Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK

SEORANG PEREMPUAN 29 TAHUN DENGAN DE QUERVAIN


SYNDROME DAN TRIGGER FINGER

Periode: 26 Desember 2022 – 8 Januari 2023


Oleh:
Deni Prasetyo Utomo G992202110
Pembimbing:
Dr. dr. Desy Kurniawati Tandiyo, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RS UNS
SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


bagian Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret – RS UNS.

Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Perempuan 29 Tahun Dengan De Quervain Syndrome Dan


Trigger Finger

Hari, tanggal: Kamis, 5 Januari 2023

Disusun oleh:

Deni Prasetyo Utomo G992202110

Mengetahui dan Menyetujui,

Pembimbing

Dr. dr. Desy Kurniawati Tandiyo, Sp. KFR


BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. P
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Colomadu, Karanganyar
Status : Belum menikah
No. RM : 00168xxx

B. Keluhan Utama
Nyeri pada pergelangan tangan kanan dan ibu jari tangan kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli Rehabilitasi Medik RS UNS pada tanggal 2
Januari 2023 dengan keluhan nyeri pada pergelangan tangan kanan dan
ibu jari tangan kiri. Keluhan nyeri pergelangan tangan kanan sudah
dirasakan sejak satu bulan yang lalu, sedangkan untuk keluhan nyeri
pada ibu jari tangan kiri baru dirasakan sekitar 1 minggu yang lalu.
Awalnya keluhan nyeri yang muncul terasa ringan, namun semakin
lama semakin memberat. Nyeri dirasakan ketika beraktivitas ataupun
ketika ditekan pada bagian yang sakit. Pasien merasakan bahwa rasa
nyeri bertambah berat dan tangannya mulai bengkak. Pasien merasa
keluhannya membaik ketika dikompres es, namun beberapa saat setelah
itu rasa nyeri pada tangan pasien kambuh kembali. Pasien menyangkal
adanya rasa kaku, kebas, maupun kesemutan. Pasien mengaku tidak
pernah terjatuh dengan menyangga menggunakan tangannya dan
tangannya tidak pernah terbentur.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : diakui, 1 tahun lalu
Riwayat hipertensi : diakui, terkontrol
Riwayat diabetes : diakui, terkontrol
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Operasi : operasi CTS 1 tahun lalu
Riwayat Tumor : disangkal
Riwayat Mondok : post operasi CTS 1 tahun lalu

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui, ibu pasien
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Tumor : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat Makanan : 2-3 kali sehari, lauk bervariasi
Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat Konsumsi Alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : jarang
Riwayat Pekerjaan : pernah menjadi karyawan di RS
bagian gizi
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien datang berobat menggunakan BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK (2 Januari 2023)


A. Status Generalis
Keadaan umum sakit ringan, GCS E4V5M6.
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/85
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36.70C
SpO2 : 99 %
VAS :4
Berat badan : 120 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 50 (Obesitas III)
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), spider naevi
(-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, luka operasi (-)
E. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra
(-/-), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah
tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP tidak meningkat,
limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thoraks
a. Retraksi (-)
b. Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Jantung kesan tidak melebar
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal,
regular, bising (-)
c. Paru
- Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
- Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar (vesikuler/vesikuler), suara
tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : Deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : Nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani, undulasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
M. Ekstremitas
CRT <2 detik, clubbing finger (-)
Oedem Akral Dingin
+ + - -
- - - -

1. Pemeriksaan status lokalis pada regio manus dextra :


Inspeksi : Oedem (+), kemerahan (-), deformitas (-),
luka (-), posisi jari-jari yang tidak normal (-)

Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (+), suhu


normal, sensibilitas (+)
Pemeriksaan ROM : Keterbatasan ROM (-), finkelstein test (+),
phallen test (-),tinel test (-)

2. Pemeriksaan status lokalis pada regio digiti I manus sinistra :


Inspeksi : Oedem (+), kemerahan (-), deformitas (-),
luka (-)
Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (+), suhu
normal, sensibilitas (+)
Pemeriksaan ROM : Keterbatasan ROM (-), finkelstein test (-),
phallen test (-), tinel test (-)
N. Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : dalam batas normal
c. Fungsi sensorik : dalam batas normal
d. Fungsi motorik dan refleks

Kekuatan Tonus R. Fisiologis R. Patologis


555 | 555 N N +2 +2 - -

555 | 555 N N +2 +2 - -

O. Pemeriksaan Range of Motion (ROM)

Pemeriksaan ROM
NECK
ROM Pasif ROM Aktif
0
Fleksi 0-70 0-700
Ekstensi 0-400 0-400
Lateral bending kanan 0-600 0-600
Lateral bending kiri 0-600 0-600
Rotasi kanan 0-900 0-900
Rotasi kiri 0-900 0-900

