Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS FARMASI

DEMAM TIFOID

Oleh:
Hilya Syifa Hanina G992003071

Pembimbing :
Siti Marufah, S.Farm., MPH., Apt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS UNS

SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih menjadi penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini


mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Di Indonesia, insidens demam tifois banyak dijumpai pada populasi yang
bersuia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tesedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi tropis yang masih
sering terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, peran seorang sangat dokter sangat
penting untuk mencegah dan mengobati demam tifoid, salah satunya adalah
memberikan pengobatan yang rasional kepada pasien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Epidemiologi


Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
infeksi Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam tifoid masih
menjadi penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah
(Widodo, 2014).
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di AS dan
Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan
yang baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkian Afrika Selatan (>100 kasus per
100.000 populasi per tahun) (Widodo, 2014)
Di Indonesia, insidens demam tifois banyak dijumpai pada populasi
yang bersuia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena
demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan
piring yang sama untuk makan, dan tidak tesedianya tempat buang air besar
dalam rumah. Penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Jakarta
memperkirakan angka kejadian tdemam tifoid sebesar 148,7 per 100.000
orang-tahun pada kelompok usia 2–4 tahun, 180,3 pada kelompok usia 5–15
tahun dan 51,2 pada kelompok usia di atas 16 tahun. tahun, dengan usia rata-
rata 10,2 tahun. Tanpa pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki
tingkat fatalitas kasus 10-30%, tetapi angka ini berkurang menjadi 1-4% pada
mereka yang menerima terapi yang tepat (Widodo, 2014; Alba et al., 2016)

B. Etiologi
Agen penyebab utama demam tifoid adalah Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi, keduanya adalah anggota dari keluarga
Enterobacteriaceae. Salmonella adalah genus yang memiliki dua spesies
Salmonella enterica serovar dan enteritidis, diklasifikasikan melalui analisis
ekstensif dengan multiplex kuantitatif polymerase chain reaction (PCR).Baik
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi (A, B, C) adalah serotipe
Salmonella enterica. Salmonella enterica serotipe typhi adalah bakteri gram
negatif yang bertanggung jawab untuk demam tifoid dan telah menjadi beban
negara berkembang selama beberapa generasi. Salmonella nontyphoidal
(NTS) lebih khas pada anak-anak dan sebagian besar terbatas pada
gastroenteritis (Ashurst et al., 2021; Bhandari et al., 2021).
Salmonella ditularkan melalui rute fecal-oral melalui air yang
terkontaminasi, makanan yang kurang matang, fomites dari pasien yang
terinfeksi, dan lebih sering terjadi di daerah dengan kepadatan penduduk,
kekacauan sosial, dan sanitasi yang buruk. Penyakit ini hanya ditularkan dari
orang yang terinfeksi ke orang lain, karena manusia adalah satu-satunya
inangnya. Sumber utama salmonella adalah unggas, telur, dan kura-kura
(jarang) (Bhandari et al., 2021).
Flora normal usus bersifat protektif terhadap infeksi. Penggunaan
antibiotik seperti streptomisin menghancurkan flora normal, yang
meningkatkan invasinya. Malnutrisi menurunkan flora usus normal dan
dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap infeksi ini juga. Oleh
karena itu, penggunaan antibiotik spektrum luas dan gizi buruk meningkatkan
kejadian demam tifoid (Bhandari et al., 2021).

C. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. parathyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selnajutnya berkembang biak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selnajutnya ke lamina propia.
Di lamina propia, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak Payeri ileum disdal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya, melalui duktus torasikus,
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkuasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini k uman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya ke dalam sirkuasi darah
lagi, mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2014).
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu disekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkuasi setelah menembus usus. Prosis yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan ebberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi
(Widodo, 2014).
Di dalam plak Payeri, makrofag hiperkatif menimbulkan realsi
hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak Payeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi (Widodo, 2014).
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatri, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2014).
Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid (Widodo, 2014).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit
bervariasi pada populasi yang berbeda. Faktor yang dapat berpengaruh yaitu
umur pasien, lamanya penyakit, pemilihan antimikroba, riwayat imunisasi,
virulensi dan jumlah bakteri yang tertelan, dan status imun pejamu (IDAI,
2016).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian (Widodo, 2014).
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-
gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan
suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremot),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis (Widodo, 2014).
Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis
dan sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada
kelompok usia kurang dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak
spesifik, kadang hanya berupa demam disertai gejala gastrointestinal, namun
bila tidak terdiagnosis dengan cepat, dapat mengalami penyulit yang berat.
Pada kelompok usia diatas 5 tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid
biasa dijumpai. Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik
berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Onset bakteremia ditandai gejala
demam dan malaise. Demam bersifat remitten progresif dan pada minggu
kedua demam menetap tinggi (39-40°C). Pasien umumnya datang ke RS
menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip
influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan
mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali
sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga dapat ditemukan
pada demam tifoid. Rose spot berupa lesi makulopapular dengan diameter
sekitar 2-4 mm dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada
ras Asia. Pada kasus berat, komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik
hepatitis, supresi sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/
ensefalopati, kolesistitis, osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan
syndrome of inappropriate release of antidiuretic hormone (SIADH) (IDAI,
2016).

