Anda di halaman 1dari 33

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK
Seorang Laki-laki 23 Tahun dengan Stiffness Pada Extermitas
Inferior Bilateral Post ORIF Regio Femur

Periode 16 Agustus 2021 – 29 Agustus 2021

Oleh:
Wilson Arpin G992003158

Pembimbing:
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


bagian Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret –
RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Laki-laki 23 Tahun dengan Stiffness Pada Extermitas


Inferior Bilateral Post ORIF Regio Femur
Senin, 16 Agustus 2021

disusun oleh:

Wilson Arpin

G992003158

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing

dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

ii
1

BAB I

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. HSP
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir
Status : Belum menikah
No RM : 0153XXXX
B. Keluhan Utama
Nyeri pada atas lutut di kedua tungkai
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan dari Bagian Bedah Orthopaedi dan
Traumatologi. Pasien datang ke Poli Rehabilitasi Medik (RM)
RSDM untuk menjalani fisioterapi pada tanggal 16 Agustus 2021.
Pasien datang dengan keluhan adanya nyeri pada kedua lutut sejak
5 hari yang lalu dan merasa kaku pada kedua tungkai. Nyeri
dirasakan terutama pada sore hari dan saat nyeri muncul biasanya
pasien meminum obat penghilang nyeri. Sekitar 2 minggu yang
lalu pasien sempat terjatuh saat latihan berjalan, setelah terjatuh
pasien merasakan nyeri sesaat pada bagian paha yang mengalami
patah tulang, namun nyeri pada daerah tersebut sudah tidak
dirasakan dan saat ini hanya merasakan nyeri pada bagian atas
lutut. Pasien tidak merasakan adanya keluhan lain selain nyeri pada
atas lutut, demam tidak ada, gangguan buang air besar dan air kecil
juga tidak ada.

1
2

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma :
 Pasien terjatuh saat latihan berjalan pada tanggal 2 Juli
2021
 Pasien mengalami kecelakaan pada bulan Februari 2021
dan mengalami fraktur pada femur di kedua tungkai
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : Pemasangan Kuntschner Nail
(ORIF) pada kedua femur
Riwayat Tumor : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat tumor/keganasan : disangkal
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja dan tinggal bersama keluarganya.
Pasien dirawat di RSUD Dr. Moewardi sebagai pasien BPJS.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Compos mentis GCS E4V5M6
B. Tanda Vital dan Status Gizi
Tekanan darah : 118/79 mmHg

2
3

Nadi : 76 x/ menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 C
VAS :1
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 23.43 (Normal)
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat(-), ikterik(-), petechiae(-), venectasi(-),
spider naevi(-), striae(-), hiperpigmentasi(-), hipopigmentasi(-)
D. Kepala
Mesocephal, simetris, tidak terdapat deformitas
E. Mata
Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung(+/+), pupil isokor(3mm/3mm), oedem
palpebra(-/-), sekret(-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung(-), deformitas(-), darah(-/-), sekret(-/-)
G. Telinga
Deformitas(-/-), darah(-/-), sekret(-/-)
H. Mulut
Chvostek sign (-), bicara pelo (+), bibir kering (-), lidah kotor tepi
hiperemis (-), tremor bila lidah dijulurkan (-), sianosis (-), lidah
simetris, tonsil T1-T1, stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi
berdarah (-), gusi bengkak (-), papil lidah atrofi (-)
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, step off(-), JVP tidak meningkat,
limfonodi tidak membesar, nyeri tekan(-), benjolan(-)

J. Thoraks
1. Jantung

3
4

a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


b. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
c. Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : BJI BJII normal, reguler, bising(-)
2. Paru
a. Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri, retraksi(-)
b. Palpasi : Fremitus kanan=kiri
c. Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+)
K. Trunk
Inspeksi : skoliosis(-), kifosis(-), lordosis(-)
Palpasi : massa(-), nyeri tekan(-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra(-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

M. Ekstremitas

Pemeriksaan kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks


patologis

Kekuatan Tonus RF RP
555 555 N N +2/+2 +2/+2 - -
445 445 N N +2/+2 +2/+2 - -

4
5

N. Status Lokalis
a. Regio Femoralis Dextra
Inspeksi : Terlihat adanya scar pada facies anterior,
tidak terlihat adanya pus, tidak kemerahan, tidak bengkak
Palpasi : Tidak teraba hangat, tidak ada nyeri tekan
b. Regio Femoralis Sinistra
Inspeksi : Terlihat adanya scar pada facies anterior,
tidak terlihat adanya pus, tidak kemerahan, tidak bengkak
Palpasi : Tidak teraba hangat, tidak ada nyeri tekan

