka kematian penyakit terutama di negara berkembang telah
memperlihatkan penurunan yang cukup bermakna.1

1
I.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan ilmu


pengetahuan bagi para dokter muda khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya sehingga diharapkan para calon dokter mampu mengenali,
menganalisa dan membuat diagnostik yang tepat pada kasus-kasus SGNN.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian

Sindrom gawat nafas adalah suatu keadaan dimana alveoli pada paru-
paru bayi tidak dapat tetap terbuka karena tingginya tegangan permukaan
akibat kekurangan surfaktan, dimana terdapat kumpulan gejala yang terdiri
atas dispnea, sianosis, takipnea, penggunaan otot-otot bantu nafas dan
adanya merintih.1

2.2. Faktor Risiko

SGNN bisa diramalkan dengan mengenali faktor-faktor risiko


terjadinya SGNN pada kehamilan, kelahiran dan pada bayi. Faktor risiko
utama SGNN adalah prematuritas. Secara umum dapat kita ketahui bahwa
faktor risiko SGNN adalah sebagai berikut:2
a. Faktor pada kehamilan:
1. Kehamilan kurang bulan.
2. Kehamilan dengan gawat janin.
3. Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
4. Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat.
5. Kehamilan lebih bulan.
b. Faktor pada partus:
1. Partus dengan infeksi intra partum.
2. Partus dengan tindakan
3. Partus dengan penggunaan obat sedatif.
c. Faktor pada bayi:
1. Skor apgar yang rendah.
2. Bayi berat lahir rendah.
3. Bayi kurang bulan.
4. Berat lahir lebih dari 4000 gram.

3
5. Cacad bawaan.
6. Frekuensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.

2.3. Penyebab Gangguan Nafas pada BBL. 1,3,6

1. Aspirasi mekonium
Aspirasi mekonium merupakan terhisapnya cairan amnion yang
tercemar mekonium kedalam paru pada bayi yang mengalami stres
intrauterin, yang dapat terjadi pada saat intrauterin dan sewaktu
persalinan. Adanya cairan mekonium dalam mulut atau saluran nafas
atas maupun bawah.
Cairan ini dapat menjadi hambatan bagi saluran nafas bagian atas
(obstruksi) dan jika cairan ini telah sampai disaluran nafas bawah atau
jaringan paru, cairan yang berisi mekonium ini akan menginfeksi
jaringan paru tersebut atau bronkioli yang akan membuat reaksi radang
sehingga terjadi hambatan bagi saluran nafas bagian bawah (infeksi).
Kehadiran mekonium dalam cairan ketuban menyebabkan sindrom
aspirasi mekonium (MAS) tetapi tidak semua neonatus dengan
mekonium yang mengandung ketuban berkembang menjadi aspirasi
mekonium. Kehadiran mekonium yang mengandung partikel kental
dalam cairan amnion meningkatkan kemungkinan aspirasi pranatal.
Pembersihan mekonium dari jalan nafas sebelum nafas pertama dan
penggunaan tekanan ventilasi positif (PPV) sebelum membersihkan
saluran nafas meningkat kemungkinan mekonium berkembang menjadi
sindrom aspirasi mekonium pada neonatus.
Manifestasi klinis dari aspirasi mekonium adalah:
a. Takipneu
b. Aspirasi yang memanjang
c. Sianosis
d. Retraksi intercosta
e. Barrel chest
f. Adanya ronhki pada auskultasi
g. Kuku, tali pusat dan kulit yang berwarna kuning kehijauan

4
Dalam menegakkan diagnosa dari aspirasi mekonium yaitu:
a. Anamnesis: adanya faktor resiko
b. Cairan amnion tercemar mekonium
c. Gawat janin
d. Bayi mengalami asfiksia dan setelah lahir menunjukkan sindrom
gawat nafas
e. Biasanya disertai dengan bayi yang lewat bulan
f. Analisa gas darah: asidosis metabolik, asidosis respiratorik,
hipoksemia dan hiperkapnia
g. Foto thorak: hiperinflasi, atelektasis, pneumonia

