Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagianyang
cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain. Sedangkan bagian
yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan antarsel khusus disebut cairan
transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-
lainnya. Dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit utama yang
berbeda. Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan
elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat.
Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan
mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia.(1)
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan,
dan pascabedah. Terapi cairan meliputi pengganti kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan
air, elektrolit, dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal
dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenisasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.(2)
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa prabedah yang kadang dapat
memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primer, perdarahan,
manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Pada pascabedah perdarahan atau kehilangan cairan masih berlangsung,
yang tentu saja memerlukan penangan khusus. Puasa prabedah selama 12 jam atau lebih
dapat menibulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien dewasa.(3)
Tujuan utama dari terapi perioperatif adalah untuk mengganti defisit cairan prabedah,
selama pembedahan dan pascabedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi secara
optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil apabila
pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda
kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.(4)

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Cairan Tubuh


Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan perlarut bagi semua
yang terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari berat air
dibagi dengan berat badan total, yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan kandungan
lemak yang ada di dalam tubuh. Air membuat sampai sekitar 60 persen pada laki laki
dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung 50 persen dari total berat badan. Pada
neonatus dan anak-anak, presentase ini relative lebih besar dibandingkan orang dewasa.
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan oleh
membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi
menjadi intravaskular dan kompartemen interstitial. Cairan antarsel khusus disebut cairan
transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-
lainnya. Cairan tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan ekstraseluler. Dalam
beberapa kasus, komposisinya dapat berbeda dari plasma atau cairan interstitial.(5)
Cairan intraselular adalah cairan terkandung di antara sel. Pada orang dewasa, sekitar
duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk
dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.(6)
Cairan ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai
nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter
pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.Cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan
interstitial yaitu yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran
tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa. Cairan Intravaskular yaitu cairan yang terkandung dalam pembuluh darah
(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3
liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
Cairan transeluler yaitu cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan.
3

Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam
jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.(7)

Gambar 2.1 Kompartemen cairan tubuh

Gambar 2.2 Kation dan anion utama cairan intraselular dan ekstraselular
4

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara :(8)
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membrane semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi
hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga
tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah
membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya
protein. Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, tekanan onkotik =
mencapai keseimbangan tekanan osmotic. Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya
menyangkut extracell fluid atau cairan ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang
mempengaruhi pergerakan air melalui dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan
hidrostatik akan meningkat dan tekanan onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler
akan didorong masuk ke interstisial yang berakibat edema.
Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah pergerakan
air. Albumin menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada
cairan intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial. Tekanan osmotik
plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut
isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih
rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi

Difusi adalah berpindahnya atau mengalirnya suatu zat dalam sebuah pelarut. Zat
tersebut akan berpindah dari bagian konsentrasi tinggi ke bagian konsentrasi yang lebih
rendah. Agar dapat tercipta proses difusi minimal dibutuhkan sebanyak dua zat yang pada
salah satunya memiliki konsentrasi lebih tinggi atau bisa disebut belum setimbang.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium adalah suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke
dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di
dalam sel.
2.2 Jenis Cairan
2.2.1 Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan
dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak
perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4
5

kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi
defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30
menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1
liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat
penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.(9)
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat
merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau
agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.
Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan
berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis)
dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.(9)

Gambar 2.3 Komposisi cairan kristaloid


2.2.2 Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).(8)
6

Jenis Produksi Tipe BM Waktu Indikasi


Koloid rata- paruh
rata

Plasma Human Serum 50.000 4-15 a.pengganti


protein plasma consered hari volume
human b.hipoproteinemia
albumin c.Hemodilusi

Dextran Leuconostoc D 60/70 60.000 6 jam a. hemodilusi


mesenteroid B – b.Gangguan
512 70.000 mikrosirkulasi
(stroke)
Gelatin Hidrolisis dari - Modifien 35.000 2-3 jam Substitusi volume
kolagen gelatin
binatang - Urea
linked
- Oxylopi
gelatin
hydroxyl
ethyl

Starch
Hidrolisis Hydroxy 450.000 6 jam a.substitusi
asam dan ethyl volume
ethylen oxyde b. hemodilusi
treatment dari
kedelai dan
jantung
Polyvinyl Sintetik -Subtosan 50.000 Substitusi volume
pyrrolido polimer vinyl -Periston 25.000
ne (PVC) pyrrolidone
Tabel 2.1 Komposisi cairan koloid

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :
a. Koloid alami
Fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung
alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments)
seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu
7

pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.(10)
b. Koloid sintesis
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc
mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40
mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.(11)
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan
ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma
volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi.
(11)
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu: modified
fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell) - Urea linked gelatin - Oxypoly gelatin Merupakan
plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea linked gelatin.(11)
8

Kristaloid Koloid
9

Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume plasma


murah. tanpa ekspansi interstisial
2. Komposisi serupadengan 2. Ekspansi volume lebih
plasma (Ringer asetat/ringer Besar
laktat) 3. Durasi lebih lama
3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih
4. Bebas dari reaksi anafilaktik baik.
5. Komplikasi minimal 5. Gradien O? alveolar-
arterial lebih sedikit
6. Insiden edema paru
dan/atau edema sistemik
lebih rendah
Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis
ekspansibilitas dinding dada 2. Koagulopati
2. Oksigenasi jaringan terganggu 3. Albumin bisa
karena bertambahnya jarak memperberat depresi
kapiler dan sel miokard pada pasien syok
3. Memerlukan volume (mungkin dengan
4. kali lebih banyak mengikat kalsium,
mengurangi kadar ion
Ca++)
Tabel 2.2 Perbandingan Kristaloid dan Koloid

