Anda di halaman 1dari 20

ASITES

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

Oleh :

Farah Maisyura, S.Ked


2106111055

Preseptor :
dr. Darmadi, Sp.PD-KGEH

BAGIAN ILMU/SMF PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan refrat dengan judul "ACITES".
Penyusunan refrat ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu Pennyakit Dalam Fakultas
Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, dengan rasa hormat dan
rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Darmadi,Sp.PD-KGEH atas arahan dan bimbingannya
dalam penyusunan refrat ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan
dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan refrat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan refrat ini. Semoga refrat ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2
2.1 Definisi.................................................................................................................2
2.2 Etiologi.................................................................................................................3
2.3 Manifestasi Klinis................................................................................................3
2.4 Patofisiologi.........................................................................................................4
2.5 Diagnosis..............................................................................................................6
2.6 Tatalaksana..............................................................................................................9
2.6.1 Non Farmakologi..............................................................................................9
2.6.2 Farmakologi....................................................................................................11
2.7 Edukasi dan Pencegahan.......................................................................................13
2.8 Prognosis...............................................................................................................13
BAB 3 KESIMPULAN
DAFTRA PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di
rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar yakni transudasi dan
eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hepatis dan hipertensi portal
adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi
melalui mekanisme transudasi.(1)
Asistes merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit.
Asites juga menyebabkan penyakit dasarnya menjadi kompleks. Infeksi pada cairan
asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karna itu asites
harus di terapi dengan baik. Asites merupakan salah satu dari tiga komplikasi sirosis
yang sangat sering terjadi, komplikasi yang lain adalah hepatik ensefalopati dan
perdarahan varises.
Asites terjadi 60% pada 10 tahun setelah pasien menderita sirosis hepatis
kompensata. Terapi yang berhasil akan memperbaiki prognosis dan gejala. Asites
dapat menyebabkan komplikasi seperti peritonitis bakterialis spontan (PBS) dan
sindroma hepatorenal (SHR). Terapi asites kompleks dengan menggunakan obat-
obatan dan intervensi untuk memelihara volume tubuh tetap normal, mencegah
disfungsi multiorgan, dan mencegah infeksi.
Komplikasi yang paling umum adalah sirosis hati yang terjadi lebih dari
setengah pasien sirosis dalam sepuluh tahun setelah didiagnosis sirosis. Onset asites
menjadi penanda penting dalam perkembangan penyakit hati, yang mengindikasikan
angka kematian 50% dalam kurun waktu 25 tahun. Asites biasanya dapat dikontrol
dengan baik dengan tingkat kepatuhan tinggi pada diet rendah natrium dan terapi
diuretik. Namun pada 10% pasien sirosis dengan asites, terapi diuretik maksimal
tidak efektif.(2)

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Asites adalah penumpukan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.


Organ di dalam perut dibungkus oleh kantong atau selaput yang disebut peritoneum.
Normalnya, rongga di dalam peritoneum (rongga peritoneal) hanya berisi sedikit
cairan. Asites terjadi ketika jumlah cairan di dalam rongga peritoneal ini lebih dari 25
ml. Kondisi ini sering kali disebabkan oleh penyakit hati, atau penurunan jumlah dan
produksi albumin. Ketika hati kehilangan kemampuannya membuat protein albumin,
air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (asites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya timbul setelah
asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
Penumpukan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme
dasar yakni transudasi dan eksudasi. Transudasi adalah cairan bukan proses radang
diakibatkan karna peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik.
Eksudasi adalah cairan yang di akibatkan karna proses radang.(3)

2
3

2.2 Etiologi

Penyebab dari asites sangat bervariasi dan yang tersering adalah sirosis hati.
Di Amerika Utara dan Eropa 90% dari kasus asites disebabkan oleh sirosis dan
penyakit jantung kongestif. Pengobatan lini pertama untuk asites sirotik adalah diet
rendah natrium yang dikombinasikan dengan terapi diuretik. Namun, pada stadium
lanjut asites refrakter dapat terjadi pada beberapa pasien sehingga terapi
medikamentosa tidak efektif. Asites non sirotik sering berhubungan dengan cancer
seperti karsinoma mammae, karsinoma colorectal, karsinoma ginekologi,
gastrointestinal dan pankreas. Dalam mengklasifikasi cairan ascites pemakaian Serum
Ascites Albumin gradien adakalanya dipergunakan lebih bermanfaat dari
pemeriksaan total protein.(4)

