Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Disusun Oleh :
KHALILULLAH
2207501010068
Pembimbing:
2023
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“ST Segment Elevation Myocardial Infarction”. Shalawat beriring salam penulis
sanjungkan kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
manusia ke zaman yang berpendidikan dan terang benderang.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Adi Purnawarman, Sp.JP(K)-FIHA, FAsCC, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan
terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Penulis
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Infark miokard akut adalah salah satu penyebab utama kematian di negara
maju. Prevalensi penyakit mendekati tiga juta orang di seluruh dunia, dengan lebih
dari satu juta kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya.[1] Sepertiga kasus
kematian di dunia disebabkan penyakit kardiovaskular, di mana 7.5 juta kasus per
tahun diakibatkan penyakit jantung iskemik seperti SKA.[2] Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, angka prevalensi penyakit jantung di
Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis pada penduduk seluruh usia menurut
provinsi adalah 1.5%. Provinsi Aceh sendiri berada pada urutan ke-8 dengan angka
prevalensi 1.7%.[3]
SKA disebabkan oleh aterosklerosis, yaitu proses terbentuknya plak yang
berdampak pada intima dari arteri, yang membentuk thrombus sehingga membuat
lumen menyempit dan mengganggu suplai darah yang pada akhirnya dapat
menurunkan kekuatan kontraksi otot jantung. Jika thrombus pecah sebelum
terjadinya nekrosis total jaringan distal, maka terjadilah infark pada miokardium.
Pasien dengan SKA umumnya datang dengan keluhan nyeri dada baik
tipikal maupun atipikal. Gambaran EKG pasien dengan SKA sangat bervariasi
seperti gambaran normal, Left Bundle Branch Block (LBBB), elevasi segmen ST,
depresi segmen ST, dan inversi gelombang T. Temuan pada EKG sangat penting
untuk membedakan Non-ST Segment Elevation ACS (NSTE-ACS) dan ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI). STEMI merupakan indikator
oklusi total pembuluh darah arteri koroner, yang memerlukan tindakan
revaskularisasi dan reperfusi miokard secepatnya.[4] Untuk memudahkan keputusan
strategi tatalaksanaseperti tatalaksana reperfusi, infark miokard dibagi menjadi dua
yakni infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dan infark
miokard akut non elevasi segmen ST (IMA-NEST).
SKA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis sesegera
mungkin berupa terapi reperfusi tanpa menunggu hasil pemeriksaan biomarka
jantung.[4] Terapi terbaik dalam menatalaksana pasien dengan oklusi total arteri
koroner pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam adalah terapi reperfusi
1
yakni dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau melalui terapi
fibrinolitik. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan
terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing
chest pain).[5]
Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan STEMI yang merupakan kondisi
darurat dan memerlukan tatalaksana segera. Oleh karena itu, laporan kasus ini
membahas manajemen STEMI berdasarkan sebuah kasus yang ditemukan di
lapangan.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. SA
No.CM : 1-33-24-97
Tanggal Lahir : 31-12-1964
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Dusun Hilir, Manggis Harapan, Labuhan Haji, Aceh
Selatan
Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2022
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :Nyeri dada
Keluhan Tambahan : Sesak napas
2.2.1 Riwayat Penyaki Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam SMRS, terjadi
secara tiba-tiba saat pasien sedang istirahat. Nyeri dada seperti ditimpa
benda berat dan menjalar ke lengan kiri yang berlangsung lebih dari 20
menit. Keluhan pasien juga disertai keluarnya keringat dingin, kepala
berputar, rasa mual, dan mintah 1 kali. Sesak Napas dijumpai pada pasien.
Selama ini pasien mengeluhkan lebih cepat lelah menjalani aktivitas
daripada sebelumnya. Pasien seorang perokok ± 25 tahun, merokok 1
bungkus per hari. Riwayat pengangkutan ginjal pada tahun 2022
2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi ± 10 tahun yang lalu
2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus
2.2.4 Riwayat Penggunaan Obat
Amlodipine 1x10mg
3
Candesartan 1x8mg
2.2.5 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien adalah seorang PNS. Kegiatan sehari – hari pasien adalah
bekerja kantoran. Sejak 1 bulan SMRS pasien merasa mudah lelah dan sesak
saat bekerja sehinggal 2 minggu SMRS pasien sudah mengurangi aktivitas
berat. Pasien merokok 1 bungkus per hari. Pasien minum kopi ± 3 gelas per
hari. Suka makan makanan bersantan dan berminyak. Pasien jarang
melakukan olahraga
Suhu : 36,8 °C
Status Generalisata
Ukuran : Normocephali
4
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), peningkatan
TVJ(-) ±2cmH2O
Aksila : Pembesaran KGB tidak dijumpai
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat.
