Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior

Pada Bagian/SMF Jantung dan Pembuluh Darah

Fakultas Kedokteran USK/RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :

KHALILULLAH

2207501010068

Pembimbing:

dr. Adi Purnawarman, Sp.JP(K)-FIHA, FAsCC

BAGIAN/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................... 3
2.1 Identitas Pasien ............................................................................................... 3
2.2 Anamnesis ...................................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 6
2.5 Diagnosis ...................................................................................................... 10
2.6 Tatalaksana ................................................................................................... 10
2.7 Planning........................................................................................................ 11
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................... 12
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 18
4.1 Definisi ................................................................................................... 18
4.2 Etiologi ................................................................................................... 18
4.3 Patofisiologi ........................................................................................... 19
4.4 Klasifikasi............................................................................................... 20
4.5 Diagnosis ................................................................................................ 21
4.6 Tata Laksana........................................................................................... 21
4.7 Komplikasi dan Prognosis ...................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 28

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“ST Segment Elevation Myocardial Infarction”. Shalawat beriring salam penulis
sanjungkan kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
manusia ke zaman yang berpendidikan dan terang benderang.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Adi Purnawarman, Sp.JP(K)-FIHA, FAsCC, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan
terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 26 Februari 2023

Penulis

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Infark miokard akut adalah salah satu penyebab utama kematian di negara
maju. Prevalensi penyakit mendekati tiga juta orang di seluruh dunia, dengan lebih
dari satu juta kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya.[1] Sepertiga kasus
kematian di dunia disebabkan penyakit kardiovaskular, di mana 7.5 juta kasus per
tahun diakibatkan penyakit jantung iskemik seperti SKA.[2] Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, angka prevalensi penyakit jantung di
Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis pada penduduk seluruh usia menurut
provinsi adalah 1.5%. Provinsi Aceh sendiri berada pada urutan ke-8 dengan angka
prevalensi 1.7%.[3]
SKA disebabkan oleh aterosklerosis, yaitu proses terbentuknya plak yang
berdampak pada intima dari arteri, yang membentuk thrombus sehingga membuat
lumen menyempit dan mengganggu suplai darah yang pada akhirnya dapat
menurunkan kekuatan kontraksi otot jantung. Jika thrombus pecah sebelum
terjadinya nekrosis total jaringan distal, maka terjadilah infark pada miokardium.
Pasien dengan SKA umumnya datang dengan keluhan nyeri dada baik
tipikal maupun atipikal. Gambaran EKG pasien dengan SKA sangat bervariasi
seperti gambaran normal, Left Bundle Branch Block (LBBB), elevasi segmen ST,
depresi segmen ST, dan inversi gelombang T. Temuan pada EKG sangat penting
untuk membedakan Non-ST Segment Elevation ACS (NSTE-ACS) dan ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI). STEMI merupakan indikator
oklusi total pembuluh darah arteri koroner, yang memerlukan tindakan
revaskularisasi dan reperfusi miokard secepatnya.[4] Untuk memudahkan keputusan
strategi tatalaksanaseperti tatalaksana reperfusi, infark miokard dibagi menjadi dua
yakni infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dan infark
miokard akut non elevasi segmen ST (IMA-NEST).
SKA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis sesegera
mungkin berupa terapi reperfusi tanpa menunggu hasil pemeriksaan biomarka
jantung.[4] Terapi terbaik dalam menatalaksana pasien dengan oklusi total arteri
koroner pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam adalah terapi reperfusi

1
yakni dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau melalui terapi
fibrinolitik. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan
terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing
chest pain).[5]
Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan STEMI yang merupakan kondisi
darurat dan memerlukan tatalaksana segera. Oleh karena itu, laporan kasus ini
membahas manajemen STEMI berdasarkan sebuah kasus yang ditemukan di
lapangan.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. SA
No.CM : 1-33-24-97
Tanggal Lahir : 31-12-1964
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Dusun Hilir, Manggis Harapan, Labuhan Haji, Aceh
Selatan
Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2022
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :Nyeri dada
Keluhan Tambahan : Sesak napas
2.2.1 Riwayat Penyaki Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam SMRS, terjadi
secara tiba-tiba saat pasien sedang istirahat. Nyeri dada seperti ditimpa
benda berat dan menjalar ke lengan kiri yang berlangsung lebih dari 20
menit. Keluhan pasien juga disertai keluarnya keringat dingin, kepala
berputar, rasa mual, dan mintah 1 kali. Sesak Napas dijumpai pada pasien.
Selama ini pasien mengeluhkan lebih cepat lelah menjalani aktivitas
daripada sebelumnya. Pasien seorang perokok ± 25 tahun, merokok 1
bungkus per hari. Riwayat pengangkutan ginjal pada tahun 2022
2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi ± 10 tahun yang lalu
2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus
2.2.4 Riwayat Penggunaan Obat
Amlodipine 1x10mg

