Disusun Oleh:
Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group Discussion (SGD)
LBM 3 yang berjudul “Wajahku Seperti Rembulan” ini tepat pada waktunya. Laporan
ini ditulis untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD serta Pleno dalam blok
Endokrin dan Metabolisme. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
melalui kesampatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Nadira Yumna, S.Ked selaku Tutor serta Fasilitator Small Group Discussion
(SGD) kelompok 5
2. Kakak tingkat yang berkenan memberikan banyak saran dan masukan terkait
laporan yang saya buat ini.
3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya
kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki dan masih perlu banyak
perbaikan. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta yang membangun
dari berbagai pihak. Akhir kata saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang akan menggunakannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
WAJAHKU SEPERTI REMBULAN
4
1.2 Deskripsi Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
2.2 Fisiologi axis HPA
kelenjar adrenal memiliki fungsi yang penting karena menyekresi hormon yang
mampu membuat tubuh beradaptasi terhadap stress, baik fisik maupun psikis. Kelenjar
adrenal tersusun atas bagian korteks dan bagian medulla. Bagian korteks adrenal
dikendalikan oleh kelenjar hipofisis yang berespons terhadap hormon yang dilepaskan
oleh kelenjar adrenal, yakni adenocorticotropin hormone (ACTH). Sel-sel korteks
menyekresi tiga hormon steroid yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
Berikut adalah beberapa hormon yang disekresioleh korteks adrenal, yakni:
7
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Selanjutnya kortisol kembali memberikan
umpan balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis, dan menghambat produksi CRH-
ACTH. Sistem mengalami fluktuasi, bervariasi menurut kebutuhan fisiologis akan
kortisol. Jika sistem menghasilkan terlalu banyak ACTH, sehingga terlalu banyak
kortisol, maka kortisol akan mempengaruhi kembali dan menghambat produksi CRH
oleh hipotalamus serta menurunkan kepekaan sel-sel penghasil ACTH terhadap CRH
dengan bekerja secara langsung pada hipofisis anterior. Melalui pendekatan ganda ini,
kortisol melakukan kontrol umpan balik negatif untuk menstabilkan konsentrasinya
sendiri dalam plasma. Apabila kadar kortisol mulai turun, efek inhibisi kortisol pada
hipotalamus dan hipofisis anterior berkurang sehingga faktor-faktor yang merangsang
peningkatan sekresi kortisol (CRH-ACTH) akan meningkat. Sistem ini peka karena
produksi kortisol atau pemberian kortisol atau glukokortikoid sintetik lain secara
berlebihan dapat dengan cepat menghambat aksis hipotalamus-hipofisis dan
menghentikan produksi ACTH (Huether SE, McCance KL, editors, 2019).
Sindroma Cushing terjadi akibat adanya hormon kortisol yang sangat tinggi di
dalam tubuh. Kortisol berperan dalam berbagai fungsi tubuh, misalnya dalam
pengaturan tekanan darah, respon tubuh terhadap stress, dan metabolisme protein,
karbohidrat, dan lemak dalam makanan (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy,
editor, 2019).
Sindroma Cushing dapat diakibatkan oleh penyebab di luar maupun di dalam
tubuh. Penyebab sindroma Cushing dari luar tubuh yaitu sindroma chusing latrogenik
yaitu akibat konsumsi obat kortikosteroid (seperti prednison) dosis tinggi dalam
waktu lama. Obat ini memiliki efek yang sama seperti kortisol pada tubuh (Appleton,
Vanbergen, O’Neill, Murphy,editor, 2019).
Penyebab sindroma Cushing dari dalam tubuh yaitu akibat produksi kortisol
di dalamtubuh yang berlebihan. Hal ini terjadi akibat produksi yang berlebihan pada
salah satu atau kedua kelenjar adrenal, atau produksi hormon ACTH (hormon yang
mengatur produksi kortisol) yang berlebihan dari kelenjar hipofise. Hal ini dapat
disebabkan oleh : (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019).
1) Hiperplasia adrenal yaitu jumlah sel adrenal yang bertambah. Sekitar 70-80%
8
wanita lebihsering menderita sindroma chusing.
