Anda di halaman 1dari 18

PEMBAHASAN

ASCITES
3.1.

Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga
peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi.
Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu
contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme
transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda
prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan
pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites
akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus
dikelola dengan baik.1

3.2.

Etiologi

Tabel 1. Berbagai Etiologi Asites2


Terkait Hipertensi Porta (SAAG 1.1)

Tidak Terkait Hipertensi Porta (SAAG

Pre-sinusoid
Trombosis vena porta atau splenikus
Schistosomiasis
Sinusoid
Sirosis (81%), termasuk PBS

<1.1)

Hepatitis Akut
Keganasan (KHS atau metastasis)
Pasca-sinusoid
Gagal jantung kanan
Sindrom Budd-Chiari

3.3.

Peritonitis
Karsinomatosis peritoneal
Pankreatitis
Vaskulitis
Kondisis hipoalbuminemia lainnya:
sindrom nefrotik
Obstruksi atau infark usus
Kebocoran limfe pascaoperasi

Patofisiologi
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu
misalnya underfilling, overfilling dan periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling
asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa
ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan
18

intravaskular menurun. Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi
dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom
hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati
terjadi vasoldilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan
intravaskular dan curah jantung. Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari
ekspansi cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi
akibat peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon
natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan
kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan
gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua
teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis
pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut
sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut sebagai faktor
sistemik.1
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem
porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan
vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sistem porta
yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed
menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan
tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum. Vasidilator endogen yang dicurigai berperan antara lain:
glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor
natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).1
Vasodilator endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik;
terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.
Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik, sistem reninangiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan
Sirosis Hati
reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.1
Hipertensi Porta

Vasodilatasi arteriolae splangnikus


19

Tekanan intrakapiler dan


Pembentukan cairan limfe lebih
koefisien filtrasi meningkat
asitesbalik
besarTerbentuk
daripada aliran

Volume efektif darah


Aktivasi ADH, sistem
menurun
Retensi
air dan
garam
simpatis,
RAAS

Gambar 1. Bagan patogenesis asites sesuai teori vasodilatasi perifer


Asites pada sirosis terjadi akibat hipertensi porta dan vasodilatasi splanknikus.
Secara umum, vasodilatasi splanknikus kemudian berdampak pada: (1) ekstravasasi
cairan k erongga peritoneum secara langsung (akibat perbedaan tekanan hidrostatik), serta
(2) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron/RAA (disebut juga sebagai mekanisme
underfilling) sehingga terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium. Retensi
natrium akan meningkatkan tekanan pembuluh darah splanknikus dan sistemik, yang
kemudian mengakibatkan asites dan edema perifer. Faktor lain yang berkontribusi
menyebabkan asites ialah penurunan tekanan onkotik vaskular akibat hipoalbuminemia
pada sirosis hati.3
Hipertensi porta, vasodilatasi splanknikus, dan aktivasi sistem RAA pada
tahap lanjut dapat memicu vasokonstriksi renal sehingga terjadi gagal ginjal akut.
Fenomena ini sering disebut sebagai sindrom hepatorenal. Di sisi lain, sekitar 10-30%
pasien sirosis hepatis dengan asites dapat mengalami peritonitis bakterialis spontan,
akibat migrasi bakteri lumen usus ke nodus limfe mesenterika dan lokasi lainnya.4
3.4.

Diagnosis
1. Anamnesis
Pada kondisi awal, asites bersifat asimtomatik. Keluhan kembung atau begah
pada perut. Keluhan kembung atau begah pada perut dirasakan saat volume
cairan sekitar 1-2 L. Keluhan lain dapat berupa bengkak pada kedua tungkai,
peningkatan berat badan, distensi perut. Keluhan sesak nafas juga dapat
ditemukan, terutama jika terjadi hidrotoraks (akibat dari mobilisasi cairan ke

rongga toraks).1
Bila disertai demam, nyeri perut hebat atau penurunan kesadaran perlu
dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterialis spontan (PBS). Adanya oliguria
progresif pada pasien sirosis hepatis dan asites dapat menandakan sindrom
hepatorenal.1
20