Ekstremitas Superior ROM pasif ROM aktif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
0
Shoulder Fleksi 0-180 0-1800 0-180 0
0-1800
Ekstensi 0-600 0-600 0-600 0-600
Abduksi 0-1800 0-1800 0-1800 0-1800
Adduksi 0-450 0-450 0-450 0-450
External 0-900 0-900 0-900 0-900
Rotasi
Internal 0-900 0-900 0-900 0-900
Rotasi
Elbow Fleksi 0-1200 0-1200 0-1200 0-1200
Ekstensi 5-00 5-00 5-00 5-00
Pronasi 0-900 0-900 0-900 0-900
Supinasi 900-0 900-0 900-0 90-00
Wrist Fleksi 0-900 0-900 0-900 0-900
Ekstensi 0-700 0-700 0-700 0-700
Ulnar deviasi 0-300 0-300 0-300 0-300
Radius 0-200 0-200 0-200 0-200
deviasi

Ekstremitas Inferior ROM Aktif ROM Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
0 0
Hip Fleksi 0-100 0-100 0-100 0-1000
0
Ekstensi 0-30 0-30 0-300 0-300
0
Abduksi 0-30 0-30 0-300 0-300
0 0
Adduksi 30 -0 30-0 300-00 0-300
0
Eksorotasi 0-45 0-45 0-450 0-450
0
Endorotasi 0-35 0-40 0-350 0-350
0
Knee Fleksi 0-135 0-1350 0-1350 0-1350
Ekstensi 0-00 0-0 0-00 0-00
0
Ankle Dorsofleksi 0-20 0-20 0-200 0-200
0
Plantarfleksi 0-50 0-50 0-500 0-500
0
Eversi 0-5 0-5 0-50 0-50
0
Inversi 0-5 0-5 0-50 0-50

P. Manual Muscle Testing (MMT)

Ekstremitas Superior Dextra Sinistra


Shoulder Flexor M.deltoideus anterior 5 5
M.biceps brachii 5 5
Extensor M.deltoideus anterior 5 5
M.teres major 5 5
Abduktor M.deltoideus 5 5
M.biceps brachii 5 5
Adduktor M.latissimus dorsi 5 5
M.pectoralis major 5 5
Rotasi M.latissimus dorsi 5 5
internal
M.pectoralis major 5 5
Rotasi M.teres major 5 5
eksternal
M.pronator teres 5 5
Elbow Flexor M.biceps brachii 5 5
M.brachialis 5 5
Extensor M.triceps brachii 5 5
Supinator M.supinator 5 5
Pronator M.pronator teres 5 5
Wrist Flexor M.flexor carpi 5 5
radialis
Extensor M.extensor 5 5
digitorum
Abduktor M.extensor carpi 5 5
radialis
Adduktor M.extensor carpi 5 5
ulnaris
Finger Flexor M.flexor digitorum 5 5
Extensor M.extensor 5 5
digitorum

Extremitas Inferior Dextra Sinistra


Hip Flexor M.psoas major 5 5
Extensor M.gluteus maximus 5 5
Abduktor M.gluteus medius 5 5
Adduktor M.adductor longus 5 5
Knee Flexor Hamstring muscles 5 5
Extensor M.quadriceps femoris 5 5
Ankle Flexor M.tibialis 5 5
Extensor M.soleus 5 5
Q. Index Barthel

Aktivitas Tingkat kemandirian N Nilai


Bladder Kontinensia 10 10
Bowel Kontinensia 10 10
Toileting Independen 10 10
Kebersihan diri Independen 5 5
Berpakaian Independen 10 10
Makan Independen 10 10
Transfer/berpindah Independen 15 15
Mobilitas Independen 15 15
Naik turun tangga Independen 10 10
Mandi Independen 5 5
Total 100 100
Independent

Kriteria Hasil:
0-20 = Total dependent
21-61 = Severe dependent
62-90 = Moderate dependent
91-99 = Slight dependent
100 = independent

III. ASSESSMENT
Klinis: De Quervain Syndrome dan Trigger Finger
IV. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis: De Quervain Syndrome dan Trigger Finger
Masalah Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi : nyeri pergelangan tangan kanan dan ibu
jari tangan kiri
2. Speech terapi :-
3. Okupasi terapi :-
4. Sosiomedik :-
5. Ortesa-protesa :-
6. Psikologi :-

V. PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa

Edukasi pasien terkait penyakit De Quervain Syndrome dan Trigger


Thumb serta cara untuk mencegah progresivitas penyakit dengan
cara menghindari berbagai faktor resiko.