2) Tumor kelenjar hipofise, yaitu sebuah tumor jinak dari kelenjar hipofise yang
menghasilkan ACTH dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menstimulasi
kelenjar adrenal untuk membuat kortisol lebih banyak.
3) Tumor ektopik yang menghasilkan hormon ACTH. Tumor ini jarang terjadi,
dimana tumorterbentuk pada organ yang tidak memproduksi ACTH, kemudian
tumor menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebihan. Tumor ini bisa jinak atau
ganas, dan biasanya ditemukanpada paru-paru seperti oat cell carcinoma dari paru
dan tumor karsinoid dari paru, pankreas (tumor pankreas), kelenjar tiroid
(karsinoma moduler tiroid), atau thymus (tumor thymus).
4) Gangguan primer kelenjar adrenal, dimana kelenjar adrenal memproduksi kortisol
secara berlebihan diluar stimulus dari ACTH. Biasanya terjadi akibat adanya
tumor jinak pada korteks adrenal (adenoma). Selain itu dapat juga tumor ganas
pada kelenjar adrenal (adrenocortical carcinoma).
5) Sindrom chusing alkoholik yaitu produksi alkohol berlebih, dimana akohol
mampu menaikkan kadar kortisol.
6) Pada bayi, sindrom cushing paling sering disebabkan oleh tumor adrenokorteks
yang sedang berfungsi, biasanya karsinoma maligna tetapi kadang-kadang
adenoma benigna (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019).
Cushing's disease
Etiologi Cushing disease yang paling sering ditemukan adalah adenoma
pituitari. Pada kasus jarang, hiperplasia kortikotrof difusa juga dapat menyebabkan
Cushing disease. Tumor penyebab penyakit ini biasanya berupa mikroadenoma (<5
mm). Makroadenoma ditemukan pada5–10% pasien dan biasanya berkaitan dengan
produksi adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang lebih tinggi daripada
mikroadenoma (Huether SE, McCance KL, editors, 2019), (Appleton, Vanbergen,
O’Neill, Murphy, editor, 2019).
9
Pada ACTH dependent hypercortisolism, kadar ACTH yang tinggi menstimulasi
produksi kortisol yang berlebihan dan menyebabkan hilangnya mekanisme hambatan
sekresi ACTH. Di samping itu juga, terjadi peningkatan sekresi kortisol dan androgen,
serta hambatan CRH. ACTH-independent secreting tumors pada korteks adrenal hanya
menghasilkan kortisol. Bila sekresi kortisol yang dihasilkan oleh tumor sudah melebihi
kadar kortisol normal, gejala hiperkortisolisme akan ditemukan(Huether SE, McCance
KL, editors, 2019).
Abnormalitas sekresi ACTH- Walaupun terdapat hipersekresi ACTH, respons
terhadap stres tidak ada, stimulasi-stimulasi seperti hipoglikemia atau tindakan
pembedahan gagal untuk meningkatkan sekresi ACTH dan kortisol lebih lanjut. Hal
ini mungkin disebabkan oleh adanya supresi fungsi hipotalamus dan sekresi CRH oleh
hiperkortisolisme, yang menyebabkan hilangnya kontrol hipotalamus pada sekresi
ACTH (7,9). (Huether SE, McCance KL, editors, 2019).
10
Cushing’s Syndrome diakibatkan oleh kadar hormon glukokortikoid yang
berlebihan dalam tubuh yang dikenal dengan hiperglukokortikoid. Keadaan
hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan katabolisme protein yang
berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan jaringan subkutan menjadi
tipis, pembuluh-pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak sebagai stria
berwarna ungu di daerah abdomen, paha, bokong, dan lengan atas.Otot-otot menjadi
lemah dan sukar berkembang, mudah memar, luka sukar sembuh, serta rambuttipis dan
kering. Keadaan hiperglukokortikoid di dalam hati akan meningkatkan enzim
glukoneogenesis dan aminotransferase. Asam-asam amino yang dihasilkan dari
katabolisme protein diubah menjadi glukosa dan menyebabkan hiperglikemia serta
penurunan pemakaian glukosa perifer, sehingga bisa menyebabkan diabetes yang
resisten terhadap insulin (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF., 2014)
(Silbernagl, S, Lang, F., 2018).
Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel-sel lemak adalah meningkatkan
enzim lipolisissehingga terjadi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom
Cushing ini terjadi redistribusi lemak yang khas. Gejala yang bisa dijumpai adalah
obesitas dengan redistribusi lemak sentripetal. Lemak terkumpul di dalam dinding
abdomen, punggung bagian atas yang membentukbuffalo hump, dan wajah sehingga
tampak bulat seperti bulan dengan dagu ganda (Silbernagl, S, Lang, F., 2018).
Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap tulang menyebabkan peningkatan
resorpsi matriks protein, penurunan absorbsi kalsium dari usus, dan peningkatan
ekskresi kalsium dari ginjal. Akibat hal tersebut terjadi hipokalsemia, osteomalasia,
dan retardasi pertumbuhan. Peningkatan ekskresi kalsium dari ginjal bisa
menyebabkan urolitiasis. Pada keadaan hiperglukokortikoid bisa timbul hipertensi,
namun penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Hipertensi dapat disebabkan oleh
peningkatan sekresi angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid pada
arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang mirip mineralokortikoid sehingga
menyebabkan peningkatan retensi air dan natrium, serta ekskresi kalium. Retensi air
ini juga akan menyebabkan wajah yang bulat menjadi tampak pletorik. Keadaan
hiperglukokortikoid juga dapat menimbulkan gangguan emosi, insomnia, dan euforia.
Pada sindrom Cushing, hipersekresi glukokortikoid sering disertai oleh peningkatan
sekresi androgen adrenal sehingga bisa ditemukan gejala dan tanda klinis hipersekresi
androgen seperti hirsutisme, pubertas prekoks, dan timbulnya jerawat (Silbernagl, S,
Lang, F., 2018)
11
2.5 Mansfestasi klinis (gejala dan tanda)
Adapun gejala dari chushing’s syndrome dan cushing desease tidak memiliki
perbedaan yang jauh, yakni mudah Lelah dan berkurangnya stamina ditambha dengan
stigmata dari cushingseperti obesitas sentral, moonface, buffalo hump, adanya lipatan
lemak pada daerah supraventricular, perut yang menonjol dan kulit yang tipis. Gejala
lainnya berupa munculnya jerawat, kadar lemak yang berkurang pada bagian
ekstremitas, hiperpigmentasi, pendulous abdomen, mudah memar pada bagian kulit,
hingga peningkatan tekanan darah atau hipertensi. (Huether SE, McCance KL, editors,
2019), (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019).
12
di hepar. Diabetes mellitus terjadi pada20% pasien dengan hiperkortisolisme dengan
manifestasi hiperglikemia berupa poliuria dan glukosuria. Protein wasting
(kehilangan protein) terjadi akibat efek kortisol di jaringan perifer dan menyebabkan
kelemahan otot. Di tulang, kehilangan matriks protein menyebabkan osteoporosis,
sehingga terjadi fraktur patologis, fraktur kompresi tulang belakang, nyeri punggung
dan nyeri tulang, kifosis, serta penurunan tinggi badan. Adanya gangguan kortisol
dengan aksi hormon pertumbuhan di tulang panjang, sehingga pada anak dengan
perawakan pendek mungkin akan mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih
disebabkan oleh sindrom Cushing dibandingkan karena defisiensi hormon
pertumbuhan. Gangguan tulang bisa menyebabkan hiperkalsiuria dan batu ginjal
(Huether SE, McCance KL, editors, 2019), (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy,
editor, 2019).
