Anda di halaman 1dari 31

1

Skenario 4
Perut Buncit
Seorang laki laki berusia 50 tahun datang ke unit gawat darurat dengan
keluhan muntah darah dan BAB berwarna hitam sejak 1 hari yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan perutnya semakin membesar sejak 1 bulan yang lalu dan terasa
penuh. Keluhan disertai nausea dan kadang vomitus, nafsu makan menurun dan
kulitnya ikterik. Pasien bekerja sebgai cleaning servis rumah sakit dan belum
pernah vaksin hepatitis sebelumnya. Riwayat pernah sakit kuning sebelumnya ada
15 tahun yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan spider naevi di dada,
frog like appearance dan caput medusae. Dokter menyarankan istri pasien untuk
melakukan pemeriksaan HBsAg dan pasien di rawat dirumah sakit.
Step 1
1.

Spider Naevi = kondisi yang ditandai dengan vena yang


terpilin seperti varises

2.

Caput medusae = pelebaran vena cutaneus pada daerah


umbilicus pada bayi baru lahir atau pasien dengan sirosis
hati dan penyumbatan vena

3. Frog like appearance = kondisin perut abnormal (melebar dan cembung)


4. Nausea = tidak enak diperut dan mual
5. Vomitus = keluarnya isi lambung
6. HBsAg = protein yang terdapat pada permukaan virus hepatitis B
Step 2
1. Mengapa perut pasien makin membesar ?
2. Mengapa pasien mengalami nausea, vomitus, BAB hitam, muntah darah
dan ikterik ?

3. Mengapa pada pemeriksaan fisik didapatkan Frog like appearance, spider


naevi, caput medusa ?
4. Apa hubungan riwayat penyakit kuning yang 15 tahun sebelumnya dialami
pasien dengan kelainan yang dialami sekarang ?
5. Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan ?
6. Mengapa dokter menyarankan menjalani pemeriksaan HBsAg ?
Step 3
1. Perut membesar
a. Karena asites
b. Spleenomegali dan kardiomegali
2. a. BAB Hitam

ganguan pembentukan UCB


ganguan ekskresi CB

b. Muntah darah

dari GI tract (varises esophagus)

c. Vomitus dan Nausea


d. Kulit ikterik

rangsangan dari GI tract

adanya peningkatan UCB dan CB

3. Karena adanya peningkatan tekanan vena abdomen


tekanan intra abdomen
4.

dan peningkatan

sel parenkim terganggu

Karena kekambuhan atau tidak ada hubungan sama sekali atau karena
penyakit berdiri sendiri

5. Penegakan diagnosis

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Rps : sejak kapan


mengalami
asites
Rpd : sejak kapan
konsumsi

Shifting dullness

Distensi muscular

Tes gelombang cairan

Hepatospleenomegali

Pemeriksaan penunjang

alkohol

Rontgen polos 3
posisi

Pemeriksaan
serum

Darah rutin

6. DD
a. Sirosis hati
b. Hepatitis B
c. Fatty liver
7. Untuk mengetahui kemungkinan istri tertular virus hepatitis B
Step 4
1.

a. Asites

terdapat cairan karena ada peningkatan

tekanan vena porta dan ada perubahan kadar albuminea


b. Spleenomegali

adanya peningkatan aliran darah ke vena sehingga


terjadi peningkatan kerja lien

2. a. BAB hitam

adanya perdarahan GI tract


peningkatan tekanan vena porta

b. Kulit ikterik

peningkatan UCB dan CB

c. Nausea dan Vomitus

rangsangan pada GI tract

3. a. Spider naevi

hipertensi vena porta

inaktif sel hepar

ganguan sel hepar

menyekresi steroid adrenal dan gonad

hipertensi kapiler
b. Frog like appearance

tekanan vena porta

menganggu aliran hepatorenalis


c. Caput medusae

hipertensi

osmolaritas terganggu

terlihat di umbilicus

asites

vasodilatasi vena setara

karena banyak sirkulasi kolateral


4. Kekambuhan penyakit pasien 15 tahun yang lalu untuk mencari faktor
resiko
5. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Cor

Ren

Hepar

6. Diagnosis
a. Asites

Pemeriksaan fisik

Serak

Shifting dullness

Batuk

Distensi muscular

Nyeri dada

Tes gelombang cairan

Volume urin

Hepatospleenomegali

Warna urin

Murmur

Riwayat HD

Gallop

Anoreksia

Edema paru

Malaise

Ronkhi basah

Mual

Edema pretibial

Muntah

b. Hepatitis B
c. Sirosis hati
7. Untuk mencegah penularan

Faktor Resiko

Penatalaksanaan

Asites

Diagnosis

Patogenesis

Penegakan Diagnosis

Step 5
1. Apa hubungan hipertensi portal dan hipoalbuminea dengan asites dan
hubungannya dengan spider naevi, caput medusae, frog like appearance ?
2. Bagaimana patomekanisme melenan dan hematemesis ?
3. Bagaimana penegakan diagnosisnya ?
4. Bagaimana penatalaksanaan kelainan hepar ?

Step 6
Belajar Mandiri

Step 7

1. Hubungan asites dengan hipertensi porta dan hipoalbuminemia


Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma
yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi
porta

akan

meningkatkan

tekanan

hidrostatik

venosa

ditambah

hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan


intravascular akan menurun. Akibaat volume cairan intravascular
menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam
melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila
volume cairan intravascular sangat menurun. (Sudoyo, 2009)
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi
cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi
akibat peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan
aktivitas hormon natriuretik karena penurunan fungsi hati. (Sudoyo, 2009)
Evolusi dari kedua teori underfilling dan overfilling adalah teori
vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor pathogenesis pembentukan
asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang serin disebut sebagai
faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor
sistemik. (Sudoyo, 2009)
Akibat vasokontriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan
resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi
vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchic bed oleh vasodilator
endogen. Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti oleh
peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchic bed menyebabkan
hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan
tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus.
Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen
yang dicurigai berperan antara lain: glucagon, nitric oxide (NO),
calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor nariuretik atrial
(ANP), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNP). (Sudoyo, 2009)
Vasodilator endogen pada saatna akan memengaruhi sirkulasi
arterial sistemik, terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi
proses underfilling sistem saraf simpatik, sistem rennin-angiotensin-

aldosteron dan arginin vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan


reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.
(Sudoyo, 2009)
2. Patofisiologi melena dan hematemesis
A. Melena
Perdarahan saluran gastrointestinal merupakan keadaan emergensi
yang

membutuhkan

penanganan

segera.

Insiden

perdarahan

gastrointestinal mencapai lebih kurang 100 kasus dalam 100.000


populasi per tahun, umumnya berasal dari saluran cerna bagian atas.
Perdarahan saluran cerna bagian atas muncul 4 kali lebih sering
dibandingkan perdarahan pada bagian bawah, serta merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas untuk kasus gangguan
pada saluran cerna. Mortalitas akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas ditemukan sebanyak 6-10% dari seluruh kasus (Fauci,
2005).
Perdarahan saluran gastrointestinal dapat muncul dalam lima
macam manifestasi, yaitu hematemesis, melena, hematochezia,
occult GI bleeding yang bahkan dapat terdeteksi walaupun tidak
ditemukan perdarahan pada pemeriksaan feses, serta tanda-tanda
anemia seperti syncope dan dyspnea (Fauci, 2005).
Melena adalah feses yang berwarna hitam dan berbau busuk karena
bercampur produk darah dari saluran cerna. Adanya melena
menunjukkan bahwa darah telah berada di saluran cerna dalam
waktu setidaknya 14 jam dan biasanya terjadi pada saluran cerna
bagian atas, walaupun terkadang melena dapat pula timbul akibat
perdarahan dari colon (Fauci, 2005).
Sementara hematochezia adalah terdapatnya darah segar pada
feses, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian bawah
(Fauci, 2005).
a. Etiologi

Mekanisme terjadinya perdarahan saluran cerna antara


lain disebabkan disrupsi mukosa gastrointestinal sebagai akibat
sekunder dari peristiwa inflamasi, infeksi, trauma, atau kanker.
Penyebab terbanyak adalah peptic ulcer disease, Selain itu
perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat abnormalitas
vaskular, seperti ektasis pada vaskular atau varises esofagus
karena hipertensi portal. Selain itu, riwayat penggunaan obatobatan golongan NSAID jangka panjang atau konsumsi alkohol
juga potensial menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran
cerna (De Caestecker, 2006).
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung darah lengkap
a. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
Mungkin normal pada awal perdarahan saluran cerna
akut

kemudian

menurun

seiring

masuknya

cairan

ekstravaskular ke dalam pembuluh darah sebagai upaya


pengembalian volume darah (De Caestecker, 2006).
Pasien dengan perdarahan saluran cerna kronis dapat
menunjukkan nilai hemoglobin dan hematokrit yang
sangat rendah walaupun tekanan darah dan nadi berada
dalam batas normal (De Caestecker, 2006).
b. Leukositosis dan trombositosis ringan sering terlihat
c. Distribusi sel darah merah dapat menunjukkan anemia
mikrositik dan anemia kekurangan besi sebagai akibat
kehilangan darah (De Caestecker, 2006).
2. Kimia Darah
Peningkatan kadar BUN sering terjadi pada perdarahan
saluran cerna bagian atas (De Caestecker, 2006).

c. Terapi
Pendekatan terapi pada pasien dengan perdarahan
saluran cerna adalah sebagai berikut:
1. Resusitasi dan stabilisasi hemodinamik
2. Intervensi

tindakan:

Endoscopic

hemostatic

therapy,

colonoscopic removal of bleeding polyp or mass, surgical


resection, sclerotherapy
3. Farmakoterapi: Epinefrin 1:10.000, proton pump inhibitor
(pantoprazol dosis awal 80 mg bolus diikuti 8 mg/jam,
lansoprazol 60 mg bolus diikuti 6 mg/jam), eradikasi H.pylori,
penghentian penggunaan obat-obatan golongan NSAIDs,
misoprostol 100 g 3-4 kali sehari, short term treatment
dengan okreotide 50 g bolus dan 50 g/ jam infus untuk 2-5
hari (De Caestecker, 2006).

B. Hematemesis
Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau
hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum
Treitz.(Sudoyo,2009)
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai
perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada
duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian
atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic
ulcer disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obatobat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan
Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang (Sudoyo,2009).

10

Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi


klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar
sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula
bermanifestasi dalam bentuk melena. Hematokezia (darah segar keluar
per anum) biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat
berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal)
(Sudoyo,2009).
Upper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau
lebih dikenal perdarahan saluran cerna bahagian atas memiliki
prevalensi sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan
akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian
dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %,
dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya
angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan dengan
bertambahnya usia pasien yang menderita perdarahan saluran cerna
serta dengan meningkatnya kondisi comorbid. Peptic ulcers adalah
penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran cerna, terhitung
sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi gastric
(15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus),
dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus). Penggunaan aspirin
ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari
keseluruhan kasus perdarahan akut (Sudoyo,2009).
a. Etiologi
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna
bahagian atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms
(Porter, R.S., et al., 2008):
1. Duodenal ulcer (20 30 %)
2. Gastric atau duodenal erosions (20 30 %)

11

3. Varices (15 20 %)
4. Gastric ulcer (10 20 %)
5. Mallory Weiss tear (5 10 %)
6. Erosive esophagitis (5 10 %)
7. Angioma (5 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors
Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada
sekitar 4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10 % dari
populasi di Amerika Serikat memiliki PUD. Dari sebahagian besar
yang terinfeksi H pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%.
Hanya sekitar 10% dari orang muda memiliki infeksi H pylori;
proporsi orang-orang yang terinfeksi meningkat secara konstan
dengan bertambahnya usia (Anand, 2011).
Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah
menurun pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada
simple gastric ulcer mengalami penurunan, insidensi daripada
complicated gastric ulcer dan opname tetap stabil, sebagian
dikarenakan penggunaan aspirin pada populasi usia tua. Jumlah
pasien opname karena PUD berkisar 30 pasien per 100,000 kasus
(Anand, 2011).
Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant
pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin.
Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita.
Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah kemunculan ulcer
mengalami penurunan pada pria usia muda, khususnya untuk
duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua
(Anand, 2011).

12

Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di


bagian gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka
sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus.
Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko
daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear dibandingkan dengan
pasien hipertensi non-portal (Anand, 2011).
Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles
datang ke ICU dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang
berat, Mallory-Weiss Tear adalah diagnosis keempat yang
menyebabkan perdarahan saluran cerna bahagian atas, terhitung
sekitar 5 % dari seluruh kasus (Jutabha, 2003).
Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral
yang berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun
hipertensi segmental portal. Beberapa penyebab dari hipertensi
portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit
postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit alcoholic liver
adalah penyakit yang paling sering menimbulkan penyakit
hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat (Jutabha, 2003).
Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak
gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan
mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan
cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs
mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan
peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah
usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi
dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang
lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid
illness (Anand, 2011).
Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien
dengan arthritis dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur

13

menggunakan aspirin pada dosis rendah beresiko menderita


dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan NSAIDs harus dikurangi (Anand,
2011).
Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak
diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada
anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs.
Laporan menunjukkan terjadinya ulserasi pada penggunaan
ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis (Anand, 2011).
Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya
tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai
potensi untuk menimbulkan tukak gaster (Anand, 2011).
Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat terjadi
dengan penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake
inhibitor (Anand, 2011).
b. Faktor Resiko
The American Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE)
mengelompokkan

pasien

dengan

perdarahan

saluran

cerna

bahagian atas berdasarkan usia dan kaitan antara kelompok usia


dengan resiko kematian. ASGE menemukan angka mortalitas untuk
3.3% pada pasien usia 21-31 tahun, untuk 10.1% pada pasien
berusia 41-50 tahun, dan untuk 14.4% untuk pasien berusia 71-80
tahun (Caestecker, 2011).
Menurut organisasi tersebut, ada beberapa faktor resiko yang
menyebabkan kematian, perdarahan berulang, kebutuhan akan
endoskopi hemostasis ataupun operasi, yaitu: usia lebih dari 60
tahun, comorbidity berat, perdarahan aktif (contoh, hematemesis,
darah merah per nasogastric tube, darah segar per rectum),
hipotensi, dan coagulopathy berat

14

Pasien dengan hemorrhagic shock memiliki angka kematian


yang mencapai 30 % (Caestecker, 2011).
3. Penegakan diagnosis
1. Sirosis Hepatis
A. Anamnesis
Pada tahap awal sirosis biasanya tidak menunjukan gejala
yang khas. Karena hal tersebut sebagian besar pasien datang
dengan kondisi sirosis yang sudah parah. Dari anamnesis ini perlu
di gali keluhan atau gejala yang biasanya muncul pada penderita
sirosis hepatis seperti perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perut terasa kembung, mual, berat badan
menurun, testis mengecil, buah dada membesar serta hilangnya
dorongan seksual ( Sudoyo, 2009).
Selain itu jika sirosis hepatis sudah dalam kondisi lanjut
akan muncul komplikasi-komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
portal, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur dan
demam tak begitu tinggi. Beberapa pasien ditemukan adanya
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus
dengan dengan urin berwarna seperti teh ( Sudoyo, 2009).
B. Temuan Klinis
Pada pemeriksaan fisik penderita sirosis hepatis biasanya
akan ditemukan:
1. Spide- angioma, suatu lesi vaskular yang dikelilingi
beberapa

vena

mekanismenya

kecil.
dikaitkan

Biasa

ditemukan

dengan

di

bahu,

peningkatan

kadar

estrogen
2. Palmar eritema, warna merah pada thenar dan hipothenar
telapak tangan.

15

3. Ginekomastia, dikaitkan dengan peningkatan estrogen


dalam darah.
4. Atrofi testis hipogonadisme
5. Hepatomegali, biasanya ditemukan pada sirosis hepatis
dengan komplikasi hepatoma
6. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat
hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
7. Caput medusa, muncul sebagai akibat dari hipertensi porta.
8. Fetor hepatikum, bau napas akibat peningkatan dimetil
sulfid.
9. Ikterus, peningkatan bilirubinemia ( Sudoyo, 2009).
Selain itu Haryono Subandiri membagi manifestasi klinis
sirosis dalam dua bagian, yaitu:
1. Hepatoseluler
a. Sklera ikterik
2. Spider nevi (teleangiektasis)
3. Ginecomastia
a. Atropi testis
b. Palmar erithem
4. Hipertensi portal
a. Varices oesophagus
5. Splenomegali
6. Kolateral dinding perut
7. Ascites
8. Hemoroid Gambaran Laboratorium ( Sudoyo, 2009).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Aspartat

aminotranferase

(AST)/SGOT

dan

alanin

aminotransferase (ALT)/SGPT meningkat tapi tak begitu


tinggi. SGOT biasanya lebih tinggi daripada SGPT.
2. Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas
3.
4.
5.
6.
7.