2. Pemeriksaan fisik asites


Inspeksi
Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti perut katak, umbilikus
seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os pubis. Sering dijumpai

hernia umbilikalis akibat tekanan intraabdomen yang meningkat.1


Palpasi dan Perkusi
Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi shifting dullness. Asites
yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis yang nyata.
Diperlukan pemeriksaan khusus misalnya dengan puddle sign untuk
menemukan asites. Edema tungkai biasanya bersifat pitting. Pemeriksaan
dapat dilakukan pada tibia anterior, dorsum pedis, atau posterior maleolus

medialis.1
Auskultasi paru diperlukan untuk menilai ada hidrothoraks.1
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi
asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan asites, ultrasonografi

mempunyai ketelitian yang tinggi.1


Parasentesis dan analisis cairan asites dapat bersifat diagnostik atau terapeutik.
Parasentesis direkomendasikan pada seluruh pasien sirosis yang baru pertama
kali mengalami asites. Analisis cairan asites minimal mencakup jumlah dan

hitung jenis sel, kadar albumin, dan kadar protein total. 1


Serum-ascites albumine gradient (SAAG) penting untuk membedakan asites
yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites non-hipertensi
porta. Nilai SAAG 1.1 menandakan penyebab hipertensi porta (Tabel 1).1
Diagnosis asites ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

didukung dengan temuan cairan di rongga peritoneum pada pencitraan USG


abdomen.1
3.5.

Tata Laksana
1. Tata Laksana Umum5
Diet restriksi garam (rekomendasi: Natrium 6-8 g/hari)
Restriksi asupan cairan menjadi 1000 mL/hari hanya direkomendasikan pada

pasien dengan hiponatremia dilusional (kadar Na+ serum <130 mmol/L)


Hindari penggunaan OAINS dan konsumsi alkohol
Pertimbangkan untuk penghentian penggunaan obat penghambat ACE, ARB,
dan penyekat-

21

2. Tata Laksana pada asites volume sedang. Dapat dilakukan secara rawat jalan,
sesuaikan dengan toleransi pasien.5
Spironolakton dosis 50-200 mg/hari p.o yang dikombinasikan dengan
furosemid dosis rendah 20-40 mg/hari) selama beberapa hari, terutama bila

ditemukan edema perifer.


Target diuresis : penurunan berat badan sekitar 300-500 g/hari pada pasien
tanpa edema perifer, atau sekitar 800-1000 g/hari pada pasien dengan edema
perifer. Diuresis yang terlalu masif dapat mengabkibatkan gagal ginjal akut.

Selain berat badan, lingkat perut juga perlu dimonitor.


3. Tata laksana pada asites volume besar. Ditandai dengan rasa tidak nyaman pada
abdomen yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Evakuasi cairan asites dapat
dilakukan dengan parasentesis terapeutik atau optimalisasi medikamentosa.5
Parasentesis terapeutik. Perlu diingat, evakuasi cairan dalam jumlah besar
dapat mengakibatkan komplikasi kardiovaskular berupa vasokonstriksi dan
penurunan tekanan darah, serta gagal ginjal akut. Oleh sebab itu

direkomendasikan pemberian plasma expander, seperti albumin 1,5 g/KgBB.


Medikamentosa ditingkatkan hingga dosis maksimal: spironolakton 400

mg/hari ditambah furosemid 160 mg/hari.