13
2.6 Epidemiologi chusing syndrome dan Cusing desease
Cushing's syndrome
Cushing diperkenalkan pertama kali oleh Harvey Cushing pada awal abad ke 20
,yaitu tahun 1932. Harvey menggambarkan adanya sindrom klinis khas
yangdisebabkan oleh kortisol yang sangat berlebih. Adanya hubungan antara
obesitas,diabetes, hipertensi dan disfungsi gonad pada awalnya dianggap sebagai dua
sindromyang berbeda. Harvey melaporkan penemuan tersebut sebagai gejala lain
darihiperkortisol endogen (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF.,
2014). Dekade terbaru ini, Archard dan Thiers menggambarkanmanifestasi klinis yang
sama padasuatu sindrom yang pada akhirnya dikenal sebagaisindrom resistensi insulin
(sindrom metabolik)dan sindrom ovarium polikistik. Sindrom Cushing adalah kondisi
yang jarang terjadi, insidensi sekitar 2-3 kejadian dari 1 juta populasi per tahun.
Prevalensi sindrom Cushing diperkirakan 1 :10.000 di antara populasi perempuan dan
1 : 30.000 diantara populasi laki laki. Angka kejadian dapat meningkat pada populasi
tertentu seperti diabetes yang tidak terkontrol, wanita dan pria muda dengan
osteoporosis dan hipertensi di usia muda.Sindrom Cushing juga dapat ditemukan pada
pasien dengan adenoma adrenal. Lebih sering ditemui pada wanita dari pada pria, usia
20-40tahun (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF., 2014).
Cushing's disease
14
2.7 Tatalaksana (pemeriksaan penunjang & terapi farmako)
Diagnosis
Diagnosis chusing’s syndrome ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
beberapa pemeriksaan meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Diagnosis
chushing’s syndrome sering terabaikan karena gejalanya beraneka-ragam dan gejala
akibat hiperkostisolemia seperti obesitas, diabetes, hipertensi, hilangnya masa tulang
dan depresi sering ditemukan pada penduduk umum. Gejala hiperkortisolemia yang
mudah dikenali diantaranya plethora wajah, tumpukan lemak di supraklavikuler,
buffalo hump, obesitas perut, dan striae ungu. Pada penderita seperti ini diperlukan
pemeriksaan biokimia untuk memastikan kecurigaan klinis. Kadang-kadang gejalanya
tidak jelas, sering disebut chushing’s syndrome subklinik atau preklinik (Kasper DL,
dkk. 2015).
Tata Laksana
Kadar kortisol di dalam darah mengikuti pola sirkadian, dimana kadar tertinggi
terukur pada pagi dini hari dan terrendah pada waktu tidur. Untuk dokter keluarga
dianjurkan untuk melakukan salah satu dari tiga pemeriksaan untuk penderita yang
dicurigai SC, yaitu: kortisol bebas urine 24 jam (24-hour urinary free cortisol [UFC) ,
uji kortisol saliva tengah malam (late- night salivary costisol test), atau uji supresi
deksametason semalam (1-mg overnight dexamethasone suppression test [DST]).
Prinsipnya, uji ini untuk mendeteksi peningkatan kadar kortisol di dalam urine atau
saliva atau menunjukkan kelainan umpan balik aksis HPA. Oleh karena kadar kortisol
sangat bervariasi dan sensitivitas dan spesifisitas uji-uji diatas suboptimal, maka
Endocrine Society di Amerika mengusulkan paling sedikit 2 uji positif sebelum
menegakkan diagnosis SC (Huether SE, McCance KL, editors, 2019), (Appleton,
Vanbergen, O’Neill, Murphy,editor, 2019).
15
didiagnosis menggunakan pemeriksaan pencitraan (Huether SE, McCance KL, editors,
2019).
Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath)
Inspeksi : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, pergerakan dada
simetrisPalpasi : Vocal premitus teraba, tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Suara sonor
Auskultasi : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
B2 (Blood)
Perkusi pekak , S1 S2 Terdengar tunggal , hipertensi, TD meningkat.
B3 (Brain)
Composmentis dengan GCS 456, kelabilan alam perasaan depresi sampai insomnia
B4 (Bladder)
Poliuri, kadang terbentuk batu ginjal, retensi natrium.
B5 (Bowel)
Terdapat peningkatan berat badan, nyeri pada daerah lambung, terdapat striae di daerah
abdomen,mukosa bibir kering, suara redup.