normal.
Peningkatan gamma-GT
Bilirubin meningkat atau normal
Penurunan kadar albumin
Peningkatan kadar globulin
Waktu protrombin, menunjukan tingkat disfungsi sintesis

hepar, pada sirosis memanjang


8. Kelainan hematologi anemia ( Sudoyo, 2009).

16

2. Sindrom hepatorenal
A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai
dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal
hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan
biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air, yang menimbulkan
asites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh
ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan
buang air (oliguri anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat
ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac
output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik. Pada
pasien sirosis hepatis, 80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai
ensefalopati hepatic, dan 40% disertai ikterus ( Sudoyo, 2009).
Tabel 3. Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom
Hepatorenal
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic Shunt
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi

B. Pembagian Sindrom Hepatorenal


Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi
peningkatan serum kreatinin dua kali lipat. Tipe I ditandai oleh
peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood Urea
Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau

17

penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini


timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering
dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi
natrium dan hiponatremi (Guyton, 2012).
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang
sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus,
ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik
berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul
pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus Sindroma
Hepatorenal tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi
yang diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi
hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau
intervensi

terapi,

seperti

infeksi

bakteri,

perdarahan

gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri Spontan (SBP)


adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis.
Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul Sindroma
Hepatorenal tipe I (Guyton, 2012).
Sindroma Hepatorenal Tipe I adalah komplikasi dengan
prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan
mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita
ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup
dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya
(Guyton, 2012).
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ini ditandai
dengan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi
glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg /
dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada
penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada
penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup

18

penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada Sindroma


Hepatorenal tipe I (Guyton, 2012).
C. Penegakan Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik sindrom
hepatorenal. Diagnosis SHR selalu dibuat setelah eksklusi
gangguan-gangguan lain yang dapat menyebabkan gagal ginjal
pada pasien sirosis. Kriteria diagnostik yang dianut sekarang adalah
berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic Criteria of
Hepatorenal Syndrome ( Sudoyo, 2009).
Tabel 4. Kriteria diagnostik Sindroma Hepato Renal

berdasarkan

International Ascites Club


Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 mol/L) atau kreatinin klirens
24 jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau
penyakitparenkim ginjal secara ultrasonografi
1.
2.
3.
4.
5.

Kriteria Tambahan
Volume urin < 500 ml / hari
Natrium urin < 10 meg/liter
Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
Eritrosit urin < 50 /lpb
Natrium serum <130 mEq/liter
*Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa
Sindroma Hepatorenal, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung
untuk diagnose Sindroma Hepatorenal ( Sudoyo, 2009).

19

Gambar 7. Alur Diagnosis Sindroma Hepatorenal Pada Pasien Sirosis


( Sudoyo, 2009).
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati
bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal.
Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat
setelah

menyingkirkan

Pseudohepatorenal

Syndrome.

Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaaan terdapatnya


kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang
tidak ada hubungan satu sama lain. Beberapa penyebab
Pseudohepatorenal Syndrome adalah:
1. Penyakit kongenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati

20

2. Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit


Wilson
3. Penyakit sistemik, misalnya

SLE, arthritis rheumatoid,

sarkoidosis
4. Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis
virus, dan lain-lain
5. Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisiensi jantung
6. Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular,
luka bakar, dan lain-lain
7. Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamid,
parasetamol, tetrasiklin, iproniazid
8. Tumor, misalnya hipernefroma, metastasis
9. Eksperimenta,

misalnya

defisiensi

kolin,

dan

lain-lain

( Sudoyo, 2009).
C. Diagnosis gagal jantung kongestif
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler ( Sudoyo,
2009).
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal
jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai
berikut:
1. Kriteria Mayor :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Paroksismal nocturnal dispnu


Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

2. Kriteria minor :

21

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 x/menit)

3. Kriteria mayor atau minor :


a. Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan ( Sudoyo,
2009).
Gagal jantung dapat disertai spectrum abnormalitas fungsi ventrikel
yang luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang
normal sampai dengan dilatasi berat dan atau fraksi ejeksi yang sangat
rendah ( Sudoyo, 2009).
American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal
jantung tidak ada satupun uji diagnostik yang spesifik. Diagnosa
sangat ditentukan oleh penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik yang teliti. Dengan dugaan yang kuat akan adanya suatu gagal
jantung pada penderita yang beresiko tinggi, sangat dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan seperti laboratorium rutin, foto
toraks, elektrokardiografi, penilaian fungsi ventrikel kiri, biomarker
dan uji latih ( Sudoyo, 2009).
Disfungsi jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu disfungsi sistolik
dan disfungsi diastolik. Performa ventrikel kiri adalah kemampuan
untuk

mengosongkan

ventrikel

kiri.