2. Medikamentosa
-
3. Rehabilitasi medik
- Fisioterapi : USD
- Terapi okupasi :-
- Terapi wicara :-
- Sosiomedik :-
- Ortesa-protesa :-
- Psikologi :-

VI. IMPAIRMENT, DISABILITY DAN HANDICAP


1. Impairment/gangguan: Nyeri pada regio manus dextra dan digiti I
manus sinistra
2. Disability/ketidakmampuan: Tidak ada. ADL pasien menurut Index
Barthel memiliki nilai 100 yang berarti Independent
3. Handicap/rintangan: Tidak terdapat gangguan yang berhubungan
dengan fungsi sosial

VII. PLANNING
1. Planning Terapi
Fisioterapi : USD
2. Planning Edukasi
a. Edukasi pasien terkait penyakit pasien
b. Edukasi pasien terkait tujuan pemeriksaan dan tindakan yang
akan dilakukan
c. Edukasi pasien untuk mencegah progresivitas penyakit dengan
cara menghindari berbagai faktor resiko yang ada
VIII. TUJUAN
a. Jangka pendek
- Mengurangi nyeri pada pasien
b. Jangka panjang
Membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah
progresivitas penyakit pasien.

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DE QUERVAIN SYNDROME
A. DEFINISI
Sindrom De Quervain adalah kumpulan gejala yang ditimbulkan
akibat dari peradangan selaput tendon yang berada di sarung sinovial yang
menyelubungi otot extensor pollicis brevis dan otot abductor pollicis
longus. Tendon dan otot extensor pollicis brevis dan abductor pollicis
longus berfungsi mengontrol posisi, orientasi, pertahanan beban, dan
menjaga stabilitas sendi ibu jari. Pada sindrom De Quervain terjadi
penebalan retinakulum ektensor pada kompartemen dorsal (ektensor)
pertama pergelangan tangan menjadi tiga hingga empat kali lebih tebal
dibandingkan normal (Suryani, 2018).

B. ETIOLOGI
Menurut Suryani, 2018, penyebab De Quervain syndrome
belum diketahui pasti. Beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab
yakni :
1. Overuse
Gerakan berlebihan dan terlalu membebani sendi
carpometacarpal I dapat menyebabkan ruptur dan peradangan
akibat gesekan, tekanan, dan iskemia daerah persedian.
2. Trauma Langsung
Trauma yang langsung mengenai tendon otot abductor
pollicis longus dan extensor pollicis brevis dapat merusak jaringan
serta menyebabkan peradangan yang bisa menimbulkan nyeri.
3. Radang Sendi
Kerusakan sendi akibat proses radang mengakibatkan erosi
tulang pada bagian tepi sendi akibat invasi jaringan granulasi dan
akibat resorbsi osteoklas. Kemudian pada tendon terjadi
tenosynovitis disertai invasi kolagen yang dapat menyebabkan
ruptur tendon.

C. EPIDEMIOLOGI
Dari tahun 2007 hingga 2017, sebanyak 33.420 pasien dengan
diagnosis utama sindrom De Quervain telah diidentifikasi. Perempuan
mewakili 77,5% (25.908) dari total dan 2,6 kali lebih mungkin didiagnosis
daripada laki-laki. Usia juga berkorelasi signifikan dengan peningkatan
risiko diagnosis kondisi, dengan kejadian puncak pada usia 40-59 tahun.
Diabetes, rheumatoid arthritis, lupus, dan hipotiroidisme dikaitkan dengan
peningkatan risiko diagnosis (Hassan et al., 2022).
Hingga saat ini belum ditemukan korelasi antara insiden De
Quervain syndrome dan ras tertentu. Beberapa sumber memperlihatkan
rasio lebih tinggi pada wanita di bandingkan pada pria, yaitu : pekerjaan
rumah tangga yang melibatkan penggunaan ibu jari dan pergelangan
tangan, seperti menggendong anak, mencuci, dan memeras pakaian juga
dikaitkan dengan kondisi tersebut. De Quervain syndrome juga banyak
ditemui pada ibu-ibu hamil (Suryani, 2018).

