ASCITES
3.1.
Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga
peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi.
Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu
contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme
transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda
prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan
pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites
akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus
dikelola dengan baik.1
3.2.
Etiologi
Pre-sinusoid
Trombosis vena porta atau splenikus
Schistosomiasis
Sinusoid
Sirosis (81%), termasuk PBS
<1.1)
Hepatitis Akut
Keganasan (KHS atau metastasis)
Pasca-sinusoid
Gagal jantung kanan
Sindrom Budd-Chiari
3.3.
Peritonitis
Karsinomatosis peritoneal
Pankreatitis
Vaskulitis
Kondisis hipoalbuminemia lainnya:
sindrom nefrotik
Obstruksi atau infark usus
Kebocoran limfe pascaoperasi
Patofisiologi
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu
misalnya underfilling, overfilling dan periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling
asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa
ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan
18
intravaskular menurun. Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi
dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom
hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati
terjadi vasoldilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan
intravaskular dan curah jantung. Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari
ekspansi cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi
akibat peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon
natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan
kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan
gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua
teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis
pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut
sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut sebagai faktor
sistemik.1
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem
porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan
vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sistem porta
yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed
menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan
tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum. Vasidilator endogen yang dicurigai berperan antara lain:
glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor
natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).1
Vasodilator endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik;
terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.
Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik, sistem reninangiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan
Sirosis Hati
reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.1
Hipertensi Porta
Diagnosis
1. Anamnesis
Pada kondisi awal, asites bersifat asimtomatik. Keluhan kembung atau begah
pada perut. Keluhan kembung atau begah pada perut dirasakan saat volume
cairan sekitar 1-2 L. Keluhan lain dapat berupa bengkak pada kedua tungkai,
peningkatan berat badan, distensi perut. Keluhan sesak nafas juga dapat
ditemukan, terutama jika terjadi hidrotoraks (akibat dari mobilisasi cairan ke
rongga toraks).1
Bila disertai demam, nyeri perut hebat atau penurunan kesadaran perlu
dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterialis spontan (PBS). Adanya oliguria
progresif pada pasien sirosis hepatis dan asites dapat menandakan sindrom
hepatorenal.1
20
medialis.1
Auskultasi paru diperlukan untuk menilai ada hidrothoraks.1
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi
asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan asites, ultrasonografi
Tata Laksana
1. Tata Laksana Umum5
Diet restriksi garam (rekomendasi: Natrium 6-8 g/hari)
Restriksi asupan cairan menjadi 1000 mL/hari hanya direkomendasikan pada
21
2. Tata Laksana pada asites volume sedang. Dapat dilakukan secara rawat jalan,
sesuaikan dengan toleransi pasien.5
Spironolakton dosis 50-200 mg/hari p.o yang dikombinasikan dengan
furosemid dosis rendah 20-40 mg/hari) selama beberapa hari, terutama bila
dengan
Komplikasi
1. Sindrom Hepatorenal, dibagi menjadi dua kategori, yaitu4 :
Sindrom hepatorenal tipe I: penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis,
ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum >2,5 mg/dL, dalam waktu
23
Kriteria diagnosis4:
Kadar kreatinin serum >1,5 mg/dL atau bersihan kreatinin 24 jam <40
mL/menit;
Tidak ada syok, infeksi bakteri, kehilangan cairan, maupun penggunaan agen
nefrotoksis;
Tidak ada respons perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum 1.5
pandang besar);
Tidak ada keterlibatan uropati obstruktif atau penyakit parenkim ginjal melalui
USG;
Konsentrasi natrium urin <10 mmol/L.
Tata laksana4:
24
SIROSIS HATI
4.1.
Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Perubahan (distorsi) struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran
darah portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler (KHS).3 Gambaran morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular
intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan aferen (vena hepatika).6
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas: 1. Sirosis hati kompensata dan 2.
Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular
Seato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi
protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid.
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hematokromatosis herediter
Penyakit Wilsom
Defisiensi Alpha 1-antitrypsin
Sirosis kardia
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat oab atau toksin
Infeksi parastit tertentu (Schistomiosis)
4.4.
Patogenesis
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik ireversibel pada parenkim
hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),
pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini
sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin,
disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah aferen (vena porta dan
arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati
sisanya.6
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel
Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi
oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor (TGF-) dan tumor
necrosis factors (TNF ).8
Defisit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan
memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah
pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.8
4.5.
Patofisiologi
26
akibat hipoalbuminemia;
Sindrom heoatorenal, akibat vasokonstriksi arteri renalis sebagai respons
terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme arterial underfilling):
27
Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites akibat migrasi bakteri
kardiomiopati.