O. Status Neurologis
Keadaan Umum : Baik
Keadaan kuantitatif : Compos mentis, GCS E4V5M6
Orientasi : Baik
Daya ingat : Baik
Kemampuan bicara : Baik
Cara berjalan : Sulit dievaluasi
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), brudzinsky I-II (-),
kernig (-)
Fungsi Sensorik : Dalam batas normal
Fungsi Otonom : Dalam batas normal

P. Nervus Cranialis
N. I : Tidak ditemukan kelainan
N. II, III : Pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), tidak ada
ptosis
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata dalam batas normal
N. V : Refleks kornea (+), kontraksi m. masseter dan
temporalis (+)
N. VII : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal

5
6

Q. Pemeriksaan Range of Motion (ROM)

Pemeriksaan ROM
Neck
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-70o 0-70o
Ekstensi 0-40o 0-40o
o
Lateral bending kanan 0-60 0-60o
Lateral bending kiri 0-60o 0-60o
Rotasi kanan 0-90o 0-90o
o
Rotasi kiri 0-90 0-90o

Ekstremitas ROM pasif ROM aktif


Superior Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
o
Ekstensi 0-50 0-50o 0-50 o
0-50o
Abduksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
Adduksi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o
o
External 0-45 0-45o 0-45 o
0-45o
Rotasi
Internal 0-55o 0-55o 0-55o 0-55o
Rotasi
Elbow Fleksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
Ekstensi 5-0o 5-0o 5-0o 5-0o
Pronasi 0-80o 0-80o 0-80o 0-80o
Supinasi 0-80o 0-80o 0-80o 0-80o
Wrist Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
Ekstensi 0-70o 0-70o 0-70o 0-70o
Ulnar 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o
deviasi
Radius 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
deviasi
Finger MCP I 0-60o 0-60o 0-60o 0-60o
fleksi
MCP II- 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
IV fleksi
DIP II-V 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
fleksi

6
7

PIP II-V 0-100o 0-100o 0-90o 0-100o


fleksi
MCP I 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o
ekstensi
ROM pasif ROM aktif
Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Ekstensi 0-30o 0-30o 0-20o 0-20o
o
Abduksi 0-30 0-30o 0-15 o
0-20o
Adduksi 30-0o 30-0o 30o-0o 30-0o
Eksorotasi 0-45o 0-45o 0-45o 0-45o
o
Endorotasi 0-35 0-35o 0-35 o
0-35o
Knee Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
o
Ekstensi 0-150 0-150o 0-100 o
0-110o
Ankle Dorsofleksi 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
o
Plantarfleksi 0-50 0-50o 0-50 o
0-50o
Eversi 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
Inversi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

R. Manual Muscle Testing (MMT)

Ekstremitas Superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus antor


5 5
M.biceps brachii
Extensor M.deltoideus antor
5 5
M.teres major
Abduktor M.deltoideus
5 5
M.biceps brachii
Adduktor M.latissimus dorsi
5 5
M.pectoralis major
Rotasi M.latissimus dorsi
internal 5 5
M.pectoralis major
Rotasi M.teres major
eksternal 5 5
M.pronator teres

7
8

Elbow Flexor M.biceps brachii


5 5
M.brachialis
Extensor M.triceps brachii
Supinator M.supinator 5 5
Pronator M.pronator teres

Wrist Flexor M.flexor carpi


radialis
Extensor M.extensor
5 5
digitorum
Abduktor M.extensor carpi
radialis
Adduktor M.extensor carpi
ulnaris
Finger Flexor M.flexor digitorum
Extensor M.extensor 5 5
digitorum

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major


Extensor M.gluteus maximus
4 4
Abduktor M.gluteus medius
Adduktor M.adductor longus
Knee Flexor Hamstring muscles
Extensor M.quadriceps 4 4
femoris
Ankle Flexor M.tibialis
5 5
Extensor M.soleus