D. PATOFISIOLOGI
Gerakan dan beban berlebihan pada sekitar sendi carpometacarpal
I menimbulkan gesekan, tekanan, dan iskemia, apabila terus menerus akan
menimbulkan peradangan, mengakibatkan bengkak dan nyeri. Inflamasi
daerah ini umumnya terjadi pada penggunaan tangan dan ibu jari untuk
kegiatan berulang atau repetitif. De Quervain syndrome timbul akibat
mikrotrauma kumulatif (repetitif) (Thoder et al, 2010).
Penggunaan berlebihan jari-jari tangan (overuse) menyebabkan
malfungsi pembungkus tendon, pembungkus tendon akan mengalami
penurunan produksi dan kualitas cairan sinovial. Cairan sinovial berfungsi
sebagai lubrikan, sehingga gangguan produksi dan kualitas mengakibatkan
gesekan antara otot dan pembungkus tendon (Ilyas et al, 2008).
Proses gesekan yang terus-menerus akan mengakibatkan inflamasi
pembungkus tendon, diikuti proliferasi jaringan ikat fibrosa. Proliferasi
jaringan ikat fibrosa akan memenuhi hampir seluruh pembungkus tendon
menyebabkan pergerakan tendon terbatas. Penyempitan pembungkus
tendon tersebut akan mempengaruhi pergerakan otot-otot abductor pollicis
longus dan extensor pollicis brevis. Pada kasus-kasus lanjut akan terjadi
perlengketan tendon dengan pembungkusnya. Gesekan otot-otot ini akan
merangsang saraf di sekitar otot, sehingga menimbulkan nyeri saat ibu jari
digerakkan, nyeri ibu jari merupakan keluhan utama penderita De Quervain
syndrome (Suryani, 2018).

E. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom De Quervain ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik :
- Rasa nyeri sekitar ibu jari
- Bengkak pergelangan tangan sisi ibu jari
- Rasa tebal sekitar ibu jari
- Penumpukan cairan pada daerah yang bengkak
- Krepitasi saat menggerakkan ibu jari
- Sendi ibu jari terasa kaku saat bergerak
- Penurunan lingkup gerak sendi carpometacarpal
Pemeriksaan fisik tes Finkelstein menentukan adanya tenosinovitis
tendon abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis. Tes Finkelstein
dirancang oleh Harry Finkelstein (1865-1939) ahli bedah Amerika Serikat
pada tahun 1930. Cara tes ini adalah ibu jari difleksikan hingga menempel
telapak tangan diikuti fleksi keempat jari dalam posisi mengepal dan ibu jari
berada di dalam kepalan. Pemeriksa menggerakkan tangan pasien ke arah
ulna deviasi. Nyeri hebat sepanjang radius distal akan menunjukkan
sindrom De Quervain. Rasa nyeri saat tes Finkelstein akibat keterbatasan
mekanisme gliding tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis pada kompartemen yang menyempit karena penebalan
retinakulum ekstensor tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis. Tes Finkelstein dilakukan bilateral untuk membandingkan
dengan bagian yang tidak nyeri (McAuliffe, 2010).

Gambar 1. Tes Finkelstein

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang menunjang
diagnosis sindrom De Quervain. Pemeriksaan faktor rheumatoid serum juga
tidak spesifik. Pemeriksaan radiologi secara umum juga tidak ada yang
spesifik. Pada pemeriksaan ultrasonografi potongan aksial dan koronal
dengan tranduser 13MHz resolusi tinggi, didapatkan penebalan dan edema
pembungkus tendon pada delapan pasien. Pada pemeriksaan MRI terlihat
penebalan pembungkus tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis. Pemeriksaan radiologis lain hanya digunakan untuk kasus-
kasus trauma akut atau diduga karena fraktur atau osteonekrosis (Suryani,
2018).
Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk menunjang dari
temuan subyektif dan obyektif dengan karakteristik seperti soft-tissue
swelling di radius dan fokus abnormalitas seperti erosi, sclerosis atau reaksi
periosteal. Pemeriksaan penunjang baik dengan radiografi atau USG dapat
digunakan untuk mengidentifikasi lokasi pasti peradangan (Mak, 2019).

G. TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaannya sindrom De Quervain meliputi non-
bedah dan pembedahan, yang bertujuan untuk mengatasi peradangan pada
kompartemen dorsal pertama pergelangan tangan (Suryani, 2018).
1. Farmakologis
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien sindrom
De Quervain adalah untuk mengatasi nyeri. Pilihan pengobatan harus
disesuaikan dengan pasien dengan mempertimbangkan riwayat
penyakit gastrointestinal yang diketahui, penyakit kardiovaskuler dan
komorbiditas ginjal. Pasien dapat diberikan:
- Analgetik: parasetamol/asetaminofen
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) karena didapatkan
adanya tanda-tanda peradangan
- Kortikosteroid, dapat digunakan untuk menekan migrasi sel-
sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan
permeabilitas kapiler.

Pemberian kortikosteroid injeksi dapat diberikan dengan bantuan


USG. Injeksi kortikosteroid digunakan sebagai faktor kontrol lokal
untuk mengurangi inflamasi yang terjadi di tendon. Setelah tatalaksana
injeksi dapat diikut imobilisasi menggunakan splint selama 3 minggu
hingga 6 bulan (Mak, 2019)
2. Non-farmakologis/Rehabilitasi Medik
a. Ultrasound diathermy
Terapi ini merupakan thermotherapy (terapi panas) dengan
gelombang suara energi tinggi dengan frekuensi lebih dari 20.000
Hz yang dapat dirubah menjadi panas pada jaringan tubuh bagian
dalam. Antara alat ultrasound dan kulit diolesi jel, minyak atau air
yang berfungsi sebagai penghantar gelombang suara. Energi
dihasilkan oleh kristal kuarsa yang dapat kemudian menembus gel,
menghasilkan panas pada jaringan lunak dan bahkan tulang di
bagian dalam, meningkatkan aliran darah dan metabolisme
jaringan serta meningkatkan ambang batas nyeri. Pada frekuensi 1
megahertz sampai 3 megahertz, gelombang ultra dapat menembus
struktur yang lebih dalam seperti kapsul persendian, tendon dan
ligamen sehingga dapat meningkatkan jangkauan gerak sendi.
Gelombang suara ultra juga memiliki efek anti inflamasi yang kuat
serta efektif untuk mengurangi keteganagan otot yang sering
mengakibatkan nyeri punggung dan sering terjadi pada peradangan
saraf (neuritis). Selain itu, terapi ini memiliki efek mekanis berupa
micromassage karena terjadi variasi tekanan dalam jaringan.
Micromassage pada jaringan akan menimbulkan efek “friction”
yang hangat. Efek lain dari micromassage adalah efek biologis
yang merupakan fisiologis dari pengaruh mekanik dan pengaruh
panas. Efek biologis yang ditimbulkan antara lain seperti
meningkatkan sirkulasi darah, relaksasi otot, meningkatkan
permeabilitas membrane, mempercepat proses healing, serta dapat
mengurangi rasa nyeri (Arovah, 2010).
b. Terapi Latihan Hold Relax
Hold relax merupakan teknik latihan yang
menggunakan kontraksi otot secara isometrik kelompok antagonis
yang diikuti rileksasi kelompok otot tersebut (prinsip
reciprocal inhibition). Hold relax bermanfaat untuk rileksasi otot –
otot dan menambah LGS (Kisner, 2016).
Modalitas fisioterapi dengan hold relax adalah salah satu
teknik khusus exercises dari Proprioceptive Neuromuscular
Facilitation (PNF) yang menggunakan kontraksi isometrik secara
optimal pada kelompok otot antagonis, yang bertujuan untuk
merangsang gerakan sehingga akan menghasilkan pertambahan
lingkup gerak sendi dan peningkatan kekuatan otot. Hold Relax
tediri atas 2 metode yaitu:
1) Direct method merupakan kontraksi grup otot yang terbatas
atau spasme bisa juga disebut post-isometric relaxation.
2) Indirect method merupakan kontaksi otot yang berlawanan
dari grup otot yang terbatas atau spasme bisa juga disebut
antagonistic inhabitation. Prosedur pelaksanaan indirect
method, dilakukan dengan melakukan kontraksi isometric
halus dalam suatu pola gerakan (Terjadi pertambahan
lingkup gerak sendi), kemudian block gerakan pasien
dengan tahanan, sesekali pasien mempertahankan kontraksi
tersebut selama beberapa detik, dapat dilakukan secara aktif
maupun pasif (Sudaryanto, 2019).

3. Pembedahan

Tatalaksana bedah diperlukan bila terapi non-bedah tidak efektif


lagi, terutama pada kasus-kasus lanjut telah terjadi perlengketan
pembungkus tendon atau pada pasien yang memiliki prognosis kurang
baik dengan terapi non-bedah seperti :

- Pasien dengan nyeri hebat (VAS/Visual Analogue Scale


>8/10) dan inflamasi sepanjang nervus radialis atau
kompartemen ekstensor pertama.
- Pasien yang tidak mentoleransi NSAIDS, sehingga proses
penyembuhan sangat lambat.
- Pasien tidak mampu memahami edukasi selama masa
pengobatan seperti pembatasan gerak ibu jari.
- Pembengkakan hebat pada bagian dorsal kompartemen
ekstensor pertama pergelangan tangan.

