Anda di halaman 1dari 40

Presentasi Kasus Rehabilitasi Medik

ANAK PEREMPUAN 12 TAHUN DENGAN TETRAPLEGI

ET CAUSA SUSPEK GUILLAIN BARRE SYNDROME

oleh:

IRMA DEWAYANTI G99172092

FADHLAN HIDAYAT G99181025

TEOFILUS ABDIEL G991902065

Pembimbing

DR. Dr. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. ARN
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kartasura, Sukoharjo
Tanggal Periksa : 30 September 2019
No. RM : 0146xxxx

B. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak atas dan bawah

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rutin kontrol ke poli rehabilitasi medik RSDM karena
kelemahan anggota gerak atas dan bawah. Keluhan ini dirasakan sejak awal
Mei 2019. Awalnya pasien mengeluh kedua kaki sulit untuk digerakkan
sehingga waktu berjalan diseret, yang lama kelamaan pasien mengeluh tidak
bisa berdiri. Beberapa hari kemudian, pasien mengeluhkan kelemahan
menjalar dari kaki hingga ke tangan. Hal ini membuat pasien tidak bisa
menggerakkan kaki dan tangannya. Pasien juga mengeluh nafas terasa berat,
sesak nafas dirasakan terus menerus tidak berubah dengan perubahan posisi,
sesak nafas tidak dipengaruhi dengan perubahan cuaca, mengi (-), batuk
lama (-), batuk berdahak (-), batuk berdarah (-), nafsu makan berkurang (-),
penurunan berat badan (-). Dikarenakan keluhan semakin memberat, pasien
dibawa ke RSDM dan sempat mondok di PICU selama 60 hari. Pada akhir
Mei 2019 pasien menjalani tindakan trakeostomi.
Saat ini, Kedua tangan pasien masih dapat digerakan namun kaki
pasien tidak dapat digerakan sama sekali. Untuk mobilisasi saat ini pasien
menggunakan bed. Pasien juga mengeluh mengalami nyeri pada bagian
punggung bawah. Nyeri dirasakan setelah lama menggunakan bed. Nyeri
dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin berat.
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien memiliki riwayat sempat
terserang batuk dan pilek kurang lebih 2 minggu sebelum muncul keluhan
kelemahan anggota gerak atas dan bawah.
Selain rutin kontrol ke poli rehabilitasi medik, pasien juga rutin
kontrol ke poli anak dan THT.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat infeksi : (+) batuk pilek, 2 minggu sebelum keluhan
2. Riwayat sakit jantung : penyakit jantung rematik
3. Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat sakit gula : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat operasi : disangkal
7. Riwayat trauma : disangkal
8. Riwayat mondok : (+) di PICU RSDM Mei 2019

E. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluhan serupa: disangkal
2. Riwayat sakit jantung : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat sakit gula : disangkal
5. Riwayat sakit kuning : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara yang tinggal bersama
ayah dan ibunya. Pasien makan 3 kali sehari, porsi sedang dengan lauk pauk
tempe, tahu, telur, ikan, daging ayam atau sapi. Pasien tidak punya
kegemaran khusu pada makanan tertentu. Pasien berobat di RSUD Dr.
Moewardi dengan BPJS.

G. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Riwayat minum obat-obatan : disangkal
4. Riwayat minum minuman keras : disangkal
5. Riwayat olah raga teratur : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis GCS E4VxMx, gizi
kesan cukup
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 93x/menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,50C per aksiler
C. Kulit
Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),
mudah dicabut (-), moon face (-), atrofi M.temporalis (-).
E. Mata
Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), katarak (-/-),
perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm), reflek
cahaya langsung dan tak langsung (+/+), edema palpebra (-/-).
F. Telinga
Deformitas (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
H. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah kotor (-), papil
lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)
I. Leher
Terpasang trakeostomi
J. Limfonodi
Kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
K. Thorax
Bentuk simetris, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-)
L. Jantung
a. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
b. Palpasi : ictus cordis
tidak kuat angkat
c. Perkusi : batas jantung
kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-
II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
M. Pulmo
a. Inspeksi : pengembangan dada kanan=kiri
b. Palpasi : fremitus raba kanan=kiri
c. Perkusi : sonor/sonor
d. Auskultasi : SDV(+/+), Suara tambahan (-/-)
N. Trunk
a. Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis
(-)
b. Palpasi : massa (-), nyeri tekan (+), oedem (-)
c. Perkusi : nyeri ketok costovertebrae (-)
O. Abdomen
a. Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani, pekak alih (-)
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien
tidak membesar.
P. Ekstremitas
Extremitas superior Extremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Pucat - - - -
Akral dingin - - - -