E. Diagnosis
1. Anamnesis
 Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
 Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri
kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung.
 Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus (Pudjiadi, et al., 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir
hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru
(Pudjiadi, et al., 2009).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik.
Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada
keadaan adanya penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat
terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat
disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal.
Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis
relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai
peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab hepatitis yang lain
(IDAI, 2016).
b. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu
kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur
darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan
ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas
<50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang
lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif
dan sulit dilakukan dalam praktek (IDAI, 2016).
c. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas
yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan
darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-flagelin PCR
terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) menggunakan
primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S.
typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat
yang menjanjikan. Pemeriksaan nested-PCR terhadap gen flagelin
(fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%),
dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%).
Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas
dilakukan dalam penelitian (IDAI, 2016).
d. Pemeriksaan Serologis
1) Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap
antigen O dan H dari S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100
tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya
pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-
8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit (IDAI, 2016).
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis
demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada ulangan
pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer
agglutinin O sebesar 4 kali (atau kenaikan titer S. typhi titer O
1:200). Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak
dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal (IDAI, 2016).
2) Pemeriksaan Serologis Test Cepat / Rapid Test
Selain uji Widal, terdapat beberapa metode pemeriksana lain
yang dapat dilakukan dengan cepat, mudah, serta memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik antara lain uji TUBEX,
Typhidot, dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif
kolometrik yang cepat dan mudah dikerjakan. Uji ini digunakan
untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien.
Deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada
hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran laur S. typhi. Hasil positif
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secara spesifik IgG dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50
kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa (Alwi et al., 2019).
Tabel 1. Interpretasi Hasil Uji Tubex (Alwi et al., 2019).

F. Tatalaksana
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnyadi tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besat akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan
dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang penting dalam proses penyembuhan
penyakit deam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyambuhan akan menjadi lama.
3. Pemberian Antimikroba
 Pilihan utama: Kloramfenikol 4x500 mg sampai dengan 7 hari bebas
demam.
 Alternatif lain:
o Tiamfenikol 4x500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol).
o Kotrimoksazol 2x960 mg selama 2 minggu.
o Sefalosporin generasi III: yang terbukti efektif adalah sefriakson
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali
sehari, selama 3-5 hari.
o Dapat pula diberikan Sefotaksim 2-3 x 1 gram, Sefoperazom
2x1 gram.
o Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari 3 menjelang
hari IV):
 Norfloksasin 2x400 mg.hari selama 14 hari.
 Siprofloksasin 2x500 mg.hari selama 6 hari.
 Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari.
 Perfloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
 Fleroksasin 400 mg/haro selama 7 hari.
(Alwi et al., 2019)

Pada anak, sesuai dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI,


antibiotik yang dapat diberikan adalah:
 Kloramfenikol (drug od choice) 50-100 mg/kgBB/hari/ oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
 Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau intravena, selama 10 hari.
 Kotrimoksazol 6 mg/kgBB/hari, oral, selama 10 hari.
 Sefriakson 80 mg/kgBB/hari, intravena atau intramuskular, sekali
sehari, selama 5 hari.
 Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10
hari.
 Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan
kesadaran: Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari intravena, dibagi 3
dosis hingga kesadaran membaik.
(Pidjiadi, 2009)

G. Prognosis
Demam tifoid menghasilkan beban utama mortalitas dan morbiditas di seluruh
dunia, namun masalah ini paling menonjol di negara-negara Asia Selatan dan Afrika.
Tingkat kematian saat ini secara keseluruhan telah berkurang menjadi kurang dari
1% karena kemajuan dalam modalitas pengobatan dan pembuatan antibiotik
dibandingkan dengan 12,75% pada tahun 1940-an ketika pengobatan terutama
simtomatik dan suportif. Diagnosis dan pengobatan dini menghindari komplikasi.
Sekarang, angka kematiannya rendah meskipun frekuensi episode dengan
komplikasi tinggi. Pada pasien yang tidak diobati, sekitar 10% akan kambuh, dan 4%
akan menjadi karier kronis (Bhandari et al., 2021).
BAB III

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An.A
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Gantungan RT04/RW04 Kartasura, Sukoharjo
Masuk RS : 28 Agustus 2021
No. RM : 00036***

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS UNS dengan keluhan demam sejak 5
hari SMRS. Awalnya demam tidak terlalu tinggi, tetapi dari
pengakuan ibu pasien, demam semakin hari semakin tinggi. Demam
agak turun pada pagi hari dan kembali naik saat sore menjelang
malam hari. Pasien sempat berobat ke Puskesmas Kartasura, namun
tidak membaik. Demam disertai nyeri perut dan diare sejak 4 hari
SMRS dengan frekuensi 3-4 kali/hari, lendir (-), darah (-). BAK
pasien terakhir pagi hari berwarna kuning pekat. Semenjak pasien
sakit, makan dan minum pasien berkurang. Keluhan lain seperti batuk,
pilek, mual muntah, perdarahan gusi, mimisan dan bintik perdarahan
disangkal.
Pasien dibawa kembali ke Puskesmas Kartasura untuk
dilakukan pemeriksan laboratorium dengan hasil widal positif (1/320),
dan kemudian dirujuk ke RS UNS.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Peny. Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat Rawat Inap : (+) Bronchitis saat umur 3 bulan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Peny. Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien menggunakan BPJS
6. Riwayat Nutrisi
Kuantitas : 2-3x makan berat dalam sehari
Kualitas : pasien makan dengan porsi cukup banyak,
pasien suka mengonsumsi sayur dan lauk
seperti daging dan ayam, namun tidak suka
buah. Semenjak sakit, makan dan minum
pasien berkurang.
7. Riwayat Perinatal
Lama Kehamilan : 40 minggu
Komplikasi kehamilan : tidak ada
Persalinan : spontan pervaginam
Penyulit persalinan : tidak ada