2. Penyakit Membran Hialin (PMH)


Penyakit Membran Hialin merupakan penyebab terbanyak kesakitan
dan kematian pada bayi prematur. Tak hanya bayi premature saja yang
berisiko terkena sindrom ini, bayi cukup bulan pun berisiko. Sekitar 75%
untuk bayi baru lahir yang lahir kurang bulan sedangkan 10-50%
biasanya pada bayi yang berat lahirnya kurang dari 2500 gr. Sindrom ini
lebih banyak ditemui pada bayi laki-laki dibanding bayi perempuan.
Gejala awal sindrom ini berupa sesak nafas, bayi merintih, frekuensi
pernafasan cepat >60 x/menit, terdapat tarikan dinding dada, dan kulit
sianosis. Gejala ini timbul dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan
gradasi yang berbeda-beda.7

3. Transient Tachypneu of The Newborn (TTN)


Suatu penyakit ringan pada neonatus yang lahir mendekati cukup
bulan atau cukup bulan namun mengalami gawat nafas segera setelah
lahir dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari. Hal ini
disebabkan adanya retensi atau keterlambatan dalam clearance paru
janin.6,7
Tanda dari TTN adalah dengan melihat adanya tanda distres
pernafasan yaitu, takipneu, nafas cuping hidung, mendengkur, retraksi
dinding dada dan sianosis pada kasus ekstrim. Takipneu segera setelah

5
kelahiran nafas lebih dari >60x/menit. Dalam menegakkan diagnosis
pada TTN dapat kita lihat pada pemeriksaan radiologi yaitu:3
1. Hiperekpansi paru, khas pada TTN
2. Garis prominent di perihiler
3. Pembesaran jantung ringan hingga sedang
4. Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral
5. Cairan difisura minor dan perlahan akan terdapat diruang pleura
6. Temuan karakteristik termasuk perihiler menonjol
7. Terdapat sedikit efusi pleura
8. Gambaran infiltrat yang halus pada kedua lapang paru secara
homogen dan tersebar merata

2.4. Patofisiologi

Sampai saat ini teori terjadinya SGNN yang paling banyak diterima
ialah karena kurangnya surfaktan pada paru.6,7,8 Surfaktan diproduksi oleh
sel epitel saluran nafas yang disebut pneumocyt tipe II.7 Unsur surfaktan
yang terpenting adalah dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol,
dua apoprotein dan kolesterol.4 Bahan-bahan aktif tersebut memegang
peranan utama dalam stabilisasi pertukaran udara perifer dan berfungsi
sebagai faktor antiatelektasis yang menolong pengendalian ekspansi
alveolus pada tekanan fisiologik, yaitu dengan merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa
udara fungsional pada akhir ekspirasi.7
Pneumocyt tipe II ini mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan
mulai mengeluarkan surface active lipids pada gestasi 24-26 minggu dan
mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Sel ini sangat peka dan
berkurang dalam jumlah pada keadaan asfiksia selama masa perinatal.
Kematangan sel ini terpengaruh oleh adanya keadaan fetal hiperinsulinemia,
stress intra uteri yang kronik, seperti hipertensi pada kehamilan, IUGR
(Intra Uterine Growth Retardation) dan kehamilan kembar.7

6
Perubahan atau tidak adanya surfaktan pulmonal akan menyebabkan
serangkaian peristiwa yang ditunjukkan pada gambar berikut ini:6

SURFAKTAN

METABOLISME
COMPLIANCE
PARU
PARU

ALIRAN DARAH VENTILASI


PULMONAL ALVEOLAR

Gambar 1. Peristiwa perubahan surfaktan pulmonal4

Peranan surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan


alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa
udara fungsional pada akhir ekspirasi.9 Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya daya kembang paru (paru-paru kaku).6 Alveolus akan
kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang
disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.9 Kerja tambahan ini akan
melelahkan bayi dan menimbulkan penurunan ventilasi alveoler, atelektasis
dan hipoperfusi alveolar.6 Asfiksia akan menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal, dimana darah akan melewati paru-paru melalui jalan pintas janin
(Paten Ductus Arteriosus atau Foramen Ovale) sehingga mengurangi aliran
darah pulmonal.6,7 Terjadinya iskemia merupakan suatu gangguan tambahan
sehingga akan makin mengurangi metabolisme paru-paru dan produksi
surfaktan.6

2.5. Patogenesis

Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH


menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya
terganggu.9 Hal ini mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah
lahir. Pada keadaan defisiensi ini paru bayi akan gagal mempertahankan
kestabilan alveolus pada akhir ekspirasi, sehingga pada saat inspirasi