Q. Range of Motion (ROM)


Neck Aktif Pasif

Flexi sde sde

Extensi sde sde

Rotasi ke kanan sde sde

Rotasi ke kiri sde sde

Extremitas Superiror Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Shoulder Flexi 0-180o 0-180o 0-180o 0-180o

Extensi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Abduksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o

Adduksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o

Internal rotasi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

External rotasi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Elbow Flexi 0-1350 0-1350 0-1350 0-1350

Extensi 135-180) 135-180) 135-180) 135-180)

Supinasi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


Pronasi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Wrist Flexi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Extensi 0-10o 0-10o 0-40o 0-40o

Ulnar deviasi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Radius deviasi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Finger MCP I flexi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


MCPII,III,IVflexi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
DIP II,III,IV flexi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
PIP II,III,IV flexi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
MCP I extensi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Trunk ROM pasif ROM aktif

Flexi 0-90o 0o

Extensi 0-30o 0o

Rotasi 0-35o 0o

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Hip Flexi 0o 0-140o 0o 0-140o

Extensi 0o 0-30o 0o 0-30o

Abduksi 0o 0-45o 0o 0-45o

Adduksi 0o 0-45o 0o 0-45o

Knee Flexi 0o 0-130o 0o 0-130o


Extensi 0o 0o 0o 0o

Ankle Dorsoflexi 0o 0-40o 0o 0-40o

Plantarflexi 0o 0-40o 0o 0-40o

R. Manual Muscle Testing (MMT)


Ekstremitas Superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus antor 3 3

M.biceps brachii 3 3

Extensor M.deltoideus antor 3 3

M.teres major 3 3

Abduktor M.deltoideus 3 3

M.biceps brachii 3 3

Adduktor M.latissimus dorsi 3 3

M.pectoralis major 3 3

Rotasi internal M.latissimus dorsi 3 3

M.pectoralis major 3 3

Rotasi eksternal M.teres major 3 3

M.pronator teres 3 3

Elbow Flexor M.biceps brachii 3 3

M.brachialis 3 3

Extensor M.triceps brachii 3 3

Supinator M.supinator 3 3

Pronator M.pronator teres 3 3

Wrist Flexor M.flexor carpi radialis 3 3

Extensor M.extensor digitorum 3 3


Abduktor M.extensor carpi 3 3
radialis

Adduktor M.extensor carpi 3 3


ulnaris

Finger Flexor M.flexor digitorum 3 3

Extensor M.extensor digitorum 3 3

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major 1 1

Extensor M.gluteus maximus 1 1

Abduktor M.gluteus medius 1 1

Adduktor M.adductor longus 1 1

Knee Flexor Hamstring muscles 1 1

Extensor M.quadriceps femoris 1 1

Ankle Flexor M.tibialis 1 1

Extensor M.soleus 1 1

S. Status Ambulasi: Dependent

T. Status Neurologis
1. Kesadaran : GCS E4VxMx
2. Fungsi luhur : dalam batas normal
3. Fungsi vegetatif : dalam batas normal
4. Fungsi sensorik :
- Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam
batas normal
- Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam
batas normal
- Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis
dalam batas normal

5. Fungsi motorik dan reflek


a. Kekuatan
3/3/3 3/3/3
1/1/1 1/1/1
b. Tonus
N N
N N

c. Reflek fisiologis
+1 +1
+1 +1

d. Reflek patologis
- -
6. Nervi craniales - -
a. N. II, III : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3
mm)
b. N. III, IV, VI : Gerak bola mata dalam batas normal
c. N. VII, XII : dalam batas normal