8. Riwayat Tumbuh Kembang dan Imunisasi


BB saat lahir : 2.790 gram
PB saat lahir : 50 cm
ASI sampai : 2 tahun
Susu formula mulai :-
Makanan tambahan : 6 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Masalah Neonatus : Pasien sempat dirawat di HCU a.i aspirasi
air ketuban
Imunisas 1 2 3 4 5 6 Imunisasi 1 2 3 4 5 6 9
i
Hepatitis ⅴ ⅴ ⅴ ⅴ Influenza
B
Polio ⅴ ⅴ ⅴ ⅴ Campak ⅴ
BCG ⅴ MMR
DPT ⅴ ⅴ ⅴ Thypoid
Hib ⅴ ⅴ ⅴ Hepatitis
A
PCV ⅴ ⅴ Varicella
Rotaviru ⅴ ⅴ HPV
s
C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Sakit sedang, GCS E4V5M6, compos mentis

B. Tanda Vital Nadi: 122 x/ menit


RR: 25 x/menit
SpO2: 98%
Suhu: 38,80C
C. Status Gizi Usia: 2 tahun 6 bulan
Berat badan: 9 kg
Tinggi badan: 85 cm
BB/U: < -3 SD  severely underweight
D. Kulit Warna kuning langsat, massa (-), hiperemis (-)
eritema (-), petekie (-)

E. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, rambut


jagung (-)
F. Mata konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), mata
cowong (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri

tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)


H. Hidung NCH (-), deformitas (-), sekret (-/-) Epistaksis (-)

I. Mulut Sianosis (-), Mukosa bibir kering (-), tonsil T1-T1,


stomatitis (+), gigi goyang (-), perdarahan gusi (-)

J. Leher JVP 5+2 cmH2O, hepatojugular reflux (-),


pembesaran KGB (-), Benjolan pada daerah tiroid
(-), nyeri tekan (-), Bising karotis (-)
K. Thorax simetris kanan kiri, retraksi (-)
L. Jantung :

Inspeksi Ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis kuat angkat

Perkusi Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi S1-S2 I-II regular, intensitas normal, suara jantung


tambahan (-), bising (-)

M. Pulmo :

Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga

mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela


iga melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan

dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri


Perkusi Sonor / Sonor

Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara


tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-),

ronki basah halus basal paru (-/-), krepitasi (-/-)


N Abdomen :

Inspeksi Dinding perut lebih rendah dengan dinding thorak,

distended (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),


caput medusae (-)
Auskultasi BU (+) normal 15x/menit
Perkusi timpani, undulasi (-), pekak alih (-), liver span
normal (pada linea midklavikula 10 cm dan linea
midsternal 7 cm)
Palpasi nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
lien(-)

Regio flank : nyeri ketok costovertebrae (-/-)

Regio supra pubik : nyeri tekan suprapubic (-)

Regio genitalia : (-)


O. Ekstremitas CRT <2 detik, akral hangat, oedema (-), clubbing
finger (-), sianosis (-)

D. RESUME
1. RESUME ANAMNESA
Pasien dengan keluhan demam 5 hari SMRS, demam naik-turun, naik
saat sore menjelang malam hari. Demam disertai nyeri perut dan diare.

2. RESUME PEMERIKSAAN
Hasil pemeriksaan: Nadi 122 x/menit. RR 25 x/menit. Suhu 38,80C.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28 Agustus 2021
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai
Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.4 L g/dL 11.5 – 13.5
Hematokrit 28 L % 34-40
Trombosit 239 10^3/uL 150-450
Leukosit 4.82 L 10^3/uL 5.50 – 17.00
Eritrosit 4.44 10^6/uL 3.90 – 5.30
MCV 62.8 L /UM 80.0-96.0
MCH 21.2 L Pg 28.0-33.0
MCHC 33.7 g/dl 33.0-36.0
RDW-CV 15.1 H % 11.6-14.6
MPV 9.1 Fl 7.2-11.1
PDW 9 % 9-13
Neutrophyl 1.69
Lymphocyte Ratio
HFLC 1.7 H % 0-1.4
Absolute 1660 >1500.00
Lymphocyte Ratio
Limfosit 36.1 L % 60-66
Monosit 4.6 % 2-8
Neutrofil 59.1 % 29-72
Eosinofil 0.0 % 0-4
Basofil 0.2 % 0-1
IMUNO-SEROLOGI: WIDAL
S.Typhi O 1/80 Negatif
S.Parathyphi AO Negatif Negatif
S.Parathyphi BO 1/80 Negatif
S.Parathyphi CO 1/160 Negatif
S.Typhi H 1/320 Negatif
S.Parathyphi AH Negatif Negatif
S.Parathyphi BH Negatif Negatif
S.Parathyphi CH 1/80 Negatif

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Normal
URINALISA
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6.0 4.8-7.8
Berat Jenis 1.005 1.005-1.030
Nitrit Negatif Negatif
Keton Urin Negatif Negatif
Glukosa Urin Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Bilirubin Urin Negatif Negatif
Lekosit Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 0-1 /LPB 0-1
Lekosit 2-3 /LPB 0-3
Squamous 1-2 * /LPB Negatif
Transisional Negatif /LPB Negatif
Bulat Negatif /LPB Negatif
Silinder
Hyalin Negatif /LPK 0-3
Granuler Negatif /LPK Negatif
Lekosit Negatif /LPK Negatif
Eritrosit Negatif /LPK Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Normal
ANALISA FESES
Makroskopis
Warna Coklat
kekuningan
Konsistensi Lembek
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Lemak Negatif Negatif
Makanan tidak Positif * Negatif
tercerna
Parasit Negatif Negatif
Pus Negatif Negatif
Mikroskopis
Sel epitel 0-1 * Negatif
Lekosit 5-7 * Negatif
Eritrosit 2-3 Negatif
Makanan tidak Positif * Negatif
tercerna
Kista Negatif Negatif
Telur cacing Negatif Negatif
Bakteri Positif * Negatif