b. Thorax
Paru Depan Belakang
Statis dan dinamis: Simetris, Statis dan dinamis: Simetris,
Inspeksi
normochest, retraksi (-) normochest, retraksi (-)
c. Jantung
d. Abdomen
5
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis (-) (-) (-) (-)
Edema (-) (-) (-) (-)
Clubbing
(-) (-) (-) (-)
finger
Pucat (-) (-) (-) (-)
Gambar 2.1. Hasil Pemeriksaan EKG pasien pada hari pertama di IGD
Interpretasi EKG (22/02/2023)
1. Irama :Sinus
2. Rate : 58 bpm
3. Aksis : Normoaxis
4. Gelombang P : 0.08s
5. Interval PR : 0.12s
6. QRS : 0.08s
6
7. Q Patologis :tidak ada
8. Segmen ST : ST Elevasi di (V1,V2,V3,V4,dan V5)
9. T inverted : tidak ada
10. LVH : tidak ada
11. RVH : Tidak ada
12. LAE : tidak ada
13. RAE : tidak ada
14. Kesan : Irama Sinus, 58bpm (bradikardia),
Normoaxis, STEMI anterior ekstensif infark miokardia , tidak ada
hipertropi
Gambar 2.2. Hasil Pemeriksaan EKG pasien pada hari pertama di IGD
Interpretasi EKG (23/02/2023)
1. Irama :Sinus
2. Rate : 69 bpm
3. Aksis : Normoaxis
4. Gelombang P : 0.12s
5. Interval PR : 0.08s
6. QRS : 0.08s
7. Q Patologis : QS Patern di V1, V2, V3, dan V3
8. Segmen ST : ST elevasi di V1, V2, V3, V4 dan V5
9. T inverted : di V1, V2, V3, V4, V5, V6
10. LVH : tidak ada
7
11. RVH : tidak ada
12. LAE : tidak ada
13. RAE : tidak ada
14. Kesan : Irama Sinus, 69 bpm (bradikardia),
Normoaxis, infark miokardia , tidak ada hipertropi
2.4.2 Laboratorium
8
Natrium (Na) 139 132 – 146 mmol/mL
Kalium (K) 3.80 3.7 – 5.4 mmol/mL
Klorida (Cl) 119 98 – 106 mmol/mL
PT
Pasien (PT) 13.90 11.50 – 15.50 detik
Kontrol 14.1
INR 0.98 <1.5
APTT
Pasien 32.80 26.00 – 37.00 detik
Kontrol 32.1
9
Kesimpulan: hilus menebal dengan infiltrate suspek edem paru,
kardiomegali
2.5 Diagnosis
1. Acute STEMI anterior ekstensif onset 3 jam Killip I TIMI 4/14 65
103 pada CAD 1VD post PCI 1 DES di LAD
2. Hipertensi emergensi (perbaikan)
3. Hipertensi terkontrol pada HHD
4. AKI stg 1
2.6 Tatalaksana
- Bedrest
- Treeway, folley catheter
- Diet Jantung II 1700kkal/hari
- Drip NTG 10 mcq/min
- IV Lansoprazole 30mg/12jam
- SC arixtra 2.5mg/24jam
- Aspilet 1x80mg
- Clopidogrel 1x75mg
- Atorvastatin 1x80mg
- Laxadrin 1x15ml
- alprazolam 1.0.25mg
10
2.7 Planning
- Monitoring Hemodinamik
- Primary PCI
- Echochardiography full study
- Konsul Rehabilitasi Medik
11
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien seorang laki – laki 58 tahun dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam
SMRS, terjadi secara tiba-tiba saat pasien sedang istirahat. Nyeri dada seperti
ditimpa benda berat dan menjalar ke lengan kiri yang berlangsung lebih dari 20
menit. Keluhan pasien juga disertai keluarnya keringat dingin, kepala berputar, rasa
mual, dan mintah 1 kali. Sesak Napas dijumpai pada pasien. Selama ini pasien
mengeluhkan lebih cepat lelah menjalani aktivitas daripada sebelumnya. Nyeri
dada pada pasien dapat mengarahkan pada beberapa diagnosis penyakit seperti
gagal jantung, penyakit arteri koroner, emboli paru, pneumothoraks serta penyakit
keganasan. Nyeri dada dapat berupa tipikal (angina tipikal) dan atipikal (angina
atipikal). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan atau berat daerah retrosternal
seperti yang dirasakan pasien, mejalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interscapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dirasakan persisten yaitu > 20