2.3 Terapi Cairan


2.3.1 Terapi Cairan Elektrolit
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik
(>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi
Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi
natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam
kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. Dehidrasi hipotonis
(hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari
darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang
lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di
kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga
menyebabkan penurunan volume intravaskular. Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi
ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan
cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan
natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular
10

berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume


intravascular.(12)
Dehidrasi Dewasa Anak
Ringan 4% 4%-5%
Sedang 6% 5 % - 10 %
Berat 8% 10 % - 15 %
Shock 15-20% 15-20%
Tabel 2.3 Derajat dehidrasi

Tabel 2.4 Tanda klinis dehidrasi

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :(13)


a. Hiponatremia

Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat
dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan
(Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5
mg/kg. Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan,
11

sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan
dapat menggunakan rumus :
Na= Na1 – Na0 x TBW
Keterangan:
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan

Na0 = Na serum yang aktual


TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia

Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar
natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang,
koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis,
diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi
keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose.
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh.
Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia >2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat). Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :
K = K1 – K0 x 0,25 x BB
Keterangan:
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
12

d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa
intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.
2.3.2 Terapi Cairan Rehidrasi dan Rumatan
Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan
rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan
dengan cara rehidrasi :
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan (D)
= derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24
jam atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :
6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M
18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti
dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.(14)
Terapi cairan selama pembedahan. Jumlah penggantian cairan selama pembedahan
dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat
pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan
yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
13

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah
mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama
pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan
cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4
ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang
diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer
Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total
10 ml/kgBB/jam.
Penggantian darah yang hilang Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV =
Estimated Blood Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi,
takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada
seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut
seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.(15)

Tabel 2.5 Tabel perkiraan volume darah

Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur
operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan beberapa
cara diantaranya:(8)
a. Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan berat
badan pasien.
b. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV
preop)
14

c. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%)
d. Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost); RBCV
lost = RBCV preop – RBCV 30% .
e. Hitung Allowable Blood Loss.

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan :(8)


a. Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung
suction
b. Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah ) • Ditambah
dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah
terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup
lapangan operasi)
Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan
kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan :
(13)
a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan
b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit.

g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah :
a. 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
b. Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin
3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya
sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam.
15

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke


ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan, yaitu :(11)
a. 6-8 ml/kg untuk bedah besar
b. 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
c. 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

2.3.4 Jalur Pemberian Terapi Cairan


Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui
jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka
dengan seksi vena .(9)
1. Kanulasi Vena Perifer Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di
daerah ekstremitas atas berikutnya dilanjutkan pada vena bagian
ekstremitas bawah. Hindari vena di daerah kepala karena sangat tidak
fiksasinya, sehingga mudah terjadu hematom. Pada bayi baru lahir, vena
umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat.
Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk:
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari
tiga hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang
2. Kanulasi Vena Sentral Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang,
misalnya untuk nutrisi parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena
subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek,
dilakukan melalui vena- vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau
terbuka dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri
adalah:
a. Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk
cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk
mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio
vascular, vena perifer sulit diidentifikasi
c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung
16

2.4 Terapi Cairan Perioperatif


Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau defisiensi
cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah seperti pada
sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan. Menurut National
Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa pasien dengan
hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperative dengan jumlah tidak adekuat
mengalami peningkatan angka mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang
mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang adekuat. (1)
2.4.1 Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pemberian cairan
perioperatif, yaitu : (13)
1. Kebutuhan Normal Cairan Dan Elektrolit Harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama
Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan
pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang
hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit Cairan Dan Elektrolit Pra Bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah
elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit
bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada
penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat
hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah
ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan Cairan Saat Pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
 Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction
pump).
 Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan.
Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah100-10 ml.
b. Kehilangan Cairan Lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
17

Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal
istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi
defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan
serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat.
4. Gangguan Fungsi Ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
 Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
 Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya
kadar aldosteron.
 Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi
air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
 Ginjal tidak mampu mengekskresikan ³free water´ atau untuk menghasilkan urin
Hipotonis
BAB III
KESIMPULAN
Air merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Persentase cairan tubuh
tergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan tubuh
tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen, yaitu intraselular dan
ekstraselular. Apabila terjadi deficit atau kekurangan cairan pada tubuh maka perlu segera
diberikan penanganan atau pencegahan untuk mencegah terjadinya masalah kekurangan
cairan.
Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering dan
paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini antara lain
harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti
pada syok hipovolemik/hermorhagik. Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan
emeliharaan, pengganti, nutrisi, dan untuk tujuan khusus.
Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana masing
memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan pada saat
sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan darah pada pasien
perioperative juga menentukan jenis terapi cairan yang akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists Committee. Practice Guidelines for


Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to Reduce The
Risk of Pulmonary Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing
Elective Procedures: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Com. Anesthesiology. 2011;114(3):495–511.
Barash P, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan M, Stock MC, Ortega R. Handbook of
Clinical Anesthesia. 6th Editio. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
Buku Kedokt EGC. 2014;
Christine Stock. Clinical Anesthesia. 6th Editio. USA: Lippincott Williams and
Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo
dan CR. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General
Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.; 2007.
Ellsbury DL, George CS. Dehydration. Emedicine. 2006;
Grabber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Edisi 3. Jakarta: Farmedia;
2010.
Guyton AC. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta Penerbit
Horne U, Mima H. Pocket Guide to Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Balance. 5th
editio. Missouri: Elsevier-mosby; 2004.
Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Cohen NH, Young WL.
Miller’s Anesthesia E-book. USA: Elsevier Health Sciences; 2014.
Paul G. Barash Bruce F. Cullen Robert K. Stoelting Michael K. Cahalan M.
Stoelting RK, Hillier SC. Handbook of Pharmacology and Physiology in Anaesthetic
Practice. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2006.

Anda mungkin juga menyukai