F. DIAGNOSA
Demam Tifoid
Diare akut dehidrasi ringan-sedang

G. PENATALAKSANAAN
1. 28 Agustus 2021 (IGD)
- Infus asering 70 cc/jam
- Injeksi Paracetamol 100 mg
28 Agustus 2021 (IGDPICU)
- Infus Asering 70 cc/jam s/d tanda dehidrasi membaik, lanjut D5
¼ 40 cc/jam
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/8 jam
- Zink Syr 20 mg/24 jam
- Lacto B 1 sachet/8 jam
- Injeksi Paracetamol 100 mg k/p
- Injeksi Antrain 100 mg k/p
2. 29 Agustus 2021 (PICU)
- Infus D5 ¼ NS 40 cc/jam
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/8 jam
- Zink Syr 20 mg/24 jam PO
- Lacto B 1 sachet/8 jam PO
- Injeksi Paracetamol 100 mg k/p
- Injeksi Antrain 100 mg k/p
3. 30 Agutus 2021 (Bangsal Lt.4)
- Infus D5 ¼ NS 40 cc/jam
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/8 jam
- Zink Syr 20 mg/24 jam PO
- Lacto B 1 sachet/8 jam PO
- Injeksi Paracetamol 100 mg k/p
- Injeksi Antrain 100 mg k/p
4. 31 Agustus 2021
- Infus D5 ¼ NS 40 cc/jam
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/8 jam
- Zink Syr 20 mg/24 jam PO
- Lacto B 1 sachet/8 jam PO
- Injeksi Paracetamol 100 mg k/p
- Injeksi Antrain 100 mg k/p
- Injeksi Metilprednisolon 2 mg/8 jam
5. 1 September 2021
- Infus D5 ¼ NS 40 cc/jam
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/8 jam
- Zink Syr 20 mg/24 jam PO
- Lacto B 1 sachet/8 jam PO
- Injeksi Paracetamol 100 mg k/p
- Injeksi Antrain 100 mg k/p
- Injeksi Metilprednisolon 2 mg/8 jam
Obat pulang
- Zinc Syr 1x cth 1
- Lacto B 3x1 sachet
- Paracetamol Syr 1x cth 1 k/p

Penulisan Resep

RS UNS Surakarta
28 Agustus 2021
Dokter: dr. X (IGD)
R/ Asering inf 500 cc No. I
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
IV 3000 No. I
S.i.m.m. Intravena 25 tpm
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
28 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ Asering inf 500 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 25 tpm
R/ D5 ¼ NS inf 500 ml fl No. I
S.i.m.m. Intravena 15 tpm
R/ Cefotaxime inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 250 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
R/ Antrain inj mg 100 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam No. I
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1
R/ Lacto B sch No.III
S 3 dd 1 sch
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
29 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 ¼ NS inf 500 ml fl No. III
S.i.m.m. Intravena 15 tpm
R/ Cefotaxime inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 250 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
R/ Antrain inj mg 100 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam No. I
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1
R/ Lacto B sch No.III
S 3 dd 1 sch
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
30 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 ¼ NS inf 500 ml fl No. III
S.i.m.m. Intravena 15 tpm
R/ Cefotaxime inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 250 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
R/ Antrain inj mg 100 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam No. I
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1
R/ Lacto B sch No.III
S 3 dd 1 sch
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
31 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 ¼ NS inf 500 ml fl No. III
S.i.m.m. Intravena 15 tpm
R/ Cefotaxime inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 250 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
R/ Antrain inj mg 100 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam No. I
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1
R/ Lacto B sch No.III
S 3 dd 1 sch
R/ Metilprednisolon inj No. III
S i.m.m. Intravena 2 mg/8 jam
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
1 September 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 ¼ NS inf 500 ml fl No. III
S.i.m.m. Intravena 15 tpm
R/ Cefotaxime inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 250 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 100 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam
R/ Antrain inj mg 100 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 100 mg/24 jam No. I
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1
R/ Lacto B sch No.III
S 3 dd 1 sch
R/ Metilprednisolon inj No. III
S i.m.m. Intravena 2 mg/8 jam
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

RS UNS Surakarta
1 Sepember 2021
Dokter: dr. X (IGD)
R/ Zinc syr fl No. I
S 1 dd cth 1

R/ Lacto B box No. I


S 3 dd 1 sch
R/ Paracetamol syr mg120/5 ml No. I
S 1 dd cth 1 prn
Pro: An. A (2 tahun)
Alamat: Kartasura

H. FOLOW UP
1. 28 Agustus 2021 (IGD)
Pasien mengeluhkan demam naik turun sejak 5 hari SMRS disertai
diare
- Cek laboratorium: DR dan widal
- Swab antigen
- Masuk PICU
2. 29 Agustus 2021 (PICU)
Pasien masih demam naik turun, BAB ampas hijau berlendir
- Observasi KUVS dan tanda dehidrasi
3. 30 Agutus 2021 (Bangsal Lt.4)
Pasien masih demam naik turun, BAB ampas berwarna kuning
- Observasi KUVS
- Pindah Bangsal
4. 31 Agustus 2021
Pasien masih demam naik-turun
- Observasi KUVS
5. 1 September 2021
Pasien sudah tidak demam dan tidak diare
- BLPL

I. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Asering
Larutan infus yang mengandung kalsium klorida, potasium klorida, sodium
klorida dan sodium asetat. Digunakan untuk menggantikan cairan
ekstraseluler yang hilang.
1. Indikasi dan Dosis
 Kehilangan darah
 Dehidrasi
 Tidak dapat dilakukan rehidrasi oral
Dosis asering tergantung usia, berat badan, manifestasi klinis dan
keparahan dehidrasi.
2. Farmakodinamik
Asering diberikan melalui intravena (IV). Tujuan pemberiannya adalah
untuk mengisi kembali intravaskular untuk memungkinkan perfusi organ
yang adekuat. Dibandingkan ringer laktat, ringer asetat dimetabolisme 3-
4x lebih cepat. Waktu paruh intravaskular cairan kristaloid rata-rata dalam
20-30 menit. Cairan isotonik yang digunakan untuk menggantikan cairan
ekstraseluler yang hilang. Mengandung natrium, kalium, kalsium, klorida,
dan asetat.
3. Farmakokinetik
a. Absorbsi : absorbsi ringer asetat berlangsung secara langsung dan
sistemik. Waktu paruh intravaskular cairan kristaloid sekitar 20-30
menit.
b. Distribusi : distribusi terdapat pada kompartemen ekstraseluler,
terutama volume intravaskular.
c. Metabolisme : asetat terutama dimetabolisme dalam otot dengan waktu
metabolisme 3-4 kali lebih cepat dibandingkan laktat
d. Ekskresi : ekskresi natrium, kalium, dan kalsium melalui ginjal
4. Bentuk Sediaan
Plabot infus 500 ml
5. Kontraindikasi
 Hipernatremia, hiperkalemia, hiperkloremia
 Hipersensitif terhadap salah satu komponen infus
6. Efek Samping
Kelebihan cairan atau zat terlarut mengakibatkan overhidrasi, keadaan
kongesti (edema, kongesti paru), imbalans elektrolit, imbalans asam basa
serta reaksi hipersensitifitas.

B. D5 ¼ NS
D5 ½ NS infusi diindikasikan untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti
dengan kadar natrium yang rendah, kadar kalium rendah, kadar magnesium
yang rendah, kalsium rendah. D5 1/4 Ns Infusi / NS Infusion mengandung
komposisi aktif Glucose Monohydrate and Sodium Chloride. Per 1.000 mL
mengandung Na 38,5 meq, Cl 38,5 meq, dekstrosa 50 g, (NaCl 2,25 g).
Osmolaritas: 355 mOsm. Energi: 200 kKal.
1. Indikasi
Digunakan untuk infus vena perifer sebagai sumber kalori dimana
penggantian cairan dan kalori. Dosis tergantung pada usia, berat badan
dan keadaan klinis penderita.

2. Farmakodinamik
Glukosa merupakan sumber kalori dan cairan untuk penderita yang tidak
bisa mendapatkan asupan oral yang adekuat. Natrium Klorida merupakan
garam utama untuk mempertahankan tonisitas plasma.

3. Farmakokinetik
Absorpsi: Dextrose yang diberikan melalui oral akan diabsorpsi di traktus
intestinal selama 10-20 menit. Setelah itu, akan terdapat peningkatan
glukosa pada plasma. Dextrose yang diberikan melalui intravena, yang
memiliki bioavailabilitas 100%, akan beredar di dalam darah dan
diabsorpsi.
Distribusi: Dextrose akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui darah.
Metabolisme:Dextrose akan dimetabolisme melalui asam piruvat atau
laktat menjadi karbon dioksida dan air.
Ekskresi: Dextrose yang berlebih akan dieliminasi melalui urine.

4. Bentuk Sediaan
Plabot infus 500 ml
5. Kontraindikasi
- Penderita sindrom malabsorpsi glukosa-galaktosa.
- - Penderita koma diabetikum
6. Efek Samping
- Adanya respons febris, infeksi pada tempat penyuntikan, nekrosis
jaringan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat
penyuntikan. Hal ini dapat terjadi karena larutan infus atau teknik
pemberiannya, sehingga sebaiknya disuntikkan pada vena yang besar
dan menggunakan jarum suntik yang kecil.
- Hipernatremia.