S. Index Barthel

Aktivitas Tingkat kemandirian N Nilai

8
9

Bladder Tidak kontinensia 10 10


Bowel Tidak kontinensia 10 10
Toileting Dependen 10 5
Kebersihan diri Dependen 5 0
Berpakaian Dependen 10 10
Makan Independen 10 10
Transfer/berpinda
Dependen 15 5
h
Mobilitas Dependen 15 10
Naik turun tangga Dependen 10 5
Mandi Independen 5 5
Total 100 70
Moderate dependent
Kriteria hasil:
0-20 = total dependent
21-61 = severe dependent
62-90 = moderate dependent
91.99= slight dependent
100 = independent

T. Pemeriksaan Penunjang

9
10

Foto Femur AP dan Lateral Bilateral : (10/5/2021)


- Tampak terpasang fiksasi internal (Medullary pinning) pada
1/3 proksimal hingga 1/3 distal os femur kanan dan kiri
- Callus formation (+)
- Garis fraktur (+) pada1/3 media os femur kanan dan kiri
- Posisi dan alignment baik
- Trabekulasi tulang di luar lesi normal
- Celah dan permukaan sendi dalam batas normal
- Pergeseran sendi (-)

II. ASSESSMENT
Klinis: - Stiffness Hip-Ankle Bilateral Post ORIF Femur
- Gangguan Ambulasi

III. DAFTAR MASALAH


A. Masalah Medis
Stiffness Hip-Ankle Bilateral Post ORIF Femur, Gangguan
ambulasi
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi

10
11

Pasien mengalami penurunan fungsi pada alat gerak bawah dan


perlu dilakukan penguatan
2. Terapi Okupasi
Tidak ada
3. Terapi wicara
Tidak ada
4. Sosiomedik
Tidak ada
5. Ortesa-protesa
Tidak ada
6. Psikologi
Tidak ada

IV. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
Tidak ada
B. Rehabilitasi Medik
1. Edukasi pasien dan keluarganya mengenai penyakit pasien
2. Fisioterapi
• IR Hip-Ankle Bilateral
• TENS Hip-Ankle Bilateral
• ROM Exercise
• Isometric Quadriceps Exercise
3. Terapi okupasi
Tidak dilakukan
4. Terapi wicara
Tidak dilakukan
5. Sosiomedik
Tidak dilakukan
6. Ortesa-protesa
Pasien memerlukan krug sampai pasien bisa berjalan normal

11
12

7. Psikologi
Tidak dilakukan

V. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP


- Impairment/gangguan :
Stiffness Hip-Ankle Post ORIF Femur Bilateral dan
Gangguan ambulasi
- Disability/ketidakmampuan :
Ada, ADL pasien menurut Index Barthel memiliki nilai 70
yang berarti moderate dependent.
- Handicap/rintangan :
Hubungan pasien dengan lingkungan sosial dan pekerjaan
sehari-hari menjadi terganggu, pasien seorang supir sehingga harus
berhenti sementara dari pekerjaanya

VI. PLANNING
A. Planning Terapi
Fisioterapi
B. Planning Edukasi

• Penjelasan penyakit pasien


• Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
• Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi

C. Planning Evaluasi
Evaluasi hasil terapi dalam 1 bulan

VII. TUJUAN
A. Tujuan Jangka Pendek
Mengurangi kekakuan anggota gerak bawah
B. Tujuan Jangka Panjang

12
13

Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan membantu


mengembalikan fungsi anggota gerak bawah pasien

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

13
14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. FRAKTUR

A. Definisi
Fraktur adalah rusaknya/terputusnya kontinuitas dari tulang. Fraktur
tidak hanya berupa retakkan, bisa berupa patahnya sebagian hingga
seluruh bagian dari tulang. 1
B. Etiologi
Fraktur bisa disebabkan, oleh1 :
 Trauma
o Sebagian besar fraktur disebabkan oleh suatu gaya yang sangat
besar dan mendadak, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
o Jika fraktur disebabkan oleh trauma secara langsung, tulang akan
patah pada bagian yang terkena taruma dan biasanya jaringan
lunak pun terkena. Jika fraktur disebabkan oleh trauma tidak
langsung, lokasi patahan akan berada lebih jauh dari titik
hantaman. Kerusakkan jaringan lunak dan patahan tulang tidak
berada pada posisi yang sama
o Kebanyakkan fraktur disebabkan oleh gabungan beberapa gaya :
 Twisting  Fraktur spiral
 Compression  Fraktur oblique
 Bending  Fraktur triangular / fragmen “kupu-kupu”
 Tension  Fraktur transversa

