PENDAHULUAN
1
I.2. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Sindrom gawat nafas adalah suatu keadaan dimana alveoli pada paru-
paru bayi tidak dapat tetap terbuka karena tingginya tegangan permukaan
akibat kekurangan surfaktan, dimana terdapat kumpulan gejala yang terdiri
atas dispnea, sianosis, takipnea, penggunaan otot-otot bantu nafas dan
adanya merintih.1
3
5. Cacad bawaan.
6. Frekuensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.
1. Aspirasi mekonium
Aspirasi mekonium merupakan terhisapnya cairan amnion yang
tercemar mekonium kedalam paru pada bayi yang mengalami stres
intrauterin, yang dapat terjadi pada saat intrauterin dan sewaktu
persalinan. Adanya cairan mekonium dalam mulut atau saluran nafas
atas maupun bawah.
Cairan ini dapat menjadi hambatan bagi saluran nafas bagian atas
(obstruksi) dan jika cairan ini telah sampai disaluran nafas bawah atau
jaringan paru, cairan yang berisi mekonium ini akan menginfeksi
jaringan paru tersebut atau bronkioli yang akan membuat reaksi radang
sehingga terjadi hambatan bagi saluran nafas bagian bawah (infeksi).
Kehadiran mekonium dalam cairan ketuban menyebabkan sindrom
aspirasi mekonium (MAS) tetapi tidak semua neonatus dengan
mekonium yang mengandung ketuban berkembang menjadi aspirasi
mekonium. Kehadiran mekonium yang mengandung partikel kental
dalam cairan amnion meningkatkan kemungkinan aspirasi pranatal.
Pembersihan mekonium dari jalan nafas sebelum nafas pertama dan
penggunaan tekanan ventilasi positif (PPV) sebelum membersihkan
saluran nafas meningkat kemungkinan mekonium berkembang menjadi
sindrom aspirasi mekonium pada neonatus.
Manifestasi klinis dari aspirasi mekonium adalah:
a. Takipneu
b. Aspirasi yang memanjang
c. Sianosis
d. Retraksi intercosta
e. Barrel chest
f. Adanya ronhki pada auskultasi
g. Kuku, tali pusat dan kulit yang berwarna kuning kehijauan
4
Dalam menegakkan diagnosa dari aspirasi mekonium yaitu:
a. Anamnesis: adanya faktor resiko
b. Cairan amnion tercemar mekonium
c. Gawat janin
d. Bayi mengalami asfiksia dan setelah lahir menunjukkan sindrom
gawat nafas
e. Biasanya disertai dengan bayi yang lewat bulan
f. Analisa gas darah: asidosis metabolik, asidosis respiratorik,
hipoksemia dan hiperkapnia
g. Foto thorak: hiperinflasi, atelektasis, pneumonia
5
kelahiran nafas lebih dari >60x/menit. Dalam menegakkan diagnosis
pada TTN dapat kita lihat pada pemeriksaan radiologi yaitu:3
1. Hiperekpansi paru, khas pada TTN
2. Garis prominent di perihiler
3. Pembesaran jantung ringan hingga sedang
4. Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral
5. Cairan difisura minor dan perlahan akan terdapat diruang pleura
6. Temuan karakteristik termasuk perihiler menonjol
7. Terdapat sedikit efusi pleura
8. Gambaran infiltrat yang halus pada kedua lapang paru secara
homogen dan tersebar merata
2.4. Patofisiologi
Sampai saat ini teori terjadinya SGNN yang paling banyak diterima
ialah karena kurangnya surfaktan pada paru.6,7,8 Surfaktan diproduksi oleh
sel epitel saluran nafas yang disebut pneumocyt tipe II.7 Unsur surfaktan
yang terpenting adalah dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol,
dua apoprotein dan kolesterol.4 Bahan-bahan aktif tersebut memegang
peranan utama dalam stabilisasi pertukaran udara perifer dan berfungsi
sebagai faktor antiatelektasis yang menolong pengendalian ekspansi
alveolus pada tekanan fisiologik, yaitu dengan merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa
udara fungsional pada akhir ekspirasi.7
Pneumocyt tipe II ini mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan
mulai mengeluarkan surface active lipids pada gestasi 24-26 minggu dan
mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Sel ini sangat peka dan
berkurang dalam jumlah pada keadaan asfiksia selama masa perinatal.