C. Cefotaxime
Cefotaxime merupakan antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin
generasi ketiga yang dapat digunakan untuk melawan infeksi bakteri gram
positif dan gram negatif.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi cefotaxime di antaranya untuk penatalaksanaan infeksi saluran
pernapasan bawah, infeksi genitourinari, infeksi ginekologi, bakteremia
atau sepsis, gonorrhea, infeksi kulit, infeksi intra abdomen, infeksi pada
tulang atau sendi, dan infeksi pada sistem saraf pusat.
Selain itu, cefotaxime juga dapat digunakan sebagai antibiotik profilaksis
sebelum tindakan pembedahan, seperti histerektomi abdomen atau vagina,
pembedahan pada saluran pencernaan dan genitourinari.
- Dosis maksimum yang dapat diberikan kepada dewasa, geriartri,
remaja, dan anak dengan BB ≥50 kg 12g/hari IV/ IM. Sedangkan pada
anak dengan BB ≤50 kg adalah 180mg/kg/hari IV/ IM
- Profilaksis : 1 g IV atau IM sebagai dosis tunggal dalam waktu 30
sampai 90 menit sebelum insisi bedah.
2. Farmakodinamik
Cefotaxime mengikat 1 atau lebih protein pengikat penisilin (PBP) yang
menghambat langkah transpeptidase akhir dari sintesis peptidoglikan pada
dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dan menghentikan
perakitan dinding sel yang mengakibatkan kematian sel bakteri.
3. Farmakokinetik
Absorbsi: Diserap dengan cepat (IM). Waktu untuk konsentrasi plasma
puncak: 30 menit (IM), 4 jam (IV).
Distribusi: Tersebar luas ke jaringan dan cairan tubuh; terjadi pada CSF
terutama saat meninges meradang. Ini melintasi plasenta dan memasuki
ASI (konsentrasi rendah). Pengikatan protein plasma: Sekitar 40%.
Metabolisme: Mengalami metabolisme parsial di hati dan diubah menjadi
desacetylcefotaxime dan metabolit tidak aktif.
Ekskresi: Terutama melalui urin (kira-kira 40-60% sebagai obat tidak
berubah, selanjutnya 20% sebagai metabolit desasetil); empedu
(konsentrasi yang relatif tinggi); kotoran (sekitar 20%). Waktu paruh
plasma: Sekitar 1 jam (cefotaxime); sekitar 1,5 jam
(desacetylcefotaxime).
4. Bentuk Sediaan
Injeksi : 20mg/ml, 20mg/ml
Serbuk untuk injeksi : 500 mg, 1 g, 2 g, 10 g
5. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sefotaksim atau sefalosporin lainnya.
6. Efek Samping
Cefotaxime dapat menyebabkan beberapa efek yang tidak diinginkan.
Meskipun tidak semua efek samping ini dapat terjadi, jika terjadi, maka
mungkin diperlukan tindakan medis. Efek sampingnya sebagai berikut:
Kram atau nyeri perut, kembung, kyeri dada, kanas dingin, kiare,
kesulitan bernapas/menelan, kusing, ketak jantung cepat, kemam, katal-
gatal, kual atau muntah.

D. Paracetamol
Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek
mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).
Parasetamol mengurangi nyeri dengan caramenghambat impuls/rangsang
nyeri di perifer. Parasetamol menurunkan demam dengan caramenghambat
pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus
1. Indikasi dan Dosis:
Indikasi:
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik,
telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya,
parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi
manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hampir tidak
mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasi dengan AINS
untuk efek analgesik.
Dosis
Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g per kali dengan maksimum
4 g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali dengan maksimum
1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1
tahun: 60 mg/kali: pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari
2. Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentralseperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol
merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa
3. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Obat ini dieksresikan melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai paracetamol (3%) dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi
4. Bentuk Sediaan
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau
sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap dalam bentuk tablet maupun cairan
5. Kontraindikasi
Gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas
6. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat
berupa demam dan lesi pada mukosa.

E. Antrain
Antrain injeksi merupakan obat yang mengandung natrium metamizole.
Metamizole adalah obat analgetik (pereda nyeri), antispasmodik (meredakan
kram) dan antipiretik (penurun demam) dan untuk meringankan rasa sakit :
nyeri sendi, nyeri otot, dismenore, nyeri sendi, nyeri kepala dan lain-lain.
Selain itu sebagai antipiretik antrain bekerja dengan cara menghambat
prostaglandin dengan menginhibisi pada cox 1 dan 2, selain itu dapat
menstimulasi sekresi beta endorfin oleh hipotalamus, dan menurunkan
pirogen endogen.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi : meringankan rasa sakit, menurunkan demam.
Dosis : untuk orang dewasa 1 g sampai 4 kali sehari atau 2.5 g terbagi 2
dosis diberikan dengan injeksi IV dalam 5 menit atau dengan injeksi
intramuskular. Dosis maksimal yaitu 5 g sehari. Dosis anak-anak hingga
usia 14 tahun, dosis metamizole yang direkomendasikan adalah 8-16
mg/kgBB setiap 6-8 jam.
2. Farmakodinamik
Mekanisme analgesik metamizole berkaitan dengan inhibisi
siklooksigenase-3 (COX-3) serta aktivasi sistem opioidergik dan
kanabinoid. Sedangkan mekanisme spasmolitik metamizole berkaitan
dengan reduksi sintesis inositol fosfat, yang mengakibatkan inhibisi
pelepasan Ca2+ intraseluler
3. Farmakokinetik
Absorbsi : terhidrolisis di dalam traktus gastrointestinal dan mengaktifkan
metabolit 4-methyl-amino-antipyrine (MAA). Bioavailibilitas : hampir
90% . Puncak konsentrasi di dalam plasma yaitu 1-2 jam.
Distribusi: melewati plasenta dan masuk dalam air susu. Berikatan dengan
protein dalam bentuk 58% (MAA), 48% [4-amino-antipyrine (AA)], 14%
[4-acetylamino-antipyrine (AAA)] and 18% [formyl-amino-antipyrine
(FAA)
Metabolisme : termetabolisme di hepar membentuk 4-formyl-amino-
antipyrine (FAA) dan metabolit lain
Ekskresi : diekskresikan 90% di urin sebagai metabolit, di feses 10%.
Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 14 menit (IV)
4. Bentuk Sediaan
Kaplet 500 mg, Tablet 500 mg, Injeksi 250 mg/ml, 100 mg/2ml
5. Kontraindikasi
Alergi NSAID, anemia aplastik, leukopenia, masalah pada hati dan ginjal,
anak-anak kurang dari 3 bulan dan berat kurang
6. Efek Samping
Mual, muntah, sakit perut vertigo, sakit tenggorokan ruam, urine berwarna
merah.
F. Zinc
Zinc atau Seng merupakan mineral yang sangat penting bagi tubuh. Tanpa
adanya seng, pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh akan terganggu.
Agar tubuh tidak kekurangan kadar seng tersebut, maka diperlukanlah Zinc
sulfate yang dapat membantu mencegah defisiensi seng.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi: untuk defisiensi seng
Dosis:
 Untuk mengatasi defisiensi zinc
- Dewasa: Untuk sediaan tablet, dosis 50 mg per hari. Untuk
sediaan sirop, dosis 10-20 mg sekali sehari.
- Anak usia 9-13 tahun: Sediaan sirop, dosis 10-20 mg sekali
sehari.
- Anak-anak usia 4-8 tahun: Sediaan sirop, 10 mg sekali sehari.
- Anak-anak usia 1-3 tahun: Sediaan sirop, 5 mg sekali sehari.
 Untuk mengatasi diare akut
- Dewasa: 10-20 mg sekali sehari. Durasi pengobatan 10-14 hari.
- Anak-anak usia ≥ 6 bulan: 20 mg per hari. Durasi pengobatan 10-
14 hari.
- Anak-anak usia <6 bulan: 10 mg per hari. Durasi pengobatan 10-
14 hari.
2. Farmakodinamik
Zinc sulfate merupakan suplemen mineral. Seng adalah kofaktor enzim
yang terlibat dalam pembelahan dan pertumbuhan sel, penghilangan
radikal bebas berbahaya, dan membantu dalam perkembangan dan
pemeliharaan sistem kekebalan tubuh.
3. Farmakokinetik
Absorbsi: Tidak terserap sempurna di saluran pencernaan. Fitat dapat
mengurangi penyerapan.
Distribusi: Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dengan
konsentrasi tertinggi pada otot, tulang, kulit, mata, dan cairan prostat.
Kemudian melewati plasenta dan masuk ke dalam ASI. Ikatan protein
plasma: Sekitar 55% terikat dengan albumin; 40% terikat pada α1-
globulin.
Metabolisme: Menjalani metabolisme hepatic first-pass yang signifikan.
Dimetabolisme terutama oleh aldehid oksidase dan beberapa oleh
sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Waktu paruh eliminasi plasma: sekitar
1 jam.
Ekskresi: Diekskresikan terutama melalui feses dan sejumlah kecil
melalui urin dan keringat.
4. Bentuk Sediaan
Zinc tersedia dalam bentuk kapsul, tab
5. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap seng atau komponen apa pun dari formulasi,
gangguan ginjal.
6. Efek Samping
Mual, sakit perut, ruam, gata,-gatal. Apabila overdosis dapat terjadi mual
dan muntah parah, deshidrasi, sakit kepala, demam.