4. Pada kasus asites refrakter, yakni respon tidak adekuat dengan diuretik dosis tinggi
atau asites terjadi kembali setelah parasentesis terapeutik, dapat dipertimbangkan
prosedur parasentesis ulang dengan pemberian albumin. Pemasangan TIPS
(transjugular intrahepatic portosystemic shunt) dapat dipertimbangkan untuk
mencegah rekurensi asites. TIPS mampu menurunkan retensi natrium dan
memperbaiki respon renal terhadap diuretik.5
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi1:
1. Tirah Baring
Tirah baring dapat memperbaiki efektivitas diuretika, pada pasien asites transudat
yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut
berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah
baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem reninangiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring disini bukan
istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit
diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.
2. Diet
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam
(NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 mEq/hari. Hiponatremia ringan
22

sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah


garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah
total Na dalam tubuh sebenarnya di atas normal. Biasanya diet rendah garam yang
mengandung NaCl kurang dari 40 mEq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang
amat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal.
3. Diuretika
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron,
misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di
tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na.
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam dan terapi
diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800 g/hari.
Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500 g/hari.
Sebagian besar pasien berhasil dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah
garam dan diuretika kombinasi. Setelah cairan asites telah dapat dimobilisasi, dosis
diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih
tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak
terbentuk lagi.
4. Terapi parasentesis
Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pada
mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi disukai. Beberapa
tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak
keuntungan dibandingkan dengan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik.
Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi
albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi
kenvensional tetap diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada
pasien sirosis dengan Child-Pugh C kecuali asites tersebut refrakter.
5. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari
Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati,

dengan

menyembuhkan penyakit yang mendasari dapat menghilangkan asites.


3.6.

Komplikasi
1. Sindrom Hepatorenal, dibagi menjadi dua kategori, yaitu4 :
Sindrom hepatorenal tipe I: penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis,
ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum >2,5 mg/dL, dalam waktu

kurang dari dua minggu;


Sindrom hepatorenal tipe 2: penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis yang
berlangsung stabil atau lambat.

23

Kriteria diagnosis4:

Kadar kreatinin serum >1,5 mg/dL atau bersihan kreatinin 24 jam <40

mL/menit;
Tidak ada syok, infeksi bakteri, kehilangan cairan, maupun penggunaan agen

nefrotoksis;
Tidak ada respons perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum 1.5

mg/dL) setelah penghentian diuretik dan pemberian plasma expander;


Tidak ada proteinuria (<500 mg/hari) atau hematuria (<50 eritrosit per lapang

pandang besar);
Tidak ada keterlibatan uropati obstruktif atau penyakit parenkim ginjal melalui

USG;
Konsentrasi natrium urin <10 mmol/L.

Tata laksana4:

Pemberian norepinefrin dosis 0.5-3.0 mg/jam IV yang dikombinasikan dengan


albumin dosis 1 g/KgBB IV pada hari pertama, diikuti dengan 20-40 g/hari.
Terapi diberikan selama 5-15 hari, dengan target: penurunan kadar kreatinin

serum hingga <1.5 mg/dL.


Pada kasus asites, pemasangan TIPS dapat mencegah sindrom hepatorenal;
Hemodialisis tidak rutin dilakukan belum cukup bukti manfaatnya;
Pertimbangkan transplantasi hati.

2. Peritonitis Bakterialis Spontan


Definisi: Infeksi carian asites tanpa adanya sumber infeksi intraabdminal. Peritonitis
bakterialis dapat memicu sindrom hepatorenal (30% kasus) dengan angka mortalitas
tinggi. 4
Kriteria Diagnosis:
Ditemukan 250 sel polimorfonuklear/mm2 cairan asites dengan hasil kultur positif
patogen tunggal (biasanya E. coli).4

24

SIROSIS HATI
4.1.

Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Perubahan (distorsi) struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran
darah portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler (KHS).3 Gambaran morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular
intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan aferen (vena hepatika).6
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas: 1. Sirosis hati kompensata dan 2.
Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular

dan hipertensi porta.6


4.2.
Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Diseluruh
dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH lebih
banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur
rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya
sekitar umur 40 49 tahun. Insidens SH di Amerika diperkirakan 360 per100.000 penduduk. Penyebab SH sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik
dan non alkoholik steathepatitis serta hepatitis C. 7 Di Indonesia prevalensi
penderita SH secara keseluruhan belum ada. Di daerah Asia Tenggara, penyebab
utama SH adalahh hepatitis B (HBV) dan c (HCV). Angka kejadian SH di
Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2 46,9% dan hepatitis C berkisar
38,7 73,9%. 1
4.3.
Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab SH bermacam-macam, kadang lebih dari satu sebab ada pada satu
penderita. Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat menyebabkan sirosis
hati. Etiologi tersering di negara barat adalah akibat alkoholisme kronik bersama
virus hepatitis C. Sementara di Indonesia, sirosis utamanya disebabkan oleh
hepatitis B dan/ atau C kronis. 6
Tabel 2. Penyebab SH7
Penyakit hati alkoholik (alcoholic Liver disease/ALD)
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa hepatitis D
25

Seato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi
protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid.
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hematokromatosis herediter
Penyakit Wilsom
Defisiensi Alpha 1-antitrypsin
Sirosis kardia
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat oab atau toksin
Infeksi parastit tertentu (Schistomiosis)
4.4.

Patogenesis
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik ireversibel pada parenkim
hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),
pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini
sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin,
disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah aferen (vena porta dan
arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati
sisanya.6
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel
Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi
oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor (TGF-) dan tumor
necrosis factors (TNF ).8
Defisit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan
memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah
pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.8

4.5.

Patofisiologi

26

Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena


hepatik >5 mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap
aliran darah porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan
resistensi tersebut disebabkan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi
jaringan fibrosis dan regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi
pembuluh darah sinusoid hati (utamanya akibat defisiensi nitrit oksida).9
Hipertensi porta didefiniskan sebagai peningkatan gradien tekanan vena
hepatik >5 mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap
aliran darah porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan
resistensi tersebut disebakan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi
jaringan fibrosis dan regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi
pembuluh darah sinusoid hati (utamanya akibat defisiensi nitrit oksida).9
1. Hipertensi porta dan kondisi hiperdinamik
Adanya hipertensi porta akan berdampak pada9:
a. Pembesaran limpa dan sekuestrasi trombosit (pada tahap lanjut dapat menjadi
hipersplenisme)
b. Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau (shunt) dari sistem porta ke
pembuluh darah sistemik (portosistemik). Aliran portosistemik akan
menurunkan kemampuan metabolisme hati (first pass efect), fungsi
retikuloendotelial, dan mengakibatkan hiperamonemia. Kendati demikian,
kolateral portosistemik tetap tidak adekuat dalam mengurangi tekanan vena
porta. Sebaliknya, justru akan meningkatkan produksi NO sehingga terjadi
vasodilatasi splanknikus dan peningkatan aliran darah ekstrahepatik
(sementara kadar NO intrahepatik tetap rendah).
c. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, akibat vasodilatasi planknikus
dan vasodilatasi sistemik. Pada tahap lanjut kondisi ini mengakibatkan
komplikasi pada jantung, paru, dan renal.
Secara klinis, hipertensi porta dan pembentukan kolateral portosistemik
akan mengakibatkan komplikasi berikut9:

Varises gastro-esofagus dan perdarahan varises tersebut;


Asites. Selain hipertensi porta, risiko kejadian asites juga semakin meningkat

akibat hipoalbuminemia;
Sindrom heoatorenal, akibat vasokonstriksi arteri renalis sebagai respons
terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme arterial underfilling):
27

Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites akibat migrasi bakteri

lumen usus ke nodus limfe mesenterika


Ensefalopati hepatikum, terjadi akibat hiperamonemia
Komplikasi lainnya: sindrom hepatopulmonal, hipertensi portopulmonal, dan

kardiomiopati.
2. Insufisiensi hati. Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh
penurunan fungsi hati, antara lain9:
a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malnutrisi, defisiensi
vitamin K dan koagulopati (penurunan faktor koagulaasi yang
membutuhkan vitamik K, yaitu faktor II, VII, IX, dan X), serta
gangguan

endokrin

(kadar

estrogen

darah

meningkat,

hiperparatiroidisme).
b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestatis dan ikterus, hiperamonemia dan
ensefalopati
c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostatis glukosa (dapat
menjadi diabetes melitus), malabsorpsi vitamin D dan kalsium.
4.6.