3
Candesartan 1x8mg
2.2.5 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien adalah seorang PNS. Kegiatan sehari – hari pasien adalah
bekerja kantoran. Sejak 1 bulan SMRS pasien merasa mudah lelah dan sesak
saat bekerja sehinggal 2 minggu SMRS pasien sudah mengurangi aktivitas
berat. Pasien merokok 1 bungkus per hari. Pasien minum kopi ± 3 gelas per
hari. Suka makan makanan bersantan dan berminyak. Pasien jarang
melakukan olahraga

2.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital (26 Februari 2023)

Keadaan umum : Sakit Berat


Kesadaran :Compos Mentis
Tekanan Darah :158/89 mmHg
Nadi :108 x/i, irreguler
Pernapasan : 24 x/i, reguler

Suhu : 36,8 °C

SpO2 : 98 % (NK 4 LPM)

Status Generalisata

a. Kepala dan Leher

Ukuran : Normocephali

Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, deformitas (-), edema (-)


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulatisokor 3mm/3mm, RCL (+/+), dan
RCTL (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), massa (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-)

Mulut : Bibir dan mukosa bibir tidak sianosis

4
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), peningkatan
TVJ(-) ±2cmH2O
Aksila : Pembesaran KGB tidak dijumpai
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat.
b. Thorax
Paru Depan Belakang
Statis dan dinamis: Simetris, Statis dan dinamis: Simetris,
Inspeksi
normochest, retraksi (-) normochest, retraksi (-)

Palpasi Nyeri (+), SF kanan = SFkiri Nyeri (+), SF kanan = SFkiri

Perkusi Redup (+/+) Redup (+/+)

Vesikuler menurun (+/+), Vesikuler menurun (+/+),


Auskultasi
ronki (+/+),wheezing (-/-) ronki (+/+),wheezing (-/-)

c. Jantung

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Pulsasi kordis teraba pada ICS V linea axillaris


anteriorsinistra, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung

- Atas : ICS II linea midclavicularis sinistra

- Kanan : ICS V linea parasternal dextra

- Kiri : ICS V linea midaxillaris sinistra

Auskultasi : S1 > S2 pada apeks jantung, murmur (-), gallop(-).

d. Abdomen

Inspeksi : Simetris, Soepel (+), jejas (-)

Palpasi : Soepel (+), Nyeri tekan (-), Hepar/Lien/Renal tidak


teraba

Perkusi : Timpani(+), Shifting dullness (-), Undulasi (-)


Auskultasi : Peristaltik usus dalam batas normal

5
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan

e. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis (-) (-) (-) (-)
Edema (-) (-) (-) (-)
Clubbing
(-) (-) (-) (-)
finger
Pucat (-) (-) (-) (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Elektrokardiografi

Gambar 2.1. Hasil Pemeriksaan EKG pasien pada hari pertama di IGD
Interpretasi EKG (22/02/2023)
1. Irama :Sinus
2. Rate : 58 bpm
3. Aksis : Normoaxis
4. Gelombang P : 0.08s
5. Interval PR : 0.12s
6. QRS : 0.08s

6
7. Q Patologis :tidak ada
8. Segmen ST : ST Elevasi di (V1,V2,V3,V4,dan V5)
9. T inverted : tidak ada
10. LVH : tidak ada
11. RVH : Tidak ada
12. LAE : tidak ada
13. RAE : tidak ada
14. Kesan : Irama Sinus, 58bpm (bradikardia),
Normoaxis, STEMI anterior ekstensif infark miokardia , tidak ada
hipertropi

Gambar 2.2. Hasil Pemeriksaan EKG pasien pada hari pertama di IGD
Interpretasi EKG (23/02/2023)
1. Irama :Sinus
2. Rate : 69 bpm
3. Aksis : Normoaxis
4. Gelombang P : 0.12s
5. Interval PR : 0.08s
6. QRS : 0.08s
7. Q Patologis : QS Patern di V1, V2, V3, dan V3
8. Segmen ST : ST elevasi di V1, V2, V3, V4 dan V5
9. T inverted : di V1, V2, V3, V4, V5, V6
10. LVH : tidak ada

7
11. RVH : tidak ada
12. LAE : tidak ada
13. RAE : tidak ada
14. Kesan : Irama Sinus, 69 bpm (bradikardia),
Normoaxis, infark miokardia , tidak ada hipertropi
2.4.2 Laboratorium