G. Lacto-B
Lacto-B adalah suplemen probiotik yang bermanfaat untuk membantu
mengatasi diare, khususnya diare yang disebabkan oleh penggunaan
antibiotik. Lacto-B juga digunakan untuk mengatasi intoleransi laktosa dan
sembelit. Lacto-B berbentuk bubuk dan sering digunakan untuk membantu
mengatasi diare pada anak-anak. Di dalam Lacto-B, terkandung probiotik,
yaitu bakteri baik yang bisa menjaga kesehatan sistem pencernaan. Jumlah sel
1 x 109 CFU/g (Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophilus,
Lactobacillus acidophilus), Vitamin C 7%, Vitamin B1 73%, Vitamin B2
157%, Vitamin B6 14%, Niasin 13%, Protein 0,02 g, Lemak 0,1 g, Zink
103%. Energi 3,4 kal.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi: Melindungi sistem pencernaan pada anak-anak usia 1-12 tahun.
Membantu mengurangi gangguan pencernaan, seperti diare dan sembelit
(susah BAB).
Dosis: Dosis Lacto-B yang dianjurkan untuk anak usia 1–6 tahun adalah 3
sachet sehari. Sedangkan untuk anak usia di bawah 1 tahun, dosisnya
adalah 2 sachet per hari.
2. Farmakologi
Lacto-B mengandung bakteri Lactobacillus acidophilus, Bifidobacterium
longum, dan Streptococcus thermophilus yang baik untuk saluran
pencernaan.
3. Bentuk Sediaan
Sachet @ 40 gram
4. Kontraindikasi
Hindari penggunaan Lacto-B pada pasien yang hipersensitif terhadap
kandungan dalam produk.
5. Efek Samping
Efek samping yang mungkin bisa terjadi setelah mengonsumsi Lacto-B
adalah perut kembung dan rasa tidak nyaman di perut. Pada beberapa
orang, bisa muncul reaksi alergi terhadap bahan yang terkandung dalam
produk.

