Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ASITES

A. Definisi

Asites adalah akumulasi cairan secara abnormal di dalam rongga peritoneum.1,2

Kata asites berasal dari bahasa yunani, yaitu askites dan askos yang berarti kantong

atau perut.3,4 Normalnya rongga peritoneum tidak mengandung cairan, meskipun

pada wanita ditemukan sedikit (20 ml, atau kurang dari satu ons) kadang-kadang

dapat ditemukan tergantung pada siklus menstruasi. Sementara itu pada laki-laki

ditemukan hanya sedikit atau tidak sama sekali cairan intraperitoneal. 5,6 Asites paling

sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik

pada beberapa penyakit, seperti pada penyakit serosis hepatis. Asites juga

menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi

pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasrnya oleh karena

itu asites harus dikelola dengan baik. 1

B. Epidemiologi

Pasien asites dengan penyakit yang mendasarinya tumor ovarium ditemukan

sebesar 10-15%. Di AS tumor ovarium banyak pada masyarakat sosio ekonomi

rendah. Fibroma ovarium didapatkan pada 2-5 % tumor. Ascites dengan tumor

ovarium dan juga efusi pleura memiliki prevalensi sebesar 1 % pasien, terutama

mereka yang memilki ukuran tumor yang besar. 40 % dari kasus-kasus fibroma

22
ovarium ditemukan ascites dan hidrotoraks. Insiden dari tumor ovarium meningkat

pada decade ketiga dan meningkat secara progresif hingga puncaknya pada dekade

ketujuh. Pasien dengan asites refrakter biasanya memiliki prognosis yang buruk dan

biasanya kurang dari 50% hanya hidup dalam satu tahun. 5,6

C. Etiologi

Penyebab dari asites sangat bervariasi dan yang tersering adalah sirosis hati.

Hampir sekitar 80% kejadian asites disebabkan oleh sirosis hati. Penyebab lainnya

adalah gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronik, yang mengakibatkan retensi

air dan garam. Pada beberapa kasus, terjadi peningkatan tahanan vena porta akibat

sumbatan pada pembuluh porta. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan tahanan

porta tanpa sirosis, misalnya pada kasus adanya tumor di dalam perut yang menekan

vena porta; atau adanya sumbatan karena gumpalan darah seperti pada kasus Budd

Chiari syndrome.

Asites juga dapat dijumpai pada kasus keganasan. Iritasi langsung dari

peritoneum dapat menyebabkan kebocoran cairan sebagai bagian dari proses

peradangan. Iritasi ini mungkin disebabkan oleh keganasan (kanker) atau infeksi.

Penyakit ovarium dapat dikaitkan dengan ascites. Kanker ovarium tidak memiliki

gejala awal, dan banyak wanita baru terdiagnosis setelah adanya ascites. Permukaan

keras tumor ovarium dapat menyebabkan iritasi yang signifikan dari peritoneum,

menyebabkan kebocoran cairan.

Asites pada penyakit pankreas biasanya muncul pada pankreatitis lama. Hal ini

terjadi akibat ruptur duktus pankreatis atau leakage sekret pankreas dari pseudokist.

23
Iritasi peritoneum oleh sekresi pankreas dapat menyebabkan akumulasi potein yang

kaya eksudat pada kavitas peritoneal. Asites bilier terbentuk oleh karena mekanisme

yang sama.

Pada pasien dengan gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pada jantung

bagian kanan menyebabkan terjadinya kongesti sinusoid hepatik dan leakage cairan

dari permukaan hati. Sebagai tambahan, penurunan volume darah akan menyebabkan

retensi garam dan air oleh ginjal. Mekanisme asites pada sindrom nefrotik dan dialisis

masih belum jelas tapi biasanya berhubungan dengan ekspansi volume dan

premeabilitas peritoneal yang abnormal. Hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam

pembentukan asites pada sindrom nefrotik.7,8

Gambar 1. Etiologi asites9

24
D. Patofisiologi

Akumulasi cairan asites dalam rongga peritoneum menggambarkan

ketidakseimbangan pengeluaran air dan garam. Saat ini penyebabnya belum diketahui

dengan pasti, namun ada beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan

mekanisme terbentuknya asites, yaitu:1,2,7

Hipotesis Underfilling

Berdasarkan hipotesis ini, asites dimulai dari volume cairan plasma yang

menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan

meningkatkan tekanan hidrostatik venous ditambah hipoalbuminemia akan

menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravaskular akan menurun.

Akibat volume cairan intravaskular yang menurun, ginjal akan bereaksi dengan

melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal, yaitu

aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem persarafan simpatis. Sindrom

hepatorenal terjadi jika volume cairan intravaskular sangat menurun.

Hipoalbuminemia pada pasien sirosis terjadi akibat penurunan fungsi sintetik dari

hati.

Hipotesis Overfilling

Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena ketidakmampuan ginjal dalam

mengatasi retensi garam dan air, yang berakibat tidak adanya penurunan volume.

Dasar teori ini adalah kondisi hipervolemia intravaskular yang umum dijumpai pada

pasien dengan sirosis hati. Hal ini terjadi akibat peningkatan aktivitas hormon anti-

diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon natriuretik karena penurunan fungsi

hati. Hipotesis ini tidak dapat menjelaskan kelanjutan asites menjadi sindrom

25
hepatorenal dan juga gagal menerangkan gangguan hormonal yang terjadi pada

sirosis hati dan asites.