7
berikutnya dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan
alveolus yang mengalami kolaps.5 Dan pada setiap ekspirasi terjadinya
atelektasis menjadi bertambah.7 Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO 2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) Oksigeniasi jaringan menurun, sehingga
akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan
asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada
bayi. (2) Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.9
Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis PMH dapat
4
diterangkan dari gambar berikut ini:
Prematuritas
Seksi-C Predisposisi familail
Asfiksia intrapartum Asidosis

Surfaktan
yang menurun

Gangguan Atelektasis
Metabolisme sel progresif

Hipoperfusi Hipoventilasi
alveolar

Takipnea sementara
Asfiksia neonatal
Penyempitan pembuluh pCO2, pO2, pH
Hipotermia
Darah paru Apnea

Syok
hipotensi

Hipovolemia

Gambar 2. Faktor-faktor yang berperan dalam pathogenesis SGNN3

8
Defisiensi sintesis atau pengeluaran surfaktan, bersama-sama dengan
unit pernafasan yang kecil dan dinding rongga dada yang lunak,
mengakibatkan atelektasis, frekuensi pernafasan meningkat, compliance
paru berkurang, kerja pernafasan semakin meningkat dan akhirnya ventilasi
alveolar tidak mencukupi. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya
hiperkarbia, hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan terjadinya
penyempitan pembuluh darah paru4. Vasokonstriksi pembuluh darah paru
yang disebabkan oleh hipoksia menyebabkan terjadinya peninggian tahanan
ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.5 Terjadinya hipoperfusi
alveolar akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah paru akan menyebabkan
terganggunya metabolisme sel-sel paru dan pada akhirnya akan menurunkan
produksi surfaktan.6
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi
penurunan aliran darah paru hambatan pembentukan substansi surfaktan
atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan
atau kematian bayi.9

2.6. Klasifikasi

Buku pedoman menajemen masalah BBL untuk dokter, perawat dan


bidan di rumah sakit membagi klasifikasi gangguan nafas menjadi:4,5
1. Gangguan nafas ringan.
2. Gangguan nafas sedang.
3. Gangguan nafas berat.

Secara rinci dapat dilihat pada tabel klasifikasi lain dapat menggunakan
skor Downes seperti pada tabel dibawah.

9
Tabel 1. Klasifikasi gangguan nafas1
Frekuensi nafas Gejala tambahan Klasifikasi
gangguan nafas
>60 x/ menit Dengan Sianosis sentral dan Gangguan
tarikan dinding dada atau nafas berat
merintih saat ekspirasi
Sianosis sentral atau
Atau >90 x/ menit Dengan tarikan diding dada atau
merintih saat ekspirasi
Atau < 30x/ menit Dengan atau Gejala lain dari gangguan
tanpa nafas

60 90 x/ menit Dengan Tarikan dinding dada atau Ganguan


tetapi tanpa merintih saat ekspirasi, nafas sedang
sianosis sentral
Atau > 90 x / Tanpa Tarikan dinding dada atau
menit merintih saat ekspirasi
atau sianosis sentral

60 90 x/ menit Tanpa Tarikan dinding dada atau Gangguan


merintih saat ekspirasi nafas ringan
atau sianosis sentral

60 90 x/ menit Dengan Sianosis sentral, tarikan Kelainan


tetapi tanpa dinding dada atau jantung
merintih kongenital
Sumber: kosim MS, suryono A, setyowireni DS dkk.1

Tabel 2. Evaluasi Gawat Nafas Dengan Skor Downes1

10
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi nafas < 60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2, walaupun diberi
penurunan ringan O2
Air entry Udah masuk Udara masuk Tidak ada udara
dapat didengar masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
6 Sesak nafas berat
Sumber : Wood DW, Downes JJ, Locks HI1

2.7. Gejala Klinis

Bayi penderita PMH biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat
badan antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu.
Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih 2500 gram dan masa
gestasi lebih 38 minggu.5
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah
lahir terutama pada umur 6-8 jam. 5,7 Gejala karakteristik mulai timbul pada
usia 24-72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau
mengalami perbaikan.5 Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang
pada akhir minggu pertama.9
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis
dan perfusi paru yang menurun.4,9 Keadaan ini akan memperlihatkan
gambaran klinis seperti:1,3,4,5,6
- Dispnea.
- Merintih saat ekspirasi (grunting).
- Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit).

11
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal)
pada saat inspirasi.
- Sianosis.

Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir dengan
gradasi yang berbeda-beda. Namun yang selalu ada ialah dispnea, sehingga
dapat kita katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas bila kita
menemukan adanya dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi paru. Pada
ventilasi paru yang normal tidak dibutuhkan frekuensi ventilasi ekstra atau
bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga kalau telah ada dispnea maka
akan terjadi takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan
sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat adanya dispne pada neonatus pada
dasarnya kita berhadapan dengan SGNN.1
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
brakikardia, hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di dorsal
tangan/kaki, hipotermia, tonus otot menurun dan terdapatnya gejala sentral.
Semua gejala tambahan ini sering ditemukan pada PMH yang berat atau
yang sudah mengalami komplikasi.9
Gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit ini dapat mencapai puncaknya
dalam waktu 3 hari, kemudian akan mulai terjadi perbaikan yang berangsur-
angsur. Kematian jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali pada bayi yang
perjalanan penyakitnya fatal.4

2.8. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat


penting dalam menentukan diagnosis yang tepat.5 Pemeriksaan ini juga
untuk menyingkirkan penyakit lain dengan gejala yang sama dengan PMH
seperti pneumothorax, hernia diafragmatika, dan lain-lain.5,7
Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya
bercak difus berupa infiltrat retrikulo granular pada parenkim disertai
adanya tabung-tabung udara bronkus (air bronchogram).3,5,6,8 Gambaran

12
retikulo granular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus
sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas.5

Gambar 3. Gambar diatas merupakan salah satu foto thorak


anteroposterior terlentang bayi baru lahir dengan PMH.9

2.9. Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksan laboratorium diantaranya


ialah pemeriksaan darah:9
- Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari
45 mg%, prognosis lebih buruk.
- Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal
dengan berat badan sama.
- Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya dioksigenasi di dalam
paru dan karena adanya pirau arteri vena.
- Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2
sebagai akibat atelektasis paru.
- PH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya asiodosis
respiratorik dan metabolik dalam tubuh.

13
Juga diperlukan pemeriksaan:7
- Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander bila
bayi jatuh dalam syok.
- Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk
trombosit, kultur darah, cairan amnion dan urin.
- Elektrolit.
- Golongan darah.
- Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi).

2.10. Diagnosis

Diagnosis klinis SGNN kita tegakkan kalau kita tegakkan kalau kita
telah menemukan sindrom sebagai berikut:3,5,7
- Dispnea.
- Merintih (grunting).
- Takipne.
- Pernafsan cuping hidung.
- Retraksi dinding toraks.
- Sianosis.
Namun bila pada bayi terdapat faktor risiko terjadinya PMH maka bila
dalam 2 kali observasi frekuensi pernafasan selalu di atas 60 per menit
dalam keadaan bayi tidak menangis maka harus dibuat foto polos. Toraks
anteriposterior untuk menegakkan diagnostik dan untuk menentukan sikap
selanjutnya.1,5
Diagnosis gangguan nafas ditegakkan secara klinis maupun dengan
analisa gas darah (blok gas analisis). Perhitungan indeks oksigenasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan
gangguan nafas harus hati-hati atau wapada karena dapat terjadi bayi dengan
gejala pernafasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan nafas.
Penilaian yang hati-hati berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang
lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat menjelaskan tentang diagnosis.

14
Penilaian secara serialtentang kesadaran, gejala respirasi, analisis gas darah
dan respon terhadap terapi.
1. Anamnesis

Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan


intrapartum dan sangat diperlukan antara lain tentang hal-hal dibawah
ini:
a. Prematuritas, sindrom gangguan nafas, sindrom aspirasi mekonium,
inspeksi, bayi lebih bulan.
b. Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, antonia,
miastenia.
c. Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital
lain
d. Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang
bulan, partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidromion,
penggunaan obat yang berlebihan.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan nafas,
berupa beberapa tanda dibawah ini:
1. Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan,
merupakan gejala yang menonjol
2. Sianosis.
3. Retraksi.
4. Tanda obstrukis saluran napas mulai dari hidung: atresia koanae,
ditandai dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui
hidung.
5. Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau kekuningan
pada tali pusat.
6. Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)

Di rumah sakit rujukan tindakan diagnostik dikerjakan untuk


mengetahui diagnosis anatomik dan fungsional pada suatu saat. Prosedur
diagnostik yang dilakukan tergantung pada keadaan penderita kemampuan
penderita dan fasilitas yang tersedia.1
Tindakan diagnostik yang disebut di bawah ini disusun menurut
prioritas berdasarkan keadaan penderita:1

