TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Hipertensi
II.1.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang1 Seseorang akan dikatakan hipertensi
bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan 2. Satu-satunya cara untuk
mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah secara teratur. Tekanan darah
sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi3.
Salah satu indikator keluarga sehat adalah penderita hipertensi yang melakukan
pengobatan secara teratur. Penderita yang dimaksud adalah jika di dalam keluarga terdapat
anggota keluarga berusia ≥ 15 tahun yang didiagnosis sebagai penderita tekanan darah tinggi
(hipertensi) dan berobat teratur sesuai dengan petunjuk dokter atau petugas kesehatan.
Program tersebut bersesuaian dengan program penanggulangan penyakit tidak menular yang
bertujuan sebagai upaya pencegahan sekunder pada wilayah kerja fasilitas kesehatan tingkat
pertama melalui kegiatan Posbindu, bagian poli umum dan lansia di Puskesmas, dan
Posyandu lansia dengan cara melakukan pendataan penderita hipertensi, melakukan
pelayanan kesehatan hipertensi sesuai standar berupa edukasi tentang diet, aktivitas fisik,
serta pengelolaan farmakologis4
II.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik, walaupun dikaitkan
dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak dan pola makan. Terjadi pada
sekitar 90% penderita hipertensi. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga,
hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada
patogenesis hipertensi primer. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-
mutasi genetic yang merubah ekskresi kallikrein urin, pelepasan nitrit oksida, ekskresi
aldosterone, steroid adrenal dan angiotensinogen1
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial
Hipertensi yang diketahui penyebabnya yang berasar dari penyakit komorbid atau
obat-obatan tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sekitar 5─10% penderita
hipertensi, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovascular adalah
penyebab sekunder paling sering. Pada sekitar 1─2%, penyebabnya adalah kelainan
hormonal atau pemakaian obat tertentu. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,
maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder1.
Berdasarkan JNC 7
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure mengklasifikasikan tekanan darah pada
orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, pre-hipertensi, hipertensi derajat 1 dan
derajat 25.
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC
7.
Klasifikasi Tekanan Darah Tek Darah Sistolik mmHg Tek Darah Diastolik mmHg
Normal <120 < 80
Prehipertensi 120 - 139 atau 80 – 99
Hipertensi Stage 1 140 - 159 atau 90 – 99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Hipertensi tidak memberikan tanda-tanda pada tingkat awal. Cara yang tepat untuk
meyakinkan seseorang memiliki tekanan darah tinggi adalah dengan mengukur tekanannya.
Hipertensi sudah mencapai taraf lanjut, yang berarti telah berlangsung beberapa tahun, akan
menyebabkan sakit kepala, pusing, napas pendek, pandangan mata kabur, dan mengganggu
tidur22.
II.1.5 Diagnosis
II.1.6 Penatalaksanaan
Farmakologi
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan upaya untuk
menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun demikian pemberian obat
antihipertensi bukan selalu merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi2.
Gambar 2.Alur Inisiasi Obat
Saat ini tersedia lima golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan sebagai
monoterapi maupun sebagai bagian dari terapi kombinasi. Kelima jenis golongan obat ini
telah terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada pengobatan
hipertensi jangka panjang. Obat-obatan tersebut adalah23:
Gambar 3. Mekanisme Obat
1. Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi dimulai
ketika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Target terapi
adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik
menjadi < 90 mmHg. (Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A)
2. Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah <
90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A)
(Untuk umur 18 – 29 tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E)
3. Rekomendasi 3
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E)
4. Rekomendasi 4
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik,
terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat
rekomendasi E)
5. Rekomendasi 5
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, terapi
farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau diatoliknya ≥
90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140
mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
6. Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita
diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida,
penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor
angiotensin. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B)
7. Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes,
terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat
saluran kalsium. (Untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang,
tingkat rekomendasi B) (Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah,
tingkat rekomendasi C)
8. Rekomendasi 8
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau
penghambat reseptor angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku
bagi semua pasien penderita penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status
diabetes. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
9. Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga
target tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan
terapi, naikkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat
hipertensi pada rekomendasi 6 (diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium,
penghambat enzim ACE, dan penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap
tekanan darah hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target
tekanan darah tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi oleh
2 jenis obat, tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan
menggunakan obat golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor
angiotensin bersama-sama pada satu pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi
yang tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan
untuk menggunakan lebih dari 3 macam obat, maka obat antihipertensi dari
kelompok yang lain dapat digunakan. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke
spesialis hipertensi23.
II.1.7 Komplikasi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya, sehingga
menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ tubuh
yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Hipertensi dapat menimbulkan
kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian
menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung
dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam
berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah
akibat meningkatnya ekspresi Transforming Growth Factor-β (TGF-β)13.
Hubungan kenaikan tekanan darah dengan risiko penyakit kardiovaskular berlangsung
secara terus menerus, konsisten dan independent dari faktor-faktor risiko yang lain. Kenaikan
tekanan darah yang berangsur lama juga akan merusak fungsi ginjal, makin tinggi tekanan
darah makin menurun laju filtrasi glomerulus sehingga akhirnya menjadi penyakit ginjal
tahap akhir.
II.2 Lansia
Indonesia termasuk negara berstruktur tua dengan persentase penduduk lansia tahun
2008, 2009, dan 2012 telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk. Pada tahun
2012, menurut Badan Pusat Statistik RI Jawa Barat memiliki 7,05% penduduk lansia. Dengan
bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif
sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut24.
Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia.Proses menua
ini ditandai dengan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tubuh tidak mampu
mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh tidak mampu memperbaiki kerusakan
yang diderita. Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel akibat
menumpuknya metabolit dalam sel. 25
Metabolit bersifat racun terhadap sel sehingga bentuk dan komposisi pembangun sel
akan mengalami perubahan. Seiring dengan meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung
dan pembuluh darah pun akan mengalami perubahan dari segi struktur dan fungsinya.
Perubahan pada lansia khususnya sistem kerja pada jantung meliputi perubahan pada
ventrikel kiri dan katup jantung yang mengalami penebalan dan membentuk tonjolan, jumlah
sel pacemaker mengalami penurunan yang mana implikasi klinisnya akan menimbulkan
disritmia pada lansia, kemudian terdapat arteri dan vena yang menjadi kaku ketika dalam
kondisi dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten yang akibatnya akan menimbulkan
implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas .25
Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan dinding ventrikel
cenderung meningkat akibat adanya peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat
elastis. Sehingga dapat berdampak pada kurangnya kemampuan jantung untuk berdistensi.
Pada permukaan di dalam jantung seperti pada katup mitral dan katup aorta akan mengalami
penebalan dan penonjolan di sepanjang garis katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah
selama denyut sistole dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan
menghalangi pembukaan katup secara sempurna.25
Proses penuaan ini mampu menjadikan lansia mengalami perubahan fungsional dari
sudut pandang sistem kardiovaskuler. Dimana perubahan utama yang terjadi adalah
menurunnya kemampuan untuk meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan tubuh. Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun mengalami
penurunan, hal itu terjadi karena miokardium pada jantung mengalami penebalan dan sulit
untuk diregangkan. Katup-katup yang hsulit diregangkan inilah yang dapat menimbulkan
peningkatan waktu pengisian dan peningkatan tekanan diastolik yang diperlukan untuk
mempertahankan preload yang adekuat.25
Batasan-batasan usia lanjut Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda.
Menurut World Health Organitation (WHO) lansia meliputi 26: