oleh:
Pembimbing
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. ARN
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kartasura, Sukoharjo
Tanggal Periksa : 30 September 2019
No. RM : 0146xxxx
B. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak atas dan bawah
G. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Riwayat minum obat-obatan : disangkal
4. Riwayat minum minuman keras : disangkal
5. Riwayat olah raga teratur : disangkal
Flexi 0-90o 0o
Extensi 0-30o 0o
Rotasi 0-35o 0o
M.biceps brachii 3 3
M.teres major 3 3
Abduktor M.deltoideus 3 3
M.biceps brachii 3 3
M.pectoralis major 3 3
M.pectoralis major 3 3
M.pronator teres 3 3
M.brachialis 3 3
Supinator M.supinator 3 3
Extensor M.soleus 1 1
T. Status Neurologis
1. Kesadaran : GCS E4VxMx
2. Fungsi luhur : dalam batas normal
3. Fungsi vegetatif : dalam batas normal
4. Fungsi sensorik :
- Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam
batas normal
- Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam
batas normal
- Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis
dalam batas normal
c. Reflek fisiologis
+1 +1
+1 +1
d. Reflek patologis
- -
6. Nervi craniales - -
a. N. II, III : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3
mm)
b. N. III, IV, VI : Gerak bola mata dalam batas normal
c. N. VII, XII : dalam batas normal
U. Status Mentalis
a. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Sesuai umur, perawatan diri baik
2. Kesadaran Kuantitatif : Composmentis GCS: E4 Vx M6
Kesadaran Kualitatif : sde
3. Perilaku dan aktivitas Psikomotorik : terdapat hambatan gerakan
4. Pembicaraan :
Kuantitas : sde
Kualitas : sde
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
b. Alam Perasaan
1. Mood : sde
2. Afek : bahagia
3. Keserasian : sde
4. Empati : dapat dirabarasakan
c. Gangguan Persepsi :
1. Halusinasi : sde
2. Ilusi : sde
3. Depersonalisasi : sde
4. Derealisasi : sde
d. Proses Pikir
1. Bentuk Pikir : sde
2. Arus Pikir :
Produktivitas : sde
Kontinuitas : sde
Hendaya : sde
3. Isi Pikir :
a. Waham : sde
b. Preokupasi : sde
c. Fobia : sde
d. Obsesi : sde
e. Kesadaran Kognisi
1. Orientasi
a. Waktu : sde
b. Tempat : sde
c. Orang : sde
d. Situasi : sde
2. Daya Ingat
a. Segera : sde
b. Pendek : sde
c. Panjang : sde
3. Pikiran Abstrak : sde
4. Visuospasial : sde
5. Konsentrasi : sde
6. Perhatian : baik
7. Pengetahuan dasar : sde
8. Bakat kreatif : sde
9. Kemampuan menolong diri sendiri : sde
f. Daya Nilai
1. Nilai Sosial : sde
2. Uji Daya Nilai : sde
3. Penilaian realita : sde
g. Tilikan diri : Baik
Derajat :5
h. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
III. ASSESMENT
Tetraplegi ec susp Guillain Barre sindrom
V. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Ambroxol syr 3xcth I
2. Vitamin B6 tab 10 mg 2x1/2
3. Phenoxymethylpenicillin tab 500 mg 2x1
2. Terapi Wicara :
Stimulasi Oromotor
3. Terapi okupasi :
Latihan ROM jari-jari tangan, latihan remediasi ADL
4. Sosiomedik :
Motivasi dan Edukasi keluarga untuk menjaga dan merawat penderita
5. Psikologis :
a. Memberikan dukungan mental, motivasi dan konseling pada
pasien untuk tidak menyerah dan putus asa dalam menghadapi
penyakitnya.
b. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
c. Aktifitas rekreasional
VI. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment :
Tetraplegi tipe flaccid ec Gullian Barre Syndrome
Nyeri punggung
Disability :
Keterbatasan melakukan ADL
Index Bartel
Mandi :0
Makan :1
Perawatan Diri :0
Berpakaian :0
BAK :1
BAB :2
Penggunaan Toilet :1
Transfer :0
Mobilitas :0
Total :5
Intepretasi : Ketergantuangan Berat
Keterabatasan mobilisasi
Tidak bisa bicara
Handicap :
Tidak bisa bersekolah
Kegiatan sosial terhambat
VII. GOAL
Tujuan Jangka Pendek
- Pemeliharaan sistem pernapasan
- Merubah posisi untuk mencegah decubitus
- Mencegah kontraktur dengan mobilisasi ROM dan gerak pasif general
ekstermitas sebatas toleransi nyeri
- Pemeliharaan dan meningkatkan luas gerak sendi
- Meningkatkan kekuatan otot dengan memonitor kekuatan otot hingga
latihan aktif dapat dimulai
- Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga mengenai
penyakit dan gejala sindrom guillain-barre
Tujuan Jangka Panjang
- Mengembalikan fungsi sosial
- Melaksanakan ADL
- Meningkatkan aktifitas fisik dan fungsional
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam :dubia ad bonam
Ad sanam :dubia ad bonam
Ad fungsional :dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
a. Pengertian
b. Manifestasi Klinis
Nyeri Spinal dan gejala sensorik ringan (parestesi pada ekstremitas yang
simetris ,ascenden, dan progresif. Paralisis tungkai kemudian lengan bisa diikuti
dengan keterlibatan saraf cranial dan diplopia, garis wajah jatuh, disfagia (dan
regurgitasi nasal), dan bicara tidak jelas.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian
bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh
(plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak
bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha,
sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi
pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan
dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam
bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi
gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot
pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh
karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru
tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa
menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru,
pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam
kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan
fungsi paru. Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik,
penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan,
dan akan menambah infeksi paru. Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung
juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau
'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu.
Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4
minggu sesudah kelemahan berhenti. (ikatan fisioterapi,2009)
c. Diagnosis
d. Pemeriksaan penunjang
Pungsi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan konsentrasi protein dalam
cairan serebrospinal dengan hitung sel normal (disosiasi albuminositologis) meskipun
pada tahap awal penyakit temuannya normal.
Pemeriksaan EMG dan Konduksi saraf dapat mengkonfirmasi neuropati
demielinisas, namun hanya menunjukkan abnormalitas ringan atau tidak ada
abnormalitas pada tahap awal
Hingga seperempat pasien akan memiliki antibodi terhadap gangliosida yang
bersikulasi. Karena hasil pemeriksaan penunjang ini negative, maka tes lain penting
untuk menyingkirkan gangguan yang terjadi pada diagnosa banding (Ginsberg
Lionel, 2002).
e. Diagnosis banding
Diagnosi banding dari Sindrom Guillain barre antara lain infark batang otak,
lesi akut medulla spinalis, poliomyelitis, Neuropati akut lain misalnya akibat obat;
toksin, miastenia gravis, botulisme, miopati berat, histeria
f. Penatalaksanaan
Pada fase progresif penyakit, kapasitas vital harus sering diukur dan EKG
dipantau secara kaontinu. Disfungsi bulbar mempengaruhi kemampuan untuk
menelan saliva, atau kapasitas vital yang cepat memburuk mempermudah untuk
dipindahkannya pasien ke unit perawatan intensif, dengan kemungkinan
menggunakan ventilator buatan ( dan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik ), bila jalan nafas tidak dapat terlindungi atau kapasitas vital (dan saturasi
oksigen) menurundi bawah kadar kritis.Trakheostomi dini membantu pembersihan
trakhe dan kenyamanan pasien
g. Prognosis
Sindrom Guillain barre biasanya merupakan penyakit monofasik dengan 80 %
pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi waktu untuk
mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan bulan yang
bisa disertai oleh nyeri, ansietas, dan deprei yang sering kali tidak disadari.. Kematian
terjadi pada 5-10 % pasien sebagai akibat disritmia jantung , emboliparu atau sepsis
yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10 % pasien memiliki kecacatan permanen
dan beberapa mengalami relaps. Indikator untuk prognosis yang buruk mencakup :
usia pasien, onset kelemahan yang cepat, kebutuhan ventilasi, antibodi
antigangliosida, penyakit diare yang mendahuluinya, parameter alektrofisiologis
menunjukkan degenerasi aksonal yang signfikan. .(Ginsberg Lionel, 2002)
h. Pengobatan
Heparin (5000 unit dua kali sehari, subkutan )harus diberikan sebagai
profilaksis trombosis vena dalam dan emboli paru. Perawatan mata dan mulut serta
aspirasi sekret membutuhkan perhatian yang cermat.
Pengobatan imunologi spesifik direkomendasikan untuk pasien dengan
sindrom guillain barre yang ukup berat sehingga membatasi aktivitasnya:
1. Pertukaran plasma
adalah terapi pertama pada GBS dan sangat menguntungkan saat diberikan
pada 7 hari dari onset penyakit
2. imunogloblin intravena dosis tinggi
Pengobatan ini terbukti dapat mempercepat penyembuhan , sehingga
mengurangi resiko komplikasi. Kortikosteroid tidak efektif .(Ginsberg Lionel,
2002)
i. Rehabilitasi Medik
Tujuan dari rehabilitasi medik pada pasienGBS ini adalah untuk memperbaiki
dan memelihara fungsi kemandirian seseorang sesegera ungkin setelah kondisi pasien
stabil. Rehabilitasi mencakup tim interdispiler (misalnya occupasi terapist,
fisioterapist, peraawat dan pekerja sosial ) memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga dan berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan yang yang direncanakan
dengan pendekatan fungsional yaitu dengan meminimalisasi dissability dan
memaksimalkan fungsi. Komplikasi respirasi dari GBS dapat diatasi dengan
rehabilitasi. Pada umumnya pasien GBS berat dilakukan rehabilitasi 3-6 minggu
diikuti oleh program rehabilitasi komunitas dan home based rehabilitasi selama 3-4
bulan. (Fary Khan, 2004)
Berkaitan dengan fase akut, pasien memerlukan rehabilitasi untuk mencegah
hilangnya fungsi. Latihan ini berfokus pada penerapan fungsi ADL (Activity of Daily
Living) seperti meyikat gigi, mandi dan berpakaian. Occupasi terpist menyediakan
erlatan untuk membantu pasien melakukan ADL sendiri (misal dengan wheelchair
dan special cutlery). Fisioterapis merencanakan program training progresif dan
mengarahkan pasien untuk mengoreksi functional movement mencegah kompensasi
yang berbahaya dikarenakan efek negatif yang berlangsung lama. Speech therapist
sangat penting untuk mengembalikan fungsi berbicara dan menelan apabila pasien
dipasang intubasi dan trakheostomi. ( Norman Swan, 2009)
Restrictive pulmo berkaitan dengan sleep hiperkapnea dan hipoksia selama
REM tidur. Penurunan saturasi oksigen mengindikasikan pasien dengan hipoksia dan
hiperkapnea. Tindakan fisioterapi (chest perkusi, breathing exercise, resistive
inspiratory training) digunakan untuk membersihkan sekret pada saluran nafas
sehingga mengurangi kerja pernafasan. Pasiendisarankan untuk tracheostomi untuk
mencegah kelemahan yang berlebihan dari otot pernafasan.
Dysautonomia berkaitan dengan bentuk berat dari GBS memperpanjang
durasi akut. Bentuk tersebut dapat mengancam jiwa dengan cardiac aritmia.
Perawatan rehabilitasi melipui : edukasi dan kesadan dari pegawai, pasien , keluarga
pasien, menggunakan compression stocking, adequat hidration, profiling techniques
dan penggunaan tilt table
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan penurunan volume darah dan
apabila bersamaan dengan hipotensi postural sangat sulit untuk penganannya. Tilt
table dapat efektif untuk rehabilitasi pada pasien imobilisasi Mobilisasi awal akan
menurunkan kadar kalsium dalam serum dan berlawanan hiperkalsemi pada
imobilisasi.
Fisioterapi meliputi mobilitas bertahap dimana meliputi pemeliharaan postur
pasien, memelihara ROM dari tulang sendi (pasive,aktive, active assisted),
menyediakan ankle foot orthosis untuk mencegah plantar kontraktur, melakukan
endurance (latihan berulang dengan tahanan ringan), strengthening group dari otot
yang berbeda dan melakukan program ambulasi yang progesif dimana dengan
menggunakan teknik bed mobilitas dan penggunaan wheelchair (Fary Khan, 2004)
Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik,
ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi.
Pada fase awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik.- fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan
kondisi sehingga.hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi
pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan pada. fase kedua penekanan pada semua problem menjadi sangat
penting Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan
kemampuan fungsional karena pada fase penyembuhan - ketika kondisi pasien
membaik- fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien.
Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama
dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi..
Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat
optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap
dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal
bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik
selain mencegah terjadinya dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi
fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap
ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir -
ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi.
Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan
kekuatan otot.
Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal.
Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan
aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan
tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.
Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien
terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan
sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak
mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada
kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada
perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita
GBS adalah baik.
Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan
menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan
fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial
seperti semula
A.Definisi
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering
mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas
termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus,
scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan
hiperventilasi. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari
pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau
tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang
dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat
diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya
(PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg).
Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya
merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah
yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat
mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat
yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular,
neuromuskular, dan penyakit lain selain paru.
Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan
biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan
elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut.
Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan
timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera
untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah
aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama
dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang
terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume
intravaskular pusat
B. Etiologi
Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya:
(1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada;
dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada
khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot
dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak
cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai);
(2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang
oksigen);
(3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa
sesak napas; dan
(4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling
banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis
dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea
bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan
terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi
gejala umum dispnea. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu
dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial
atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau
kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan
penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea
merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan
dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding
dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan
meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika
beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan
dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika
otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh
(pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja
pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis
(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas).
Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat
peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea
juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian DY & Vitriana. 2016. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi : Penyakit Motor
Neuron. Jakarta : PERDOSRI. Page 875 – 881.
Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre syndrome
www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome ( 5 Oktober
2019)
Wahyuni Karunia Luh. 2014. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Anak : Bab 29
Sindrom Guillain-Bare. Jakarta : PERDOSRI. Page: 470 – 478