menit dan sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin),
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak nafas dan sinkop.[6]
Pada pasien ini didapatkan beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan
keluhan pasien, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah berupa jenis kelamin
laki-laki, usia lanjut, dan riwayat keluarga serta faktor risiko yang dapat diubah
berupa riwayat merokok, penyakit diabetes mellitus dan riwayat hipertensi. Hal ini
sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa diagnosis SKA akan lebih kuat jika
ditemukan keluhan angina pada pasien pria, riwayat penyakit aterosklerosis
nonkoroner, riwayat penyakit jantung koroner dengan riwayat infark miokard atau
PCI atau pada pasien dengan faktor risiko usia, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes melitus dan riwayat PJK di keluarga.[1]
Hasil pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya penggunaan otot bantu
napas, pernapasan cepat, dan terdapat ronki basah di seluruh lapangan paru. Dari
pemeriksaan fisik yang ditunjang oleh poto toraks didapatkan pasien mengalami
edema paru. Edema paru yang timbul dengan sindrom koroner akut dikarenakan
otot jantung tidak mendapatkan suplai darah yang cukup sehingga otot jantung
mengalami nekrosis. Hal ini akan berefek pompa jantung tidak dapat memompa
darah secara optimal ke seluruh tubuh karena ventrikel kiri jantung tidak mampu
12
memompa darah sehingga tekanan dalam atrium kiri, pembuluh darah, serta kapiler
paru-paru meningkat yang menyebabkan rembesan pada paru.[7]
Dari hasil pemeriksaan EKG di IGD RSUDZA menunjukkan ST elevasi di
Lead I, AVL dan V1 – V5 yang menandakan gambaran EKG pasien adalah ST
amterior ekstensif miokard infark. Maka untuk mendiagnosis infark miokard, haru
digunakan kriteria sgarbossa sebagai berikut:
1. Elevasi ST yang konkordan ≥ 1 mm pada ≥ 1 sadapan
2. Depresi ST yang konkordan ≥ 1 mm di ≥ 1 sadapan V1-V3
3. ST elevasi yang diskordan ≥ 1 sadapan di mana saja dengan STE ≥ 1mm.
seperti yang didefinisikan oleh ≥ 25% kedalaman -S sebelumnya. Pada pasien
didapatkan ST elevasi pada lead I, AvF, V1, V2, V3, V4, dan V5 yaitu anterior
ekstensif
Dalam menilai tingkat keparahan penyakit pada pasien gagal jantung setelah
infarkmiokard untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam 30 hari,
digunakanlah sistem klasifikasi Killip yang ditemukan oleh Killip dan Kimball pada
tahun 1967. Satu tingkat nilai Killip yang lebih tinggi berbanding lurus denganrisiko
kematian sebanyak dua kali lipat. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk SKAjenis
STEMI maupun NSTEMI. Klasifikasi Killip dapat dilihat pada tabel 3.1. Darihasil
pemeriksaan tidak terdapat tanda-tanda gagal jantung. Sehingga pada pasien
diklasifikasikan pada Killip I.[8]
13
untuk reperfusi dengan risiko mortalitasnya. Skor risiko TIMI telah terbukti
memberikan diskriminasi yang baik dalam memprediksi kematian pada 30 hari dan
bahkan hingga 365 hari. Skor risiko TIMI adalah alat klinis yang kuat untuk
prediksi risiko kematian pada pasien IMA-EST yang memenuhi syarat fibrinolitik.
Pasien diklasifikasikan sebagai risiko rendah jika skor TIMI 0-4, menengah 5-8,
dan berisiko tinggi jika skor TIMI ≥8.[9] Pada kasus pasien ini didapatkan skor TIMI
yaitu 7/14 dengan hipertensi dan DM, HR > 100 bpm, Killip III, EKG dengan
gambaran LBBB dan waktu mendapat tatalaksana >4jam.