Kematangan sel ini terpengaruh oleh adanya keadaan fetal hiperinsulinemia,
stress intra uteri yang kronik, seperti hipertensi pada kehamilan, IUGR
(Intra Uterine Growth Retardation) dan kehamilan kembar.7
6
Perubahan atau tidak adanya surfaktan pulmonal akan menyebabkan
serangkaian peristiwa yang ditunjukkan pada gambar berikut ini:6
SURFAKTAN
METABOLISME
COMPLIANCE
PARU
PARU
2.5. Patogenesis
7
berikutnya dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan
alveolus yang mengalami kolaps.5 Dan pada setiap ekspirasi terjadinya
atelektasis menjadi bertambah.7 Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO 2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) Oksigeniasi jaringan menurun, sehingga
akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan
asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada
bayi. (2) Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.9
Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis PMH dapat
4
diterangkan dari gambar berikut ini:
Prematuritas
Seksi-C Predisposisi familail
Asfiksia intrapartum Asidosis
Surfaktan
yang menurun
Gangguan Atelektasis
Metabolisme sel progresif
Hipoperfusi Hipoventilasi
alveolar
Takipnea sementara
Asfiksia neonatal
Penyempitan pembuluh pCO2, pO2, pH
Hipotermia
Darah paru Apnea
Syok
hipotensi
Hipovolemia
8
Defisiensi sintesis atau pengeluaran surfaktan, bersama-sama dengan
unit pernafasan yang kecil dan dinding rongga dada yang lunak,
mengakibatkan atelektasis, frekuensi pernafasan meningkat, compliance
paru berkurang, kerja pernafasan semakin meningkat dan akhirnya ventilasi
alveolar tidak mencukupi. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya
hiperkarbia, hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan terjadinya
penyempitan pembuluh darah paru4. Vasokonstriksi pembuluh darah paru
yang disebabkan oleh hipoksia menyebabkan terjadinya peninggian tahanan
ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.5 Terjadinya hipoperfusi
alveolar akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah paru akan menyebabkan
terganggunya metabolisme sel-sel paru dan pada akhirnya akan menurunkan
produksi surfaktan.6
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi
penurunan aliran darah paru hambatan pembentukan substansi surfaktan
atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan
atau kematian bayi.9
2.6. Klasifikasi
Secara rinci dapat dilihat pada tabel klasifikasi lain dapat menggunakan
skor Downes seperti pada tabel dibawah.
9
Tabel 1. Klasifikasi gangguan nafas1
Frekuensi nafas Gejala tambahan Klasifikasi
gangguan nafas
>60 x/ menit Dengan Sianosis sentral dan Gangguan
tarikan dinding dada atau nafas berat
merintih saat ekspirasi
Sianosis sentral atau
Atau >90 x/ menit Dengan tarikan diding dada atau
merintih saat ekspirasi
Atau < 30x/ menit Dengan atau Gejala lain dari gangguan
tanpa nafas
10
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi nafas < 60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2, walaupun diberi
penurunan ringan O2
Air entry Udah masuk Udara masuk Tidak ada udara
dapat didengar masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
6 Sesak nafas berat
Sumber : Wood DW, Downes JJ, Locks HI1
Bayi penderita PMH biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat
badan antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu.
Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih 2500 gram dan masa
gestasi lebih 38 minggu.5
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah
lahir terutama pada umur 6-8 jam. 5,7 Gejala karakteristik mulai timbul pada
usia 24-72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau
mengalami perbaikan.5 Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang
pada akhir minggu pertama.9
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis
dan perfusi paru yang menurun.4,9 Keadaan ini akan memperlihatkan
gambaran klinis seperti:1,3,4,5,6
- Dispnea.