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


(22/02/23)
Hematologi
Hemoglobin 15.9 14-17 g/dL
Hematokrit 47 45-55 %
Eritrosit 5,5 4,7-6,1 106/mm3
Leukosit 15,34 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 358 150-450 103/mm3
MCV 86 80-100 fL
MCH 29 27-31 pg
MCHC 34 32-36 %
RDW 14,1 11,5-14,5%
MPV 10,1 7,2-11,1 fL
PDW 11,9 fL
Eosinofil 1 0-6%
Basofil 1 0-2%
Netrofil batang 0 2-6%
Netrofil segmen 51 50-70%
Limfosit 40 20-40%
Monosit 7
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
GDS 111 <200 mg/dL
Ureum 39 13 – 43 mg/dL
Kreatinin 1.80 ).67 – 1.17 mg/dL
Troponin T <0.04 <0.1 ng/mL

8
Natrium (Na) 139 132 – 146 mmol/mL
Kalium (K) 3.80 3.7 – 5.4 mmol/mL
Klorida (Cl) 119 98 – 106 mmol/mL
PT
Pasien (PT) 13.90 11.50 – 15.50 detik
Kontrol 14.1
INR 0.98 <1.5
APTT
Pasien 32.80 26.00 – 37.00 detik
Kontrol 32.1

2.4.3 Primary PCI

2.4.4 Foto Thorak


Tanggal Pemeriksaan 22/02/2023

9
Kesimpulan: hilus menebal dengan infiltrate suspek edem paru,
kardiomegali

2.5 Diagnosis
1. Acute STEMI anterior ekstensif onset 3 jam Killip I TIMI 4/14 65
103 pada CAD 1VD post PCI 1 DES di LAD
2. Hipertensi emergensi (perbaikan)
3. Hipertensi terkontrol pada HHD
4. AKI stg 1

2.6 Tatalaksana
- Bedrest
- Treeway, folley catheter
- Diet Jantung II 1700kkal/hari
- Drip NTG 10 mcq/min
- IV Lansoprazole 30mg/12jam
- SC arixtra 2.5mg/24jam
- Aspilet 1x80mg
- Clopidogrel 1x75mg
- Atorvastatin 1x80mg
- Laxadrin 1x15ml
- alprazolam 1.0.25mg

10
2.7 Planning
- Monitoring Hemodinamik
- Primary PCI
- Echochardiography full study
- Konsul Rehabilitasi Medik

11
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien seorang laki – laki 58 tahun dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam
SMRS, terjadi secara tiba-tiba saat pasien sedang istirahat. Nyeri dada seperti
ditimpa benda berat dan menjalar ke lengan kiri yang berlangsung lebih dari 20
menit. Keluhan pasien juga disertai keluarnya keringat dingin, kepala berputar, rasa
mual, dan mintah 1 kali. Sesak Napas dijumpai pada pasien. Selama ini pasien
mengeluhkan lebih cepat lelah menjalani aktivitas daripada sebelumnya. Nyeri
dada pada pasien dapat mengarahkan pada beberapa diagnosis penyakit seperti
gagal jantung, penyakit arteri koroner, emboli paru, pneumothoraks serta penyakit
keganasan. Nyeri dada dapat berupa tipikal (angina tipikal) dan atipikal (angina
atipikal). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan atau berat daerah retrosternal
seperti yang dirasakan pasien, mejalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interscapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dirasakan persisten yaitu > 20
menit dan sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin),
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak nafas dan sinkop.[6]
Pada pasien ini didapatkan beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan
keluhan pasien, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah berupa jenis kelamin
laki-laki, usia lanjut, dan riwayat keluarga serta faktor risiko yang dapat diubah
berupa riwayat merokok, penyakit diabetes mellitus dan riwayat hipertensi. Hal ini
sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa diagnosis SKA akan lebih kuat jika
ditemukan keluhan angina pada pasien pria, riwayat penyakit aterosklerosis
nonkoroner, riwayat penyakit jantung koroner dengan riwayat infark miokard atau
PCI atau pada pasien dengan faktor risiko usia, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes melitus dan riwayat PJK di keluarga.[1]
Hasil pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya penggunaan otot bantu
napas, pernapasan cepat, dan terdapat ronki basah di seluruh lapangan paru. Dari
pemeriksaan fisik yang ditunjang oleh poto toraks didapatkan pasien mengalami
edema paru. Edema paru yang timbul dengan sindrom koroner akut dikarenakan
otot jantung tidak mendapatkan suplai darah yang cukup sehingga otot jantung
mengalami nekrosis. Hal ini akan berefek pompa jantung tidak dapat memompa
darah secara optimal ke seluruh tubuh karena ventrikel kiri jantung tidak mampu

12
memompa darah sehingga tekanan dalam atrium kiri, pembuluh darah, serta kapiler
paru-paru meningkat yang menyebabkan rembesan pada paru.[7]
Dari hasil pemeriksaan EKG di IGD RSUDZA menunjukkan ST elevasi di
Lead I, AVL dan V1 – V5 yang menandakan gambaran EKG pasien adalah ST
amterior ekstensif miokard infark. Maka untuk mendiagnosis infark miokard, haru
digunakan kriteria sgarbossa sebagai berikut:
1. Elevasi ST yang konkordan ≥ 1 mm pada ≥ 1 sadapan
2. Depresi ST yang konkordan ≥ 1 mm di ≥ 1 sadapan V1-V3
3. ST elevasi yang diskordan ≥ 1 sadapan di mana saja dengan STE ≥ 1mm.
seperti yang didefinisikan oleh ≥ 25% kedalaman -S sebelumnya. Pada pasien
didapatkan ST elevasi pada lead I, AvF, V1, V2, V3, V4, dan V5 yaitu anterior
ekstensif
Dalam menilai tingkat keparahan penyakit pada pasien gagal jantung setelah
infarkmiokard untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam 30 hari,
digunakanlah sistem klasifikasi Killip yang ditemukan oleh Killip dan Kimball pada
tahun 1967. Satu tingkat nilai Killip yang lebih tinggi berbanding lurus denganrisiko
kematian sebanyak dua kali lipat. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk SKAjenis
STEMI maupun NSTEMI. Klasifikasi Killip dapat dilihat pada tabel 3.1. Darihasil
pemeriksaan tidak terdapat tanda-tanda gagal jantung. Sehingga pada pasien
diklasifikasikan pada Killip I.[8]

Tabel 3.1 Klasifikasi Kilip


Kelas Killip Temuan klinis Mortalitas
Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat ronkhi
I 6%
maupun S3)
Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi
II 17%
bawah pada setengah lapangan paru
Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di
III 38%
seluruh lapangan paru
Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah
IV 81%
sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

Skor resiko Trombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) dikembangkan


sebagai bedside tools untuk menentukan pasien IMA-EST yang memenuhi syarat

13
untuk reperfusi dengan risiko mortalitasnya. Skor risiko TIMI telah terbukti
memberikan diskriminasi yang baik dalam memprediksi kematian pada 30 hari dan
bahkan hingga 365 hari. Skor risiko TIMI adalah alat klinis yang kuat untuk
prediksi risiko kematian pada pasien IMA-EST yang memenuhi syarat fibrinolitik.
Pasien diklasifikasikan sebagai risiko rendah jika skor TIMI 0-4, menengah 5-8,
dan berisiko tinggi jika skor TIMI ≥8.[9] Pada kasus pasien ini didapatkan skor TIMI
yaitu 7/14 dengan hipertensi dan DM, HR > 100 bpm, Killip III, EKG dengan
gambaran LBBB dan waktu mendapat tatalaksana >4jam.

Gambar 3.2 Skor TIMI

Skor GRACE adalah sistem skor yang direkomendasikan oleh pedoman


tatalaksana oleh ESC yang diaplikasikan pada saat pasien masuk dan pulang.
Klasifikasi GRACE ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di
rumah sakit dan dalam 6 bulan, 1 tahun, dan 3 tahun setelah keluar dari rumah
sakit.[9] Pada pasien ini didapatkan skor GRACE yaitu 151. Hasil ini termasuk
dalam kategori risiko tinggi > 140 dengan tingkat mortalitas >3%. Prediksi
kematian enam bulan setelah keluar rumah sakit juga dalam risiko tinggi yaitu >
118 dengan risiko kematian > 8%.

Tabel 3,2 GRACE Score


Prediktor Skor Prediktor Skor
Usia dalam tahun Kreatinin (mg/dL)
<40 0 0-0.39 2

14
40-49 18 0.4-0.79 5
50-59 36 0.8-1.19 8
60-69 55 1.2-1.59 11
70-79 73 1.6-1.99 14
80-91 91 2-3.99 23
Laju denyut jantung (x/i) >4 31
<70 0 Gagal jantung
70-89 7 I 0
90-109 13 II 21
110-149 23 III 43
150-199 36 IV 64
>200 Henti jantung saat tiba di
46 43
RS
Tekanan darah sistolik (mmHg) Peningkatan biomarka
15
<80 63 jantung
80-99 58 Deviasi segmen ST 30
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Tujuan utama tatalaksana SKA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna.[10] Sesuai dengan tatalaksana SKA menurut PERKI,
pasien dalam kasus ini menerima tatalaksana berupa bed rest dengan pemasangan
O2 via NRM 15 lpm untuk meningkatkan saturasi oksigen, Three way, Drip NTG
40 mcg/menit, Aspilet loading 4 tablet, Colpidogrel loading 4 tablet. Secara umum,
terapi awal SKA dapat disingkat menjadi MONACO yakni Morfin, Oksigen, Nitrat,

15
Aspirin, dan Clopidogrel.[11]
Terapi reperfusi pada pasien ini adalah primary PCI. Primary PCI adalah
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien dengan STEMI dalam waktu 12
jam setelah onset gejala, asalkan dapat dilakukan dengan cepat yaitu 120 menit dari
diagnosis STEMI, oleh tim yang berpengalaman. PCI (Percutaneous Coronary
Intervention) merupakan prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan
kateter untuk melebarkan ataumembuka pembuluh darah koroner yang menyempit
dengan balon atau stent yang bertujuan untuk revaskularisasi akibat oklusi total
arteri koroner dikarenakan terdapat adanya bukti iskemik pada hasil pemeriksaan
EKG.[5]
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan
beberapa jam pertama infark miokard akut dan lebih efektif dibandingkan dengan
fibrinolitikdalam membuka arteri koroner yang tersumbat, serta dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Primary PCI
lebih dipilihjika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.
Namun, PCIlebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. Dalam beberapa
keadaandimana primary PCI bukanlah pilihan langsung, fibrinolitik dapat dimulai
secepatnya.[12}
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila PCI primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama (Kelas I-A).Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. dikarenakan
onset nyeri masihdalam kurun waktu <12 jam.

16
Pasien yang akan menjalani PCI primer perlu mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (Dual Anti Platelet Therapy) berupa Aspilet 1x80 mg danClopidogrel 1x75
mg ditambah antikoagulan berupa IV Enoxaparin 0.3cc. Pasien diberikan Laxadyn
syr (phenolphtalein) 1x15ml untuk mengatasi konstipasi, serta atorvastatin 1x40mg
digunakan untuk menurunkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) dan
trigliserida, serta meningkatkan High-Density Lipoprotein (HDL). Pasien
mengalami perasaan mual dan muntah sehingga diberikan lansoprazole serta
ondansetron sebagai antiemetic untuk meredakan mual dan muntah. Alprazolam
0,25 mg diberikan karena pasien mengeluhkan sulit tidur. Selain itu, tatalaksana
nonfarmakologis berupa diet rendah lemak, aktivitas fisik, menurunkan berat
badan, dan menghindari kebiasaan merokok perlu diedukasikan untuk mencegah
risiko infark miokard berulang.[13,14]

17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang pecah yang berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat lumen pembuluh darah koroner, baik secara
total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang dapat menyumbat
pembuluh koroner distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama ±20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).[6]
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner tetapi juga dapat disebabkan obstruksi subtotal disertai
vasokonstriksi yang dinamis. Selain nekrosis, iskemia dapat menyebabkan
gangguan kontraktilitasmiokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel. Sebagian SKA
karena obstruksi dinamis akibatspasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
4.2 Etiologi

Etiologi infark miokard akut adalah penurunan aliran darah koroner. Pasokan
oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga
terjadi iskemia jantung. Penurunan aliran darah koroner bersifat
multifaktorial. Plak aterosklerotik secara klasik pecah dan menyebabkan
trombosis, berkontribusi terhadap penurunan aliran darah di koroner secara
akut. Etiologi lain dari penurunan oksigenasi/iskemia miokard meliputi
emboli arteri koroner, iskemia akibat kokain, diseksi koroner, dan

18
vasospasme koroner.[1]

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:

- Jenis kelamin

- Usia

- Riwayat keluarga

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:

- Merokok

- Dislipidemia

- Diabetes mellitus

- Hipertensi

- Berat badan berlebih / obesitas

- Sedentary lifestyle

- Kebersihan mulut yang buruk

- Adanya penyakit pembuluh darah perifer

- Peningkatan kadar homosistein

Penyebab MI lainnya
- Trauma

- Vaskulitis

- Penggunaan narkoba (kokain)

- Anomali arteri koroner


4.3 Patofisiologi

Ruptur aterosklerotik menyebabkan kaskade inflamasi monosit dan


makrofag, pembentukan trombus, dan agregasi trombosit. Hal ini
menyebabkan penurunan pengiriman oksigen melalui arteri koroner yang
mengakibatkan penurunan oksigenasi miokardium. Ketidakmampuan untuk
menghasilkan ATP dimitokondria menyebabkan kaskade iskemik, dan oleh

19
karena itu terjadi apoptosis (kematian sel) endokardium atau infark
miokard.[1] Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen,
sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
alirandarah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi.[15,16]

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri


koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI).Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan
STEMIkarena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat

cepat.

4.4 Klasifikasi
Sindroma Koroner Akut dibagi menjadi tiga berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram, dan pemeriksaan
penunjang
a. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) atau Unstable Angina Pectoris,
yakniditemukannya angina pektoris stabil tanpa elevasi segmen ST

20
di dua sadapan bersebelahan tanpa peningkatan biomarka jantung,
b. Infark Miokard Akut non Elevasi Segmen ST, yakni ditemukannya
angina pektoris stabil tanpa elevasi segmen ST di dua sadapan
bersebelahan denganpeningkatan biomarka jantung, dan
c. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST, yakni
ditemukannya angina pektoris stabil dengan elevasi segmen ST di dua
sadapan bersebelahan.
Apabila hasil pemeriksaan EKG pada saat angina masih berlangsung tidak
menunjukkan abnormalitas atau kelainan nondiagnostik, maka EKG
diperiksa kembali dalam waktu 10-20 menit selanjutnya. Namun apabila
hasil pemeriksaan EKG ulangan belum menunjukkan hasil diagnostik tapi
angina sangat mengarah keSKA maka pasien perlu dipantau dalam waktu 12-
24 jam. EKG juga perlu diulangsetiap keluhan angina muncul kembali atau
minimal 1 kali dalam 24 jam.[17]
4.5 Diagnosis
4.6 Tata Laksana
Secara umum, terapi awal Sindroma Koroner Akut (SKA) dapat
disingkat menjadi MONACO yakni Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin, dan
Clopidogrel.Secara rinci, tatalaksana tersebut adalah sebagai berikut:
d. Suplemen oksigen perlu diberikan pada paisen dengan saturasi
oksigen di bawah 95% atau pada seluruh pasien SKA dalam 6 jam
pertama,
e. Aspirin 160-320 mg

f. Penghambat reseptor ADP yakni ticagrelor dosis awal 180 mg


dilanjutkan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
yang direncanakan reperfusi dengan agen fibrinolitik, atau
clopidogrel dosis awal 300 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 75
mg/hari yang mana direkomendasikan untuk pasien yang akan
diterapi dengan agen fibrinolitik,
g. Nitrogliserin spray atau tablet sublingual bagi pasien dengan chest
pain yang masih berlangsung di ruang gawat darurat dan dapat diulang
maksimaltiga kali. Nitrogliserin intravena dapat diberi apabila pasien

21
tidak respon dengan tiga dosis NTG sublingual, dan
h. Morfin sulfat 1-5 mg intravena diulang per 30 menit bagi pasien yang
tidakrespon dengan nitrogliserin sublingual.

Infark miokard akut dapat didiagnosis segera setelah adanya riwayat


nyeri dada lebih dari 20 menit dan tidak membaik dengan pemberian
nitrogliserin. Pasiendengan dugaan STEMI harus diawasi ketat melalui EKG
dan didiagnosis paling lambat yakni 10 menit sejak pasien tiba di rumah
sakit. Apabila hasil EKG menunjukkan gambaran atipikal namun dengan
klinis yang mendukung maka tindakan harus dilakukan segera. Persatuan
Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI) telah menentukan target waktu
tatalaksana pasien dengan IMA-STE yakniwaktu dari kontak medis pertama
hingga perekaman EKG di bawah 10 menit, waktu hingga pemberian
fibrinolysis di bawah 30 menit, atau waktu untuk Percutaneous
Catheterization Intervention (PCI) Primer di bawah 90 menit jika pasien
berada di fasilitas kesehatan (fasker) dengan ketersediaan PCI primer atau
di bawah 120 menit pada pasien tanpa PCI primer

Terapi terbaik dalam menatalaksana pasien dengan STEMI adalah


terapi reperfusi yakni dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

22
atau melalui terapi fibrinolitik. Tatalaksana ini ditentukan berdasarkan ada
tidaknya fasilitas PCIdi rumah sakit terdekat, kontraindikasi PCI, serta waktu
yang dibutuhkan untuk tibadi rumah sakit dengan fasilitas PCI. Pada pasien
yang diterima di rumah sakit tanpa fasilitas PCI maka klinisi harus segera
menilai onset gejala, risiko komplikasi terkait STEMI, risiko perdarahan
terkait fibrinolisis, ada tidaknya syok atau gagal jantung, dan waktu yang
diperlukan untuk merujuk pasien ke rumah sakit dengan fasilitas PCI. Terapi
fibrinolitik diindikasikan dengan pasien yang memiliki kontraindikasi PCI
atau tidak dapat melakukan primary PCI dalam waktu 120 menitsejak kontak
medis pertama. [18]

Pasien yang akan menjalani PCI primer perlu mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (Dual Anti Platelet Therapy) berupa aspirin oral (160-320
mg) dan ADP receptor blocker sebelum angiografi, ditambah antiokagulan
intravena. Pilihan ADP receptor blocker antara lain ticagrelol loading dose
180 mg diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari atau clopidogrel
loading dose 600 mg diikuti 75 mg per hari. Sedangkan pilihan antikoagulan
intravena yang dapat diberikan antara lain heparin tidak terfraksi, enoxaparin
IV, dan fondaparinux. [4]
Terapi fibrinolitik diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima
tindakan PCI dalam waktu yang direkomendasikan. Oleh karena itu, terapi