Hipotesis Vasodilatasi Arteri Perifer

Hipotesis ini adalah hipotesis terbaru yang merupakan gabungan dari kedua

hipotesis sebelumnya. Menurut teori ini, faktor patogenesis pembentukan asites yang

amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan

gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik. Sesuai dengan perjalanan

alami penyakit, terdapat peningkatan eksitasi neurohumoral, dan peningkatan retensi

natrium oleh ginjal sehingga volume plasma meningkat. Urutan kejadian antara

hipertensi porta dan retensi natrium ginjal belum jelas. Hipertensi porta juga

menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida. Nitrat oksida merupakan mediator

kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan perifer. Kadar

NO pada arteri hepatika pasien asites lebih besar daripada pasien tanpa asites.

Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin, dan hipoalbuminemia juga

berkontribusi dalam pembentukan asites. Hipoalbuminemia mengakibatkan

penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma ke

rongga peritoneum. Dengan demikian, asites jarang terjadi pada pasien sirosis tanpa

hipertensi portal dan hipoalbuminemia.

26
Gambar 2. Bagan patogenesis asites2

Patofisiologi ascites dengan penyakit yang mendasari berupa tumor ovarium

masih merupakan spekulasi. Meigs menduga bahwa iritasi dari peritoneum dari tumor

ovarium yang keras dan solid menstimulasi produksi cairan peritoneum. Samanth dan

Black menemukan bahwa ascites hanya terdapat pada tumor dengan diameter lebih

dari 10 cm dengan komponen myxoid sampai struma. Mekanisme lain yang diajukan

adalah tekanan langsung pada aliran limfe atau vena, stimulasi hormonal, dan torsi

tumor. Terjadinya ascites dapat juga disebabklan oleh pelepasan mediator-mediator

(seperti activated complements histamine fibrin degradation products) dari tumor,

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.5,6

Patofisiologi terjadinya efusi pleura pada tumor ovarium juga tidak jelas. Teori

dari Efskind dan Terade dkk mengatakan bahwa cairan ascites berpindah melalui

transdiaphragmatic lympathic channels. Besarnya efusi pleura sebanding dengan

jumlahnya ascites. Cairan ascites dan efusi pleura pada tumor ovarium dapat berupa

27
transudat atau eksudat. Meigs melakukan elektroforesis pada beberapa kasus dan

menemukan bahwa pada dasarnya cairan pleura dan cairan ascites mempunyai sifat

yang sama.5,6

E. Manifestasi Klinik

Gejala dapat berkembang perlahan atau muncul tiba-tiba tergantung pada

penyebab dari asites. Pasien bisa saja tidak bergejala jika hanya terdapat sedikit

cairan di rongga peritoneum. Jika semakin banyak cairan di rongga peritoneum,

pasien akan mulai mengeluhkan nyeri perut dan kembung. Biasanya sudah terdapat

sekitar 1-2 Liter cairan dalam rongga peritoneum sebelum pasien menyadari bahwa

telah terjadi pembesaran perut. Cairan dalam jumlah besar akan mengakibatkan sesak

napas. Pasien dengan asites yang masif biasanya malnutrisi dan memiliki atrofi otot

serta terdapat fatigue dan kelemahan yang banyak. Perkembangan tiba-tiba dari asites

pada pasien sirosis yang awalnya stabil dapat meningkatkan kecurigaan

hepatoma.2,8,10

Gambar 3. Gambaran klinis Asites: abdomen tampak cembung dan tegang7

28
Ada perbedaan gejala klinis antara pasien yang mengembangkan asites karena

penyakit hati dan sirosis, dan mereka yang mengembangkannya karena peradangan

peritoneum karena kanker. Penyakit hati cenderung relatif tanpa rasa sakit, sementara

pasien kanker mengalami sejumlah besar nyeri. Hal ini sering tanda-tanda penyakit

yang mendasari yang awalnya membawa pasien untuk mencari perawatan medis.

Dalam sirosis hati, tidak hanya cairan menumpuk di rongga perut, tapi mungkin ada

pembengkakan kaki, mudah memar, pembesaran payudara, dan penurunan kesadaran

karena ensefalopati.5,6,7

Jika ascites adalah karena gagal jantung, mungkin ada sesak napas serta kaki

bengkak (edema). Sesak napas cenderung lebih buruk dengan aktivitas dan dengan

berbaring datar (ortopnea). Pasien dengan asites akibat gagal jantung cenderung

terbangun di tengah malam, karena adanya dyspnea paroxysmal. 5,6,7

Pasien dengan kanker mungkin mengeluh sakit, penurunan berat badan, dan

kelelahan dalam hubungannya dengan distensi abdomen. 5,6,7

F. Diagnosis

Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan

anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya

dokter mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati,

seperti: riwayat kolestasis neonatal, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi atau

suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya perlu

ditanyakan apakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan.7

29
Perut membesar pertama kali diketahui penderita dari ukuran ikat pinggang dan

pakaian yang semakin besar, timbulnya hernia abdominal dan inguinal, atau

pembesaran abdomen setempat. Distensi perut yang progressive umumnya diikuti

perasaan menekan atau tegang pada pinggang dan nyeri pada pinggang bawah. Nyeri

lokal umumnya berasal dari keterlibatan suatu organ abdomen (misalnya bendungan

pasif hati, lien yang membesar atau tumor colon).2,7

Nyeri tidak umum terdapat pada asites, umumnya terdapat pada pankreatitis,

hepatoseluler carcinoma atau peritonitis. Asites yang besar atau tumor abdomen dapat

mengakibatkan heart burn dan keluhan indigesti akibat reflux gastroesofageal atau

dispnea, ortopnea ,dan takipnea akibat diafragma yang tinggi. Pleural effusi yang

terjadi bersamaan, diakibatkan kebocoran cairan asites melalui suatu celah di

diafragma. Penderita perlu ditanyakan tentang riwayat intake alcohol, riwayat sakit

kuning atau hematuria sebelumnya dan adanya perubahan BAB. 2,7

Pemeriksaan Fisik

Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada

awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang terjadi karena

asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau adanya massa di

abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90% pasien dengan asites

merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting dullness lebih spesifik tetapi

kurang sensitif. Tes lain yang bisa dilakukan untuk mengetahui asites adalah melalui

pemeriksaan puddle sign. Puddle sign ini bisa digunakan untuk mengetahui asites

pada jumlah yang masih sedikit (+120 ml). Untuk melakukan pemeriksaan ini posisi

pasien harus bertumpu pada siku dan lutut selama pemeriksan. Pemeriksaan fisik

30
yang menyeluruh dan seksama dapat memberi arahan mengenai penyebab asites.

Tanda-tanda dari penyakit hati kronis adalah eritema palmaris, spider nevi, jaundice.

Splenomegali dan pembesaran venakolateral merupakan indikasi telah terjadi

peningkatan tahanan vena porta. Asites yang disebabkan oleh gagal jantung kronis,

memberikan tambahan temuan pemeriksaan fisik berupa peningkatan tahanan vena

jugularis. Pembesaran KGB mengacu pada limfoma atau TBC.11

Pemeriksaan Penunjang

Setelah anamnesis dan pemeriksan fisik penegakan diagnosis dapat dibantu oleh

pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan radiologi, dan laboratorium.

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan rontgen toraks dan

abdomen, USG, CT-Scan dan MRI abdomen.11

1. Pemeriksaan laboratorium

Hitung darah lengkap (CBC) dapat membantu dalam mencari potensi infeksi

(peningkatan jumlah sel darah putih atau leukositosis), anemia, dan secara tidak

langsung, fungsi hati (jumlah trombosit rendah). Tes darah lainnya dapat membantu

dalam menilai keseimbangan elektrolit, fungsi ginjal dan hati, dan jumlah protein di

dalam tubuh.

Pada asites dengan penyebabnya adalah keganasan dapat dilakukan pemeriksaan

tumor marker. Tumor marker CA-125 dapat meningkat pada pasien Meigs Sindrom

(Asites, Tumor Ovarium, dan efusi pleura) tetapi derajat peningkatannya tidak

sebanding dengan keganasannya. Pemeriksaan CA-125 tidaklah cukup dijjadikan


5,6,9
indikator tumor ovarium tersebut ganas ataukah jinak.

31
2. Rontgen toraks dan abdomen

Asites masif mengakibatkan elevasi difragma dengan atau tanpa adanya efusi

pleura. Pada foto polos abdomen asites ditandai dengan adanya kesuraman yang

merata, batas organ jaringan lunak yang tidak jelas, seperti: otot psoas, liver dan

limpa. Udara usus juga terlihat mengumpul di tengah (menjauhi garis lemak

preperitoneal), dan bulging flanks.12

3. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi adalah cara paling mudah dan sangat sensitif, karena dapat

mendeteksi asites walaupun dalam jumlah yang masih sedikit (kira kira 5-10 ml).

Apabila jumlah asites sangat sedikit, maka umumnya akan terkumpul di Morison

Pouch, dan di sekitar hati tampak seperti pita yang sonolusen. Asites yang banyak

akan menimbulkan gambaran usus halus seperti lollipop.

Pemeriksaan USG juga dapat menemukan gambaran infeksi, keganasan dan/atau

peradangan sebagai penyebab asites. Asites yang tidak mengalami komplikasi

gambaran USG umumnya anekoik homogen, dan usus tampak bergerak bebas.6

Asites yang disertai keganasan atau infeksi akan memperlihatkan gambaran

ekostruktur cairan heterogen, dan tampak debris internal. Usus akan terlihat

menempel sepanjang dinding perut belakang; pada hati atau organ lain; atau

dikelilingi cairan. Namun demikian, USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi

asites pada pasien obesitas, dan asites yang terlokalisir karena gelombang ultrasound

dapat terhalang oleh jaringan lemak dan gas di dalam lumen.11

32
4. Computed Tomography (CT Scan)

CT Scan memberikan gambaran yang jelas untuk asites. Asites dalam jumlah

yang sedikit akan tampak terlokalisasir pada area prehepatik kanan, subhepatik

bawah, dan pada kavum douglas.6 Densitas dari gambaran CT Scan dapat memberi

arahan tentang penyebab dari asites.12

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI adalah pemeriksaan yang sangat baik digunakan dalam mendeteksi cairan di

rongga peritoneum. Pemeriksaan MRI ini lebih disukai karena waktu pemeriksaan

yang lebih singkat.11

6. Abdominal Parasentesis

Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang belum

diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites yang

sangat cepat, perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan ini

berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).11

Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin, kultur asites,

protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites meliputi:1,6,7,13

33
Gambar 4. Tabel diagnosis Asites berdasarkan Abdominal Parasentesis

Inspeksi

Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Chylous asites

sering akibat suatu obstruksi limfa, tumor, tuberculosis, filariasis, nefrotik atau

kelainan congenital. Cairan musinosa menunjukkan suatu pseudomyxoma

peritoneum atau carcinoma koloid dari lambung atau kolon.