14
40-49 18 0.4-0.79 5
50-59 36 0.8-1.19 8
60-69 55 1.2-1.59 11
70-79 73 1.6-1.99 14
80-91 91 2-3.99 23
Laju denyut jantung (x/i) >4 31
<70 0 Gagal jantung
70-89 7 I 0
90-109 13 II 21
110-149 23 III 43
150-199 36 IV 64
>200 Henti jantung saat tiba di
46 43
RS
Tekanan darah sistolik (mmHg) Peningkatan biomarka
15
<80 63 jantung
80-99 58 Deviasi segmen ST 30
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Tujuan utama tatalaksana SKA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna.[10] Sesuai dengan tatalaksana SKA menurut PERKI,
pasien dalam kasus ini menerima tatalaksana berupa bed rest dengan pemasangan
O2 via NRM 15 lpm untuk meningkatkan saturasi oksigen, Three way, Drip NTG
40 mcg/menit, Aspilet loading 4 tablet, Colpidogrel loading 4 tablet. Secara umum,
terapi awal SKA dapat disingkat menjadi MONACO yakni Morfin, Oksigen, Nitrat,
15
Aspirin, dan Clopidogrel.[11]
Terapi reperfusi pada pasien ini adalah primary PCI. Primary PCI adalah
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien dengan STEMI dalam waktu 12
jam setelah onset gejala, asalkan dapat dilakukan dengan cepat yaitu 120 menit dari
diagnosis STEMI, oleh tim yang berpengalaman. PCI (Percutaneous Coronary
Intervention) merupakan prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan
kateter untuk melebarkan ataumembuka pembuluh darah koroner yang menyempit
dengan balon atau stent yang bertujuan untuk revaskularisasi akibat oklusi total
arteri koroner dikarenakan terdapat adanya bukti iskemik pada hasil pemeriksaan
EKG.[5]
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan
beberapa jam pertama infark miokard akut dan lebih efektif dibandingkan dengan
fibrinolitikdalam membuka arteri koroner yang tersumbat, serta dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Primary PCI
lebih dipilihjika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.
Namun, PCIlebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. Dalam beberapa
keadaandimana primary PCI bukanlah pilihan langsung, fibrinolitik dapat dimulai
secepatnya.[12}
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila PCI primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama (Kelas I-A).Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. dikarenakan
onset nyeri masihdalam kurun waktu <12 jam.
16
Pasien yang akan menjalani PCI primer perlu mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (Dual Anti Platelet Therapy) berupa Aspilet 1x80 mg danClopidogrel 1x75
mg ditambah antikoagulan berupa IV Enoxaparin 0.3cc. Pasien diberikan Laxadyn
syr (phenolphtalein) 1x15ml untuk mengatasi konstipasi, serta atorvastatin 1x40mg
digunakan untuk menurunkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) dan
trigliserida, serta meningkatkan High-Density Lipoprotein (HDL). Pasien
mengalami perasaan mual dan muntah sehingga diberikan lansoprazole serta
ondansetron sebagai antiemetic untuk meredakan mual dan muntah. Alprazolam
0,25 mg diberikan karena pasien mengeluhkan sulit tidur. Selain itu, tatalaksana
nonfarmakologis berupa diet rendah lemak, aktivitas fisik, menurunkan berat
badan, dan menghindari kebiasaan merokok perlu diedukasikan untuk mencegah
risiko infark miokard berulang.[13,14]
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang pecah yang berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat lumen pembuluh darah koroner, baik secara
total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang dapat menyumbat
pembuluh koroner distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama ±20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).[6]
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner tetapi juga dapat disebabkan obstruksi subtotal disertai
vasokonstriksi yang dinamis. Selain nekrosis, iskemia dapat menyebabkan
gangguan kontraktilitasmiokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel. Sebagian SKA
karena obstruksi dinamis akibatspasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
4.2 Etiologi
Etiologi infark miokard akut adalah penurunan aliran darah koroner. Pasokan
oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga
terjadi iskemia jantung. Penurunan aliran darah koroner bersifat
multifaktorial. Plak aterosklerotik secara klasik pecah dan menyebabkan
trombosis, berkontribusi terhadap penurunan aliran darah di koroner secara
akut. Etiologi lain dari penurunan oksigenasi/iskemia miokard meliputi
emboli arteri koroner, iskemia akibat kokain, diseksi koroner, dan
18
vasospasme koroner.[1]
- Jenis kelamin
- Usia
- Riwayat keluarga
- Merokok
- Dislipidemia
- Diabetes mellitus
- Hipertensi
- Sedentary lifestyle
Penyebab MI lainnya
- Trauma
- Vaskulitis
19
karena itu terjadi apoptosis (kematian sel) endokardium atau infark
miokard.[1] Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen,
sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
alirandarah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi.[15,16]
cepat.