- Merintih saat ekspirasi (grunting).
- Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit).
11
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal)
pada saat inspirasi.
- Sianosis.
Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir dengan
gradasi yang berbeda-beda. Namun yang selalu ada ialah dispnea, sehingga
dapat kita katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas bila kita
menemukan adanya dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi paru. Pada
ventilasi paru yang normal tidak dibutuhkan frekuensi ventilasi ekstra atau
bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga kalau telah ada dispnea maka
akan terjadi takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan
sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat adanya dispne pada neonatus pada
dasarnya kita berhadapan dengan SGNN.1
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
brakikardia, hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di dorsal
tangan/kaki, hipotermia, tonus otot menurun dan terdapatnya gejala sentral.
Semua gejala tambahan ini sering ditemukan pada PMH yang berat atau
yang sudah mengalami komplikasi.9
Gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit ini dapat mencapai puncaknya
dalam waktu 3 hari, kemudian akan mulai terjadi perbaikan yang berangsur-
angsur. Kematian jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali pada bayi yang
perjalanan penyakitnya fatal.4
12
retikulo granular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus
sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas.5
13
Juga diperlukan pemeriksaan:7
- Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander bila
bayi jatuh dalam syok.
- Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk
trombosit, kultur darah, cairan amnion dan urin.
- Elektrolit.
- Golongan darah.
- Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi).
2.10. Diagnosis
Diagnosis klinis SGNN kita tegakkan kalau kita tegakkan kalau kita
telah menemukan sindrom sebagai berikut:3,5,7
- Dispnea.
- Merintih (grunting).
- Takipne.
- Pernafsan cuping hidung.
- Retraksi dinding toraks.
- Sianosis.
Namun bila pada bayi terdapat faktor risiko terjadinya PMH maka bila
dalam 2 kali observasi frekuensi pernafasan selalu di atas 60 per menit
dalam keadaan bayi tidak menangis maka harus dibuat foto polos. Toraks
anteriposterior untuk menegakkan diagnostik dan untuk menentukan sikap
selanjutnya.1,5
Diagnosis gangguan nafas ditegakkan secara klinis maupun dengan
analisa gas darah (blok gas analisis). Perhitungan indeks oksigenasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan
gangguan nafas harus hati-hati atau wapada karena dapat terjadi bayi dengan
gejala pernafasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan nafas.
Penilaian yang hati-hati berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang
lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat menjelaskan tentang diagnosis.
14
Penilaian secara serialtentang kesadaran, gejala respirasi, analisis gas darah
dan respon terhadap terapi.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan nafas,
berupa beberapa tanda dibawah ini:
1. Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan,
merupakan gejala yang menonjol
2. Sianosis.
3. Retraksi.
4. Tanda obstrukis saluran napas mulai dari hidung: atresia koanae,
ditandai dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui
hidung.
5. Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau kekuningan
pada tali pusat.
6. Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)
15
1. Radiologi toraks.
2. Analisa gas darah.
3. Glukosa darah.
4. Elektrolit darah.
5. Darah tepi lengkap.
6. EKG.
7. USG otak.
Khusus untuk PMH suatu cara yang sederhana yang dapat
meramalkan terjadinya penyakit ini dan untuk membantu penegakkan
diagnosis adalah dengan Shake test, caranya adalah sebagai berikut:1,8
1. Ambil 0,5 ml aspirat lambung yang bersih, masukkan ke dalam tabung
reaksi.
2. Ke dalam cairan ini dituangkan 0,5 garam fisiologi.
3. Kemudian tambahkan 1 ml larutan etanol 95 %.
4. Dikocok selama 15 detik dan dibiarkan diam dalam rak dalam posisi
tegak lurus selama 15 menit.
Interpretasi:
Positif : Bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin.