14
15

Gambar 1. Bentuk fraktur


 Stressor repetitif / Fatigue
o Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang biasanya mendapat
tekanan yang berulang dan berat, contohnya pada kegiatan
repetitif dan berat pada atlet, penari dan tentara
o Tekanan yang berat ini menyebabkan deformitas secara kecil
namun progressive dan menginduksi terjadinya remodelling
 Kelemahan tulang yang abnormal (fraktur patologis)
o Fraktur ini terjadi meskipun hanya diberikan tekanan yang
normal (mis. Menahan beban tubuh, berjalan, dan lain-lain), hal
ini terjadi karena adanya perubahan struktur pada utlang seperti
pada osteoporosis, osteogenesis imperfecta, keganasan pada
tulang, dan lain-lain.
C. Jenis Fraktur1
 Berdasarkan hubungan dengan lingkungan luar
o Fraktur terbuka
o Fraktur tertutup
 Berdasarkan jenis patahan
o Fraktur komplit
o Fraktur inkomplit
 Berdasarkan posisi tulang terhadap sendi
o Fraktur displaced
o Fraktur non-displaced

15
16

D. Penyembuhan tulang1
 Primer
o Jika fraktur terjadi pada lokasi yang stabil secara absolut,
pembentukkan kalus tidak akan terjadi. Celah antara dua bagian
tulang yang fraktur dapat langsung di invasi oleh kapiler baru dan
sel osteoprgenitor dari tiap ujung tulang dan osteogenesis akan
langsung terjadi, bila celah <200 μm.
 Sekunder
o Adanya pembentukkan kalus
o Menurut hukum Wolff, dengan adanya pembentukkan kalus tulang
akan jauh lebih kuat setelah tulang sembuh dengan sempurna
o 5 tahapan penyembuhan tulang sekunder :
1. Pembentukkan hematoma
Pada saat terjadinya trauma, perdarahan terjadi pada tulang dan
jaringan lunak yang terkena
2. Inflamasi
Inflamasi mulai terjadi saat hematoma terbentuk dan sitokin
pro inflamasi terlepas dan terus terjadi hingga jaringan fibrous,
kartilagi dan pembentukan tulang baru dimulai (1 hingga 7
hari). Osteoklas terbentuk untuk menghancurkan jaringan
nekrotik pada ujung fragmen tulang
3. Pembentukkan kalus
Setelah 2 hingga 3 minggu, kalus halus akan terbentuk dan
mulai menghubugkan fragmen tulang yang patah dan mulai
menjaga stabilitas tulang. Setelah fragmen tulang terhubung
kalus akan mengeras dan menyatu dengan tulang sekitar 3
hingga bulan
4. Remodelling

16
17

Tulang yang terbentuk dari kalus mulai digantikan oleh tulang


lameral, proses ini dapat bertahan dari beberapa bulan hinggal
beberapa tahun

Gambar 2. Penyembuhan Tulang Sekunder

E. Union1
Perbaikkan dari fraktur adalah proses yang terus belanjut, dapat dibagi
menjadi beberapa jenis union, delayed union dan non-union
 Union
Perbaikan belum sempurna, sebagian besar bagian kalus sudah
mengalami kalsifikasi. Secara klinis tidak nyeri saat palpasi dan
weight-bearing. Garis fraktur sudah teroblitasi pada Xray. Union
adalah tanda baik dari penyembuhan tulang
o Pada fraktur spiral di alat gerak atas menyatu sekitar 6-8
minggu, pada alat gerak bawah sekitar 12-16 minggu
o Jika fraktur tidak spiral dan melibatkan femur, waktu
ditambah 25% (15-20 minggu)
 Delayed Union
Jika waktu penyembuhan tidak sesuai waktunya, dapat
digolongkan sebagai delayed union. Namun, penyembuhan tulang
masih berjalan. Secara klinis, bagian yang mengalami fraktur

17
18

masih mengalami peradangan lokal, pergerakkan/partial weight-


bearing juga masih nyeri
 Non Union
Penyembuhan tulang gagal menyatukan tulang, biasanya non union
didefinisikan sebagai fraktur yang tidak menyembuh setelah 9
bulan dilakukan operasi dan tidak terlihat adanya kemajuan selama
3 bulan terakhir. Penyebab dari non union biasanya karena
ketidakstabilan mekanik ataupun vaskularisasi tulang yang buruk,
misalkan karena infeksi