Warna cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah Merah

>10 000/l, dan menjadi merah jika SDM >20 000/l. Cairan asites yang

34
berwarna merah akibat trauma akan bersifat heterogen dan akan membeku, tetapi

jika penyebabnya non trauma akan bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan

asites yang keruh menunjukan adanya infeksi.

Hitung jumlah sel

Cairan asites yang normal biasanya mengandung <500 leukosit/mm3 dan <250

PMN leukosit/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3, bisa diperkirakan

kemungkinan terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN, diagnosa SBP

ditegakkan bila jumlah leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein <1g/dl.

Pada tuberkulosis peritoneal dan peritonitis karena karsinoma, jumlah limfosit

menjadi dominan. Dua persen penderita sirosis mengalami perdarahan cairan

asites (SDM>50.000/mm3), dan 30%nya disebabkan oleh karsinoma

hepatoseluler.

Gs

Gambar 5. Abdominal Parasentesis 6

35
7. Serum Ascites Albumin Gradient (SAAG) 1,2,6,7

Dahulu asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Eksudat jika

konsentrasi protein >25 g/l, dan transudat jika konsentrasi protein < 25g/l. Tujuan

pembagian ini adalah untuk mencari penyebab asites, misalnya asites pada kasus

keganasan bersifat eksudat, sedangkan pada sirosis bersifat transudat. Saat ini

pembagian tersebut sudah digantikan oleh pemeriksan Serum Ascites Albumin

Gradient (SAAG). SAAG ini mengklasifikasikan asites menjadi hipertensi portal

(SAAG >1,1 g/dl) dan non-hipertensi portal (SAAG <1,1 g/dl). Cara penghitungan

SAAG adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan asites dikurangi jumlah

albumin serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan tekanan vena porta.

Pemeriksaan ini 97% akurat untuk membedakan asites dengan atau tanpa hipertensi

portal.

Low gradient asites (eksudat) menunjukkan infeksi atau tumor di peritoneum.

Kultur bakteri cairan asites dapat menunjukkan organisme penyebab peritonitis

infeksi.Peritonitis TB paling baik didiagnosa dengan biopsy peritoneum baik secara

perkutaneus atau melalui laparoskopi.Karena kultur dan biopsy untuk TB

memerlukan waktu 6 minggu, maka biasanya terapi TB dapat dimulai berdasarkan

pemeriksaan histopatologi.Diagnosa tumor di peritoneum berdasarkan analisa sitologi

dan biopsy. Test-test lain dapat dipakai untuk menentukan letak tumor primer. Asites

karena penyakit pancreas biasanya akibat ektravasasi cairan pancreas dari sistem

duktus pancreas yang rusak biasanya dari pseudokista. USG, CT scan dan ERCP

dapat menunjukkan letak kerusakan secara tepat.

36
High gradient asites (transudat) tanpa sebab yang jelas umumnya disebabkan

oleh sirosis, hipertensi vena sisi kanan yang meningkatkan tekanan sinusoid hepatic,

keadaan hipoalbuminemia. Pemeriksaan fungsi hati, scan lien dan hepar, CT scan

atau USG dan biopsy kadang diperlukan.

Beberapa penyebab asites berdasarkan pembagian menurut nilai SAAG dapat

dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 1. Klasifikasi asites berdasarkan SAAG1,7

8. Kultur atau pewarnaan gram

Sensitivitas kultur mencapai 92% dalam mendeteksi bakteri pada cairan asites.

Hasil kultur yang positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan hitung neutrofil. Jika

hasil hitung neutrofil dalam batas normal dan pasien tidak bergejala maka hasil kultur

dapat diabaikan. Tetapi jika hitung neutrofil >250 sel/mm3 maka pasien diterapi

sesuai SBP. Di lain pihak, sensitivitas pewarnaan gram hanya 10% untuk deteksi dini

kemungkinan SBP.1,14

37
9. Sitologi Cairan Asites1

Sensitivitas dari sitologi sekitar 60-90% untuk mendiagnosis asites pada

keganasan. Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites

dengan cara yang baik akan memberikan hasil true positive hampir 100%. Sampel

untuk pemeriksaan sitologi harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk

meningkatkan sensitivitas.

G. Tatalaksana

Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:1

1. Tirah baring

Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites transudat

yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut

berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah

baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin-

angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud tirah baring disini bukan istirahat

total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat,

selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.

2. Diet

Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi

garam (NaCl) per hari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meq/hari. Hiponatremia

ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet

rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif.

38
Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40 meq/hari tidak

diperlukan, karena dapat mengganggu fungsi ginjal.

3. Diuretika

Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron,

misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium yang

bekerja di tubulus distalis dan menahan reabsorpsi Na. Dosis yang dianjurkan antara

100-600 mg/hari. Jarang diperlukan dosis yang lebih tinggi lagi.

Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya lebih

berpotensi diuretika distal. Pada pasien sirosis hepatis, karena mekanisme utama

reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop menjadi kurang

efektif.

Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam, dan

terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800

g/hari. Pasien yang disertai edema perifer, penurunan berat badan dapat sampai 1500

g/hari. Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hepatis harus diwaspadai.

Komplikasi itu misalnya gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan

keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat

menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan menstruasi

pada perempuan.

4. Terapi parasentesis

Parasintesis sebenarnya merupakan cara pengobatan yang kuno. Pada mulanya

karena berbagai komplikasi, parasintesis asites tidak lagi dilakukan. Beberapa tahun

terakhir ini, parasintesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak keuntungan

39
dibandingkan terapi konvensional jika dikerjakan dengan baik. Untuk setiap cairan

asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan subtitusi albumin parenteral

sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap

diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan

child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter.

5. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari

Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati, dengan

menyembuhkan penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan asites. Sebagai

contoh adalah asites peritonitis tuberkulosa. Asites yang merupakan komplikasi

penyakit yang tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri. Asites

eksudat yang penyebabnya tidak dapat disembuhkan, misalnya karsinomatosis

peritoneum, sering hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan parasintesis berulang.

Terapi Sirosis Hepatis1

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk

mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan ang bisa menambah

kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bila tidak terdapat koma

hepatik, dapat diberikan diet yang mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak

2000-3000 kkal/hari. Tatalaksana pasien sirosis kompensata ditujukan untuk

mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan

etiologi. Sedangkan pada pasien sirosis dekompensata ditujukan untuk penanganan

komplikasi, seperti asites, ensefalopati hepatik, varises esofagus, dan lain-lain.

Terapi Tumor Ovarium

40
Tindakan Bedah dilakukan untuk mengakat tumor ovarium tersebut. Laparatomi

eksplorasi dengan staging operasi adalah pilihan utama. Pada wanita usia produktif

dilakukan salpingoophorektomi unilateral. Pada wanita post menopause dilakukan

salpingoopheroktomi bilateral dengan histeroktomi total . Pada gadis prepubertas

dilakukan reseksi iris pada ovarium dan unilateral salpingoopheroktomi. Dibutuhkan

perawatan yang baik setelah semua tindakan operasi tersebut dan kekambuhan jarang

terjadi.5

H. Komplikasi

a. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan kuman.

Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan, sehingga

mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga

perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana

mereka akan dibunuh semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut tidak

mampu lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih banyak

bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke asites. Karena itu

infeksi dalam perut dan asites ini disebut sebagai peritonitis bakteri spontan

(spontaneous bacterial peritonitis) atau

SBP. SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa pasien

SBP ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lagi mengeluh

demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tak enak di perut, diare dan asites yang

memburuk.15

41
b. Sindrom Hepatorenal

Pasien dengan asites yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma

hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapat penurunan

fungsi ginjal namun ginjal secasa fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan sama

sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan aliran darah ke dalam

ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk

membersihkan bahan-bahan toksik dari darah dan kegagalan memproduksi urin

dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain ginjal yang penting, misalnya retensi

garam tidak terganggu.15

Definisi dan kriteria diagnostik untuk sindroma hepatorenal dibentuk pada tahun

1994 didasarkan pada tiga konsep berikut: 1. Gagal ginjal pada sindroma hepatorenal

adalah fungsional dan disebabkan oleh vasokonstriksi arteriolar intrarenal; 2.

Sindroma hepatorenal terjadi pada pasien dengan disfungsi sirkulasi sistemik yang

disebabkan oleh vasodilatasi ekstra-renal; 3. Ekspansi volume plasma tidak

meningkatkan gagal ginjal.16

c. Perdarahan Varises Esofagus

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari usus

yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam vena porta

(hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan peningkatan vena porta

ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan bagian bawah atas lambung akan

melebar, sehingga timbul varises esofagus dan lambung. Semakin tinggi tekanan

portalnya, maka semakin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien

mengalami perdarahan varises.15

42
Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien tekanan portal

(perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena cava inferior). Hal ini terjadi

karena peningkatan aliran darah portal atau peningkatan resistensi vaskuler atau

kombinasi keduanya. Pada sirosis hepatis, faktor utama yang menyebabkan hipertensi

portal adalah peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang

menjadi peningkatan aliran darah portal. 17

Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat, dapat

berakibat fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau

hematemesis. Bahan yang dimuntahkan dapat berwarna merah bercampur bekuan

darah, atau seperti kopi (coffee grounds appearance) akibat efek asam lambung

terhadap darah. Buang air besar berwarna hitam dan lembek (melena) dan keluhan

lemah dan pusing pada saat posisi berubah (orthostatic dizziness atau fainting), yang

disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan perubahan posisi

berdiri dari berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari varises manapun dalam

usus. Misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang terjadi. Meskipun belum jelas

mekanismenya, pasien yang masuk rumah sakit dengan perdarahan aktif varises

esofagus, berisiko tinggi untuk mengalami SBP.15

d. Ensefalopati Hepatik

Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh

bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan akan

terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali ke dalam

tubuh. Beberapa diantaranya misalnya amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam

43
keadaan normal, bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke

dalam hati untuk didetoksifikasi.15

Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun

akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah. Sebagai tambahan,

beberapa bagian darah dalam vena porta tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi

langsung masuk ke vena yang lain (bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam

darah tidak dapat masuk ke dalam hati. Sehingga terjadi akumulasi bahan ini di dalam

darah. Apabila bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.