Kemampuan

untuk

mengosongkan ventrikel kiri dapat diukur secara kuantitatif dengan


fraksi ejeksi ventrikel kiri (Left Ventrikel Ejection Fraction) yang
merupakan rasio volume sekuncup terhadap volume akhir diastolik.
Sehingga disfungsi sistolik dapat didefinisikan dengan turunnya nilai
EF (Ejection Fraction) (EF < 50%) dapat diukur dengan
ekokardiografi. Sedangkan disfungsi diastolik dapat didefinisikan

22

dengan menurunnya

distensibilitas ventrikel kiri yang dapat

disebabkan oleh proses menua, hipertensi dan kardiomiopati


hipertrofik serta restriktif (EF > 50%). Perbandingan antara disfungsi
diastolik (DHF) dan disfungsi sistolik (SHF) dapat dilihat pada tabel
II.1.

Tabel II.1. Perbandingan DHF dan SHF ( Sudoyo, 2009).

3. Karsinoma Hepar
A. Manifestasi Klinis

23

Timbulnya sebuah karsinoma hepatoseluler mungkin tidak


terduga sampai terjadi penurunan kondisi pasien sirosis yang
sebelumnya stabil. Gejala pada pasien HCC termasuk cachexia, nyeri
pada perut, penurunan berat badan, kelemahan, abdominal fullness
dan bengkak, penyakit kuning, dan mual yang berhubungan dengan
gejala.

Kemunculan

asites,

kemungkinan

perdarahan,

yang

menunjukkan trombosis vena portal atau hati dengan tumor atau


pendarahan dari tumor nekrotik. Perut bengkak terjadi sebagai akibat
dari asites karena penyakit hati kronis yang mendasarinya atau
mungkin karena tumor yang berkembang dengan pesat. Kadangkadang, nekrosis pusat atau perdarahan akut ke dalam rongga
peritoneum menyebabkan kematian. Di negara-negara dengan
program surveilans aktif, HCC cenderung diidentifikasi pada tahap
awal. Penyakit kuning biasanya karena gangguan pada saluran
intrahepatic oleh penyakit hati yang mendasarinya. Hematemesis
terjadi mungkin disebabkan karena adanya varises oesophagus akibat
hipertensi portal. Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien. Pasien
mungkin dapat tidak menunjukkan gejala ( Fauci, 2005) .
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan pembesaran hati yang
lembut, kadang-kadang dengan massa yang dapat di palpasi. Di
Afrika, presentasi khas pada pasien muda adalah massa yang
berkembang pesat pada perut. Hepatomegali adalah tanda dari fisik
yang paling umum, terjadi pada 50-90% pasien. Bruit perut dicatat
dalam 6-25%, dan asites terjadi pada 30-60% pasien. Auskultasi
mungkin mengungkapkan bruit pada tumor atau friction rub ketika
prosesnya telah meluas ke permukaan hati. Ascites harus diperiksa
oleh bagian sitologi. Splenomegali terutama karena hipertensi portal.
Berat badan dan wasting otot yang umum, terutama dengan tumor
yang tumbuh dengan cepat atau besar. Demam ditemukan pada 1050% pasien, dari penyebab yang tidak jelas. Tanda-tanda penyakit hati

24

kronis dapat hadir, termasuk sakit kuning, dilatasi vena abdomen,


eritema palmar, ginekomastia, atrofi testis, dan edema perifer (Fauci,
2005).
C. Diagnosis
Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan maju
pesat, maka berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang
lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun
sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan
radiologi

yang

akurasinya

70

95%1,4,8

dan

pendekatan

laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 70% (Fauci,


2005).
Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising
arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per
ml.
3.

Ultrasonography

(USG),

Nuclear

Medicine,

Computed

Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging


(MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography
(PET) yang menunjukkan adanya HCC.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC
( Sudoyo, 2009).
Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.
D. Pemeriksaan Penunjang

25

a. Penanda Tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang
disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh
saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah
0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% -70% dari pasien
HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau
sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal juga dapat ditemukan
juga pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah desgamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang
kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien HCC, namun
juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronis
aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lagi penanda HCC,
seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-L-fucosidase serum,
dll, tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan
spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan PIVKA-2 ( Sudoyo, 2009).

b. Gambaran Radiologis
1. Gambaran Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG hati merupakan alat skrining yang
sangat baik. Dua karakteristik kelainan vaskular berupa
hipervaskularisasi

massa

tumor

(neovaskularisasi)

dan

trombosis oleh invasi tumor. Perkembangan yang cepat dari


gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati
lebih jelas. Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur
eko jaringan hati lebih mudah dipelajari sehingga identifikasi
lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal maupun kelainan
parenkim difus.

Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular

sering diketemukan adanya hepar yang membesar, permukaan


yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan

26

struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal


( Sudoyo, 2009).
2. Computed Tomography (CT) Scan
Di samping USG diperlukan CT scan sebagai
pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu
potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa
dibuat sebagian-sebagian saja. CT scan yang saat ini
teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan
akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik
hellical CT scan, multislice yang sanggup membuat irisanirisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun
tidak terlewatkan. Untuk menentukan ukuran dan besar tumor,
dan adanya invasi vena portal secara akurat, CT / heliks trifasik
scan perut dan panggul dengan teknik bolus kontras secara
cepat harus dilakukan untuk mendeteksi lesi vaskular khas
pada HCC. Invasi vena portal biasanya terdeteksi sebagai
hambatan dan ekspansi dari pembuluh darah. CT scan dada
digunakan untuk menghilangkan diagnosis adanya metastasis (
Sudoyo, 2009).
3. Angiografi
Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi
hati

harus

dilakukan

pemeriksaan

angiografi.

Dengan

angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang


sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang
diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja
ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa
memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya ( Sudoyo,
2009).
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

27

Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai


alternatif bila ada gambaran CT scann yang meragukan atau
pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada
penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian
zat contrast sehingga pemeriksaan CT angiography tak
memungkinkan padahal diperlukan gambar peta pembuluh
darah ( Sudoyo, 2009).
4. Penatalaksanaan
A. Pengobatan
a. Pengobatan sirosis kompensata
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis.
Terapi

ditujukan

menghindarkan

mengurangi

bahan-bahan

progresi

yang

bisa

penyakit,
menambah

kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.


Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang
mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak 20003000 kkal/hari (Sudoyo, 2009).
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata
ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi
pasien

ditujukan

untuk

menghilangkan

etiologi,

diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan


dapat

mencederai

hati

dihentikan

penggunaannya.

Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa


menghambat kolagenik (Sudoyo, 2009).
Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau
imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap
minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal atau
diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit hati non-alkoholik;

28

menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis


(Sudoyo, 2009).
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin
(analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin
sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral
setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin
setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga
terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara
suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh (Sudoyo,
2009).
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon
dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon
diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga
kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari
selama 6 bulan (Sudoyo, 2009).
Pada

pengobatan

fibrosis

hati;

pengobatan

antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan


dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan
sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator
fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah
satu pilihan. Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik
yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata.
Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah
terbentuknya kolagen, namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai antifibrosis dan sirosis. Metotreksat dan
vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis (Sudoyo,
2009).
b. Pengobatan sirosis dekompensata

29

Asites; tirah baring dan diawali diet rendah garam,


konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet
garam

dikombinasikan

dengan

obat-obatan

diuretic.

Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis


100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor
dengan oenurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada
respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin
(Sudoyo, 2009).
Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien
untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa digunakan
untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet
protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari,
terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang
(Sudoyo, 2009).
Varises esophagus; sebelum berdarah dan sesudah
berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol).
Waktu

perdarahan

akut,

bisa

diberikan

preparat

somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan


skleroterapi atau ligasi endoskopi (Sudoyo, 2009).
Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika
seperti sefotaksim intravena, amoksilin atau aminoglikosida
(Sudoyo, 2009).

30

Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi


darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air
(Sudoyo, 2009).
Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis
dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada
beberapa criteria yang harus dipenuhi resipien terlebih
dahulu (Sudoyo, 2009).

31

DAFTAR PUSTAKA
De Caestecker, J., 2006. Upper Gastrointestinal Bleeding: Surgical
Perspective,clinical reference
Fauci, A.S., 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi ke 16.
Jakarta. EGC
Guyton, Arthur C.2012.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke
11.Jakarta. EGC
Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam:
Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology
2 ed. USA: McGraw-Hill Companies, 53 67.

Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms.


USA,Merck Research Laboratories.

Sudoyo A.W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ke Lima
Jilid 1. Jakarta. FKUI

Anda mungkin juga menyukai