PENDAHULUAN
1.1 Sejarah
Penyakit kusta telah dikenal sejak zaman purbakala sejak tahun 2000 sebelum
masehi. Pada waktu itu masyarakat tidak mengetahui penyebabnya, hanya diketahui
kutukan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan. Pada zaman tersebut penderita
kusta mengasingkan diri atau diasingkan karena merasa rendah diri, dijauhi masyarakat
dan masyarakat merasa jijik dan takut. Pada zaman pertengahan, sekitar abad ke-13,
dengan adanya keteraturan ketatanegaraan di Eropa yang feodal dan obat-obatan belum
ditemukan, pengasingan terhadap penderita kusta semakin ketat dan dipaksa tinggal di
perkampungan (koloni) kusta, disebut Leprosaria, seumur hidup. Pada zaman modern,
setelah kuman kusta ditemukan oleh Gerhard Armaeur Hansen pada tahun 1873, maka
dimulailah upaya pencarian obat anti kusta dan penanggulangannya. Di Indonesia, dr.
1.2 Epidemiologi
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan penduduk maka penyakit
ini bisa menyerang dimana saja. World Health Organization (WHO) mencatat awal
tahun 2011 dilaporkan prevalensi kusta di seluruh dunia sebesar 192.246 kasus. World
setelah India dan Brazil dengan prevalensi kusta hingga akhir trimester awal tahun 2011
sebesar 19.785. Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah dengan
penyebaran yang tidak merata. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga mereka
dan hanya beberapa persen saja yang tinggal di rumah sakit kusta, koloni penampungan
Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan
jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910 Penderita Kusta
(angka penemuan Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000 penduduk). Eliminasi
Kusta telah dicapai di 24 provinsi (Gambar 2.1) dan 142 Kab/Kota (Gambar 2.2).
Gambar 2.1
Capaian Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia
Gambar 2.2
Capaian Eliminasi Kusta Tingkat Kab/Kota di Indonesia
Distribusi menurut waktu seperti terlihat pada Gambar 2.3 di bawah. Angka
prevalensi dan penemuan penderita baru Kusta cenderung statis tiap tahunnya.
Gambar 2.3
Trend Penderita Kusta di Indonesia Tahun 2011-2018
3. Distribusi Penderita Kusta Menurut Faktor Manusia
Ada beberapa hal yang menjadi distribusi Penderita Kusta menurut faktor manusia,
antara lain:
Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya, didapatkan
bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe Kusta. Pada negara Myanmar
kejadian Kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,
kejadian Kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik Cina dibandingkan etnik
Melayu atau India. Data menurut etnik/suku di Indonesia belum tersedia karena
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian Kusta, dan hal ini
(Permenkes,2019)
terkena penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi
sampai usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang
Penderita Kusta pada anak masih di atas 5%, yang mengindikasikan tingginya
KAJIAN PUSTAKA
2.2 Diagnosa
Tanda dan gejala bila seseorang menderita penyakit kusta antara lain; kulit
mengalami bercak putih seperti panu, namun tidak gatal. Bercak yang pada awalnya
terlihat sedikit, semakin lama akan semakin besar, lebar dan banyak. Tanda lainnya
yaitu adanya bintil-bintil kemerahan pada kulit, salah satu bagian tubuh penderita ada
yang tidak berkeringat, rasa kesemutan, muka benjol dan tegang atau bisa disebut facies
leonina (muka singa), dan mati rasa karena syaraf tepi yang rusak. Pada tahap awal
kusta, gejala yang muncul hanya berupa kelainan warna pada kulit. Kelainan kulit
tersebut dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit lebih
terang), hiperpigmentasi (warna kulit menjadi lebih gelap), dan eritematosa (warna kulit
kemerahan). Gejala umum pada kusta dapat berupa reaksi panas, menggigil, anoreksia,
Diagnosa secara pasti untuk menetapkan penyakit Kusta dapat dilakukan dengan
mencari tanda-tanda pokok atau cardinal signs pada badan yaitu berupa:
4. Adanya kuman yang tahan asam didalam korekan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kusta apabila memiliki dua atau lebih
tanda gejala pokok kusta atau bila terdapat BTA positif. Namun, orang tersebut
dianggap sebagai kasus dicurigai (suspect) apabila kita tidak yakin dan harus diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat ditegakkan sebagai penyakit kusta atau
penyakit lain. Untuk melakukan diagnose lengkap dilaksanakan hal-hal sebagai berikut
di bawah ini:
1. Anamnese
a. Pemeriksaan kulit
3. Pemeriksaan bakteriologis.
4. Pemeriksaan histopatologis
Gambaran klinis pada organ tubuh lain yang dapat diserang oleh kuman M. leprae:
superfisial dengan suhu relatif dingin. Saraf tepi yang dapat terserang akan
c. N. aurikularis magnus
e. N. ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari VI
f. N. medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III dan sebagian jari
IV. Kerusakan N. ulnaris dan N. medianus menyebabkan jari kiting (claw toes) dan
h. N. tibialis posterior: anestesi telapak kaki dan jari kaki kiting (claw toes).
dari 1 per 10.000 penduduk di semua kabupaten, dan kesinambungan program kusta di
seluruh wilayah. Ditempuh melalui kebijakan deteksi dini kasus kusta dan pengobatan
dengan MDT, mencegah kecacatan, mengubah image (pandangan) masyarakat luas dan
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak
mampu merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit hilang. Penderita yang sudah
dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut.
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur maka kuman kusta dapat menjadi
aktif kembali sehingga, timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang makin
memperburuk keadaan. Oleh karena itu, pengobatan sedini mungkin dan teratur
memegang peranan penting. Selama dalam masa pengobatan penderita dapat terus
Pengobatan kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal
(monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk
MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya
resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter Pada tahun 1964
ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan
Multi Drug Therapy MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta yaitu
penyakit kusta yang diderita serta usia penderita kusta. Ada beberapa kelompok
b. Penderita ulangan yaitu penderita yang mengalami relaps, masuk kembali setelah
default (PB atau MB), serta pindahan dan berganti tipe kusta. (Permenkes, 2019)
c) Satu blister untuk 1 bulan dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9
bulan.
rifampisin 300 mg (600 mg), 3 tablet lampren 100 mg (300 mg), 1 tablet
c) Satu blister untuk 1 bulan dibutuhkan 12 blister yang di minum selama 12- 18
bulan.
bulan.
d)
dapson/DDS 50 mg.
c) Satu blister untuk 1 bulan dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12- 18
bulan 23
d) Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister
- Lampren: 1 mg/kgBB
Sediaan dari MDT telah dibuat berdasarkan jenis dari penyakit kusta yang diderita
a. Regimen PB berwarna hijau: didalam 1 blister terdiri atas Rifampisin 600 mg/bulan
18 bulan.
c. Dosis MDT menurut umur: penderita kusta anak usia 10-14 tahun tersedia blister
berwarna biru untuk kusta tipe PB sementara blister berwarna kuning untuk kusta
20 tipe MB. Lama pengobatan disamakan dengan blister untuk dewasa tetapi dosis
a. Rifampisin : Masalah ringan yaitu air seni berwarna merah, penanganannya dengan
cara menenangkan penderita dan memberi konseling. Untuk masalah berat yaitu
alergi uritkaria, ikterus (kuning), shock, purpura, dan gagal ginjal, penanganannya
b. Clofazimin : Masalah yang muncul yaitu masalah ringan dengan tanda perubahan
c. Dapson : Masalah ringan yang muncul yaitu anemia, penganan untuk masalah ini
yaitu dengan memberikan tablet Fe dan Asam Folat. Untuk masalah berat yaitu
ruam kulit yang gatal dan alergi uritkaria, penanganannya yaitu dengan
d. Masalah ringan yang muncul akibat mengkonsumsi ketiga obat tersebut yaitu
berbagai komponen respon imun (7). Perjalanan penyakit kusta tergantung pada faktor
individu yang dapat mempengaruhi respon imun inang. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kusta adalah faktor inang, bakteri M. leprae, dan faktor lingkungan, termasuk status gizi
pasien. Kekurangan berbagai vitamin dan elemen dilaporkan mempengaruhi respons imun
terhadap patogen (8). Vitamin A dan prekursornya, asam retinoat dan β-karoten, adalah
antioksidan non-enzimatik yang penting bagi tubuh. Nutrisi ini dapat berinteraksi dengan
radikal bebas, seperti peroksil, menghambat peroksidasi lipid, dan hidroperoksida melalui
stabilisasi radikal peroksil. Vitamin A diketahui memiliki peran yang tak tergantikan dalam
mengatur berbagai komponen respon imun, termasuk kekebalan bawaan dan didapat (seluler
dan humoral) (9). Vitamin A juga mengatur banyak komponen dalam respons imun, termasuk
respons imun bawaan dan didapat. Dalam respons imun bawaan, kekurangan vitamin A
dikaitkan dengan penurunan fagositosis dan aktivitas ledakan oksidatif makrofag. Penelitian
sebelumnya telah membuktikan penurunan konsentrasi serum vitamin A pada kusta, terutama
pada pasien kusta lepromatosa, di mana terdapat depresi respon imun Th1 dan replikasi M.
leprae pada makrofag dan didominasi oleh respon humoral. Kadar vitamin A lebih rendah
pada kusta tipe MB dibandingkan kusta tipe PB. Semakin tinggi indeks bakteri, semakin
rendah kadar vitamin A pada pasien kusta. Pengurangan antioksidan ini, dikombinasikan
dengan kondisi sosial yang miskin serta kekurangan gizi ditemukan Pada sebagian besar
pasien kusta, dapat berkontribusi untuk mengurangi tingkat keberhasilan dalam pengobatan
dan pemulihan pasien ini. Pengenalan diet atau Terapi antioksidan yang dilengkapi dengan
vitamin dan mineral bisa bermanfaat bagi pasien, melemahkan tindakan toksik yang
disebabkan oleh ROS dan mendamaikan perawatan dan pemulihan yang disesuaikan,
sehingga mungkin meningkatkan kualitas hidup pasien (10). Sumber vitamin A yang bisa
didpatkan dan dikonsumsi antara lain hati, kuning telur, ubi jalar orange, wortel, bayam,
1. Amirudin, MD, Hakim, Z & Darwis, E. 2003, “Diagnosis Penyakit Kusta” dalam
Sjamsoe-Daili, ES, et al. (eds.), Kusta, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Regan MO, Keja J (eds.). 2012. “Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/3163
7. Dwivedi VP, Banerjee A, Das I, et al. Diet and nutrition: An important risk factor in
doi:10.1016/j.micpath.2019.103714
10.15562/bmj.v10i2.2460