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala klinis utama dari asites adalah pertambahan lingkar perut yang sering
bersamaan dengan oedema tungkai bawah. Pasien asites baru terlihat secara fisik bila
jumlah cairan asites ± 1500 cc. Pada pasien dengan cairan asites yang banyak ,fungsi
pernafasan dan aktivitas fisik dapat terganggu. Gejala-gejala seperti dispnea,
4

anoreksia, malaise, kelelahan, malnutrisi dan berkurang massa otot. Asites dapat
diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan asites, yaitu : (5)
 Grade 1 : asites hanya dapat dideteksi dengan Ultrasonography.
 Grade 2 : asites yang menimbulkan distensi abdomen simetris yang
sedang (moderate ascites).
 Grade 3 : asites yang menimbulkan distensi abdomen yang berat
(large ascites).
Efusi pleura sering dijumpai pada pasien dengan asites. Efusi biasanya ringan
sampai sedang dan lebih sering terjadi di lapangan paru kanan.
2.4 Patofisiologi

 Hipertensi portal → peningkatan tekanan vena porta merangsang pelepasan


sitokin vasodilator seperti NO, prostasiklin, adenosin, endotoksin) yang selanjutnya
mengakibatkan vasodilatasi perifer dan splanchnic. Vasodilatasi ini mengakibatkan
tubuh mendeteksi terjadinya penurunan volume plasma melalui baroreseptor.
Keadaan hipovolemik ini kemudian mengaktifkan sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem saraf simpatis, dan meningkatkan sekresi antidiuretik hormon yang
selanjutnya mengakibatkan vasokonstriksi renal dan retensi garam dan air.
Pre-hepatik : Kompresi atau trombosis vena porta; schistosomiasis
Hepatik : Sirosis hepatis; nekrosis hepatik akut; hepatitis viral
Post-hepatik : Sindrom Budd-Chiari, myeloproliferative disorders, perikarditis
konstriktif; gagal jantung kanan, keadaan hiperkoagulabilitas.(6)
 Hipoproteinemia > Konsentrasi protein plasma yang rendah, terutama
albumin, menurunkan tekanan osmotik plasma. Normalnya, tekanan osmotik yang
relatif tinggi cenderung menarik cairan ekstravaskular kembali ke intravaskular. Pada
keadaan hipoproteinemia, gradien osmotik berkurang sehingga cairan yang ditarik
dari ekstravaskular juga sedikit. Jika jumlah cairan ekstravaskular melebihi kapasitas
limfatik hepar dan usus, maka terjadilah asites.(3)
5

 Miscellaneous > Pankreatik asites terjadi akibat ruptur duktus pankreatikus


atau kebocoran sekresi pankreas dari suatu pseudocyst. Iritasi peritoneum oleh sekresi
pankreas akan mengganggu permeabilitas membran peritoneum sehingga terjadi
akumulasi protein plasma dan cairan di rongga peritoneum. Pada pembedahan
abdomen jika terjadi cedera limfatik dapat mengakibatkan terjadinya asites kilus.
 Pankreatik asites
 Nefrogenik asites
 Myxoedema
 Meigs's syndrome
 Post-abdominal surgery
 Neoplasma > Sel tumor akan melepaskan faktor pertumbuhan, seperti VEGF,
b-FGF, TGF a dan f , IL8, yang berperan dalam neovaskulariasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler memudahkan terjadinya
akumulasi protein dan albumin di rongga peritoneum. Peningkatan tekanan osmotik
ini menarik cairan dari intravaskuler ke rongga peritoneum. Selain itu, tumor hepar
yang besar yang mengkompresi atau tumbuh ke dalam vena porta atau vena hepatik
akan mengakibatkan hipertensi portal dan asites.(7)
 Peritoneal carcinomatosis
 Pseudomyxoma
 Infeksi → Infeksi seperti tuberkulosis peritoneal menyebabkan suatu kondisi
inflamasi kronis di rongga peritoneum. Mediator inflamasi akan mengakibatkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga memudahkan protein plasma
dan cairan untuk merembes dari intravaskular ke rongga peritoneum.
 Tuberkulosis
 Parasit (strongyloidosis, entamoeba).(8)
6