U. Status Mentalis
a. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Sesuai umur, perawatan diri baik
2. Kesadaran Kuantitatif : Composmentis GCS: E4 Vx M6
Kesadaran Kualitatif : sde
3. Perilaku dan aktivitas Psikomotorik : terdapat hambatan gerakan
4. Pembicaraan :
Kuantitas : sde
Kualitas : sde
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

b. Alam Perasaan
1. Mood : sde
2. Afek : bahagia
3. Keserasian : sde
4. Empati : dapat dirabarasakan

c. Gangguan Persepsi :
1. Halusinasi : sde
2. Ilusi : sde
3. Depersonalisasi : sde
4. Derealisasi : sde
d. Proses Pikir
1. Bentuk Pikir : sde
2. Arus Pikir :
Produktivitas : sde
Kontinuitas : sde
Hendaya : sde
3. Isi Pikir :
a. Waham : sde
b. Preokupasi : sde
c. Fobia : sde
d. Obsesi : sde
e. Kesadaran Kognisi
1. Orientasi
a. Waktu : sde
b. Tempat : sde
c. Orang : sde
d. Situasi : sde
2. Daya Ingat
a. Segera : sde
b. Pendek : sde
c. Panjang : sde
3. Pikiran Abstrak : sde
4. Visuospasial : sde
5. Konsentrasi : sde
6. Perhatian : baik
7. Pengetahuan dasar : sde
8. Bakat kreatif : sde
9. Kemampuan menolong diri sendiri : sde
f. Daya Nilai
1. Nilai Sosial : sde
2. Uji Daya Nilai : sde
3. Penilaian realita : sde
g. Tilikan diri : Baik
Derajat :5
h. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya

V. Foto Klinis Pasien


II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium darah tanggal 27 Juni 2019
Hb : 10,0 g/dl ()
Hct : 31 % ()
AL : 12,1 ribu/ul
AT : 351 ribu/ul
AE : 3,35 juta/ul ()
MCV : 93,4 /um
MCH : 29,9 pg
MCHC : 31,9 g/dl ()
Eosinofil: 2,50 %
Basofil : 0,20 %
Netrofil : 77.20 % ()
Limfosit : 10.20 % ()
Monosit : 9.90 % ()
Calcium :1,22 mmol/L
Magnesium :0,47 mmol/L
Clorida :83 mmol/ L ()

B. Analisa Gas Darah tanggal 29 Mei 2019


PH : 7,370
BE : 21,3 mmol/L ()
PCO2 : 88,0 mmHg ()
PO2 : 88,0 mmHg
Hematokrit : 35 % ()
HCO3 : 50,8 mmol/L ()
Total CO2 : 53,6 mmol/L ()
O2 Saturasi : 97,0 %
Laktat Arteri : 2,40 mmol/L ()

III. ASSESMENT
Tetraplegi ec susp Guillain Barre sindrom

IV. DAFTAR MASALAH


a. Masalah Medis
Tetraplegi
Nyeri Punggung
Kesulitan bicara

b. Problem Rehabilitasi Medis


1. Fisioterapi : Pasien tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan
kaki dan mengalami nyeri punggung
2. Terapi wicara : Pasien kesulitan bicara
3. Terapi okupasi : Penurunan aktivitas karena kelemahan anggota gerak
atas dan bawah
4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.
5. Orthesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi
6. Psikologis : Beban pikiran pasien bertambah karena penyakit dan
kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

V. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Ambroxol syr 3xcth I
2. Vitamin B6 tab 10 mg 2x1/2
3. Phenoxymethylpenicillin tab 500 mg 2x1

B. Terapi Non-Medika Mentosa


Plasmapheresis
C. Terapi Rehabilitasi Medis
1. Fisioterapi :
 Bed rest/ Tirah Baring
Tirah baring diperlukan pada stadium akut. Aktifitas yang
berlebihan dan kelelahan harus dihindari dalam semua stadium.
 Bed positioning
Pasien mengalami kelemahan yang signifikan, dapat diberika posisi
yang sesuai dan dilakukan perubahan posisi yang sering (Setiap 2
jam saat pasien terjaga dan setiap 4 jam pada saat pasien tidur.)
untuk mencegah kontraktur, ulkus, maupun neuropati kompresi.
Matras yang kuat dan lembut digunakan untuk mengurangi tekanan
pada tonjolan tulang.
 Chest Therapy (Deep Breathing Exercise)
Melakukan pengawasan dan perawatan terhadap sistem pernapasan
pasien. Melakukan penerapa deep breathing exercise.
 Latihan Gerak Sendi (ROM) Aktif Ekstremitas Superior
Ekstremitas superior pasien sudah dapat digerakan secara aktif dan
memilki kekuatan motorik 3. Oleh karena itu pemberian latihan
gerak sendi aktif harus diberikan. Penguatan otot dapat diberikan
secara ringan dengan peningkatan repetisi.
 Latihan Gerak Sendi (ROM) Pasif Ektremitas Inferior
Pasien masih memiliki kekuatan ekstremitas inferior 1. Oleh karena
itu latihan gerak sendi dilakukan secara pasif. Untuk mencegah
kontraktur dan atrofi. Setiap 2x sehari. Perlu juga dilakukan
pemantauan rutin terhadap kekuataan sendi minimal 2x seminggu.
Bila ekstremitas sduah dapat digerakan dapat diberikan latihan
gerak sendi aktif.
 Cryotherapi Lumbosacral
Pasien mengeluh mengalami nyeri pada punggungnya. Nyeri
diakibatkan karena imobilisasi. Untuk mengurangi nyerinya
diberikan Cryotherapy.
 Electrical Stimulation Extremitas Inferior
Pasien saat ini sudah memasuki fase pemulihan dari GBS. Namun
kekuatan motoric ekstremitasnya masih 0 oleh karena itu perlu
adanya stimulasi menggunakan listrik.

2. Terapi Wicara :
Stimulasi Oromotor

3. Terapi okupasi :
Latihan ROM jari-jari tangan, latihan remediasi ADL

4. Sosiomedik :
Motivasi dan Edukasi keluarga untuk menjaga dan merawat penderita

5. Psikologis :
a. Memberikan dukungan mental, motivasi dan konseling pada
pasien untuk tidak menyerah dan putus asa dalam menghadapi
penyakitnya.
b. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
c. Aktifitas rekreasional
VI. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment :
 Tetraplegi tipe flaccid ec Gullian Barre Syndrome
 Nyeri punggung
Disability :
 Keterbatasan melakukan ADL
Index Bartel
Mandi :0
Makan :1
Perawatan Diri :0
Berpakaian :0
BAK :1
BAB :2
Penggunaan Toilet :1
Transfer :0
Mobilitas :0
Total :5
Intepretasi : Ketergantuangan Berat
 Keterabatasan mobilisasi
 Tidak bisa bicara
Handicap :
 Tidak bisa bersekolah
 Kegiatan sosial terhambat
VII. GOAL
Tujuan Jangka Pendek
- Pemeliharaan sistem pernapasan
- Merubah posisi untuk mencegah decubitus
- Mencegah kontraktur dengan mobilisasi ROM dan gerak pasif general
ekstermitas sebatas toleransi nyeri
- Pemeliharaan dan meningkatkan luas gerak sendi
- Meningkatkan kekuatan otot dengan memonitor kekuatan otot hingga
latihan aktif dapat dimulai
- Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga mengenai
penyakit dan gejala sindrom guillain-barre
Tujuan Jangka Panjang
- Mengembalikan fungsi sosial
- Melaksanakan ADL
- Meningkatkan aktifitas fisik dan fungsional

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam :dubia ad bonam
Ad sanam :dubia ad bonam
Ad fungsional :dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