H. Metilprednisolon
Methylprednisolone adalah kortikosteroid yang digunakan untuk mengobati
peradangan atau reaksi kekebalan di berbagai sistem organ, kondisi endokrin,
dan penyakit neoplastik. Metilprednisolon merupakan glukokortikoid turunan
prednisolon dengan potensi yang lebih tinggi daripada prednison.
1. Indikasi dan Dosis
 Untuk mengatasi peradangan, seperti lupus atau multiple sclerosis.
Obat tablet minum
- Dosis dewasa: 2-60 mg per hari, terbagi menjadi 1-4 kali
pemberian, tergantung jenis penyakit yang sedang diobati.
- Dosis anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari. Pemberian obat
dilakukan tiap 6-12 jam.
Obat suntik
- Dosis dewasa: 10-500 mg per hari.
- Dosis anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari. Pemberian obat
dilakukan tiap 6-12 jam.
 Untuk meredakan reaksi alergi dan asma
Obat tablet minum
- Dosis dewasa: 4-24 mg per hari.
Obat suntik
- Dosis dewasa: 40 mg per hari. Pemberian dosis tergantung pada
respons tubuh.
- Dosis anak-anak: 1-4 mg/kgBB per hari.
 Untuk mengobati ruam kulit akibat reaksi alergi atau peradangan
(krim oles dengan kandungan methylprednisolone 0,1%)
- Dosis dewasa: 1 kali sehari, dioleskan pada area yang mengalami
kelainan.
- Dosis anak-anak: 1 kali sehari, dioleskan pada area yang
mengalami kelainan.
2. Farmakodinamik
Metilprednisolon mengikat dan mengaktifkan reseptor glukokortikoid
intraseluler. Reseptor glukokortikoid yang diaktifkan berikatan dengan
daerah promotor DNA (yang dapat mengaktifkan atau menekan
transkripsi) dan mengaktifkan faktor transkripsi yang mengakibatkan
inaktivasi gen melalui deasetilasi histon.
3. Farmakokinetik
Absorbsi: Cepat diserap (oral); diserap dari sendi selama seminggu tetapi
lebih lambat diserap setelah injeksi IM dalam (sebagai asetat); cepat
diserap setelah injeksi IM (Na suksinat ester). Waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak: 2 jam (Na suksinat ester).
Distribusi: Distribusinya cukup cepat (oral). Melintasi plasenta. Rata-rata
volume distribusi metilprednisolon adalah 1,38L/kg. Metilprednisolon
76,8% terikat dalam protein plasma dan tidak secara signifikan mengikat
corcosteroid binding protein. Metilprednisolon terikat pada albumin
serum manusia dalam plasma.
Metabolisme: Metabolisme metilprednisolon diperkirakan sebagian besar
dimediasi oleh 11beta-hidroksisteroid dehidrogenase dan 20-ketosteroid
reduktase.
Ekskresi: Metilprednisolon dan metabolitnya telah dikumpulkan dalam
urin pada manusia.
4. Bentuk Sediaan
5. Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik kecuali terapi antiinfeksi spesifik digunakan;
pemberian secaara IM pada purpura trombositopenik idiopatik. Pemberian
intratekal. Pemberian vaksin hidup atau hidup yang dilemahkan secara
bersamaan (pada pasien yang menerima dosis imunosupresif).
6. Efek Samping
Supresi adrenal, reaksi anafilaksis, imunosupresi, miopati akut, kaposi
sarkoma, gangguan kejiwaan (misalnya depresi, euforia, insomnia,
perubahan suasana hati, perubahan kepribadian), peningkatan kerentanan
dan keparahan infeksi, gangguan penyembuhan, HTN, retensi Na dan
cairan, kolaps CV (dosis tinggi), tukak lambung, katarak subkapsular,
atrofi kulit, jerawat, kelemahan otot, retardasi pertumbuhan, penurunan K
darah; depresi kulit dermal/subdermal pada tempat inj. Topikal: Gatal,
eritema terbakar, vesikulasi, folikulitis, hipertrikosis, dermatitis perioral,
perubahan warna kulit, reaksi alergi pada kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Alba, S, Bakker, MI, Hatta, M, Scheelbeek, PFD, Dwiyanti, R, et al. 2016. Risk
Factors of Typhoid Infection in the Indonesian Archipelago. PloS One,
11(6): e0155286
Alwi, I, Salim, S, Hidayat, R, et al. 2019. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Panduan Praktik Klinis. Jakarta: PAPDI
Ashurst, JV, Truong, J, Woodbury, B. 2021. Salmonella Typhi. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing.
Bhandari, J, Thada, PK, DeVos, E. 2021. Typhoid Fever. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing.
Drugbank. 2021. Cefotaxime. Go DrugBank. [online] Available at:
https://go.drugbank.com/drugs/DB00493 (Diakses 9 September 2021)
Drugbank. 2021. Methylprednisolone. Go DrugBank. [online] Available at:
https://go.drugbank.com/drugs/DB00959 (Diakses 9 September 2021)
Febrina, Amelia. Farmakologi Dextrose. Alomedika. [online] Available at:
https://www.alomedika.com/drug/larutan-elektrolit-dan-
nutrisi/parenteral/dextrose/farmakologi (Diakses 9 September 2021)
IDAI. 2016. Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Demam Tifoid. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI
Luthfiyani, Shofa Nusrina. Farmakologi Dextrose. Alomedika. [online] Available
at:
https://www.alomedika.com/obat/antiinfeksi/antibakteri/cefotaxime/indikasi
-dan-dosis (Diakses 9 September 2021)
MIMS 2021. Antrain. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/antrain (Diakses 9 September
2021)
MIMS 2021. Asering. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/asering(Diakses 9 September
2021)
MIMS 2021. Cefotaxime. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/cefotaxime?mtype=generic
(Diakses 9 September 2021)
MIMS 2021. Infusan D5 + ¼ NS. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/infusan%20d5%20+
%20andfrac14;%20ns (Diakses 9 September 2021)
MIMS 2021. Metyhlprednisolone. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/methylprednisolone?
mtype=generic (Diakses 9 September 2021)
MIMS 2021. Paracetamol. IMS Indonesia. [online] Available at:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/paracetamol?mtype=generic
(Diakses 9 September 2021)
Pudjiadi, AJ, Hegar, B, Handdryastuti, S, et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI
Sanbe-Farma. Infusan D5 + ¼ NS. [online] Available at: https://www.sanbe-
farma.com/public/product_brosur/PI_INFUSAN_D5_PLUS_A_QUARTER
__NS.pdf (Diakses 9 September 2021)
Widodo, Djoko. 2014. Demam Tifoid. Dalam: Setiati, S et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing, p.549-558

Anda mungkin juga menyukai