15
1. Radiologi toraks.
2. Analisa gas darah.
3. Glukosa darah.
4. Elektrolit darah.
5. Darah tepi lengkap.
6. EKG.
7. USG otak.
Khusus untuk PMH suatu cara yang sederhana yang dapat
meramalkan terjadinya penyakit ini dan untuk membantu penegakkan
diagnosis adalah dengan Shake test, caranya adalah sebagai berikut:1,8
1. Ambil 0,5 ml aspirat lambung yang bersih, masukkan ke dalam tabung
reaksi.
2. Ke dalam cairan ini dituangkan 0,5 garam fisiologi.
3. Kemudian tambahkan 1 ml larutan etanol 95 %.
4. Dikocok selama 15 detik dan dibiarkan diam dalam rak dalam posisi
tegak lurus selama 15 menit.
Interpretasi:
Positif : Bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin.
Artinya surfaktan terdapat pada paru dalam jumlah yang cukup
(gelembung > 2/3 permukaan).
Negatif : Bila tidak terdapat gelembung. Artinya tidak ada surfaktan dan
kemungkinan akan terjadi PMH besar (gelembung
permukaan. Risiko PMH adalah 60 %.
Ragu : Bila terdapat gelembung tetapi tidak membentuk cincin. Artinya
waspada terhadap kemungkinan terjadinya PMH (gelembung
1/3-2/3 permukaan. Risiko PMH 20-50 %.
Deteksi dini yang lain ialah melakukan pemeriksaan rasio L/S
(Lecithin Sphingomyelin Ratio), pada air ketuban yang diperoleh dengan
amniosentesis, atau dari aspirasi trakea dan lambung. Rasio L/S kurang dari
2 biasanya berasosiasi dengan PMH (Bluck dan Kulovich, 1973). Deteksi
adanya Phosphatidyl glycerol (PG) menunjukkan kematangan paru sehingga
bila PG positif, PMH kejadiannya rendah sedang bila PG negatif
kejadiannya tinggi (Halliday dkk, 1985).1

16
2.11. Diagnosis Banding

Sebagai pemikiran diagnosis banding yang lain dapat dipikirkan hal hal
sebagai berikut:1

1. Kelainan sistem respirasi :

a. Obstruksi saluran napas atas: atresia koanae, gondok, trakheomalasia

b. Respiratory distress syndrom = penyakit membran hialin

c. Transient Tachypnea of The Newborn

d. Pneumoni

e. Sindrom aspirasi mekonium

2. Sepsis

3. Sistem kardiovaskular

4. Metabolik : keadaan yang dapat menyebabkan asidosis, gangguan


keseimbangan elektrolit, hipoglikemia

5. Sistem hemopoetik : anemia

6. SSP : asfiksia saat lahir atau depresi pernapasan

2.12. Penatalaksanaan

Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita


dalam suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu
melanjutkan perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia dapat
mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.5 Penatalaksanaan
penderita PMH tergantung dari berat ringannya penyakit, sehingga

17
penatalaksanaan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan
tindakan khusus.5 Tujuan penatalaksanaan umum ini ialah mengusahakan
agar:1
- Kebutuhan konsumsi O2 dapat diusahakan seminimal mungkin sehingga
fungsi pernafasan dapat berlangsung optimal.
- Kebutuhan makanan bayi dapat terpenuhi.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan dengan baik.
- Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu
intervensi dapat dilakukan sedini mungkin (Usha Raj, 1988).

Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai


tindakan penunjang pada penderita berat.5 Tindakan umum yang perlu
dikerjakan ialah:
1.
Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan
meletakan bayi dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat
(70-80 %).1,9
2.
Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan
intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun
pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup,
menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan
pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan
asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan
terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hr.
Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40
kkal/KgBB/hr) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi.5
Tindakan khusus meliputi:
1. Pemberian O2
Setiap penderita SGN hampir selalu membutuhkan O2 tambahan.
Pemberian O2 ini perlu dilakukan secara hati-hati, karena O2 punya
pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir.5

18
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi
retrolental) dan lain-lain. Untuk mencegah komplikasi ini, pemberian
O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2)
secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup
untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai
gejala sianosis hilang.9 Untuk mencapai tekanan, O2 ini kadang-kadang
diperlukan konsentrasi O2 sampai 100%. Konsentrasi demikian
biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup dan
tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter
hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang
diperlukan ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator.1
Tindakan ini dilakukan apabila bayi yang telah mendapatkan O 2 dengan
konsentrasi 100% masih memperlihatkan PaO 2 kurang dari 40 mmHg,
PCO2 >70 mmHg, PH darah < 7,2 atau masih adanya serangan apneu
berulang.5 Dasar ventilasi mekanis adalah mengusahakan agar O2 yang
diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh. Beberapa cara
pemberian ventilasi mekanis ini adalah:5
a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan (Constant
Positive Airway Pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan
memberikan tekanan positif terhadap udara yang masuk atau
mengadakan tekanan negatif yang konstan terhadap dinding toraks.
Pemberian secara ini akan mengurangi terjadinya atelektasis
alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.
b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten
(Intermittent Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara
ini keseimbangan pertukaran gas tubuh dapat diatur.
c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan
bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik,
intermittent negative pressure ventilation, dan lain-lain.

19
2. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita perlu mendapat antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit. 9
Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai
gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang
dipilih adalah yang mempunyai spektrum luas.(5) Antibiotik yang biasa
diberikan adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau
ampicillin (100 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr.(9)
Bila pemeriksaan kultur tidak memungkinkan, antibiotik dapat
diberikan 5-7 hari. Antibiotik yang dipilih bisa juga kombinasi
ampisilin/sefalosporin dengan aminoglikosid/kemisitin.1

3. Pemberian NaHCO2
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera
diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.9
Pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh harus diperiksa secara
teratur agar NaHCO3 dapat disesuaikan dengan rumus:5,9

Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)

Konsentrasi NaHCO3 yang diberikan biasanya antara 7,5-8,4 % dan


kebutuhan yang diperlukan sebagian dapat diberikan langsung intravena
dan sisanya diberikan secara tetesan.5 Tujuan pemberian NaHCO3
adalah untuk mempertahankan PH darah antara 7,35-7,45. Bila fasilitas
untuk pemeriksaan keseimbangan asam basa tidak ada, NaHCO 3 dapat
diberikan dengan tetesan. Cairan yang digunakan berupa campuran
larutan glukosa 5-10 % dengan NaHCO 3 1,5 % dalam perbandingan.
4:1. Pada asidosis yang berat penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup
adekuat.9

4. Pemberian Surfaktan Buatan

20
Penemuan surfaktan buatan untuk terapi SGN termasuk salah satu
kemajuan di bidang kedokteran. Dengan demikian dapat mengurangi
kebutuhan tekanan tinggi dari ventilator dan konsentrasi O 2 yang
tinggi.7 Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoil fosfatidilkolin
dan fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7:3 telah dapat mengobati
penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial
sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea
penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang
berasal dari cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke
dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini
masih dalam taraf penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan
baru.5

2.13. Pencegahan

Usaha pokok penanganan SGN ini harus dipusatkan pada usaha


pencegahan.6 Yang paling penting adalah mencegah terjadinya prematuritas,
termasuk menghindari faktor risiko untuk terjadinya PMH.1
Pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya:8,9,10
1. Mencegah kelahiran prematur.
2. Mencegah kelahiran bayi dengan IUGR (Intra Growth Retardation).
3. Antenatal ultrasound untuk lebih dapat menentukan gestasi secara akurat
dan mendeteksi keadaan fetus.
4. Fetal monitoring yang berkelanjutan untuk mendeteksi keadaan fetus
dan mengetahui perlunya intervensi segera bila terjadi fetal distress.
5. Menentukan pematangan paru sebelum persalinan dengan pemeriksaan
L/S rasio.
6. Pengendalian kadar gula ibu hamil yang menderita DM.
7. Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
8. Menghindari SC yang sebenarnya tidak diperlukan.
9. Prevensi dan intervensi persalinan prematur dengan tokolitik dan
glukokortikoid untuk merangsang pematangan paru.