B6 (muskuloskeletal dan integumen)
Kulit tipis, peningkatan pigmentasi, mudah memar, atropi otot, ekimosis, penyembuhan
lukalambat, kelemahan otot, osteoporosis, moon face, punguk bison, obesitas tunkus.
Pemeriksaan Penunjang
Terapi chusing’s syndrome dapat berupa terapi bedah, radioterapi dan terapi
16
medik. Sasaran terapi chusing’s syndrome adalah memperbaiki gejala klinik,
menormalkan kadar kortisol,dan kendali jangka panjang tanpa kekambuhan. Jika tidak
diobati akan meningkatkan mortalitas. Tanpa pengobatan, penderita dengan chusing’s
syndrome mempunyai prognosis yang kurang baik,yaitu survival 5 tahun sebesar 50%.
Terapi spesifik untuk hiperkortisolisme meliputi terapi medikamentosa, radioterapi,
dan pembedahan. Sebelum memulai terapi, sangat penting untuk membedakan apakah
penyebab berasal dari hipofisis atau adrenal (Huether SE, McCance KL, editors, 2019),
(Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019).
Ada beberapa tujuan terapi medik pada penderita SC. Terapi medik dapat
diberikan kepada mereka dengan komplikasi akut seperti sikosis akut, hipertensi berat,
dan infeksi oportunistik. Keadaan yang mengancam jiwa ini terutama dikaitkan dengan
17
Sindrom ACTH Ektopik (SAE) dimana membutuhkan penurunan kadar kortisol yang
berlebihan dengan cepat. Pada beberapa pusat, terapi medik untuk menurunkan kadar
kortisol digunakan sebelum tindakan pembedahan dilakukan dengan tujuan untuk
mengoptimalkan keadaan penderita yaitu memperbaiki katabolisme dan regulasi
tekanan darah dan homeostasis glukosa. Disamping itu penurunan kadar kortisol dapat
mengurangi kecenderungan perdarahan pada saat tindakan bedah (Huether SE,
McCance KL, editors, 2019), (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019).
Secara umum terapi medik yang ditujukan untuk pengobatan hiperkortisolemia
adalah:
• setelah gagal terapi bedah untuk penderita SC tergantung ACTH atau SAE
• penderita dengan penyakit metastasis, misalnya tumor neuroendokrin yang
menghasilkanACTH dan karsinoma adrenokortikal yang menghasilkan kortisol
• pada penderita dengan risiko operasi yang tinggi misalnya dengan ko-morbiditas
dan usialanjut (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF., 2014)
Beberapa kelompok obat yang umum diberikan sebagai terapi medik pada
penderita SC adalah: penghambat steroidogenesis adrenal, obat yang bekerja secara
sentral, antagonis reseptor glukokortikoid, dan beberapa obat baru yang sedang
dikembangkan. Obat-obat penghambat steroidogenesis adrenal yang kini digunakan
diantaranya adalah: ketokonazol, flukonazol, metirapon, mitotan, etomidat, LCI699.
Yang termasuk obat- obat yang bekerja sentral adalah ligan reseptor somatostatin
(pasireotid), agonis dopamin (kobergolin, bromokriptin), bahan cimerik, asam retinoat,
temozolomid, siproheptadin, asam valproate, ligan peroxisome proliferator- activated
receptor gamma, dan antagonis reseptor adrenergik alfa 1 dan obat golongan antagonis
reseptor glukokortikoid misalnya mifepriston (Huether SE, McCance KL, editors,
2019), (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF., 2014)
Kelenjar adrenal memiliki fungsi yang sangat besar untuk mempoduksi berbagai
jenis hormon yang berperan dalam pengendalian fungsi tubuh. Kelenjar adrenal
memiliki dua bagian utama yaitu korteks dan medulla yang memiliki fungsinya
masing-masing. Kelenjar adrenal dapat mengalami gangguan yang dapatdisebabkan
oleh berbagai penyakit seperti autoimun, infeksi, tumor, dan pendarahan. Adapun
beberapa gangguan pada kelenjar adrenal sebagai berikut.