Kondisi ini disebut enselopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang dibanding

malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal enselopati hepatik. Keluhan lain

dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu berkonsentrasi, atau menghitung,

kehilangan memori, bingung, dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya

enselopati hepatik yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian.15

Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat sensitif terhadap

obat-obat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi dalam hati. Dosis berapa obat

tersebut harus dikurangi untuk menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis,

terutama obat golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-

obat yang lain yang tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat

ginjal. Ada tiga tipe enselopati hepatik yang mendasari, yaitu:15

Tipe A, akibat gagal hati akut

Tipe B, akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis

44
Tipe C, akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa pintasan

porto-sistemik.

I. Prognosis

Prognosis pasien dengan asites bergantung pada penyakit yang mendasari,

tingkat reversibilitas tergantung pada proses penyakit dan respon terhadap terapi yang

diberikan. Pada Meig Syndrome, asites dan efusi akan menghilang setelah tumor

ovarium diangkat.6

45
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, Ny. WER (45 tahun) MRS tanggal 8 November 2015

dengan keluhan perut semakin membesar yang dirasakan sejak 5 bulan SMRS.

Perutnya mulai membesar secara perlahan dan disertai dengan nyeri di seluruh perut.

Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan hilang timbul dan dirasakan menjalar ke

kedua pinggang. Pasien juga mengeluh sesak napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak

dipengaruhi posisi pasien lebih nyaman jika posisi setengah duduk dan berbaring ke

arah kiri. batuk berlendir (+) lendir warna putih kental, dirasakan sejak 1 bulan yang

lalu. Bengkak pada kedua kaki (+) sejak 1 bulan SMRS yang membuat pasien sulit

berjalan. Mual dan muntah (+) sejak 1 bulan yang lalu. Nafsu makan menurun

karena perut terasa nyeri dan tegang. Siklus menstruasi pasien tidak teratur sejak 5

tahun terakhir, dalam 3-5 bulan pasien hanya menstruasi 1 kali.

Gejala yang dikeluhkan pasien pada kasus ini mengarah pada adanya

akumulasi cairan yang abnormal dalam rongga peritoneum atau disebut asites. Hal ini

didukung oleh beberapa penemuan klinik berdasarkan hasil anamnesa yaitu perut

yang semakin membesar, menegang dan nyeri sejak 5 bulan yang lalu. Karena perut

yang membesar dan menegang ini membuat pasien mengalami penurunan nafsu

makan dan cenderung mengalami mual dan muntah sejak 1 bulan yang lalu.

Akumulasi cairan asites pada pasien ini, dapat diketahui jumlahnya cukup banyak

sehingga menimbulkan keluhan tersebut. Karena kompresi organ-organ

intraperitoneal (usus- usus) akibat akumulasi cairan yang banyak tersebut. Selain itu

46
pasien juga mengeluhkan sesak napas saat berbaring (orthopneu) yang menunjukan

kemungkinan tertekannya diafragma akibat akumulasi cairan yang banyak, atau

bahkan dapat disebabkan adanya efusi pleura, karena pasien juga lebih cenderung

nyaman jika berbaring kearah kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk lendir

yang berlangsung lebih dari 1 bulan, yang dapat pula menyebabkan pasien merasa

sesak karena batuk yang dipaksakan. Pembengkakan pada kedua kaki yang

disebabkan oleh karena adanya penimbunan cairan pada kaki (edema). Pasien juga

mengeluhkan siklus menstruasi yang tidak lancar dalam 5 tahun terakhir yang

mengindikasikan adanya gangguan pada organ reproduksi.

Dari anamnesis tersebut, dapat diperkirakan asites yang timbul pada pasien

dapat terjadi karena berbagai penyebab. Salah satu penyebab tersering dari asites

adalah sirosis hepatis. Penyebab lainnya berupa gagal jantung kongestif dan gagal ginjal

kronik, ataupun adanya tumor atau keganasan di dalam perut; atau adanya sumbatan karena

gumpalan darah seperti pada kasus Budd Chiari syndrome. Sehingga dapat didiagnosis

banding dengan Congestive Heart failure (CHF), Serosis Hepatis dan juga TB paru

untuk keluhan batuk kroniknya. Untuk menyingkirkan diagnosis banding tersebut

perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang.

Pada pasien ini, kemungkinan penyebab asitesnya adalah tumor ovarium.

Tumor ovarium biasanya tidak memiliki gejala yang spesifik dan cenderung bersifat

asimtomatik, keluhan pada pasien yang mengarah pada diagnosis ini pun hanya

berupa gangguan pada siklus menstruasinya, dan hasil anamnesis yang mana pasien

mengaku sebelumnya sudah memeriksakan diri ke Dokter Spesialis Obgin dan

didiagnosis menderita Tumor ovarium serta direncanakan untuk dioperasi.

47
Pasien ini juga telah melakukan pemeriksaan ultrasonografi, darah rutin,

urinalisa, dan pemeriksaan tumor marker yang semakin memperkuat diagnosis tumor

ovarium. Hasil USG menunjukan adanya massa complex adnexa (Tumor ovarium)

dan Asites serta pemeriksaan tumor marker ditemukan peningkatan Ca 125 sebesar

504,54 U/m. Walaupun dengan pemeriksaan tumor marker Ca 125 tidak dapat

ditentukan jenis tumor apakah jinak atau ganas, namun peningkatannya sudah

menunjukan hasil yang bermakna bahwa penyakit yang mendasari timbulnya asites

adalah tumor ovarium.