2.5 Diagnosis

a) Anamnesis :
Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan
anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya
mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati, seperti:
riwayat kolestasis neonatal, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi atau suntikan,
atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya perlu ditanyakan
apakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan.(9)
b) Pemeriksaan fisik
Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
Pada awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang terjadi
karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau adanya
massa di abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90% pasien dengan
asites merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting dullness lebih spesifik
tetapi kurang sensitif. Kemudian difokuskan untuk mendeteksi penyakit hati
kronis/sirosis hepatis seperti adanya hipertensi portal dengan adanya tanda-tanda
7

splenomegali, bendungan vena dinding perut, hernia umbilical, adanya ikterus, spider
nevi, eritema palmaris, atrofi testis atau ginekomasti pada laki-laki.
Pemeriksaan abdomen khusus untuk mendeteksi asites seperti : bunyi timpani
pada perkusi perut pasien yang tidur terlentang disebabkan oleh liku-liku usus yang
berisi udara mengapung diatas cairan asites, perut menbengkak ke samping kanan dan
kiri akibat tekanan dari cairan asites pada dinding perut (bulging flanks), bunyi pekak
pada perut yang berubah apabila pasien dimiringkan kekiri atau kekanan (shifting
dulness) bila cairan sekitar 1500cc.
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang setelah anamnesis dan pemeriksan fisik penegakan
diagnosis dapat dibantu oleh pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan radiologi,
dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan
rontgen toraks dan abdomen, USG, CT-Scan dan MRI abdomen. Pemeriksaan
laboratorium berupa hematologi rutin, fungsi ginjal dan urinalisis.(10)
d) Punksi abdomen
Punksi abdomen merupakan cara yang cepat dan ekonomis untuk
mendiagnosis adanya asites, melihat profil/warna cairan dan analisis cairan untuk
menentukan kasus. Punksi asites aman dilakukan walaupun ditemukan adanya
koagulopati. Indikasi punksi asites adalah asites yang baru timbul sebagai tindakan
rutin, pasien yang dirawat berulang kali, bila terdapat tanda-tanda infeksi seperti
demam, nyeri perut dan leukositosis.
8

e) Abdominal Parasentesis
Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang
belum diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites
yang sangat cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan ini
berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP). Cairan
asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin, kultur asites, protein
total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites meliputi:(11)
 Inspeksi
Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Warna cairan
akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah Merah >10 000/ul, dan
menjadi merah jika SDM >20 000/ul. Cairan asites yang berwarna merah akibat
trauma akan bersifat heterogen dan akan membeku, tetapi jika penyebabnya non
trauma akan bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan asites yang keruh
menunjukan adanya infeksi.
 Hitung jumlah sel
Cairan asites yang normal biasanya mengandung <500 cc/mm3 dan <250 PMN
1eukosit/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan kemungkinan
terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan bila jumlah
leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan 30%nya
disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler.
f) SAAG (Serum Acites Albumin Gradient)
Asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Eksudat jika konsentrasi
protein >25 g/1, dan transudat jika konsentrasi protein < 25g/1. Tujuan pembagian ini
adalah untuk mencari penyebab asites, misalnya asites pada kasus keganasan bersifat
eksudat, sedangkan pada sirosis bersifat transudat. Saat ini pembagian tersebut sudah
digantikan oleh pemeriksaan Serum Asites Albumin Gradient ( SAAG). SAAG ini
mengklasifikasikan asites menjadi hipertensi portal (SAAG) > 1,1 g/dl) dan non
hipertensi portal (SAAG< 1.1 g/dl). Cara penghitungan SAAG adalah dengan
menghitung jumlah albumin cairan asites dikurangi jumlah albumin serum. Hal
9

tersebut erat hubungannya dengan tekanan vena porta. Pemeriksaan ini 97% akurat
untuk membedakan asites dengan atau tanpanya hipertensi portal. Beberapa penyebab
asites berdasarkan pembagian menurut nilai SAAG dapat dilihat pada tabel dibawah:
(12)