II. TRIGGER FINGER


A. DEFINISI
Trigger finger merupakan jenis peradangan yang terjadi pada tendon
berfungsi untuk menekukkan jari- jari. Stenosing tenosyvitis dari flexor jari-
jari atau yang disebut dengan trigger finger adalah gangguan klinis yang
ditandai dengan nyeri, hingga rasa mengunci pada jari- jari yang mengalami
gangguan. Kondisi ini sering dialami oleh orang yang sering melakukan
aktivitas menggenggamkan tangan, apabila dilakukan secara berulang dapat
menyebabkan radang pada tendon first annular (A1) jari bahkan
menyebabkan bengkak pada tangan. Trigger finger disebabkan karena
adanya inflamasi lokal atau pembengkakan pada pembungkus tendon
fleksor yang mengakibatkan pembungkus tersebut tidak dapat meluncur
dengan normal (Koni & Barat, 2021).
Trigger finger adalah gangguan umum yang sering terjadi dan
ditandai dimana jari yang dibengkokkan tibe-tiba tidak dapat diluruskan
kembali serta berhubungan dengan disfungsi dan nyeri yang disebabkan
penebalan setempat pada suatu tendo fleksor, dalam kombinasi dengan
adanya penebalan di dalam selubung tendon pada tempat yang sama
(Makkouk et al, 2010).

B. ETIOLOGI

Penyebab potensial trigger finger telah dapat dijelaskan, tetapi


etiologi tetap idiopatik, artinya penyebabnya tidak diketahui. Kemungkinan
disebabkan oleh trauma lokal dengan stres dan gaya degeneratif. Ada yang
menghubungkan penyebab trigger finger karena penggunaan fleksi tangan
yang terus-menerus dan pada tiap individu sering dengan penyebab
multifaktor. Oleh karena itu sering disebut dengan tenosinovitis stenosing
(stenosans tenovaginitis khusus pada jari). Stenosing berarti penyempitan
terowongan atau tabung-seperti struktur (selubung tendon) (Koni & Barat,
2021).

C. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, data prevalensi mengenai kasus Trigger finger
menurut National Health Interview Survey (NHIS) memperkirakan
prevalensi 32% pertahun (Deskur, 2017). Insiden Trigger Finger
diperkirakan mencapai 28 kasus per 100.000 orang dalam populasi setiap
tahunnya. Kondisi ini dapat terjadi kepada siapa saja, namun lebih sering
ditemukan pada penderita diabetes, rheumatoid arthritis, dan wanita usia 50
hingga 60 tahun (Fauzi, 2015). Prevalensi berdasarkan data yang diperoleh
pada kasus pasien Trigger finger di Rumah X bandung diperkirakan 27
orang dan seluruhnya menjalani proses terapi di poli fisioterapi per 2021
(Koni & Barat, 2021).
Trigger finger adalah penyakit yang paling sering terjadi di antara
dekade ke 5 dan 6 kehidupan. Kejadiannya perempuan 6 kali lebih sering
terkena dibandingkan dengan laki-laki, meskipun alasan predileksi usia dan
jenis kelamin ini tidak sepenuhnya jelas. Faktor risiko pemicu terjadinnya
trigger finger adalah antara 2 dan 3%, tetapi meningkat menjadi 10% pada
penderita diabetes. Insidens di penderita diabetes terkait dengan waktu
penyakit sebenarnnya, tidak berhubungan dengan diabetes yang terkontrol.
Ini juga tampaknya menjadi resiko lebih tinggi terjadinnya trigger finger
pada pasien dengan karpal tunnel sindrome, penyakit de Quervain,
hypothyroidism, rheumatoid arthritis, penyakit ginjal, dan amyloidosis
(Makkouk et al, 2010).
D. PATOFISIOLOGI
Pada trigger finger terjadi peradangan dan hipertrofi dari selubung
tendon yang semakin membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini
biasanya membentuk sistem katrol yang terdiri dari serangkaian sistem yang
berfungsi untuk memaksimal kekuatan fleksi dari tendon dan efisiensi gerak
di metakarpal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang
menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol ketika pasien
mencoba untuk meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk
bergerak. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan jari, dengan
menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan menggunakan
kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan tangan
lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan menimbulkan rasa sakit
yang signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digit.
Hal yang kurang umum terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal
katrol, mengakibatkan kesulitan pasien meregangkan jari (Geso et al, 2012).

E. KRITERIA DIAGNOSIS
Secara umum penegakan diagnosis pada Trigger Finger cukup
dengan pemeriksaan fisik saja, diantaranya adanya benjolan kecil, nyeri di
telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan sendi.
Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya
saat anda bangun pagi dan akan berkurang saat melakukan aktifitas.
Terkadang jika tendon terasa bebas bisa bergerak tegak akan dirasakan
sendi seperti terjadi "dislokasi" / pergeseran sendi.Pada Kasus kasus yang
berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan
diabetes biasanya akan terkena lebih parah (Makkouk et al, 2010).
Selain itu juga bisa dilakukan beberapa pemeriksaan untuk
menyingkirkan diagnosis lain, diantaranya :
1. Finkelstein Test
Test dilakukan untuk mendeteksi adanya sindrom De
Quervain. Pada kondisi ini terjadi peradangan pada tendon EPB dan
APL yang berada dalam satu selubung tendon. Finkelstein dengan
cara pasien mengepalkan tangannya, dimana ibu jari diliputi oleh
jari-jari lainnya selanjutnya pemeriksa menggerakkan wrist pasien
ke arah ulnar deviasi (Abduksi Ulnar). Positif jika timbul nyeri yang
hebat pada kedua tendo otot tersebut tepatnya pada procesus
styloideus radial. Yang memberikan indikasi adanya tenosynovitis
pada ibu jari.
2. Test Phalen
Apabila terdapat penyempiatan pada terowongan carpal
dipergelangan tangan bagian volar yang dilintasi cabang nervus
madinus, maka penekukan di wrist joint akan menimbulkan rasa
nyeri atau parestisia dikawasan n. medianus. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara palmar fleksi kedua wrist, lalu saling
tekankan kedua dorsum manus satu dengan lainnya sekuat-kuatnya.
3. Tes Tinel
Tes ini dilkukan dengan cara melakukan
pengetokan/penekanan pada ligamentum volare pergelangan tangan
atau pada n. medianus akan menimbulkan nyeri kejut didalam
tangan serta arestesia dikawasan n. medianus apabila
terowongankarpal menyempit seperti halnya dengan sindrom carpal
tunel, meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang menunjang
diagnosis Trigger Finger. Jika ada kecurigaan tentang kondisi, adanya
diagnosis yang terkait, seperti diabetes, rheumatoid arthritis, atau penyakit
lain pada jaringan ikat, antara lain, hemoglobin glikosilasi (HgbA1c), gula
darah puasa, atau faktor rheumatoid harus diperiksa. Secara umum, tidak
ada pencitraan yang diperlukan dalam kasus jari Trigger Finger. Tidak ada
tes lebih lanjut yang biasanya diperlukan (Makkouk et al, 2010).
G. TATALAKSANA
1. Farmakologis
Menurut Makkouk et al, 2010, tatalaksana farmakologis pada Trigger
Finger bertujuan untuk mengurangi peradangan dan rasa nyeri yang
dialami, sehingga obat yang dapat diberikan diantaranya :
- Analgesik
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
- Injeksi kortikosteroid
2. Non-farmakologis/Rehabilitasi Medik
Trigger Finger merupakan kondisi yang umumnya menyebabkan
gangguan fungsional yang signifikan. Sehingga dibutuhkan intervensi
terapi yang diidentifikasikan dalam rencana perawatan yang lebih luas,
seperti ROM atau penguatan otot. Intervesni terpilih yang dapat
digunakan pada kasus Trigger Finger ini adalah Infrared, Ultrasound
dan Terapi Latihan berupa Hold Relax (Hanifa & Rahman, 2021).
a. Infrared
Infrared merupakan bentuk energi elektromagnetik yang tak
terlihat. Radiasi Infrared dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok berdasarkan panjang gelombang yaitu Infrared dekat
(NIR 0.8 -1.5µm). radiasi Infrared dapat memungkinkan beberapa
bentuk energi untuk dihantarkan ke jaringan subkutan sekitar 2-
3cm tanpa pemanasan yang berlebih. Mekanisme Infrared sinar
yang dihasikan oleh Infrared dapat memberikan efek menurunya
ketegangan otot, kekakuan sendi meningkatkan aliran darah dan
merileksasikan sisytem saraf, penurunan nyeri dipengaruhi oleh
keluarnya endorphin, peningkatan serotonim dan efek anti
inflamasi.
b. Ultrasound
Ultrasound juga termasuk jenis thermotrapy (terapi panas)
yang berfungsi untuk mengurangi nyeri yang dirasakan didalam
tubuh baik nyeri berat maupun ringan. Terapi Ultrasound (US) ini
merupakan salah satu terapi dengan menggunakan tranduser yang
didalamnya mampu memproduksi gelombang suara. Ultrasound
(US) mempunyai gelombang suara tinggi dengan frekuensi 1 atau
3 Mhz (>20.000 Hz).
c. Hold Relax
Hold Relax Exercise merupakan salah satu dari beberapa terapi
latihan yang dapat digunakan untuk modalitas fisioterapi untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi. Penguluran dengan adanya
konstraksi isometrik otot antagonis. Gerakan kearah agonis
menjadi lebih mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal
untuk meningkatkan lingkup gerak sendi.
3. Pembedahan
Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger.
Indikasi untuk perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan
konservatif untuk mengatasi rasa sakit dan gejala. Dalam prosedur ini,
sendi MCP adalah hyperextensi dengan telapak ke atas, sehingga
membentang keluar katrol A1 dan pergeseran struktur neurovaskular
bagian punggung. Setelah klorida dan etil disemprotkan lidokain
disuntikkan untuk manajemen nyeri, jarum dimasukkan melalui kulit
dan ke katrol A1. Tingkat keberhasilan telah dilaporkan lebih dari 90%
dengan prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera saraf
atau arteri (Makkouk et al, 2010).