Sekitar 10-15% kasus tumor ovarium disertai dengan asites. Ascites dengan

tumor ovarium dan juga efusi pleura memiliki prevalensi sebesar 1 % pasien,

terutama mereka yang memilki ukuran tumor yang besar. Tumor ovarium sesuai

referensi lebih banyak ditemukan pada masyarakat sosio ekonomi rendah dan insidensi

meningkat pada decade ketiga dan meningkat secara progresif hingga puncaknya pada

dekade ketujuh. Hal ini sesuai dengan data pasien yang didiagnosis menderita tumor ovarium

usia 45 tahun, yang diduga peran dari faktor ketidakseimbangan hormonal.

Temuan pemeriksaan fisik yang bermakna juga adalah pemeriksaan thorax,

dimana pergerakan pergerakan dada asimetris, dada kiri cenderung tertinggal,

fremitus taktil menurun pada paru kiri, paru kiri redup setinggi ICS VIII, penurunan

bunyi napas pada lapangan paru kiri, Ronchi : +/+ di apex paru, yang menunjukan

adanya efusi pleura sinistra. Hasil pemeriksaan fisik ini ditunjang dengan hasil foto

rongten thorax yang menunjukan sinus costophrenicus kiri tumpul. Tidak ditemukan

adanya tanda-tanda perselubungan ataupun kavitas yang memberi kesan TB paru,

48
namun sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA mengingat asites juga dapat

disebakan oleh infeksi kuman tuberculosis.

Selain itu pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya peningkatan JVP

yang menunjukan adanya gagal jantung kongestif ataupun adanya kelainan pada EKG

sehingga diagnosis CHF dapat disingkirkan. Selain itu tidak ditemukannya tanda-

tanda serosis hepatis seperti spider nevi, caput medusa, eritema palmaris, ikterus,

melena dan lain- lain yang membuat diagnosis serosis dapat disingkirkan. Namun

sebaiknya dapat pula dilakukan pemeriksaan antivirus (HbsAg dan anti HVC) untuk

lebih memastikan tidak adanya infeksi virus. Diagnosis Meigs Syndrome sendiri baru

dapat disingkirkan setelah pasien melakukan operasi pengangkatan tumor dan gejala

klinis hilang. Sehingga diagnosis klinis yang paling mungkin pada pasien ini adalah

Asites et causa tumor ovarium dan Pleura efusi sinistra.

Ada beberapa teori yang menerangkan proses terjadinya asites yang

disebabkan oleh tumor ovarium. Meigs menduga bahwa iritasi dari peritoneum akibat

tumor ovarium yang keras dan solid menstimulasi produksi cairan peritoneum.

Mekanisme lain yang diajukan adalah tekanan langsung pada aliran limfe atau vena,

stimulasi hormonal, dan torsi tumor. Terjadinya ascites dapat juga disebabklan oleh

pelepasan mediator-mediator (seperti activated complements histamine fibrin

degradation products) dari tumor, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.5,6

Patofisiologi terjadinya efusi pleura pada tumor ovarium juga tidak jelas.

Teori dari Efskind dan Terade dkk mengatakan bahwa cairan ascites berpindah

melalui transdiaphragmatic lympathic channels. Cairan ascites dan efusi pleura pada

tumor ovarium dapat berupa transudat atau eksudat.

49
Untuk mengetahui jenis cairan asites, dilakukan abdominal parasentesis.

Abdominal parasentesis sendiri bersifat diagnostik dan juga terapeutik. Dengan

abdominal parasentesis dapat diketahui penyebab asites dan juga mendeteksi

kemungkinan terjadinya komplikasi spontaneous bacterial peritonitis (SBP).11 dengan

analisis cairan asites dapat diketahui jumlah sel, albumin, kultur asites, protein total,

gram stain dan sitologi. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan sitologi saja

yang makroskopisnya cairan asites berwarna kuning keruh dan hasil mikroskopisnya

terdapat sebaran sel limfosit matur, sel plasma, neutrophil, beberapa foamy makrofag

dari sel-sel mesothel inti nonatipik diantaranya, latar belakang sel-sel eritrosit, tidak

ditemukan sel-sel maligna pada hapusan yang diperiksa. Hasil ini menunjukan bahwa

dapat dicurigai sedang terjadi SBP pada pasien ini, karena menunjukkan bahwa

terdapat kemungkinan telah tejadi invasi bakteri dalam rongga perut sebagai akibat

dari adanya asites. Hasil juga tidak disertai sel-sel maligna, sehingga kemungkinan

jenis tumor ovarium adalah tumor jinak. Karena keterbatasan waktu dan fasilitas

pemeriksaan jumlah sel, albumin, kultur, protein total, dan pewarnaan gram tidak

dilakukan, padahal pemeriksaan tersebut sangat membantu dalam menegakan

diagnosis.

Penatalaksanaan pada kasus asites dipengaruhi oleh etiologinya. Terapi yang

diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dan gejala dari penyakit itu

sendiri. Pada kasus ini, pasien diberikan diet tinggi kalori tinggi protein, rendah

garam, serta pembatasan jumlah cairan kurang lebih 1 Liter per hari. Jumlah kalori

harian dapat diberikan sebanyak 2000-3000 kkal/hari. Pembatasan pemberian garam

juga dilakukan agar gejala asites yang dialami pasien tidak memberat. Hal ini

50
dikarenakan adanya retensi garam dan air oleh ginjal sebagai akibat dari hipertensi

porta sehingga menyebabkan asites pada pasien. Selain melalui nutrisi enteral, pasien

juga diberikan nutrisi parenteral dengan pemberian infus Ringer Laktat dengan

jumlah tetesan 16 tetes per menit.