Manifestasi Klinik
Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang bersifat asimtomatis pada
stadium awal. Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata
(gejala klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda
klinis jelas).9
1. Sirosis kompensata
Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan nonspesifik, penurunan libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis
juga seringkali belum tampak pada tahap ini. Sebenarnya sekitar 40% kasus
sirosis kompensata telah mengalami varises esofagus, namun belum
menunjukkan tanda-tanda perdarahan.9
2. Sirosis dekompensata
Disebut dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi
berikut: ikterus, asites dan edeme perifer, hematemesis melena (akibat
perdarahan varises esofagus), jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala
minimal hingga perubahan status mental). Asites merupakan dekompensata
yang paling sering ditemukan (sekitar 80%). Selain itu, terdapat beberapa
stigma sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi, antara lain9:
a. Tanda gangguan endokrin:

28

i. Spider angioma. Gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama


ii.
iii.
iv.
v.
vi.

daerah leher, bahu dan dada


Eritema palmaris, pada tenar dan hipotenar
Atrofi testis. Sering disertai penurunan libido dan impotensi
Ginekomastia
Alopesia pada dada dan aksila
Hiperpigmentasi kulit, diduga akibat peningkatan kadar

melanocyte-stimualting hormone (MSH).


b. Kuku Muchrche. Gambaran pita putih horizontal yang memisahkan
warna kuku normal;
c. Kontraktur Dupuytren. Penebalan fasia pada palmar (terutama pada
sirosis alkoholik)
d. Fetor hepatikum. Bau napas khan akibat penumpukan metionin (gagal
dimetabolisme), atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida
akibat pirau portosistemik yang berat;
e. Splenomegali
f. Petekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat
g. Pemeriksaan palpasi hati sangat bervariasi, mulai dari tidak ditemukan
pembesaran hati, lobus kiri hati yang dapat teraba lunak (khas sirosis),
atau teraba nodul dengan konsistensi keras.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologi9:
Parameter hematologi: hemoglobin, leukosit, hitung trombosit, waktu

protrombin (INR);
Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkalin fosfatase,
-glutamyl transpeptidase ( GT), albumin dan globulin, imunoglobulin,

feritin serum dan saturasi transferin;


Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (natrium, kalium, bikarbonat,

klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin tampung 24 jam);


Deteksi/pemantauan etilogi: penanda serologi hepatitis B dan C, profil

lipid dan glukosa, penanda autoimun, dan sebagainya.


2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas untuk
diagnosis dan klasifikasi derajat sirosis.9
3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif), bertujuan untuk9:
a. Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi porta: USG hati, CT-scan/MRI
b. Penilaian kekakuan jaringan hati (derajat fibrosis): transien elastografi
(Fibroscan), MR elastografi.
4.7.

Diagnosis dan Penilaian Derajat Sirosis


29

Baku emas diagnosis sirosis hati ialah biopsi hati dengan pemeriksaan
histopatologis. Deteksi sirosis harus dipertimbangkan untuk setiap etiologi
penyakit hati kronis. Diagnosis juga harus menyertakan: (1) Etiologi penyakit, dan
(2) grading/staging histopatologis untuk menilai derajat nekro-inflamasi dan
fibrosis (misalnya dengan skor METAVIR lihat Tabel 2).9
Tabel 2. Skor METAVIR
Skor Fibrosis
F0 = Tidak ada fibrosis
F1 = Fibrosis porta tanpa septa
F2 = Fibrosis porta dengan septa
F3 = Banyak septa, namun belum terjadi

Skor Aktivitas
A0 = Tidak ada aktivitas
A1 = Aktivitas Ringan
A2 = Aktivitas Sedang
A3 = Aktivitas Berat

sirosis
F4 = Sirosis
Secara klinis sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat kategori berdasarkan
kriterua Child-Turcotte-Pugh (lihat Tabel 3) bertujuan untuk menilai prognosis (angka
kesintasan) pasien.9
Tabel 3. Skor (Child-Turcotte-Pugh (CTP)9
Parameter
1 Poin
Asites
Tidak Ada
Ensefalopati hepatikum
Tidak Ada
Bilirubin (mg/dL)
<2
Albumin (g/dL)
>3,5
Waktu Protrombin atau
<4 detik, atau
INR
Keterangan :