2. FRAKTUR TERTUTUP FEMUR SHAFT1


A. Pendahuluan
Femoral shaft dikelilingin oleh otot-otot besar, kontraksi dari otot-otot
tersebut dapat menyebabkan displaced pada fraktur shaft femur sehingga
akan sulit untuk dilakukan reduksi. Namun, adanya otot-otot ini juga
memberikan keuntungan dalam memabntu proses pemulihan.
B. Mechanism of Injury
Trauma energi tinggi merupakan mekanisme tersering dari fraktur shaft
femur. Pola dari fraktur berhubungan dengan tipe dari hantaman yang
mencetuskan fraktur. Fraktur spiral biasanya disebaban karena terjatuh
dimana posisi kaki menekuk dan menyebabkan putaran pada bagian
femur. Fraktur transversa dan oblique biasanya karena angulasi / hantaman
langsung pada daerah fraktur yang sering terjadi pada kecelakaan lalu
lintas.
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur shaft femur berdasarkan Winquist :
1. Hanya terdapat fragmen kortikal kecil
2. Fragmen “kupu-kupu” melibatkan <50% dari lebar tulang
3. Fragmen “kupu-kupu” melibatkan >50% dari lebar tulang
4. Fragmen segmental

18
19

Gambar 3. Klasifikasi Winquist


D. Manifestasi Klinis
Bengkak dan adanya deformitas pada femur, pergerakan dari femur
biasanya diikuti nyeri
Pengukuran panjang ekstremitas :
1. Apparent leg length
Mengukur dari umbilikus sampai maleolus medialis. Jika ada
perbedaan panjang, permasalahan berada pada hip
2. True leg length
Mengukur dari spina iliaca anterior superior hingga maleolus
lateralis. Jika ada perbedaan panjang yang signifikan,
permasalahan ada pada panjang tungkai

19
20

Gambar 4. Pengukuran panjang tungkai


E. Tatalaksana Definitif
 Traksi
Indikasi :
o Fraktur pada anak-anak
o Kontraindikasi terhadap anastesi dan pembedahan
o Kekurangan fasilitas dan ketrampilan untuk melakukan fiksasi
internal

Gambar 5. Traksi dengan Thomas splint


 Fiksasi Plate and screw
Indikasi :

20
21

o Fraktur melibarkan bagian distal/proximal dari shaft atau


memanjang hingga supracondylar /pertrochanteric
o Fraktur shaft pada anak-anak
o Fraktur yang melibatkan vaskular injury dan membutahkan
redukasi terbuka

Gambar 6. Plate and Screw


 Intramedullary nailing
Dilakukan pada kebanyakkan kasus karena membantu proses
pembentukkan kalus yang lebih cepat dan membantu untuk menjaga
stabilitas tulang, serta memiliki fleksibilitas yang paling tinggi
sehingga pasien dapat melakukan ROM exercise lebih cepat, tetapi
sulit dilakukan jika fragmen segmental dan tidak boleh dilakukan
jika fraktur terbuka

Gambar 7. Intramedullary nailing

21
22

3. GAIT2
A. Pendahuluan
Siklus gait adalah satu sekuens fungsi dari satu ekstremitas, merupakan
unit fungsional dari gait. Satu siklus gait dapat diartikan sebagai stride. Tiap
stride terdiri dari dua langkah :
 Panjang stride : Jarak linier antara kaki yang sama diukur
dari tumit kaki yang sama
 Panjang langkah (step) : Jarak linier pada bidang datar yang diukur
dari dua kaki berlawanan, jarak diukur dari tumit kaki yang satu
dibandingkan dengan yang lainnya. Normalnya panjang langkah
sekitar 15-20 inci

Gambar 8. Terminologi langkah dalam gait


Siklus gait terdiri dari dua fase, yaitu :
 Fase Stance : Periode waktu saat alat gerak kontak dengan
lantai, fase ini dibagi menjadi lima, yaitu :
o Initial contact : Inisiasi kaki menyentuh lantai
o Loading response : Waktu di mana peralihan dari
initial contact hingga ekstremitas kontralateral (kaki yang
tertinggal) diangkat dari lantai
o Midstance : Waktu di mana kedua ankle
ekstremitas berada pada bidang frontal yang sama
o Terminal stance : Waktu di mana terjadinya initial
contact pada ekstremitas kontralateral