GUILLAN BARRE SINDROM

a. Pengertian

Sindrom ini pertama kali ditemukan oleh Landry, seorang dokter


berkebangsaan Prancis, pada tahun 1859, dan kemudian dijelaskan lebih mendetail
pada tahun 1916 oleh spesialis saraf berkebangsaan Perancis, Guillain, Bared an
Strohl. Pada tahun 1976, berhubungan dengan vaksinasi flu babi di Amerika Serikat,
dipindahkan di awal kalimat. (Wahyuni, 2014)
Sindrom Guillain barre merupakan polineuropati inflamasi akut yang
mengalami demielinasi sehingga terjadi paralysis neuromuskuler, dimana pada
sebagian besar pasien sindrom ini berkaitan dengan infeksi yang sebelumnya. (Fary
Khan, 2004). Terdapat keterlibatan motorik yang lebih dominant, seringkali
melibatkan otot otot pernafasan dan bulbar, sehingga kebutuhan untuk tata laksana
kedaruratan. (Ginsberg Lionel, 2002).
Yang sering terjadi pada sindrom guillain barre adalah tipe AIDP (Acute
inflammatory demyelinating polyradikulopathy) Subtype sindrom Guillain Barre
sindrom yang lain antara lain: acute motor axonal neuropathy dan akut motor sensory
axonal neuropathy. Variasi dari Sindrom Guillain barre meliputi Miller Fisher
syndrome (keterlibatan nervus cranial, ataksia)dan akut pan-dysautonomia. (Fary
Khan, 2004)

a. Etiologi dan Patofisiologi


Sindrom Guillain Barre adalah kondisi autoimun yang menyerang saraf
seseorang, sehingga terjadi kerusakan myelin bahkan sampai akson yang
menyebabkan keterlambatan atau perubahan sinyal. Kejadian tersebut mangakibatkan
menyebarnya paralisis (Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004
). Proses autoimun diperkirakan dipicu oleh berbagai agen. . Agen tersebut antara lain
virus (sitomegalovirus, Epstein Barr, HIV), bakteri( Mycoplasma pneumonia,
Campylobakter jejuni), vaksin (influenza babi) , pembedahan (Ginsberg Lionel,
2002).
Sindrom Guillain Barre sering dikaitkan dengan diabetes, kebiasaan minum
alcohol, paparan toksin industri dan logam berat, aesthetic epidural, dan obat ( agen
trombotik, heroin). Sebagaian kecil dari kasus GBS diketahui disebabkan oleh
penyakit sistemik seperti SLE, sarcoidosis,Hodgkin disease dan neoplasma (Ginsberg
Lionel, 2002).
Kondisi autoimun terjadi karena sensitisasi limfosit T terhadap protein yang
tedapat dalam selubung myelin. Akibat dari infiltrasi limfosit terjadi demielinisasi
sepanjang nervus perifer, akar nervus dan selubung myelin, sehingga terjadi
kelemahan konduksi dari potensial aksi yang mengakibatkan kecepatan konduksi
lambat dan blok konduksi. Pada neuropati akson , kecepatan konduksi normal tetapi
terjadi penurunan unit fungsional motorik. Level protein dari Cerebrospinal fluid
(CSF) meningkat pada minggu kedua setelah sakit. Diantara 2-3 minggu proses
demielinisasi , terjadi perbaikan inflamasi dan mulai remielinisasi. (Fary Khan,
2004)
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre
Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf
tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung
(distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan
(anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf
bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang
terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih
tinggi. Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya
hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin
terhenti sama sekali. Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan
sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan
EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial
nerves termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf
otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem
saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain
mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI. (ikatan fisioterapi,2009)

b. Manifestasi Klinis

Nyeri Spinal dan gejala sensorik ringan (parestesi pada ekstremitas yang
simetris ,ascenden, dan progresif. Paralisis tungkai kemudian lengan bisa diikuti
dengan keterlibatan saraf cranial dan diplopia, garis wajah jatuh, disfagia (dan
regurgitasi nasal), dan bicara tidak jelas.

Selanjutnya terjadi kelemahan otot pernafasan dengan dispneudan kelelahan,


disertai gejala sfingterik, misalnya kesulitan menahan berkemih dan retensi urin.

Perjalanan penyakit bisa sangat cepat , dengan deficit maksimal tercapai


dalam beberapa jam atau hari brdasarkan definisi perjalanannya kurang dari satu
bulan. Pada perjalannanya penyakit bisa berhenti pada suatu tahap,beberapa pasien
mengalami penyakit yang relative ringan sehingga masih bisa beraktivitas, sedangkan
beberapa pasien dirawat di unit perawatan intensif dengan bantuan
ventilator(Ginsberg Lionel, 2002).

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian
bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh
(plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak
bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha,
sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi
pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan
dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam
bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga


akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala
naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang
dingin. Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan,
berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot
biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama
dengan anggota badan kanan.

Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik.


Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola
penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik.
Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu.