2.6 Tatalaksana

2.6.1 Non Farmakologi

A. Tirah Baring
Posisi tegak pada pasien dengan sirosis dan asites akan menyebabkan aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis, penurunan laju filtrasi
glomerulus, ekskresi natrium, dan penurunan respon terhadap loop diuretik. Posisi
tirah baring dapat memperbaiki proses pembersihan dari ginjal, sehingga tirah baring
sering direkomendasikan pada pasien asites. Akan tetapi, tirah baring juga memiliki
efek negatif yaitu dapat menyebabkan atrofi otot dan memperpanjang masa rawatan
di rumah sakit.
B. Diet
Salah satu modifikasi diet yang dapat dilakukan pada pasien asites adalah
membatasi konsumsi natrium. Konsumsi natrium perlu dibatasi sekitar 800 – 1000
mg (2 gr NaCl) untuk mencapai keseimbangan natrium negatif dan menyebabkan
10

terjadinya proses diuresis. Pada pasien dengan asites ringan-sedang, konsumsi


natrium harus dibatasi sekitar 60 - 90 mmol/hari. Pembatasan konsumsi natrium
khususnya diberikan pada pasien yang tidak respon atau hanya memiliki respon yang
kecil pada terapi dengan obat diuretik.(13)
C. Transplantasi Hepar
Asites yang terjadi pada pasien dengan penyakit sirosis hati mengindikasikan
suatu tahap akhir dari penyakit dan harus selalu mendapatkan pertimbangan terapi
yang khusus. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah transplantasi hepar. Untuk
pasien dengan asites refrakter, transplantasi hepar akan mengontrol keadaan penyakit
dengan efektif.
D. Paracentesis
Paracentesis merupakan prosedur yang relatif sederhana yang dapat dilakukan
di tempat tidur pasien, dengan cara memasukkan jarum suntik ke dalam cavum
abdomen, kemudian dikeluarkan sejumlah kecil cairan ascites untuk tujuan diagnostik
atau dalam jumlah besar untuk tujuan terapi.
Indikasi dari paracentesis yaitu: 1. Ascites yang baru terjadi baik rawat jalan
ataupun rawat inap 2. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan keluhan ascites 3.
Ascites dengan gejala dan tanda-tanda infeksi seperti demam, hipotensi, leukositosis,
ensefalopati, asidosis
Kontraindikasi dilakukan paracentesis yaitu: 1. Koagulopati, merupakan
kontraindikasi relative 2. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau
terjadinya fibrinolisis, beberapa ahli menyebutkan sebagai kontraindikasi absolut.
Risiko yang dapat terjadi pada tindakatan paracentesis: 1. Hematom dinding abdomen
2. Infeksi 3. Perdarahan.(1)
11

2.6.2 Pemeriksaan Cairan Asites

 Gross appearance Normal warna cairan peritoneal yaitu putih jernih sampai
kuning pucat. Cairan ascites yang seperti susu (chylous ascites) ditandai dengan
adanya kilomikron, merupakan partikel lipoprotein terdapat banyak dalam
trigliserida. Penyebab chylous ascites yaitu sirosis, infeksi (parasite dan tuberkulosis),
keganasan, traumatis, dan proses inflamasi.
 VEGF yang dikenal sebagai faktor permeabilitas vaskuler, berperan penting
dalam akumulasi cairan ascites. Dengan menggunakan enzyme immunoassay, kadar
VEGF lebih tinggi pada ascites malignant dibandingkan dengan ascites non-
malignant (seperti sirosis, tuberkulosis, inflamasi). Sensitivitas dan spesifisitas VEGF
dalam mendiagnosis ascites malignant yaitu 91,3% dan 90,9%.(8)
12

2.6.3 Farmakologi

A. Diuretik
Tujuan terapi dengan menggunakan diretik adalah menurunkan morbiditas
dan mencegah komplikasi pada pasien asites'. Sasaran terapi diuretik adalah
penurunan berat badan tidak lebih dari 1 kg/hari pada pasien dengan asites dan edema
dan tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien dengan asites. Obat diuretik awal yang
dapat digunakan adalah Spironolakton.
Spironolakton bekerja dengan menurunkan reabsorbsi natrium di tubulus
distal. Dosis awal yang dapat digunakan adalah 50 – 100 mg/hari dan dosis maksimal
yang dapat digunakan adalah 400 mg/hari7. Efek samping yang paling sering timbul
akibat penggunaan spironolakton adalah hiperkalemia dan ginekomasti. Efek samping
lainnya adalah penurunan libido, impotensi, kram otot, dan gangguan menstruasi 7.
Untuk mengatasi ginekomastia, terapi pengganti spironolakton yang dapat digunakan
adalah Amiloride. Dosis amiloride yang digunakan yaitu 10 - 40 mg/hari. Akan
tetapi, amiloride lebih mahal dan kurang efektif dibandingkan spironolakton. Jika
pasien tidak respon dengan spironolakton, obat diuretik lain yang dapat digunakan
adalah furosemide. Dosis awal furosemid adalah 20 - 40 mg/hari dan dosis maksimal
furosemide adalah 160 mg/hari. Efek samping furosemide yaitu hipokalemia,
metabolik hipokloremia alkalosis, hiponatremia, dan hipovolemia sehingga dapat
menimbulkan gangguan ginjal dan ensefalopati. Untuk mengurangi resiko
hiperkalemia, terapi kombinasi yang dapat digunakan adalah kombinasi furosemide
dan spironolakton. Dosis terapi yang direkomendasikan yaitu 40 mg furosemide
untuk 100 mg spironolakton. Dosis maksimal yang dapat dipakai untuk terapi
kombinasi yaitu spironolakton 400 mg/hari dengan furosemide 160 mg/ahri. Pasien
yang mendapatkan terapi kombinasi ini harus dimonitor secara ketat yaitu penurunan
berat badan, elektrolit, urea, dan kreatinin .(9)
Penggunaan diuretik berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti
gangguan ginjal, ensefalopati hepatikum, gangguan keseimbangan elektrolit,
13

ginekomastia dan kram otot. Gangguan ginjal yang disebabkan diuretik sebagian
besar terjadi karena berkurangya volume intravaskular yang terjadi karena penggunan
diuretik secara berlebihan. Hipokalemia dapat terjadi karena penggunaan loop
diuretik tunggal. Hiperkalemia dapat terjadi karena antagonis aldosteron atau diuretik
hemat kalium lainnya terutama pada pasien dengan gangguan ginjal. Hiponatremia
juga sering terjadi dan masih diperdebatkan kadar hiponatremia yang bagaimana
diuretik harus dihentikan namun banyak ahli menyetujui diuretik dihentikan
sementara pada kadar hiponatremia dibawah 120-125 mmol/L.
B. Aquaretic Agent
Aquaretik agent adalah antagonis spesifik vasopressin reseptor (V2).
Aquaretik agent bekerja pada tubulus kolektivus ginjal dan menginduksi ekskresi
cairan tanpa mempengaruhi keseimbangan elektrolit. Salah satu contoh aquaretik
agent adalah satavaptan.(7)
2.7 Edukasi dan Pencegahan
Asites merupakan komplikasi dari penyakit-penyakit yang dapat diobati.
Sehingga dengan mengobati penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan
asites, contohnya asites pada tuberkulosa peritonitis. Asites yang disebabkan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri. Biasanya hanya
dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis berulang. Pasien yang mengalami
asites sebaiknya membatasi konsumsi garam, membatasi konsumsi cairan,
meningkatkan konsumsi sumber makanan yang mengandung albumin tinggi seperti
putih telur dan tidak mengkonsumsi zat yang bersifat merusak hati seperti alkohol.(4)
2.8 Prognosis

Prognosis pasien dengan asites akibat penyakit pada hati tergantung pada
penyakit yang mendasari, seperti tingkat kesembuhan dari suatu penyakit dan respon
terhadap pengobatan. Hal ini disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang kronis
dan progresif. Pada pasien dengan asites sekunder pada gagal hati, memiliki tingkat
mortalitas hingga 2 tahun apabila tidak dilakukan pengobatan. Terapi parasentesis
14