22
23

o Preswing : Waktu di mana dari terjadinya


initial contact pada ekstremitas kontralateral dan terjadinya
pengangkatan pada ekstremitas ipsilateral
 Fase Swing : Periode waktu saat alat gerak tidak menyentuh
lantai, fase ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
o Initial swing : Terangkatnya ekstremitas dari
lantai menuju posisi fleksi lutut maksimum
o Midswing : Gerakan selanjutnya dari fleksi
lutut menuju posisi tibia vertikal
o Terminal swing : Gerakan selanjutnya dari posisi
tibia vertikal menjadi initial contact kembali

Gambar 9. Siklus Gait


B. Alat bantu jalan
a. Canes
 Jika digunakan dengan tepat, akan bermanfaat untuk :
o Meningkatan support basis
o Menurunkan beban dari alat gerak bawah
o Menambahkan respon sensorik
o Membantu akselerasi/deselerasi saat lokomosi
 Digunakan untuk meningkatkan ketidakmampuan pasien
seperti
o Meningkatkan keseimbangan
o Menurunkan nyeri

23
24

o Mengurangi beban pada daerah yang terluka


o Mengkompensasi otot yang lemah
 Jenis dari canes :
o C-Handle, Adjustable Metal Cane
 Keuntungan : Murah
 Kekurangan : Kurang nyaman, sulit untuk
dipegang terutama pada pasien dengan athritis
pada jari
o Functional Grip Cane
 Keuntungan : Pegangan lurus dan nyaman
dipegang, mengikuti sudut natural dari tangan,
beban berada lebih tengah pada tongkat
 Kekurangan : Mahal
o Small based quad cane
 Keuntungan : Cocok untuk ditangga
 Kekurangan : Tidak lebih stabil dari wide-
based quad cane
o Wide based quad cane
 Keuntungan : Penyanggah lebih kokoh
 Kekurangan : Berat, penampilan kurang
baik, tidak cocok untuk tangga
b. Kruk
 Jenis dari kruk :
o Axillary Crutches
 Keuntungan : Murah, dapat diatur, mudah
digunakan
 Kekurangan : Memerluka kekuatan dan
ROM yang baik dari alat gerak atas,
membutuhkan energi yang cukup besar, dapat

24
25

menyebabkan kompres n. axillaris jika


penggunaannya tidak tepat
o Forearm crutches (Lofstrand crutches)
 Keuntungan : Ringan, dapat diatur,
aktivitas yang menggunakan lebih bebas
 Kekurangan : Memerlukan kekuatan yang
lebih, memerlukan ketrampilan dan
keseimbangan tubuh yang baik
o Platform crutches
 Keuntungan : Menghindari beban pada
pergelangan dan tangan, seperti fraktur, athritis
pada pergelangan tangan, atau kelemahan pada
triceps
 Kekurangan : Canggung dan berat
c. Walkers
 Indikasi :
o Kelemahan bilateral / inkoordinasi dari kedua alat
gerak bawah atau tubuh
o Kondisi yang memerlukan peningkatan keseimbangan
seperti pada Multiple Sclerosis, Parkinsonism
o Untuk mengurangi beban pada ekstremitas bawah
o Kelemahan unilateral atau amputasi pada anggota
gerak bawah yang menyebabkan kelemahan umum
yang membutuhkan dukungan keseimbangan
o Dukungan umum untuk mobilisasi seperti pada tirah
baring total yang sangat lama
 Kelebihan
o Memberikan dukungan basis yang luas
o Lebih stabil
o Memberikan rasa aman pada pasien untuk berjalan