21
Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil 48-72 jam sebelum
persalinan dengan janin masa gestasi 34 minggu menurunkan insidens dan
mortalitas akibat PMH.7,8 Dengan demikian layak memberikan 1-2 dosis
betametason atau deksametason secara IM kepada wanita hamil yang
lesitinnya dalam cairan ketuban memberi petunjuk adanya imaturitas paru
janin dan yang kemungkinan besar akan melahirkan bayi antara 48-72 jam
atau yang persalinannya dapat ditunda selama 48 jam atau lebih.4
Di samping kortikosteroid telah banyak dilaporkan beberapa obat yang
dinyatakan dapat merangsang maturitas paru. Salah satu obat yang dianggap
lebih baik dari kortikosteroid adalah ambroxol. Pemberian sebanyak 1000
mg/hr selama 5 hari berturut-turut pada persalinan prematur yang
mempunyai risiko menderita PMH, dapat menurunkan angka kematian bayi.
Selanjutnya terdapat obat lain seperti aminofilin, tiroksin, isoxsuprine, dan
lain-lain.5

2.14. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat SGN adalah:


1.
Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf
pusat terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi
yang kadang-kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka
nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah
periventrikular dan dapat juga di ganglia bavalis dan jaringan otak
lainnya.5
2.
Pada intubasi trakea bisa terjadi asfiksasi akibat obstruksi pipa,
penghentian jantung (cardiac arrest) selama intubasi atau penyedotan dan
timbulnya stenosis subglotis di kemudian hari.4
3.
Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apreu,
gerakan bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang
neonatus lainnya.3
4.
Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul
pada bayi yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2
dengan tekanan yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan

22
pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-
ronga toraks atau rongga mediastinum.5
5.
Pada PMH yang berat sering ditemukan koagulasi intravaskular
diseminata. Beberapa penderita juga memperlihatkan gangguan faktor
koagulasi (PT dan PTT memanjang) dan trombositopenia yang
merupakan ciri karakteristik penyakit tersebut. Komplikasi ini terutama
ditemukan pada penderita PMH yang disertai dengan sepsis oleh kuman
gram negatif atau didahului oleh asfiksia berat.5
6.
Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan
keadaan payah jantung yang sulit untuk ditanggulangi.5

2.15. Prognosis

Prognosis SGN tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya


penyakit.9 Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari
ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. 5 Pada
penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40 %.5,9 Dengan perawatan
yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. 5
Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul
dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan yang
diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri.5 Pada fungsi paru yang
normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya
sangat baik.4

23
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya PMH adalah keadaan dimana
terdapat kumpulan gejala yang terdiri atas Dispne, merintih (grunting), takipne,
pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan sianosis. Faktor risiko
utama OMH adalah prematuritas.
PMH masih merupakan salah satu faktor yang memegang peranan dalam
tingginya angka kematian perinatal. Teori terjadinya PMH yang paling banyak
diterima adalah karena kurangnya surfaktan pada paru. Pemeriksaan foto rontgen
paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan diagnosis yang
tepat. Cara sederhana yang dapat meramalkan terjadinya penyakit ini dan untuk
membantu penegakkan diagnosis adalah: shake test, pemeriksaan rasio L/S
(lechitin/spingomelin ratio) dan deteksi adanya phosphatidyl glycerol.
Penatalaksanaan PMH terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus.
Tindakan umum meliputi pemberian lingkungan yang optimal dan pemberian diet.
Sementara tindakan khusus meliputi pemberian O2, antibiotika, NaHCO3, dan
surfaktan buatan. Pencegahan yang paling penting adalah menghindari terjadinya
prematuritas termasuk menghindari faktor risiko terjadinya PMH.
Komplikasi PMH dapat disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau akibat efek
samping dari pengobatan/penatalaksanaan PMH. Prognosis PMH tergantung dari
tingkat prematuritas dan berat ringannya penyakit.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim soleh. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Yunanto ari,
Dewi rizalya, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: badan penerbit IDAI,
2010: 126-46.

2. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah, Sindrom Gawat Nafas Pada
Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta,
1991, hal. 1-7. 55. 65-66.

3. Pincus Catzel & Lan Roberts, Kapita Selekta Pediatri, Edisi II, Editor, Dr.
Petrus Andrianto, EGC, Jakarta, 1991, hal. 45-46.

4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.

5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.

6. Klaus & Fanaroff, Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, Edisi 4, Editor :


Achmad Surjono, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289.

7. Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium


Gawat Darurat Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI,
Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal. 151-153.

8. Arif Masjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media


Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, hal. 507-508.

9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I,
Editor : Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985,
hal 203

10. Tobing,ramona. Sindrom gawat nafas pada neonatus. Di unduh dari :


http://saripediatri.idai.or.id//abstrak.asp?q=274 februari 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai