REHABILITASI MEDIK
Disusun oleh:
Pembimbing
B. Keluhan Utama
Nyeri pada pergelangan tangan kanan dan ibu jari tangan kiri
555 | 555 N N +2 +2 - -
Pemeriksaan ROM
NECK
ROM Pasif ROM Aktif
0
Fleksi 0-70 0-700
Ekstensi 0-400 0-400
Lateral bending kanan 0-600 0-600
Lateral bending kiri 0-600 0-600
Rotasi kanan 0-900 0-900
Rotasi kiri 0-900 0-900
Kriteria Hasil:
0-20 = Total dependent
21-61 = Severe dependent
62-90 = Moderate dependent
91-99 = Slight dependent
100 = independent
III. ASSESSMENT
Klinis: De Quervain Syndrome dan Trigger Finger
IV. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis: De Quervain Syndrome dan Trigger Finger
Masalah Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi : nyeri pergelangan tangan kanan dan ibu
jari tangan kiri
2. Speech terapi :-
3. Okupasi terapi :-
4. Sosiomedik :-
5. Ortesa-protesa :-
6. Psikologi :-
V. PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
2. Medikamentosa
-
3. Rehabilitasi medik
- Fisioterapi : USD
- Terapi okupasi :-
- Terapi wicara :-
- Sosiomedik :-
- Ortesa-protesa :-
- Psikologi :-
VII. PLANNING
1. Planning Terapi
Fisioterapi : USD
2. Planning Edukasi
a. Edukasi pasien terkait penyakit pasien
b. Edukasi pasien terkait tujuan pemeriksaan dan tindakan yang
akan dilakukan
c. Edukasi pasien untuk mencegah progresivitas penyakit dengan
cara menghindari berbagai faktor resiko yang ada
VIII. TUJUAN
a. Jangka pendek
- Mengurangi nyeri pada pasien
b. Jangka panjang
Membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah
progresivitas penyakit pasien.
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DE QUERVAIN SYNDROME
A. DEFINISI
Sindrom De Quervain adalah kumpulan gejala yang ditimbulkan
akibat dari peradangan selaput tendon yang berada di sarung sinovial yang
menyelubungi otot extensor pollicis brevis dan otot abductor pollicis
longus. Tendon dan otot extensor pollicis brevis dan abductor pollicis
longus berfungsi mengontrol posisi, orientasi, pertahanan beban, dan
menjaga stabilitas sendi ibu jari. Pada sindrom De Quervain terjadi
penebalan retinakulum ektensor pada kompartemen dorsal (ektensor)
pertama pergelangan tangan menjadi tiga hingga empat kali lebih tebal
dibandingkan normal (Suryani, 2018).
B. ETIOLOGI
Menurut Suryani, 2018, penyebab De Quervain syndrome
belum diketahui pasti. Beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab
yakni :
1. Overuse
Gerakan berlebihan dan terlalu membebani sendi
carpometacarpal I dapat menyebabkan ruptur dan peradangan
akibat gesekan, tekanan, dan iskemia daerah persedian.
2. Trauma Langsung
Trauma yang langsung mengenai tendon otot abductor
pollicis longus dan extensor pollicis brevis dapat merusak jaringan
serta menyebabkan peradangan yang bisa menimbulkan nyeri.
3. Radang Sendi
Kerusakan sendi akibat proses radang mengakibatkan erosi
tulang pada bagian tepi sendi akibat invasi jaringan granulasi dan
akibat resorbsi osteoklas. Kemudian pada tendon terjadi
tenosynovitis disertai invasi kolagen yang dapat menyebabkan
ruptur tendon.
C. EPIDEMIOLOGI
Dari tahun 2007 hingga 2017, sebanyak 33.420 pasien dengan
diagnosis utama sindrom De Quervain telah diidentifikasi. Perempuan
mewakili 77,5% (25.908) dari total dan 2,6 kali lebih mungkin didiagnosis
daripada laki-laki. Usia juga berkorelasi signifikan dengan peningkatan
risiko diagnosis kondisi, dengan kejadian puncak pada usia 40-59 tahun.
Diabetes, rheumatoid arthritis, lupus, dan hipotiroidisme dikaitkan dengan
peningkatan risiko diagnosis (Hassan et al., 2022).
Hingga saat ini belum ditemukan korelasi antara insiden De
Quervain syndrome dan ras tertentu. Beberapa sumber memperlihatkan
rasio lebih tinggi pada wanita di bandingkan pada pria, yaitu : pekerjaan
rumah tangga yang melibatkan penggunaan ibu jari dan pergelangan
tangan, seperti menggendong anak, mencuci, dan memeras pakaian juga
dikaitkan dengan kondisi tersebut. De Quervain syndrome juga banyak
ditemui pada ibu-ibu hamil (Suryani, 2018).
D. PATOFISIOLOGI
Gerakan dan beban berlebihan pada sekitar sendi carpometacarpal
I menimbulkan gesekan, tekanan, dan iskemia, apabila terus menerus akan
menimbulkan peradangan, mengakibatkan bengkak dan nyeri. Inflamasi
daerah ini umumnya terjadi pada penggunaan tangan dan ibu jari untuk
kegiatan berulang atau repetitif. De Quervain syndrome timbul akibat
mikrotrauma kumulatif (repetitif) (Thoder et al, 2010).
Penggunaan berlebihan jari-jari tangan (overuse) menyebabkan
malfungsi pembungkus tendon, pembungkus tendon akan mengalami
penurunan produksi dan kualitas cairan sinovial. Cairan sinovial berfungsi
sebagai lubrikan, sehingga gangguan produksi dan kualitas mengakibatkan
gesekan antara otot dan pembungkus tendon (Ilyas et al, 2008).
Proses gesekan yang terus-menerus akan mengakibatkan inflamasi
pembungkus tendon, diikuti proliferasi jaringan ikat fibrosa. Proliferasi
jaringan ikat fibrosa akan memenuhi hampir seluruh pembungkus tendon
menyebabkan pergerakan tendon terbatas. Penyempitan pembungkus
tendon tersebut akan mempengaruhi pergerakan otot-otot abductor pollicis
longus dan extensor pollicis brevis. Pada kasus-kasus lanjut akan terjadi
perlengketan tendon dengan pembungkusnya. Gesekan otot-otot ini akan
merangsang saraf di sekitar otot, sehingga menimbulkan nyeri saat ibu jari
digerakkan, nyeri ibu jari merupakan keluhan utama penderita De Quervain
syndrome (Suryani, 2018).
E. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom De Quervain ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik :
- Rasa nyeri sekitar ibu jari
- Bengkak pergelangan tangan sisi ibu jari
- Rasa tebal sekitar ibu jari
- Penumpukan cairan pada daerah yang bengkak
- Krepitasi saat menggerakkan ibu jari
- Sendi ibu jari terasa kaku saat bergerak
- Penurunan lingkup gerak sendi carpometacarpal
Pemeriksaan fisik tes Finkelstein menentukan adanya tenosinovitis
tendon abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis. Tes Finkelstein
dirancang oleh Harry Finkelstein (1865-1939) ahli bedah Amerika Serikat
pada tahun 1930. Cara tes ini adalah ibu jari difleksikan hingga menempel
telapak tangan diikuti fleksi keempat jari dalam posisi mengepal dan ibu jari
berada di dalam kepalan. Pemeriksa menggerakkan tangan pasien ke arah
ulna deviasi. Nyeri hebat sepanjang radius distal akan menunjukkan
sindrom De Quervain. Rasa nyeri saat tes Finkelstein akibat keterbatasan
mekanisme gliding tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis pada kompartemen yang menyempit karena penebalan
retinakulum ekstensor tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis. Tes Finkelstein dilakukan bilateral untuk membandingkan
dengan bagian yang tidak nyeri (McAuliffe, 2010).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang menunjang
diagnosis sindrom De Quervain. Pemeriksaan faktor rheumatoid serum juga
tidak spesifik. Pemeriksaan radiologi secara umum juga tidak ada yang
spesifik. Pada pemeriksaan ultrasonografi potongan aksial dan koronal
dengan tranduser 13MHz resolusi tinggi, didapatkan penebalan dan edema
pembungkus tendon pada delapan pasien. Pada pemeriksaan MRI terlihat
penebalan pembungkus tendon otot abductor pollicis longus dan extensor
pollicis brevis. Pemeriksaan radiologis lain hanya digunakan untuk kasus-
kasus trauma akut atau diduga karena fraktur atau osteonekrosis (Suryani,
2018).
Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk menunjang dari
temuan subyektif dan obyektif dengan karakteristik seperti soft-tissue
swelling di radius dan fokus abnormalitas seperti erosi, sclerosis atau reaksi
periosteal. Pemeriksaan penunjang baik dengan radiografi atau USG dapat
digunakan untuk mengidentifikasi lokasi pasti peradangan (Mak, 2019).
G. TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaannya sindrom De Quervain meliputi non-
bedah dan pembedahan, yang bertujuan untuk mengatasi peradangan pada
kompartemen dorsal pertama pergelangan tangan (Suryani, 2018).
1. Farmakologis
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien sindrom
De Quervain adalah untuk mengatasi nyeri. Pilihan pengobatan harus
disesuaikan dengan pasien dengan mempertimbangkan riwayat
penyakit gastrointestinal yang diketahui, penyakit kardiovaskuler dan
komorbiditas ginjal. Pasien dapat diberikan:
- Analgetik: parasetamol/asetaminofen
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) karena didapatkan
adanya tanda-tanda peradangan
- Kortikosteroid, dapat digunakan untuk menekan migrasi sel-
sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan
permeabilitas kapiler.
3. Pembedahan
B. ETIOLOGI
C. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, data prevalensi mengenai kasus Trigger finger
menurut National Health Interview Survey (NHIS) memperkirakan
prevalensi 32% pertahun (Deskur, 2017). Insiden Trigger Finger
diperkirakan mencapai 28 kasus per 100.000 orang dalam populasi setiap
tahunnya. Kondisi ini dapat terjadi kepada siapa saja, namun lebih sering
ditemukan pada penderita diabetes, rheumatoid arthritis, dan wanita usia 50
hingga 60 tahun (Fauzi, 2015). Prevalensi berdasarkan data yang diperoleh
pada kasus pasien Trigger finger di Rumah X bandung diperkirakan 27
orang dan seluruhnya menjalani proses terapi di poli fisioterapi per 2021
(Koni & Barat, 2021).
Trigger finger adalah penyakit yang paling sering terjadi di antara
dekade ke 5 dan 6 kehidupan. Kejadiannya perempuan 6 kali lebih sering
terkena dibandingkan dengan laki-laki, meskipun alasan predileksi usia dan
jenis kelamin ini tidak sepenuhnya jelas. Faktor risiko pemicu terjadinnya
trigger finger adalah antara 2 dan 3%, tetapi meningkat menjadi 10% pada
penderita diabetes. Insidens di penderita diabetes terkait dengan waktu
penyakit sebenarnnya, tidak berhubungan dengan diabetes yang terkontrol.
Ini juga tampaknya menjadi resiko lebih tinggi terjadinnya trigger finger
pada pasien dengan karpal tunnel sindrome, penyakit de Quervain,
hypothyroidism, rheumatoid arthritis, penyakit ginjal, dan amyloidosis
(Makkouk et al, 2010).
D. PATOFISIOLOGI
Pada trigger finger terjadi peradangan dan hipertrofi dari selubung
tendon yang semakin membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini
biasanya membentuk sistem katrol yang terdiri dari serangkaian sistem yang
berfungsi untuk memaksimal kekuatan fleksi dari tendon dan efisiensi gerak
di metakarpal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang
menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol ketika pasien
mencoba untuk meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk
bergerak. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan jari, dengan
menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan menggunakan
kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan tangan
lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan menimbulkan rasa sakit
yang signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digit.
Hal yang kurang umum terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal
katrol, mengakibatkan kesulitan pasien meregangkan jari (Geso et al, 2012).
E. KRITERIA DIAGNOSIS
Secara umum penegakan diagnosis pada Trigger Finger cukup
dengan pemeriksaan fisik saja, diantaranya adanya benjolan kecil, nyeri di
telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan sendi.
Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya
saat anda bangun pagi dan akan berkurang saat melakukan aktifitas.
Terkadang jika tendon terasa bebas bisa bergerak tegak akan dirasakan
sendi seperti terjadi "dislokasi" / pergeseran sendi.Pada Kasus kasus yang
berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan
diabetes biasanya akan terkena lebih parah (Makkouk et al, 2010).
Selain itu juga bisa dilakukan beberapa pemeriksaan untuk
menyingkirkan diagnosis lain, diantaranya :
1. Finkelstein Test
Test dilakukan untuk mendeteksi adanya sindrom De
Quervain. Pada kondisi ini terjadi peradangan pada tendon EPB dan
APL yang berada dalam satu selubung tendon. Finkelstein dengan
cara pasien mengepalkan tangannya, dimana ibu jari diliputi oleh
jari-jari lainnya selanjutnya pemeriksa menggerakkan wrist pasien
ke arah ulnar deviasi (Abduksi Ulnar). Positif jika timbul nyeri yang
hebat pada kedua tendo otot tersebut tepatnya pada procesus
styloideus radial. Yang memberikan indikasi adanya tenosynovitis
pada ibu jari.
2. Test Phalen
Apabila terdapat penyempiatan pada terowongan carpal
dipergelangan tangan bagian volar yang dilintasi cabang nervus
madinus, maka penekukan di wrist joint akan menimbulkan rasa
nyeri atau parestisia dikawasan n. medianus. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara palmar fleksi kedua wrist, lalu saling
tekankan kedua dorsum manus satu dengan lainnya sekuat-kuatnya.
3. Tes Tinel
Tes ini dilkukan dengan cara melakukan
pengetokan/penekanan pada ligamentum volare pergelangan tangan
atau pada n. medianus akan menimbulkan nyeri kejut didalam
tangan serta arestesia dikawasan n. medianus apabila
terowongankarpal menyempit seperti halnya dengan sindrom carpal
tunel, meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang menunjang
diagnosis Trigger Finger. Jika ada kecurigaan tentang kondisi, adanya
diagnosis yang terkait, seperti diabetes, rheumatoid arthritis, atau penyakit
lain pada jaringan ikat, antara lain, hemoglobin glikosilasi (HgbA1c), gula
darah puasa, atau faktor rheumatoid harus diperiksa. Secara umum, tidak
ada pencitraan yang diperlukan dalam kasus jari Trigger Finger. Tidak ada
tes lebih lanjut yang biasanya diperlukan (Makkouk et al, 2010).
G. TATALAKSANA
1. Farmakologis
Menurut Makkouk et al, 2010, tatalaksana farmakologis pada Trigger
Finger bertujuan untuk mengurangi peradangan dan rasa nyeri yang
dialami, sehingga obat yang dapat diberikan diantaranya :
- Analgesik
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
- Injeksi kortikosteroid
2. Non-farmakologis/Rehabilitasi Medik
Trigger Finger merupakan kondisi yang umumnya menyebabkan
gangguan fungsional yang signifikan. Sehingga dibutuhkan intervensi
terapi yang diidentifikasikan dalam rencana perawatan yang lebih luas,
seperti ROM atau penguatan otot. Intervesni terpilih yang dapat
digunakan pada kasus Trigger Finger ini adalah Infrared, Ultrasound
dan Terapi Latihan berupa Hold Relax (Hanifa & Rahman, 2021).
a. Infrared
Infrared merupakan bentuk energi elektromagnetik yang tak
terlihat. Radiasi Infrared dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok berdasarkan panjang gelombang yaitu Infrared dekat
(NIR 0.8 -1.5µm). radiasi Infrared dapat memungkinkan beberapa
bentuk energi untuk dihantarkan ke jaringan subkutan sekitar 2-
3cm tanpa pemanasan yang berlebih. Mekanisme Infrared sinar
yang dihasikan oleh Infrared dapat memberikan efek menurunya
ketegangan otot, kekakuan sendi meningkatkan aliran darah dan
merileksasikan sisytem saraf, penurunan nyeri dipengaruhi oleh
keluarnya endorphin, peningkatan serotonim dan efek anti
inflamasi.
b. Ultrasound
Ultrasound juga termasuk jenis thermotrapy (terapi panas)
yang berfungsi untuk mengurangi nyeri yang dirasakan didalam
tubuh baik nyeri berat maupun ringan. Terapi Ultrasound (US) ini
merupakan salah satu terapi dengan menggunakan tranduser yang
didalamnya mampu memproduksi gelombang suara. Ultrasound
(US) mempunyai gelombang suara tinggi dengan frekuensi 1 atau
3 Mhz (>20.000 Hz).
c. Hold Relax
Hold Relax Exercise merupakan salah satu dari beberapa terapi
latihan yang dapat digunakan untuk modalitas fisioterapi untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi. Penguluran dengan adanya
konstraksi isometrik otot antagonis. Gerakan kearah agonis
menjadi lebih mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal
untuk meningkatkan lingkup gerak sendi.
3. Pembedahan
Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger.
Indikasi untuk perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan
konservatif untuk mengatasi rasa sakit dan gejala. Dalam prosedur ini,
sendi MCP adalah hyperextensi dengan telapak ke atas, sehingga
membentang keluar katrol A1 dan pergeseran struktur neurovaskular
bagian punggung. Setelah klorida dan etil disemprotkan lidokain
disuntikkan untuk manajemen nyeri, jarum dimasukkan melalui kulit
dan ke katrol A1. Tingkat keberhasilan telah dilaporkan lebih dari 90%
dengan prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera saraf
atau arteri (Makkouk et al, 2010).