25
26

 Kekurangan
o Tidak nyaman untuk dipandang
o Menghambat perkembangan pola reciprocal gait yang
halus
o Sulit bergerak dengan tangga atau tempat-tempat
seperti kamar mandi/lorong
REHABILITASI MEDIK
A. FISIOTERAPI
1. INFRARED / IR
Sinar infra red merupakan salah satu modalitas yang digunakan dalam program
rehabilitasi fisioterapi. Sinar hangat yang ditimbulkan infra red dapat
meningkatkan vasodilatasi jaringan superfisial sehingga dapat
memperlancarkan metabolisme dan menyebabkan efek relaks pada ujung saraf
sensorik, efek terapeutiknya yaitu mengurangi nyeri, pernyataan ini didukung
dari buku. Efek pancaran pada sinar infra red memberikan pemanasan secara
superfisial pada area kulit yang akan menghasilkan efek fisiologis, pengaktifan
reserptor panas pada superfisial kulit bertujuan untuk mengubah transmisi atau
konduksi saraf sensoris dalam menghantarkan nyeri, sehingga terjadi
pengurangan nyeri, memberikan rasa nyaman dan relaksasi pada otot). Pada
penelitian lain menyatakan bahwa sinar infrared itu tidak berpengaruh dalam
penurunan intensitas nyeri tetapi sinar ini membantu meningkatkan sirkulasi
darah, metabolisme tubuh dan dapat mengaktifkan photoacceptor yang
menstimulasi rantai pernafasan dari mitokondria sehingga fungsi dari fibroblas
lebih optimal dalam perbaikan jaringan 3-5
Prosedur terapi infra red:
1.    Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
2.    Dokter atau terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan
terapi dan melakukan wawancara kembali mengenai kelainan yang diderita dan
kemungkinan kontraindikasi untuk pemberian terapi dan riwayat alergi
terhadap suhu panas. Dokter maupun terapis akan menjelaskan sekali lagi
tujuan terapi infrared sesuai kondisi dan keadaan seseorang, tiap individu

26
27

berbeda.
3.    Dokter atau terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari
minyak ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari lotion atau
obat-obat gosok yang dipakai sebelumnya menggunakan kapas alkohol atau
kapas yang diberi air. Bila mempunyai kulit yang sensitif dan kering sekali
sebaiknya diberitahukan kepada dokter atau terapis yang akan menerapi,
sehingga tidak akan digunakan kapas alkohol yang kadang dapat menyebabkan
iritasi kulit.
4.    Dokter atau terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi
senyaman mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian
sehingga infrared akan langsung mengenai kulit dan memberikan hasil yang
optimal.
5.    Dokter atau terapis akan melakukan pengaturan dosis waktu dan posisi alat
infrared.
6.    Kemudian segera infrared akan diberikan, jangan menatap langsung lampu
infrared.
7.    Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung segera
bilang kepada terapis atau dokter yang menerapi.
8.    Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infrared. Jangan
langsung berdiri atau duduk, tetap berbaring beberapa saat untuk
mengembalikan aliran darah ke normal.
9.    Dokter atau terapis akan kembali melakukan pemeriksaan dan wawancara
mengenai efek yang dirasakan setelah selesai terapi.

2. ELECTRICAL STIMULATION / ES
Stimulasi elektris adalah suatu modalitas fisioterapi dengan menggunakan arus
listrik untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun grup otot. Alat listrik
yang bisa digunakan adalah Interrupted Direct Current, Interfernsi dan TENS.
Menggunakan aliran listrik dengan berbagai macam jenis frekuensi, amplitudo
dan karakteristik aliran listrik tertentu yang dialirkan melalui kulit dengan
perantaraan pad (elektroda dengan lapisan gel di atasnya atau elektroda

27
28

tertentu dengan bahan tertentu) atau dengan elektroda transduser khusus


(berbentuk seperti pulpen) untuk tujuan terapi dalam bidang rehabilitasi
muskuloskeletal. Terapi stimulasi listrik akan mempengaruhi muatan listrik di
permukaan kulit, saraf atau otot sehingga dapat menimbulkan efek terapi
tertentu sesuai dengan tujuan terapi yang diinginkan. 6
Prosedur terapi stimulasi elektrik:
1. Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
2. Dokter atau terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan
terapi dan melakukan wawancara ulang mengenai kelainan yang diderita dan
kemungkinan kontraindikasi untuk pemberian terapi dan riwayat alergi
terhadap zat-zat tertentu yang dioleskan. Dokter maupun terapis akan
menjelaskan sekali lagi tujuan terapi stimulasi listrik sesuai kondisi dan
keadaan seseorang, yang berbeda pada masing-masing individu.
3. Dokter atau terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari
minyak ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari lotion atau
obat-obat gosok yang dipakai sebelumnya dengan menggunakan kapas alkohol
atau kapas yang diberi air. Bila mempunyai kulit yang sensitif dan kering
sekali sebaiknya diberitahukan kepada dokter atau terapis, sehingga tidak akan
digunakan kapas alkohol yang kadang dapat menyebabkan iritasi kulit.
4. Dokter atau terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman
mungkin.
5. Dokter atau terapis akan menempatkan elektroda yang berupa pad dengan
lapisan gel di atasnya atau elektroda dengan bahan tertentu yang akan diikat
pada daerah yang akan diterapi.
6. Dokter atau terapis akan melakukan pengaturan dosis alat stimulasi listrik
dan memulai terapi dengan menaikkan intensitas alat secara perlahan-lahan
sampai penderita merasakan adanya aliran listrik atau kontraksi otot sesuai
dengan tujuan terapi yang diinginkan dokter atau terapis. Setiap 5 menit sekali
dokter atau terapis akan menanyakan apakah masih terasa, kemudian akan
menaikkan secara perlahan-lahan intensitasnya sampai mencapai dosis yang
diinginkan.

28
29

7. Bila terasa nyeri, panas, perih dan pegal berlebihan saat terapi berlangsung
segera beritahu dokter atau terapis Anda.
8. Setelah selesai terapi, dokter atau terapis akan melepas elektroda dan
membersihkan sisa gel yang menempel pada pad yang masih tersisa pada
daerah yang diterapi.
9. Dokter atau terapis akan kembali melakukan pemeriksaan dan wawancara
mengenai efek yang dirasakan setelah selesai terapi.

3. ROM EXERCISE
• Meningkatkan kontrol otot, fleksibilitas, dan rentang gerak.
• Range Of Motion (ROM)  adalah latihan menggerakkan bagian tubuh
untuk memelihara fleksibilitas dan kemampuan gerak sendi. Latihan range
of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan
atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan
persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan
tonus otot7,8
Jenis – jenis Latihan ROM:
1. Latihan ROM aktif
Latihan dengan meminta klien menggunakan otot untuk melakukan
gerak mandiri.
2. Latihan ROM aktif dengan pendampingan (active-assisted)
Latihan gerak mandiri dengan dibantu atau didampingi oleh perawat
atau tenaga kesehatan lain.
3. Latihan ROM pasif
Latihan ROM yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lain
kepada klien yang tidak mampu atau memiliki keterbatasan pergerakan.
Prosedur ROM exercise:
1. Didasarkan pada evaluasi level fungsi pasien, menentukan tujuan dan
apakah dengan latihan passive, active-assistive atau active ROM untuk
mencapai tujuan tersebut.
2. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman (comfortable position) .

29
30

3. Buat proper body alignment.


4. Bebaskan segmen dari pakaian, splint dan balutan.
5. Posisi FT’s harus menggunakan proper body mechanics.
6. Untuk mengontrol gerakan, genggam ekstremitas di sekitar sendi. Jika
sendi nyeri, modifikasi genggaman & berikan sanggahan yg dibutuhkan
utk kontrol gerakan.
7. Sanggah pada area yg mengalami kelainan integritas stuktural seperti
hipermobilitas sendi, fraktur baru atau kelemahan.
8. Gerakkan segmen secara penuh dan bebas nyeri. Jangan memberikan
gerakan yang berlebihan karena akan terjadi gerakan penguluran pada
daerah tersebut.
9. Lakukan gerakan secara lembut & berirama sebanyak 5-10 kali. Jumlah
pengulangan tergantung objektivitas program, kondisi pasien & respon
treatmen.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A. G., & Solomon, L. (2001). Apley's system of orthopaedics and


fractures. London, Arnold.
2. Cuccurullo, S. (2010). Physical medicine and rehabilitation board review.
New York, Demos Medical. http://site.ebrary.com/id/10392608.
3. Black, M. J. & Hawks, H .J., 2009. Medical surgical nursing : clinical
management for continuity of care, 8th ed. Philadephia : W.B. Saunders
Company
4. Smeltzer & Bare. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth/ editor, Suzzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare; alih
bahasa, Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC.
5. Terry, C. L., & Weaver, A. (2013). Keperawatan Kritis. Yogyakarta:
Rapha.
6. Kisner, C dan Colby L. A. 2007. Therapeutic Exercise: Foundations and
Techniques. 5th Ed. Philadelphia: F. A. Davis Company. PP: 2
7. Potter PA & Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan
Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4, Jakarta: EGC.
8. Nugroho, H.W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

31

Anda mungkin juga menyukai