18
1. Cushing Syndrome
3. Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme ditandai dengan sekresi aldosterone yang berlebihan.
Penyakit ini dapat terjadi secara primer dan sekunder. Hiperaldosteronisme primer
(Sindrom Conn) disebabkan oleh sekresi aldosterone yang berlebihan akibat
gangguan korteks adrenal yang biasanya berupa adenoma adrenal. Penyebab lainnya
19
adanya nodul hyperplasia adrenal bilateral dan keganasan adrenal.
Hiperaldosteronisme primer terjadi akibat sekresi aldosterone yang berlebihan
diikuti dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sementara,
hiperaldostironisme sekunder terjadi akibat stimulus sekresi aldosterone dari
kelenjar ekstra adrenal biasanya angiotensin II melalui mekanisme renin. Gejala dari
hiperaldosteronisme yakni hipertensi dan hipokalemi. Hipertensi yang terjadi terus
menerus memberikan efek peningkatan tekanan arteri sehingga dapat menyebabkan
dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit vascular, dan gangguanginjal (Huether
SE, McCance KL, editors. 2019).
4. Penyakit Addison
Insufisiensi Adrenal Primer atau Penyakit Addison adalah penyakit yang
disebabkan oleh mekanisme autoimun yang menyebabkan kerusakam sel korteks
adrenal. Penyakit Addison biasanya lebih banyak terjadi pada wanita usia 30-60
tahun. Penyakit Addison ditandai dengan sintesis kortikosteroid dan
mineralokortikoid yang tidak adekuat disertai peningkatan kadar serum ACTH
akibat hilangnya mekanisme umpan balik negatif. Keluhan pada penyakit Addison
berupa kelemahan dan mudah lelah,kulit mengalami hiperpigmentasi, kondisi
hipotensi yang memburuk akan menyebabkan kegagalan vascular dan syok.
Penatalaksaan penyakit Addison yakni terapi glukokortikoid seumur hidup dan
terapi pengganti mineralokortikoid serta modifikasi diet dan pengobatan untuk
penyakit yang mendasari (Huether SE, McCance KL, editors. 2019).
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas bahwa Cushing's syndrome adalah
kondisi yang disebabkan oleh hiperkortisolisme kronis, yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti kelainan organik di kelenjar hipofisis anterior, korteks adrenal,
atau dampak obat-obatan yang berlebihan. Terdapat dua bentuk utama dari Cushing's
syndrome: ACTH-dependent dan ACTH-independent. ACTH-dependent disebabkan
oleh hipersekresi ACTH, baik dari hipofisis atau sumber lain, sementara ACTH-
independent disebabkan oleh hipersekresi kortisol dari korteks adrenal.
Cushing's disease adalah kondisi spesifik dari Cushing's syndrome yang
disebabkan oleh adenoma kelenjar hipofisis. Adenoma ini merangsang korteks adrenal
untuk menyekresi kortisol berlebihan. Hiperkortisolisme dapat memengaruhi banyak
aspek tubuh, termasuk metabolisme, sistem imun, kulit, otot, dan tulang.
Diagnosis Cushing's syndrome melibatkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
laboratorium, dan penunjang seperti tes urine, tes supresi deksametason, dan
pemeriksaan pencitraan. Tatalaksana Cushing's syndrome tergantung pada
penyebabnya. Terapi bisa berupa bedah, radioterapi, atau terapi medikamentosa.
Adenomektomi transspenoidal merupakan pilihan umum untuk Cushing's disease.
Cushing's syndrome memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan dan memerlukan
perawatan yang tepat untuk mengendalikan hiperkortisolisme dan mengurangi gejala
terkait.
21
DAFTAR PUSTAKA
Gartner L.P. and Hiatt J.L. Color Textbook of Histology. 3rd ed. Philadelphia. Pp.
437-462.
Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia ed
Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. (2015).
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014) Buku ajar ilmu penyakit
Silbernagl, S, Lang, F (2018). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, EGC, Jakarta
7, 281-293. https://doi.org/10.2147/CLEP.S44336
Tortora, GJ, Derrickson, B. (2016). Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition.
22