INR <1,7

2 Poin
Sedikit
Derajat 1-2
23
2,8 3,5
4-6 detik, atau

3 Poin
Sedang Berat
Derajat 3-4
>3
<2,8
>5 detik, atau

INR 1,7-2,3

INR 2,3

Skor 5-6

: Child A (angka kesintasan 1 tahun pertama = 100%, 2 tahun pertama = 85%)

Skor 7-9

: Child B (angka kesintasan 1 tahun pertama = 81%, 2 tahun pertama = 57%)

Skor 10-15

: Child C (angka kesintasan 1 tahun pertama = 45%, 2 tahun pertama = 35%)

30

4.8.

Tata Laksana
A. Tata laksana Sirosis Kompensata
Terapi ditujukan untuk mencegah

perkembangan

menjadi

sirosis

dekompensata dan mengatasi kausa spesifik.,


1. Terapi medikamentosa
a. Terapi sesuai etiologi: Hepatitis B kronis, hepatitis C, NASH, sirosis
alkoholik, autoimun, dan sebagainya.
b. Bila perlu terapi defisiensi besi. Dapat diberika tambahan zink sulfat
2x200 mg PO untuk memperbaiki nafsu makan dan keram otot.
c. Bila perlu dapat diberikan antipruritus: kolestiramin, anti histamin, atau
agen topikal
d. Suplementasi vitamin D (atau analognya) pada pasien berisiko tinggi
osteoporosis.
2. Terapi non-medikamentosa
a. Diet seimbang 35-40 kkal/kgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/KgBB/hari
b. Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot, sesuaikan
dengan toleransi pasien
c. Stop konsumsi alkohol dan merokok
d. Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik: OAINS, Isoniazid,
asam valproat, eritromisin, amoksisilin/klavulanat, dll.
3. Surveilas komplikasi sirosis
a. Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian

fungsi

kardiovaskular dan ginjal.


b. Deteksi varises dengan esofago-gastroduodenoskopi (EGD):
Bila tidak ditemukan varises: ulangi EGD tiap 2 tahun
Bila ditemuka varises kecil: Ulangi EGD setiap 1 tahun
Bila ditemukan varises besar: penyekat- non selektif (propanolol),
prosedur ligasi varuses (pada kasus intoleran).
c. Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal
d. Deteksi ensefalopati (atau ensefalopati minimal/subklinis): tes psikometri
dan neuropsikologis terhadap atensi dan fungsi psikomotorik setiap 6
bulan
e. Deteksi karsinoma hepatoseluler: pemeriksaan -fetoprotein dan USG hati
seetiap 6 bulan
f. Vaksinasi hepatitis B dan hepatitis A, bila perlu.
B. Tata Laksana Sirosis Dekompensata
Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan mengembalikan ke
kondisi kompensata. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan,
yaitu:
1. Hipertensi Portal
31