Gambar 2. Pembedahan Trigger Finger


DAFTAR PUSTAKA
1. Arovah N. Dasar-dasar fisioterapi pada cedera olahraga. 2010.
2. Ast M, Schaffer AA, Thoder J. De Quervain tenosynovitis of the wrist. J
Am Acad Orthop Surg. 2008;15(12):757–64.
3. Brunicardi FC, Andrese DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al. Schwartz’s principles of surgery. 9th ed. United states of America:
The MacGraw; 2010.
4. Geso LD, Fillippuci E, Meenagh G, Gutierrez M, Ciappeti A. CS injection
of tenosynovitis in patients with chronic inflammatory arthritis: the role of
US. 2012 March;1-3.
5. Hanifa, F. D., & Rahman, I. (2021). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus
Trigger Finger Sinistra Dengan Modalitas Infrared , Ultrasound Dan Terapi
Latihan. Jurnal Kesehatan Dan Masyarakat, 1, 64–72.
6. Hassan, K., Sohn, A., Shi, L., Lee, M., & Wolf, J. M. (2022). De Quervain
Tenosynovitis: An Evaluation of the Epidemiology and Utility of Multiple
Injections Using a National Database. Journal of Hand Surgery, 47(3),
284.e1-284.e6. https://doi.org/10.1016/j.jhsa.2021.04.018
7. Ilyas, A. M., Ast, M., Schaffer, A. A., & Thoder, J. (2007). De quervain
tenosynovitis of the wrist. JAAOS-Journal of the American Academy of
Orthopaedic Surgeons, 15(12), 757-764.
8. Kisner, Carolyn. 2016. Theraupeutic Exercise Foundation and Techique.
9. Koni, D. I., & Barat, J. (2021). Jurnal Kesehatan dan Masyarakat ( Jurnal
KeFis ) | e-ISSN : 9999-9999. 1, 1–13.
10. Mak J (2019). De Quervain’s Tenosynovitis: Effective Diagnosis and
Evidence-Based Treatment. in Work-related Musculoskeletal Disorders.
IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.82029.
11. Makkouk AH, Oetgen ME, Swigart CR, Dooed SD. Trigger finger:
etiology, evaluation, and treatment. Curr Rev Musculoskelet Med. 2008 Nov
;10.007(1): 92-6.
12. Masiero S, Pignataro A, Piran G, Duso M, Mimche P, Ermani M et al. Short-
wave diathermy in the clinical management of musculoskeletal disorders: a
pilot observational study. Int J Biometeorol 2020; 64: 981–988.
13. McAuliffe JA. Tendon disorders of the hand and wrist. J Hand Surg Am.
2010;35(5):846–53. quiz 853.
14. Suryani, A. (2018). Sindrom De Quervain : Diagnosis dan Tatalaksana. IDI
- Continuing Medical Education, 45(8), 592–595.

Anda mungkin juga menyukai