23
fibrinolitik harus dibeirkan dalam 12 jam sejak onset gekala pada pasien
tanpa kontraindikasi. Agen spesifik fibrin seperti teneteplase, alteplase atau
reterplase lebih disarankan dibandingkan streptokinase. Pasien dengan terapi
fibrinolitik perlumenerima aspirin oral dan clopidrogel. Dosis fibrinolitik dan
[4]
koterapi antitrombotiktersebut dalam dilihat pada Tabel 2.5. Pemberian
betablocker IV diikuti oral perlu dipertimbangkan pada pasien stabil yang
akan menjalani PCI primer.[5]
Selain tatalaksana farmakologis, tatalaksana nonfaramkologi seperti
perubahan gaya hidup dan modifikasi faktor risiko akan mendukung
tatalaksana pada pasien dengan riwayat infark maupun mencegah orang sehat
dari risiko infark. Tatalaksana nonfarmakologis yang perlu diedukasikan
kepada pasien antara lain:
a. Berhenti merokok, terbukti menurunkan risiko mortalitas sebanyak
36%,
b. Merencanakan diet, yakni dengan mengatur diet Mediterranian (10%
totalenergi berasal dari lemak, intake garam <5 gram per hari, serat
30-45 gramper hari, sayur atau buah > 200 gram per hari, ikan 1-2
kali per minggu, kacang 30 gram per hari, dan membatas alkohol dan
minuman dengan gula tinggi,
c. Pengendalian berat badan, melalui kontrol Indeks Massa Tubuh
(IMT) danlingkat perut,
d. Aktivitas fisik, termasuk pekerjaan sehari-hari dan olahraga,
e. Kontrol tekanan darah, yakni TDS <140 mmHg bagi pasien usia
dewasa atau <120 mmHg pada pasien lansia, dan
f. Kepatuhan minum obat. [5]
4.7 Komplikasi dan Prognosis
STEMI berisiko menyebabkan sejumlah komplikasi seperti disfungsi
miokard, gagal jantung, perikarditis, dan komplikasi mekanis.
a. Disfungsi miokardium

Disfungsi miokardium terjadi akibat disfungsi ventrikel yang


berlangsung baik secara transien maupun persisten bergantung pada durasi
iskemia dan keberhasilan reperfusi. Fungsi ventrikel umumnya membaik

24
setelah reperfusi miokard berhasil dalam beberapa minggu namun bisa saja
tidak terjadi. Disfungsi ventrikel kiri merupakan komplikasi STEMI
tersering. Hal ini disebabkan oleh disfungsi dan kerusakan miokardium yang
terkadang diperberat dengan aritmia, disfungsi katup, atau komplikasi
mekanis. Bentuk disfungsi ventrikel kiri lainnya antara lain aneurisma
ventrikel kiri, trombus ventrikel kiri, dan regurgitasi katup mitral sekunder.
Diagnosis komplikasi dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ekokardiografi.
Disfungsi miokardium juga dapat terjadi pada ventrikel kanan terutama
jantung bagian inferior. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya elevasi
segmen ST 1 mm pada Lead aVR, V1, dan atau sadapan prekordial kanan
(V3R dan V4R). [5]
b. Gagal Jantung

Gagal jantung juga sering terjadi pada pasien dengan STEMI dan
merupakan faktor prognostik yang paling penting. Diagnosis pada fase akut
STEMI sangat bergantung dengan gejala tipikal, pemeriksaan fisik, dan X-
Ray dada sedangkan penilaian risiko dilakukan berdasarkan klasifikasiKillip.
Kongesti pulmonal terjadi pada Killip kelas 2 ringan ke sedang atau Killip
kelas 3 (edema pulmonal), membaik setelah reperfusi dan terapi medikal,
atau berkembang menjadi gagal jantung kronis. Hipotensi berupa tekanan
darah sistolik di bawah 90 mmHg juga bisa terjadi akibat adanya disfungsi
ventrikel kiri atau kanan, curah jantung menurun, gangguan ritme,komplikasi
mekanis, disfungsi katup, hypovolemia, atau obat-obatan yang berlebihan.
Jika terlalu lama terjadi, hipotensi dapat menyebabkan disfungsi ginjal atau
komplikasi sistemik lainnya. [5]
c. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik juga sering ditemukan pada pasien dengan STEMI.


Syok kardiogenik didefinisikan sebagai hipotensi persisten yang tidak
membaik dengan terapi cairan disertai tanda-tanda hipoperfusi. Masalah ini
terjadi pada 6-10% kasus STEMI di mana umumnya berkembang pada 6 jam
pertama, dan 75% dalam 24 jam pertama. Tanda syok kardiogenik antara lain
hipotensi, penurunan curah jantung (takikardisaat istirahat), penurunan status
mental, oliguria, dan tangan dingin), sertakongesti pulmonal. Pasien STEMI

25
dengan syok kardiogenik tidak membutuhkan terapi hemodinamik invasif
melainkan terapi reperfusi segera. [5]
d. Komplikasi mekanis
Komplikasi mekanis patut dicurigai apabila hipotensi mendadak,
nyeri dada rekuren murmur jantung yang sesuai dengan regurgitas mitral atau defek
septum ventrikel, kongesti pulmonal, atau distensi vena jugular ditemukan. [5]

e. Perikarditis

Komplikasi pericardial yang dapat terjadi antara lain perikarditis tipe


earlyatau late infark (Dressler Syndrome) dan efusi perikardium. Perikarditis
tipe early setelah infark miokard umumnya terjadi segera setelah STEMI
dan bersifat transien, sedangkan perikarditis tipe late umumnya terjadi 1-2
minggu setelah STEMI. Kriteria diagnosis perikarditis tidak berbeda dengan
perikarditis akut meliputi dua dari gejala berikut: 1). Nyeri dada pleuritic, 2.
Pericardial friction rub, 3. Perubahan EKG dengan elevasi segmen ST luas
ringan hingga progresif, atau depresi PR pada fase akut, dan 4. [5]
Prognosis STEMI cenderung buruk apabila tidak dideteksi dan
ditatalaksana dengan cepat. Menurut Gayatri dkk., terdapat enam prediktor
mortalitas pada pasiendengan STEMI akut di rumah sakit yakni Killip derajat 3 dan
4, aritmia, STEMI anterior, takikardi, onset STEMI > 12 jam, dan diabetes mellitus.

26
BAB V
KESIMPULAN
Pasien datang dengan sesak napas dan nyeri dada tipikal. Pasien memiliki
faktor risiko bawaan dan faktor risiko yang didapat dari lifestylenya untuk sindrom
koroner akut. Saat pemeriksaan EKG didapatkan ST elevasi pada Lead 1, AvF, dan
V1-v5 new onset yang harus dipertimbangkan sebagai STEMI. Setelah diagnosis
STEMI ditegakkan pasien diperikan terapi awal di IGD kemudian dilakukan
reperfusi berupa Primary PCI.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Mechanic OJ, Gavin M, Grossman SA. Acute Myocardial Infarction.


StatPearls [Internet] 2022 [cited 2022 Dec 19];Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459269/
2. Camm AJ, Lüscher TF, Serruys PW, Edition P. Epidemiology of acute
coronary syndromes. In: ESC CardioMed. 2018. page 1–15.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil utama RISKESDAS 2018.
2018;
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2018.\
5. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H,et
al. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction
in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J
2018;39(2):119–77.
6. Dokter P, Kardiovaskular S, Ketiga E. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut Edisi Keempat. 2018;
7. Nendrastuti H. Edema Paru Akut Kardiogenik Dan Non Kardiogenik. Maj
Kedokt Respirasi [Internet] 2010;1(3):201. Available from:
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-MKR Vol1 No 3 - 2 Abs.pdf
8. Zafari AM AM. What is the Killip classification system and how is it used in
acute myocardial infarction (MI, heart attack). Medscape 2019;
9. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, Cairns R, Murphy SA, Lemos JA
de et al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: A
convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An
intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II trial
substudy. Circ 2000;1022031–7 2000;102(7):2031.
10. Harrington JL, Granger CB. Standardizing ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction Care: Customizing Regionalization to Improve Outcomes. Circ
Cardiovasc Qual Outcomes 2021;14(3):E007701.
11. Rampengan SH. Kegawatdaruratan Jantung. 2015.

28
12. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, Simpson
EL, et al. Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: Section
13. Jolly SS, Nolan J. Radial First in ST-Segment – Elevation Myocardial
Infarction. 2021;(March):270–1.
14. Pera VK, Larson DM, Sharkey SW, Garberich RF, Solie CJ, Wang YL, et al.
New or presumed new left bundle branch block in patients with suspected ST-
elevation myocardial infarction. 2017;
15. Guyton, A. C., Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 14th ed. Jakarta:
EGC; 2018.
16. Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
17. Afroze A MI. Hypertension: Diagnosis and management in primary care.
InnovAiT 2021;10.
18. Gayatri NI, Firmansyah S, S SH, Rudiktyo E. Prediktor Mortalitas Dalam-
Rumah-Sakit Pasien Infark Miokard ST Elevation ( STEMI ) Akut di RSUDdr
. Dradjat Prawiranegara Serang , Indonesia. CDK 2016;43(3):171–4

29

Anda mungkin juga menyukai