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi
gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot
pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh
karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru
tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa
menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru,
pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam
kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan
fungsi paru. Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik,
penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan,
dan akan menambah infeksi paru. Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung
juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau
'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu.
Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4
minggu sesudah kelemahan berhenti. (ikatan fisioterapi,2009)

c. Diagnosis

Kriteria Diagnosis Gullian Bare Syndrome (Farry-Khan,2004) :

 Kelemahan motorik (paralisis dan areflexia) Flacid yang bersifat simatris


dan ascending. (Biasanya dimulai dari extremitas inferior kemudian
berkembang ke quadriplegia, gangguan otot pernapasan, hingga
mempengaruhi nervus cranialis terutama LMN NVII)
 Paresthesia dan Hyperesthesia (Mild Sensory Involvement)

 Disfungsi Otonom: Sinus takikardi atau bradikardi (lebih jarang),


hipertensi dan hipotensi yang berfluktuasi, episodic profuse diaphoresis

 Adanya riwayat flu-like illness, afebrile

 Peningkatan CSF Protein

 Konduksi Saraf abnormal

 Mengalami fase penyembuhan setelah 2-4 minggu

d. Pemeriksaan penunjang
Pungsi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan konsentrasi protein dalam
cairan serebrospinal dengan hitung sel normal (disosiasi albuminositologis) meskipun
pada tahap awal penyakit temuannya normal.
Pemeriksaan EMG dan Konduksi saraf dapat mengkonfirmasi neuropati
demielinisas, namun hanya menunjukkan abnormalitas ringan atau tidak ada
abnormalitas pada tahap awal
Hingga seperempat pasien akan memiliki antibodi terhadap gangliosida yang
bersikulasi. Karena hasil pemeriksaan penunjang ini negative, maka tes lain penting
untuk menyingkirkan gangguan yang terjadi pada diagnosa banding (Ginsberg
Lionel, 2002).
e. Diagnosis banding

Diagnosi banding dari Sindrom Guillain barre antara lain infark batang otak,
lesi akut medulla spinalis, poliomyelitis, Neuropati akut lain misalnya akibat obat;
toksin, miastenia gravis, botulisme, miopati berat, histeria

f. Penatalaksanaan

Pada fase progresif penyakit, kapasitas vital harus sering diukur dan EKG
dipantau secara kaontinu. Disfungsi bulbar mempengaruhi kemampuan untuk
menelan saliva, atau kapasitas vital yang cepat memburuk mempermudah untuk
dipindahkannya pasien ke unit perawatan intensif, dengan kemungkinan
menggunakan ventilator buatan ( dan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik ), bila jalan nafas tidak dapat terlindungi atau kapasitas vital (dan saturasi
oksigen) menurundi bawah kadar kritis.Trakheostomi dini membantu pembersihan
trakhe dan kenyamanan pasien

Kelemahan ekstremitas membutuhkan fisioterapi teratur untuk mencegah


kekauan dan kontraktur, dan selanjutnya untuk mencegah luka akibat tekanan (ulkus
dekubitus ).

g. Prognosis
Sindrom Guillain barre biasanya merupakan penyakit monofasik dengan 80 %
pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi waktu untuk
mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan bulan yang
bisa disertai oleh nyeri, ansietas, dan deprei yang sering kali tidak disadari.. Kematian
terjadi pada 5-10 % pasien sebagai akibat disritmia jantung , emboliparu atau sepsis
yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10 % pasien memiliki kecacatan permanen
dan beberapa mengalami relaps. Indikator untuk prognosis yang buruk mencakup :
usia pasien, onset kelemahan yang cepat, kebutuhan ventilasi, antibodi
antigangliosida, penyakit diare yang mendahuluinya, parameter alektrofisiologis
menunjukkan degenerasi aksonal yang signfikan. .(Ginsberg Lionel, 2002)

Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan


total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang
dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS. Oleh
karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat
menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total. (ikatan
fisioterapi,2009)

h. Pengobatan
Heparin (5000 unit dua kali sehari, subkutan )harus diberikan sebagai
profilaksis trombosis vena dalam dan emboli paru. Perawatan mata dan mulut serta
aspirasi sekret membutuhkan perhatian yang cermat.
Pengobatan imunologi spesifik direkomendasikan untuk pasien dengan
sindrom guillain barre yang ukup berat sehingga membatasi aktivitasnya:
1. Pertukaran plasma
adalah terapi pertama pada GBS dan sangat menguntungkan saat diberikan
pada 7 hari dari onset penyakit
2. imunogloblin intravena dosis tinggi
Pengobatan ini terbukti dapat mempercepat penyembuhan , sehingga
mengurangi resiko komplikasi. Kortikosteroid tidak efektif .(Ginsberg Lionel,
2002)

i. Rehabilitasi Medik
Tujuan dari rehabilitasi medik pada pasienGBS ini adalah untuk memperbaiki
dan memelihara fungsi kemandirian seseorang sesegera ungkin setelah kondisi pasien
stabil. Rehabilitasi mencakup tim interdispiler (misalnya occupasi terapist,
fisioterapist, peraawat dan pekerja sosial ) memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga dan berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan yang yang direncanakan
dengan pendekatan fungsional yaitu dengan meminimalisasi dissability dan
memaksimalkan fungsi. Komplikasi respirasi dari GBS dapat diatasi dengan
rehabilitasi. Pada umumnya pasien GBS berat dilakukan rehabilitasi 3-6 minggu
diikuti oleh program rehabilitasi komunitas dan home based rehabilitasi selama 3-4
bulan. (Fary Khan, 2004)
Berkaitan dengan fase akut, pasien memerlukan rehabilitasi untuk mencegah
hilangnya fungsi. Latihan ini berfokus pada penerapan fungsi ADL (Activity of Daily
Living) seperti meyikat gigi, mandi dan berpakaian. Occupasi terpist menyediakan
erlatan untuk membantu pasien melakukan ADL sendiri (misal dengan wheelchair
dan special cutlery). Fisioterapis merencanakan program training progresif dan
mengarahkan pasien untuk mengoreksi functional movement mencegah kompensasi
yang berbahaya dikarenakan efek negatif yang berlangsung lama. Speech therapist
sangat penting untuk mengembalikan fungsi berbicara dan menelan apabila pasien
dipasang intubasi dan trakheostomi. ( Norman Swan, 2009)
Restrictive pulmo berkaitan dengan sleep hiperkapnea dan hipoksia selama
REM tidur. Penurunan saturasi oksigen mengindikasikan pasien dengan hipoksia dan
hiperkapnea. Tindakan fisioterapi (chest perkusi, breathing exercise, resistive
inspiratory training) digunakan untuk membersihkan sekret pada saluran nafas
sehingga mengurangi kerja pernafasan. Pasiendisarankan untuk tracheostomi untuk
mencegah kelemahan yang berlebihan dari otot pernafasan.
Dysautonomia berkaitan dengan bentuk berat dari GBS memperpanjang
durasi akut. Bentuk tersebut dapat mengancam jiwa dengan cardiac aritmia.
Perawatan rehabilitasi melipui : edukasi dan kesadan dari pegawai, pasien , keluarga
pasien, menggunakan compression stocking, adequat hidration, profiling techniques
dan penggunaan tilt table
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan penurunan volume darah dan
apabila bersamaan dengan hipotensi postural sangat sulit untuk penganannya. Tilt
table dapat efektif untuk rehabilitasi pada pasien imobilisasi Mobilisasi awal akan
menurunkan kadar kalsium dalam serum dan berlawanan hiperkalsemi pada
imobilisasi.
Fisioterapi meliputi mobilitas bertahap dimana meliputi pemeliharaan postur
pasien, memelihara ROM dari tulang sendi (pasive,aktive, active assisted),
menyediakan ankle foot orthosis untuk mencegah plantar kontraktur, melakukan
endurance (latihan berulang dengan tahanan ringan), strengthening group dari otot
yang berbeda dan melakukan program ambulasi yang progesif dimana dengan
menggunakan teknik bed mobilitas dan penggunaan wheelchair (Fary Khan, 2004)

Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik,
ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi.
Pada fase awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik.- fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan
kondisi sehingga.hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi
pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan pada. fase kedua penekanan pada semua problem menjadi sangat
penting Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan
kemampuan fungsional karena pada fase penyembuhan - ketika kondisi pasien
membaik- fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien.
Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama
dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi..
Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat
optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap
dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal
bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik
selain mencegah terjadinya dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi
fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap
ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir -
ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi.
Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan
kekuatan otot.
Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal.
Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan
aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan
tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.
Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien
terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan
sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak
mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada
kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada
perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita
GBS adalah baik.
Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan
menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan
fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial
seperti semula

1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal


Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik
pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah
utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada
fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang
otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus
memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada
fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja

1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot


Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila
memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi
kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis
yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi
penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada
pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan
anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis
juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan
secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga
akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan
sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara
sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga
tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah
atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit.
Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali
bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan
seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat
jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa
ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya.
Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian
latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit
yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita
sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.
Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban
unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya
fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti
misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu
diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan
fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja
yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan
pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit.
Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti
sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap
berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu,
atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat
perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.

1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)


Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara
penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan
sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya
juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan
aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan
sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda
dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase
pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya
disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada
setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke
waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang
maksimal.

1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot


Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot
juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua
sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan
panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot
yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,
misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak
terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap
individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk
mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu
penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi.
Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas
penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau
bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup
untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah
membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai
panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang
otot.

2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari


Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS
yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya
jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi
secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah
disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan
untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin
menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya
kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada


Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa
dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-
jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma
sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan
positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan
efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.
Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu
sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat
cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.

2.2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan


Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran
pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem
pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila
sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini
berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan
ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator
atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa
diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa
meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain
menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural
drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal
ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,
penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi
penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran
pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk
mempertahankan kekuatan otot.

2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan


Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi.
Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi
lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal
ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang
berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila
kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan
menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan
akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang
bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan
adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah
kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing
ke saluran pernafasan sudah teratasi.

3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik


Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial
nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu
dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut
antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau
postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada
waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh
memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap
tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut
teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian
tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf
otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan
darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka
yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan
spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah,
bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator
tekanan darah.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara
teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan
murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi
tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri
tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak
hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama
sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa
dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan
manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan,
rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada
penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya
dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha
pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan
tulang harus selalu mendapat perhatian.(ikatan fisioterapi,2009)
DISPNEU

A.Definisi
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering
mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas
termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus,
scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan
hiperventilasi. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari
pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau
tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang
dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat
diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya
(PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg).
Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya
merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah
yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat
mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat
yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular,
neuromuskular, dan penyakit lain selain paru.
Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan
biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan
elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut.
Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan
timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera
untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah
aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama
dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang
terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume
intravaskular pusat

B. Etiologi
Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya:
(1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada;
dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada
khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot
dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak
cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai);
(2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang
oksigen);
(3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa
sesak napas; dan
(4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling
banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis
dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea
bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan
terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi
gejala umum dispnea. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu
dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial
atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau
kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan
penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea
merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan
dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding
dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan
meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika
beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan
dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika
otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh
(pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja
pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis
(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas).
Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat
peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea
juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA

Bastian DY & Vitriana. 2016. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi : Penyakit Motor
Neuron. Jakarta : PERDOSRI. Page 875 – 881.

Fary Khan, 2004. Rehabilitation Guillain Barre Syndrom. www.racgp.org.au/ afp/200


412 / 14264 (5 Oktober 2019)

Ginsberg Lionel, 2002. Lecture Notes Neurologi. Penerbit erlangga . Jakarta

Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre syndrome
www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome ( 5 Oktober
2019)

Ikatan fisioterapi,2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre


Syndromehttp://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&i
d=11&Itemid=7( 4 Oktober 2019)

Norman Swan,2009. Sindrom Guillain Barre. http://www.wikipedia.com (4 Oktober


2019)

Wahyuni Karunia Luh. 2014. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Anak : Bab 29
Sindrom Guillain-Bare. Jakarta : PERDOSRI. Page: 470 – 478

Anda mungkin juga menyukai