4.4 Klasifikasi
Sindroma Koroner Akut dibagi menjadi tiga berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram, dan pemeriksaan
penunjang
a. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) atau Unstable Angina Pectoris,
yakniditemukannya angina pektoris stabil tanpa elevasi segmen ST
20
di dua sadapan bersebelahan tanpa peningkatan biomarka jantung,
b. Infark Miokard Akut non Elevasi Segmen ST, yakni ditemukannya
angina pektoris stabil tanpa elevasi segmen ST di dua sadapan
bersebelahan denganpeningkatan biomarka jantung, dan
c. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST, yakni
ditemukannya angina pektoris stabil dengan elevasi segmen ST di dua
sadapan bersebelahan.
Apabila hasil pemeriksaan EKG pada saat angina masih berlangsung tidak
menunjukkan abnormalitas atau kelainan nondiagnostik, maka EKG
diperiksa kembali dalam waktu 10-20 menit selanjutnya. Namun apabila
hasil pemeriksaan EKG ulangan belum menunjukkan hasil diagnostik tapi
angina sangat mengarah keSKA maka pasien perlu dipantau dalam waktu 12-
24 jam. EKG juga perlu diulangsetiap keluhan angina muncul kembali atau
minimal 1 kali dalam 24 jam.[17]
4.5 Diagnosis
4.6 Tata Laksana
Secara umum, terapi awal Sindroma Koroner Akut (SKA) dapat
disingkat menjadi MONACO yakni Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin, dan
Clopidogrel.Secara rinci, tatalaksana tersebut adalah sebagai berikut:
d. Suplemen oksigen perlu diberikan pada paisen dengan saturasi
oksigen di bawah 95% atau pada seluruh pasien SKA dalam 6 jam
pertama,
e. Aspirin 160-320 mg
21
tidak respon dengan tiga dosis NTG sublingual, dan
h. Morfin sulfat 1-5 mg intravena diulang per 30 menit bagi pasien yang
tidakrespon dengan nitrogliserin sublingual.
22
atau melalui terapi fibrinolitik. Tatalaksana ini ditentukan berdasarkan ada
tidaknya fasilitas PCIdi rumah sakit terdekat, kontraindikasi PCI, serta waktu
yang dibutuhkan untuk tibadi rumah sakit dengan fasilitas PCI. Pada pasien
yang diterima di rumah sakit tanpa fasilitas PCI maka klinisi harus segera
menilai onset gejala, risiko komplikasi terkait STEMI, risiko perdarahan
terkait fibrinolisis, ada tidaknya syok atau gagal jantung, dan waktu yang
diperlukan untuk merujuk pasien ke rumah sakit dengan fasilitas PCI. Terapi
fibrinolitik diindikasikan dengan pasien yang memiliki kontraindikasi PCI
atau tidak dapat melakukan primary PCI dalam waktu 120 menitsejak kontak
medis pertama. [18]
23
fibrinolitik harus dibeirkan dalam 12 jam sejak onset gekala pada pasien
tanpa kontraindikasi. Agen spesifik fibrin seperti teneteplase, alteplase atau
reterplase lebih disarankan dibandingkan streptokinase. Pasien dengan terapi
fibrinolitik perlumenerima aspirin oral dan clopidrogel. Dosis fibrinolitik dan
[4]
koterapi antitrombotiktersebut dalam dilihat pada Tabel 2.5. Pemberian
betablocker IV diikuti oral perlu dipertimbangkan pada pasien stabil yang
akan menjalani PCI primer.[5]
Selain tatalaksana farmakologis, tatalaksana nonfaramkologi seperti
perubahan gaya hidup dan modifikasi faktor risiko akan mendukung
tatalaksana pada pasien dengan riwayat infark maupun mencegah orang sehat
dari risiko infark. Tatalaksana nonfarmakologis yang perlu diedukasikan
kepada pasien antara lain:
a. Berhenti merokok, terbukti menurunkan risiko mortalitas sebanyak
36%,
b. Merencanakan diet, yakni dengan mengatur diet Mediterranian (10%
totalenergi berasal dari lemak, intake garam <5 gram per hari, serat
30-45 gramper hari, sayur atau buah > 200 gram per hari, ikan 1-2
kali per minggu, kacang 30 gram per hari, dan membatas alkohol dan
minuman dengan gula tinggi,
c. Pengendalian berat badan, melalui kontrol Indeks Massa Tubuh
(IMT) danlingkat perut,
d. Aktivitas fisik, termasuk pekerjaan sehari-hari dan olahraga,
e. Kontrol tekanan darah, yakni TDS <140 mmHg bagi pasien usia
dewasa atau <120 mmHg pada pasien lansia, dan
f. Kepatuhan minum obat. [5]
4.7 Komplikasi dan Prognosis
STEMI berisiko menyebabkan sejumlah komplikasi seperti disfungsi
miokard, gagal jantung, perikarditis, dan komplikasi mekanis.
a. Disfungsi miokardium
24
setelah reperfusi miokard berhasil dalam beberapa minggu namun bisa saja
tidak terjadi. Disfungsi ventrikel kiri merupakan komplikasi STEMI
tersering. Hal ini disebabkan oleh disfungsi dan kerusakan miokardium yang
terkadang diperberat dengan aritmia, disfungsi katup, atau komplikasi
mekanis. Bentuk disfungsi ventrikel kiri lainnya antara lain aneurisma
ventrikel kiri, trombus ventrikel kiri, dan regurgitasi katup mitral sekunder.
Diagnosis komplikasi dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ekokardiografi.
Disfungsi miokardium juga dapat terjadi pada ventrikel kanan terutama
jantung bagian inferior. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya elevasi
segmen ST 1 mm pada Lead aVR, V1, dan atau sadapan prekordial kanan
(V3R dan V4R). [5]
b. Gagal Jantung
Gagal jantung juga sering terjadi pada pasien dengan STEMI dan
merupakan faktor prognostik yang paling penting. Diagnosis pada fase akut
STEMI sangat bergantung dengan gejala tipikal, pemeriksaan fisik, dan X-
Ray dada sedangkan penilaian risiko dilakukan berdasarkan klasifikasiKillip.
Kongesti pulmonal terjadi pada Killip kelas 2 ringan ke sedang atau Killip
kelas 3 (edema pulmonal), membaik setelah reperfusi dan terapi medikal,
atau berkembang menjadi gagal jantung kronis. Hipotensi berupa tekanan
darah sistolik di bawah 90 mmHg juga bisa terjadi akibat adanya disfungsi
ventrikel kiri atau kanan, curah jantung menurun, gangguan ritme,komplikasi
mekanis, disfungsi katup, hypovolemia, atau obat-obatan yang berlebihan.
Jika terlalu lama terjadi, hipotensi dapat menyebabkan disfungsi ginjal atau
komplikasi sistemik lainnya. [5]
c. Syok kardiogenik
25
dengan syok kardiogenik tidak membutuhkan terapi hemodinamik invasif
melainkan terapi reperfusi segera. [5]
d. Komplikasi mekanis
Komplikasi mekanis patut dicurigai apabila hipotensi mendadak,
nyeri dada rekuren murmur jantung yang sesuai dengan regurgitas mitral atau defek
septum ventrikel, kongesti pulmonal, atau distensi vena jugular ditemukan. [5]
e. Perikarditis
26
BAB V
KESIMPULAN
Pasien datang dengan sesak napas dan nyeri dada tipikal. Pasien memiliki
faktor risiko bawaan dan faktor risiko yang didapat dari lifestylenya untuk sindrom
koroner akut. Saat pemeriksaan EKG didapatkan ST elevasi pada Lead 1, AvF, dan
V1-v5 new onset yang harus dipertimbangkan sebagai STEMI. Setelah diagnosis
STEMI ditegakkan pasien diperikan terapi awal di IGD kemudian dilakukan
reperfusi berupa Primary PCI.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
12. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, Simpson
EL, et al. Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: Section
13. Jolly SS, Nolan J. Radial First in ST-Segment – Elevation Myocardial
Infarction. 2021;(March):270–1.
14. Pera VK, Larson DM, Sharkey SW, Garberich RF, Solie CJ, Wang YL, et al.
New or presumed new left bundle branch block in patients with suspected ST-
elevation myocardial infarction. 2017;
15. Guyton, A. C., Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 14th ed. Jakarta:
EGC; 2018.
16. Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
17. Afroze A MI. Hypertension: Diagnosis and management in primary care.
InnovAiT 2021;10.
18. Gayatri NI, Firmansyah S, S SH, Rudiktyo E. Prediktor Mortalitas Dalam-
Rumah-Sakit Pasien Infark Miokard ST Elevation ( STEMI ) Akut di RSUDdr
. Dradjat Prawiranegara Serang , Indonesia. CDK 2016;43(3):171–4
29