Artinya surfaktan terdapat pada paru dalam jumlah yang cukup
(gelembung > 2/3 permukaan).
Negatif : Bila tidak terdapat gelembung. Artinya tidak ada surfaktan dan
kemungkinan akan terjadi PMH besar (gelembung
permukaan. Risiko PMH adalah 60 %.
Ragu : Bila terdapat gelembung tetapi tidak membentuk cincin. Artinya
waspada terhadap kemungkinan terjadinya PMH (gelembung
1/3-2/3 permukaan. Risiko PMH 20-50 %.
Deteksi dini yang lain ialah melakukan pemeriksaan rasio L/S
(Lecithin Sphingomyelin Ratio), pada air ketuban yang diperoleh dengan
amniosentesis, atau dari aspirasi trakea dan lambung. Rasio L/S kurang dari
2 biasanya berasosiasi dengan PMH (Bluck dan Kulovich, 1973). Deteksi
adanya Phosphatidyl glycerol (PG) menunjukkan kematangan paru sehingga
bila PG positif, PMH kejadiannya rendah sedang bila PG negatif
kejadiannya tinggi (Halliday dkk, 1985).1
16
2.11. Diagnosis Banding
Sebagai pemikiran diagnosis banding yang lain dapat dipikirkan hal hal
sebagai berikut:1
d. Pneumoni
2. Sepsis
3. Sistem kardiovaskular
2.12. Penatalaksanaan
17
penatalaksanaan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan
tindakan khusus.5 Tujuan penatalaksanaan umum ini ialah mengusahakan
agar:1
- Kebutuhan konsumsi O2 dapat diusahakan seminimal mungkin sehingga
fungsi pernafasan dapat berlangsung optimal.
- Kebutuhan makanan bayi dapat terpenuhi.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan dengan baik.
- Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu
intervensi dapat dilakukan sedini mungkin (Usha Raj, 1988).
18
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi
retrolental) dan lain-lain. Untuk mencegah komplikasi ini, pemberian
O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2)
secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup
untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai
gejala sianosis hilang.9 Untuk mencapai tekanan, O2 ini kadang-kadang
diperlukan konsentrasi O2 sampai 100%. Konsentrasi demikian
biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup dan
tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter
hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang
diperlukan ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator.1
Tindakan ini dilakukan apabila bayi yang telah mendapatkan O 2 dengan
konsentrasi 100% masih memperlihatkan PaO 2 kurang dari 40 mmHg,
PCO2 >70 mmHg, PH darah < 7,2 atau masih adanya serangan apneu
berulang.5 Dasar ventilasi mekanis adalah mengusahakan agar O2 yang
diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh. Beberapa cara
pemberian ventilasi mekanis ini adalah:5
a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan (Constant
Positive Airway Pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan
memberikan tekanan positif terhadap udara yang masuk atau
mengadakan tekanan negatif yang konstan terhadap dinding toraks.
Pemberian secara ini akan mengurangi terjadinya atelektasis
alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.
b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten
(Intermittent Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara
ini keseimbangan pertukaran gas tubuh dapat diatur.
c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan
bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik,
intermittent negative pressure ventilation, dan lain-lain.