Definisi hipertensi portal (HP) adalah peningkatan hepatic venous pressure


gradient (HVPG) lebih dari 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan suatu sindroma
klinis yang sering terjadi. Bila gradien tekanan portal (perbedaan tekanan antara
vena porta dan vena cava inferior) di atas 10-12 mmHg. Komplikasi HP dapat
terjadi akibat adanya 1) Peningkatan resistensi intra hepatik terhadap aliran darah
porta akibat adanya nodul regeneratif dan 2) Peningkatan aliran darah splanchic
sekunder akibat vasodilatasi pada splanchnic vascularbed.1
2. Asites
Penyebab asites yang paling banyak pada SH adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang
akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan asites yaitu
tirah baring, diit rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram atau 90 mmol/hari.
Bila tidak berhasil dapat dikombinasikan dengan spironolacton 100-200 mg/hari.
Respons diuretik bisa dimonitor dengan adanya penurunan berat badan 0,5 kg/hari
tanpa edema dan 1 kg/hari bila ada edema. Bila pemberian sprironolacton tidak
adekuat, bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mh/hari,
dengan dosis maksimal 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites sampai 4-6 L perlu disertai dengan pemberian albumin.1
3. Varises Gastroesofagus
Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistermik yang paling
penting. Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varises
yang berakibat fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita SH dan
berhubungan dengan derajat keparahan SH. Empat puluh persen penderita SH dan
85% penderita SH dengan Child C mempunyai VE. Diagnosis VE ditegakkan
dengan esofagogastroduodenoskopi, sehingga perlu dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya VE pada semua penderita SH yang didiagnosis pertama kali.1
Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian obat
golongan blocker (propanolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi
perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi

dengan cairan

kristaloid/koloid/penggantian produk darah. Untuk menghentikan perdarahan


digunakan preparat vasokonstriktor splanchnic, somatostatin atau octreotide.
Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 g/h dengan infus kontinyu.
Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises. Tindakan endoskopi terapetik
ini juga dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang. Transjugular

32

intrahepatic portosistemic (TIPS) dan pembedahan shunt bisa dilakukan namun


sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.1
4. Peritonitis Bakterial Spontan
Peritonitis Bakterial Spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering
terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya
fokus infeksi intraabdominal. Pada penderita SH dan asites berat, frekuensi SBP
berkisar 30% dan angka mortalitas 25%. E. coli merupakan bakteri usus yang
sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram positif seperti S. viridans, S.
amerius bisa ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites
ditemukan angkal sel netrofil > 250/mm3.1
Untuk penanganan SBP diberikan antibiotika golongan sefalosporin generasi
kedua atau cefotaxim, dengan dosis 2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.1
5. Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati
hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan
presipitasi timbulnya EH diantaranya infeksi, perdarahan, ketidakseimbangan
elektrolit, pemberian obat-obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah
ataupun menangani faktor-faktor presipitasi, Eh dapat diturunkan risikonya. Di
samping itu pemberian Laktulose, Neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi
mukosa usus) cukup efektik mencegah terjadinya EH.1
6. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan
organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering
dijumpai pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering dijumpai pada penderita SH
dengan asites reftrakter. Sindroma hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan
progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin secara bermakna dalam 1-2
minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan
serum kreatinin. Tipe 2 lebih baik prognosisnya daripada tipe 1.1
Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan transplantasi hati. Belum banyak
penelitian yang menguji efektivitas pemberian preparat somatostatin, terlipressin.
Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia pada
penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus
albumin.1

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Hirlain, 2010. Asites. In: A. W. Sudoyo, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing, p. 674.
2. Klarisa, C., Liwang, F. & Hasan, I., 2014. Asites. In: C. Tanto, F. Liwang, S. Hanifati
& E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, p. 698.
3. Tsochatzis EA, Bosch
2014;383(9930):1749-61.

J,

Burroughs

AK.

Liver

cirrhosis.

Lancet.

4. Europan Association for the Study of the Liver (EASL). EASL clinical practice
guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2011;53(3):397-417.
5. Runyon BA; AASLD Practice Guidelines Committee. Management of adult patients
with ascites due to cirrhosis an update. Hepatology. 2009;49(6):2087-107.

34

6. Pinzani, M., Roselli, M., Zuckermann, M., Liver Cirrhosis. Best Practice & Research
Clinical Gastroenterology. 2011;25:281-2990
7. Sherlock, S., Dooley, J., Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley (edts)
Diseases of the Liver and Biliary System.11th edition, 365-380.
8. Lou IW. Manegement of end-stage liver disease. Med Clin North Am. 2014;98(1):11952.
9. Longo Dl, Fauci AS, penyunting. Chronic hepatitis. Dalam: Harrisons
gastroenterology and hepatology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill;2013.

35

Anda mungkin juga menyukai