2. Insufisiensi hati. Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh
penurunan fungsi hati, antara lain9:
a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malnutrisi, defisiensi
vitamin K dan koagulopati (penurunan faktor koagulaasi yang
membutuhkan vitamik K, yaitu faktor II, VII, IX, dan X), serta
gangguan
endokrin
(kadar
estrogen
darah
meningkat,
hiperparatiroidisme).
b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestatis dan ikterus, hiperamonemia dan
ensefalopati
c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostatis glukosa (dapat
menjadi diabetes melitus), malabsorpsi vitamin D dan kalsium.
4.6.
Manifestasi Klinik
Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang bersifat asimtomatis pada
stadium awal. Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata
(gejala klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda
klinis jelas).9
1. Sirosis kompensata
Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan nonspesifik, penurunan libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis
juga seringkali belum tampak pada tahap ini. Sebenarnya sekitar 40% kasus
sirosis kompensata telah mengalami varises esofagus, namun belum
menunjukkan tanda-tanda perdarahan.9
2. Sirosis dekompensata
Disebut dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi
berikut: ikterus, asites dan edeme perifer, hematemesis melena (akibat
perdarahan varises esofagus), jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala
minimal hingga perubahan status mental). Asites merupakan dekompensata
yang paling sering ditemukan (sekitar 80%). Selain itu, terdapat beberapa
stigma sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi, antara lain9:
a. Tanda gangguan endokrin:
28
protrombin (INR);
Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkalin fosfatase,
-glutamyl transpeptidase ( GT), albumin dan globulin, imunoglobulin,
Baku emas diagnosis sirosis hati ialah biopsi hati dengan pemeriksaan
histopatologis. Deteksi sirosis harus dipertimbangkan untuk setiap etiologi
penyakit hati kronis. Diagnosis juga harus menyertakan: (1) Etiologi penyakit, dan
(2) grading/staging histopatologis untuk menilai derajat nekro-inflamasi dan
fibrosis (misalnya dengan skor METAVIR lihat Tabel 2).9
Tabel 2. Skor METAVIR
Skor Fibrosis
F0 = Tidak ada fibrosis
F1 = Fibrosis porta tanpa septa
F2 = Fibrosis porta dengan septa
F3 = Banyak septa, namun belum terjadi
Skor Aktivitas
A0 = Tidak ada aktivitas
A1 = Aktivitas Ringan
A2 = Aktivitas Sedang
A3 = Aktivitas Berat
sirosis
F4 = Sirosis
Secara klinis sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat kategori berdasarkan
kriterua Child-Turcotte-Pugh (lihat Tabel 3) bertujuan untuk menilai prognosis (angka
kesintasan) pasien.9
Tabel 3. Skor (Child-Turcotte-Pugh (CTP)9
Parameter
1 Poin
Asites
Tidak Ada
Ensefalopati hepatikum
Tidak Ada
Bilirubin (mg/dL)
<2
Albumin (g/dL)
>3,5
Waktu Protrombin atau
<4 detik, atau
INR
Keterangan :
INR <1,7
2 Poin
Sedikit
Derajat 1-2
23
2,8 3,5
4-6 detik, atau
3 Poin
Sedang Berat
Derajat 3-4
>3
<2,8
>5 detik, atau
INR 1,7-2,3
INR 2,3
Skor 5-6
Skor 7-9
Skor 10-15
30
4.8.
Tata Laksana
A. Tata laksana Sirosis Kompensata
Terapi ditujukan untuk mencegah
perkembangan
menjadi
sirosis
fungsi
dengan cairan
32
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Hirlain, 2010. Asites. In: A. W. Sudoyo, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing, p. 674.
2. Klarisa, C., Liwang, F. & Hasan, I., 2014. Asites. In: C. Tanto, F. Liwang, S. Hanifati
& E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, p. 698.
3. Tsochatzis EA, Bosch
2014;383(9930):1749-61.
J,
Burroughs
AK.
Liver
cirrhosis.
Lancet.
4. Europan Association for the Study of the Liver (EASL). EASL clinical practice
guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2011;53(3):397-417.
5. Runyon BA; AASLD Practice Guidelines Committee. Management of adult patients
with ascites due to cirrhosis an update. Hepatology. 2009;49(6):2087-107.
34
6. Pinzani, M., Roselli, M., Zuckermann, M., Liver Cirrhosis. Best Practice & Research
Clinical Gastroenterology. 2011;25:281-2990
7. Sherlock, S., Dooley, J., Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley (edts)
Diseases of the Liver and Biliary System.11th edition, 365-380.
8. Lou IW. Manegement of end-stage liver disease. Med Clin North Am. 2014;98(1):11952.
9. Longo Dl, Fauci AS, penyunting. Chronic hepatitis. Dalam: Harrisons
gastroenterology and hepatology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill;2013.
35