ASITES
A. PENDAHULUAN
Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah
gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
B. PATOGENESIS
Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :
Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-
Chiari),obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.
Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis
protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy
Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit
keganasan pada peritonium.
Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a
leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs’ syndrome), chronic hemodialysis
C. GEJALA KLINIS
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :
Tingkatan 1 : Bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 : Mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan
yang minimal.
Tingkatan 3 : Dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen
tidak tegang.
Tingkatan 4 : Asites permagna.
D. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik :
Distensi abdomen
Bulging flanks
Timpani pada puncak asites
Fluid wave
Shifting dulness
Puddle sign
Ultrasonografi
• Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
• Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam
jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian
posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisis cairan asites dilakukan pada onset awal asites, tindakan tersebut memerlukan rawat inap
untuk observasi.
Analisis cairan asites :
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi.
E. TERAPI
Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam sangat efektif
pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan tidak memberi
hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga < 120 mmol perliter.
Obat
Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam waktu
singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosis dan furosemid
sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB/dosis.
Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut :
1.Parasentesis
2.Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
3.Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus Paracentesis
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50
cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang
diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Monitoring
Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan
pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring
pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan
Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan
asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan
sebesar 0,5kgperhari.
Diet
Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada pasien-
pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan
dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali
pada kasus asites dengan serum sodium level turun di bawah 120 mmol/
Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang mengisi rongga
peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis hati atau karena penyakit
hati lainnya yang parah. “Hampir 60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10
tahun,” jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli
lalu. Namun, sekitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi cairan.
Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.
Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar 50 %
dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah
asites refraktori yang umumnya diterapi dengan pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan
refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis. Gejala umum pada asites
refraktori adalah asites mengalami kekambuhan sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya
risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk. Dalam melakukan terapi pada asites
refraktori perlu diperhatikan mengenai durasi pengobatan, respon yang lambat, kekambuhan
asitesyang cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian diuretika. Pilihan terapi untuk
asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic
shunting), peritoneovenus shunts, dan transplantasi hati.
Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites refraktori karena
penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan pemberian
large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin. Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus
albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan
komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika.
Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa perawatan di rumah
sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2 hingga 4 pekan tanpa keharusan opname.
Namun tindakan ini tidak berarti menghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau
furosemida), karena kekambuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima diuretik
pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian
albumin dibandingkan pemberian plasma sintetik ekspander.
Sesudah paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari). Pasien
yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada urine, jika kurang dari
30 mEq/hari maka pemberian diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang
tidak diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP (spontaneous
bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi
sirkulasi.
Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini disebabkan oleh penurunan
mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet protein rendah, peningkatan katabolisme
albumin, serta adanya asites. Albumin sendiri disintesa secara lengkap pada organ hati Indikasi
terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal, adanya SBP, dan
kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara colloid
oncotic pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal bebas.
Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta
ekspansi volume plasma.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN An.M. E. A. F
JAKARTA BARAT
A. PENGKAJIAN
IDENTITAS PASIEN
NAMA : An. M. E. A. F
AGAMA : Islam
SUKU/BANGSA : Jakarta/Indonesia
AGAMA : Islam
PENDIDIKAN : SMA
PEKERJAAN : Karyawan
UMUR : 27 Tahun
AGAMA : Islam
PENDIDIKAN : SMA
PEKERJAAN : IRT
UMUR : 24 Tahun
B. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat kehamilan/Persalinan
Prenatal
Kondisi ibu saat hamil : Saat di kaji ibu mengatakan baik dan tidak ada
gangguan
Ada kelainan : T.A.K
Nutrisi yang di konsumsi ibu : Saat di kaji ibu minum susu untuk ibu hamil
dengan teratur
Berapa kali pemeriksaan kehamilan : - Trismester I = 1kali
- Trismester II = 2 kali
- Trismester III = 2 kali
Natal
Keadaan bayi lahir : Sehat dengan BB bayi baru lahir 2800 kg, dan PB : 47 cm
Lahir spontan : Ya
Sunsang : Tidak ( normal )
Di tolong oleh : Perawat bidan
Tempat : RS
Ada cacat : Tidak ada
Tidak bisa BAB : Bisa
Neonatal
Kondisi bayi : Sehat bayi lahir normal
BB : 2800 kg, PB : 47 cm
Warna kulit : Turgor kulit (+)
Ada masalah setelah lhr : T.A.K
Postnatal
Lamanya ibu di rawat : 3 hari di ruang nifas RS
Produksi ASI : Ya
Bayi menetek : Ya ada reflex moro
b. Riwayat Tumbang
Saat di kaji or pasien mengatakan Pertumbuhan dan Perkembangan mulai terganggu pada saat
pasien umur 9 bulan karena mengalami pembesaran pada daerah abdomen sehingga suplai nutrisi
berkurang
c. Riwayat imunusasi
saat di kaji or pasien mengatakan pada umur 4 bulan di imunisasi BCG tapi terjadi basites
2. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga tidak ada yang menderita pentakit yang di derita oleh pasien ( ascites )
3. Riwayat sosial
Siapa yang merawat anak : Orang tua ( ibu & ayah ), hubungan dengan anak : anak kandung
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Lemah
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. TTV : TD : 90/60mmHg N:138x/m R:28x/m SB:39ْ
Head to toe
Mata : T.A.K
Telinga : T.A.K
Hidung : T.A.K
Mulut : T.A.K
Kulit : T.A.K
Thorax : T.A.K
Perut : Terjadi Pembesaran, LP : 56 cm, cembung (+)
Jantung : Terjadi peningkatan kerja jantung akibat pembesaran LP
Genetalia : laki-laki terjadi pembengkakan penis dan skrotum
Anus : T.A.K
Ekstremitas : Terpasang IVFD KA-EN 3A/6gtt makro drips
Pemeriksaan penunjang :
ANALISA DATA
Hipoventilasi
Peradangan hati
DO :
Suhu meningkat
Badan terasa panas
Hypertermi
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1 Gangguan Pertukaran gas Pernapasan kembali 1. Kaji fungsi 1. Penurunan bunyi napas
berhubungan dengan penurunan suplai normal dengan criteria pernapasan dapat menunjukan
O2, kerusakan alveoli paru hasil : 2. Observasi TTV atelektasis, ronchi
setiap 3 jam meningkat menunjukkan
DS : DS :
3. Atur posisi akumulasi sekret/
semi fowler ketidakmampuan untuk
4. Mengajarkan membersihkan jalan
DO : DO :
pasien teknik napas yang dapat
Klien tampak mengalami Pernapasan napas dalam menimbulkan
sesak napas kembali batuk efektif penggunaan otot asesoris
2 Perubahan temperature tubuh Tidak terjadi 1. Monitori suhu 1. Sebagai indicator untuk
berhubungan dengan infeksi , peningkatan suhu tubuh anak mengetahui status
dehidrasi atau pengaruh lingkungan tubuh dengan criteria setiap 3 jam hypertermi
atau bila 2. Menghambat pusat
DS : hasil : terjadi simpatis di hipotalamus
perubahan sehingga terjadi
DS :
tiba-tiba vasodilatasi kulit
DO : 2. Berikan dengan merangsang
kompres kelenjar keringat untuk
Suhu meningkat DO :
hangat pada mengurangi panas tubuh
Badan terasa panas
TTV dalam lipatan ketiak melalui penguapan
batas normal dan femur tubuh
3. Anjurkan klien 3. Kondisi kulit yang
untuk mengalami lembab
memakai memicu timbulnya
pakaian yang pertumbuhan jamur.
menyerap Juga akan mengurangai
keringat kenyamanan klien,
4. Ajarkan klien mencegah timbulnya
pentingnya ruam kulit
mempertahank 4. Dalam kondisi demam
an cairan yang terjadi peningkatan
adekuat untuk evakurasi yang memicu
mencagah timbulnya dehhidrasi
dehidrasi,
misalnya sari 5. Untuk menurunkan
buah 2,5-3 panas dan penyebab
liter/hari infeksi
5. Kolaborasi
dengan dokter
dalam
pemberian
terapi
N IMPLEMENTASI EVALUASI
O
2. 1. Memonitor suhu badan anak setiap 3 S : Pasien mengatakan badan terasa panas
jam atau bila terjadi perubahan tiba-
O : Suhu meningkat
tiba
2. Memberikan kompres dingin pada A : Masalah belum teratasi
lipatan ketiak dan femur
P : Lanjutkan intervensi keperawatan
3. Menganjurkan pasien untuk
memakai pakaian yang menyerap
keringat
4. Mengajarkan klien pentingnya
mempertahankan cairan yang
adekuat untuk mencegah dehidrasi
misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari
5. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi antipiretik dan
antibiotic
DAFTAR PUSTAKA
CI :
JAKARTA BARAT
DISUSUN OLEH :
PO. 717120108089
JURUSAN KEPERAWATAN
2010