Diuretik diberikan dengan tujuan untuk mengurangi asites yang dialami pasien.

Diuretik yang diberikan awalnya dapat dipilih spironolakton dengan dosis 100-200

mg sekali perhari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5

kg/hari tanpa edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Apabila pemberian

spironolakton tidak adekuat maka dapat dikombinasikan dengan furosemid dosis 20-

40 mg/hari. Pemberian furosemid dapat ditambah hingga dosis maksimal 160

mg/hari. Pada pasien ini, diberikan kombinasi furosemide 2 x 2 ampul/iv dan

spironolakton 2 x 100 mg tablet karena asites pada pasien ini sudah merupakan asites

yang masif dan hanya memberikan respon yang minimal dengan pemberian diuretik.

Ceftriaxone diberikan untuk mencegah infeksi dengan mengurangi jumlah bakteri di

usus oleh karena pasien asites sangat rentan untuk terjadinya SPB. Kapsul batuk juga

diberikan kepada pasien 3x1 kapsul yang diperoleh dari dokter spesialis penyakit

dalam, untuk keluhan batuknya. Selama 3 hari keluhan batuk mulai menghilang

seiring dengan penurunan edemanya.

Abdominal parasentesis yang dilakukan sebagai tindakan terapeutik juga

dilakukan pada pasien ini dimana cairan asites yang dikeluarkan sebanyak 3500 cc.

dengan tindakan tersebut, keluhan sesak napas pasien semakin berkurang dan terjadi

penurunan berat badan dan lingkar perut sebesar masing-masing1,5 kg dan 6 cm.

Setelah pungsi dilakukan, pasien merasa lebih baik dan minta pulang paksa. Padahal

51
penatalaksanaan terhadap etiologi yang mendasari terjadinya asites harus dilakukan

yaitu pengangkatan tumor ovariumnya. Jika tidak kemungkinan untuk timbulnya

asites rekuren sangat besar, dan lagi dengan operasi hasil akhirnya dapat dipantau

untuk menyingkirkan diagnosis Meigs Syndrome.

Beberapa kekurangan yang disadari oleh penulis dari laporan kasus ini antara

lain:

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan pemeriksaan anti virus

HbsAg dan Anti HCV yang sudah dijadwalkan karena pasien meminta pulang

paksa.

Tidak dilakukan pemeriksaan analisis cairan asites berupa jumlah sel, albumin,

kultur asites, protein total, gram stain karena terbatasnya waktu dan fasilitas,

dimana pemeriksaan ini sangat membantu dalam penegakan diagnosis.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati

S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta:

InternaPublishing; 2009.

2. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.

Harrison's principles of internal medicine. 7th ed. USA: The McGraw-Hill

Companies, Inc; 2008.

3. Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis

and management. World J Hepatol. 2013 May 27; 5(5): 251-263.

4. Gins P, Quintero E, Arroyo V, Ters J, Bruguera M, Rimola A, et al.

Compensated cirrhosis: natural history and prognostic factors. Hepatology.

1987;7:122-28.

5. Lessnau KD. Meigs Syndrome. Emedicine; 2013 Mar 28 [cited 2015 Mei 24].

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/255450-overview

6. Rahil S. Ascites. Emedicine; 2014 Mei 4 [cited 2014 Feb 02]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/170907-overview#a0104

7. Godong B, Patofisiologi dan Diagnosis Asites pada Anak. J Indon Med Assoc.

2013;63:32-6.

8. Sood R. Ascites: Diagnosis and management. Journal of Indian Academy of

Clinical Medicine. 2012;5:81-9.

9. Hou W, Sanyal AJ. Ascites: Diagnosis and management. Med Clin N Am. 2009;

83: 801-17.

53
10. Longstreth GF. Ascites. Medline Plus; 2012 Nov 16 [cited 2015 Mei 24].

Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/00286.htm

11. Matthew JG, Karen FM, Richard BC. Pathophysiology, diagnosis and

management of pediatric ascites. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52(5):503-

13.

12. Jones J, Radswiki. Ascites. Radiopaedia.org; 2010 [cited 2015 Mei 24].

Available from: http://radiopaedia.org/articles/ascites

13. Siqueira F, Kelly T, Saab S. Refractory ascites: pathogenesis, clinical impact,

and management. Gastroenterology and Hepatology. 2009;5(9):647-56.

14. Moore KP, Aithal GP. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. Gut.

2006;25wppI6vi1-vi12.

15. Kusumobroto OH. Sirosis Hepatis. Dalam: Sulaiman, Ali., dkk.,ed. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: Jaya Abadi; 2007. 335-45.

16. Salerno, Francesco., et al. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal

syndrome in cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC). 2007; 56(9): 13101318.

17. Theophilidou, E., et al. Liver metastases, a rare cause of portal hypertension and

stoma bleeding. Brief review of literature. Journal PubMed Central (PMC). 2012;

3(5): 173176.

18. Price SA, Wilson LM. Patofisologi konsep klinis proses-proses penyakit..

Volume 2. Jakarta: EGC; 2006.

19. Mirzanie H, Slamet AW, Leksana, Sari KD, Widasari DI. Buku saku internoid.

Jakarta: Tosca Enterprise; 2005.

20. Hadi, Sujono. Gastroenterologi. Bandung: PT Alumni; 2002.h.613-51.

54
55

Anda mungkin juga menyukai