bersifat aman dan efektif dalam mengurangi jumlah cairan mulai dari kecil hingga
sedang. Tetapi, prosedur ini beresiko menyebabkan infeksi pada abdomen dan bisa
menyebabkan penurunan tekanan darah atau shock sehingga tidak sesuai dilakukan
pada pasien dengan asites berat. Peritoneo-venous shunt efektif dalam mengurangi
asites tetapi dengan resiko mortalitas hingga 30% pada saat operasi.(1)
BAB 3
KESIMPULAN
Asites adalah penumpukan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Normalnya, rongga di dalam
peritoneum (rongga peritoneal) hanya berisi sedikit cairan. Asites terjadi ketika
jumlah cairan di dalam rongga peritoneal ini lebih dari 25 ml. Kondisi ini sering kali
disebabkan oleh penyakit hati.
Penumpukan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme
dasar yakni transudasi dan eksudasi. Transudasi adalah cairan bukan proses radang
diakibatkan karna peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik.
Eksudasi adalah cairan yang di akibatkan karna proses radang.
Penyebab dari asites sangat bervariasi dan yang tersering adalah sirosis hati.
Di Amerika Utara dan Eropa 90% dari kasus asites disebabkan oleh sirosis dan
penyakit jantung kongestif. Pengobatan lini pertama untuk asites sirotik adalah diet
rendah natrium yang dikombinasikan dengan terapi diuretik. Namun, pada stadium
lanjut asites refrakter dapat terjadi pada beberapa pasien sehingga terapi
medikamentosa tidak efektif. Gejala klinis utama dari asites adalah pertambahan
lingkar perut yang sering bersamaan dengan oedema tungkai bawah. Pasien asites
baru terlihat secara fisik bila jumlah cairan asites ± 1500 cc.
Asites disebabkan oleh penyakit yang tidak dapat disembuhkan memerlukan
pengobatan tersendiri. Biasanya hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan
parasentesis berulang. Terapi parasentesis bersifat aman dan efektif dalam
mengurangi jumlah cairan mulai dari kecil hingga sedang. Tetapi, prosedur ini
beresiko menyebabkan infeksi pada abdomen dan bisa menyebabkan penurunan
tekanan darah atau shock sehingga tidak sesuai dilakukan pada pasien dengan asites
berat.

15
DAFTAR PUSTAKA
Losis: update 2020. AASLD practice guideline. published on www.
wileyonlinelibrary.com.

European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on
the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2010 (53): 397–417me in cirrhosis. J
Hepatol. 2021 (53): 397–417

Moore KP, Aithal GP. Guideline on the management of ascites in cirrhosis. Gut
2006;55;1-12.f ascites in cirrhosis. Gut 2019;55;1-12.

Nurdjanah, Siti., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Sirosis Hati. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Edisi 6 Jilid 2019 Universitas Indonesia, 2006. p.443-6

Nito, Imran., Asites, Cairan dalam Rongga Peritoneal. Februari 2009,

Tierney, M.,Jr., Current Medical Treatment and Diagnosis. Cirrhosis. United States
of America : Lange; 2004.p.640-5.nge; 2020.p.640-5.

Norton J. Greenberger. Current Diagosis and Treatment Gastroenterology,


Hepatology and Endoscopy. Mc Graw Hill Medical. 2009. Page 478 -
483copy. Mc Graw Hill Medical. 2019. Page 478 – 483

Santos J, Planas R, Pardo A, Durandez R, Cabre E, Morillas RM, et al.


Spironolactone alone or in combination with furosemide in the treatment of
moderate ascites in nonazotemic cirrhosis. A randomized comparative study
of efficacy and safety. J Hepatol. 2003 Aug;39(2):187-92.acy and safety. J
Hepatol. 2019

Moore KP, Aithal GP. Guideline on the management of ascites in cirrhosis. Gut
2018;55;1-12.

Andres Cardenas et al. Ascites, Hyponatremia, Hepatorenal Syndrome and


Spontaneous bacterial peritonitis. Comprehensive Clinical Hepatology 2nd
Edition.

Inteprestasi Analisa Cairan Asites Nyoman Wande Program Studi Patologi Klinik
Fakultas Kedok2018 Page 153-167.

16
Pustaka T. Penatalaksanaan Asites pada Sirosis Hepatis. 2018;1(3):47–58.

Spahr L, Villeneuve JP, Tran HK, Pomier-Layrargues G. Furosemide-induced


natriuresis as a test to identify cirrhotic patients with refractory ascites.
Hepatology. 2020 Jan;33(1):28-31

Anda mungkin juga menyukai