19
2. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita perlu mendapat antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit. 9
Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai
gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang
dipilih adalah yang mempunyai spektrum luas.(5) Antibiotik yang biasa
diberikan adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau
ampicillin (100 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr.(9)
Bila pemeriksaan kultur tidak memungkinkan, antibiotik dapat
diberikan 5-7 hari. Antibiotik yang dipilih bisa juga kombinasi
ampisilin/sefalosporin dengan aminoglikosid/kemisitin.1
3. Pemberian NaHCO2
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera
diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.9
Pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh harus diperiksa secara
teratur agar NaHCO3 dapat disesuaikan dengan rumus:5,9
20
Penemuan surfaktan buatan untuk terapi SGN termasuk salah satu
kemajuan di bidang kedokteran. Dengan demikian dapat mengurangi
kebutuhan tekanan tinggi dari ventilator dan konsentrasi O 2 yang
tinggi.7 Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoil fosfatidilkolin
dan fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7:3 telah dapat mengobati
penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial
sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea
penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang
berasal dari cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke
dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini
masih dalam taraf penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan
baru.5
2.13. Pencegahan
21
Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil 48-72 jam sebelum
persalinan dengan janin masa gestasi 34 minggu menurunkan insidens dan
mortalitas akibat PMH.7,8 Dengan demikian layak memberikan 1-2 dosis
betametason atau deksametason secara IM kepada wanita hamil yang
lesitinnya dalam cairan ketuban memberi petunjuk adanya imaturitas paru
janin dan yang kemungkinan besar akan melahirkan bayi antara 48-72 jam
atau yang persalinannya dapat ditunda selama 48 jam atau lebih.4
Di samping kortikosteroid telah banyak dilaporkan beberapa obat yang
dinyatakan dapat merangsang maturitas paru. Salah satu obat yang dianggap
lebih baik dari kortikosteroid adalah ambroxol. Pemberian sebanyak 1000
mg/hr selama 5 hari berturut-turut pada persalinan prematur yang
mempunyai risiko menderita PMH, dapat menurunkan angka kematian bayi.
Selanjutnya terdapat obat lain seperti aminofilin, tiroksin, isoxsuprine, dan
lain-lain.5
2.14. Komplikasi
22
pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-
ronga toraks atau rongga mediastinum.5
5.
Pada PMH yang berat sering ditemukan koagulasi intravaskular
diseminata. Beberapa penderita juga memperlihatkan gangguan faktor
koagulasi (PT dan PTT memanjang) dan trombositopenia yang
merupakan ciri karakteristik penyakit tersebut. Komplikasi ini terutama
ditemukan pada penderita PMH yang disertai dengan sepsis oleh kuman
gram negatif atau didahului oleh asfiksia berat.5
6.
Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan
keadaan payah jantung yang sulit untuk ditanggulangi.5
2.15. Prognosis
23
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya PMH adalah keadaan dimana
terdapat kumpulan gejala yang terdiri atas Dispne, merintih (grunting), takipne,
pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan sianosis. Faktor risiko
utama OMH adalah prematuritas.
PMH masih merupakan salah satu faktor yang memegang peranan dalam
tingginya angka kematian perinatal. Teori terjadinya PMH yang paling banyak
diterima adalah karena kurangnya surfaktan pada paru. Pemeriksaan foto rontgen
paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan diagnosis yang
tepat. Cara sederhana yang dapat meramalkan terjadinya penyakit ini dan untuk
membantu penegakkan diagnosis adalah: shake test, pemeriksaan rasio L/S
(lechitin/spingomelin ratio) dan deteksi adanya phosphatidyl glycerol.
Penatalaksanaan PMH terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus.
Tindakan umum meliputi pemberian lingkungan yang optimal dan pemberian diet.
Sementara tindakan khusus meliputi pemberian O2, antibiotika, NaHCO3, dan
surfaktan buatan. Pencegahan yang paling penting adalah menghindari terjadinya
prematuritas termasuk menghindari faktor risiko terjadinya PMH.
Komplikasi PMH dapat disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau akibat efek
samping dari pengobatan/penatalaksanaan PMH. Prognosis PMH tergantung dari
tingkat prematuritas dan berat ringannya penyakit.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim soleh. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Yunanto ari,
Dewi rizalya, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: badan penerbit IDAI,
2010: 126-46.
2. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah, Sindrom Gawat Nafas Pada
Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta,
1991, hal. 1-7. 55. 65-66.
3. Pincus Catzel & Lan Roberts, Kapita Selekta Pediatri, Edisi II, Editor, Dr.
Petrus Andrianto, EGC, Jakarta, 1991, hal. 45-46.
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.
5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I,
Editor : Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985,
hal 203
25