Anda di halaman 1dari 25

MORBUS HANSEN

(LEPRA, KUSTA)
AFAF NIDA RAFIFAH
10119230147
DEFINISI

• Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.
EPIDEMIOLOGI

• Masalah epidermiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya
berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan
kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.

• Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, ratarata 3-5
tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia,
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta
ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi
penyakit tiap-tiap negara maupun di dalam satu negara sendiri temyata berbeda-beda. Demikian pula
penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum jelas
benar.
EPIDEMIOLOGI

• Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara


penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar
manusia. Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta masa dulu, tetapi meskipun
demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan
tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.
• Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. leprae.
Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya
kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak
(sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung
107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.
EPIDEMIOLOGI

• Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak nengandung
M. Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha
pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan
ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara
25-35 tahun.
EPIDEMIOLOGI

• Kusta terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan
subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan. Didapatkan variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang
mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa.
Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.
• Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan
prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini
dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).
EPIDEMIOLOGI

• Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan
tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah
kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat
permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar
17 .441 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.
• Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya
saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf
besar yang ire-versibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan
adanya kerusakan yang berulangulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi
otot.
ETIOLOGI

• Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8µm x 0,5 µm, tahan asam
dan alkohol serta positif-Gram.
PATOGENESIS

• Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan
berkembang biak di sekitartempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi
maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat
tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau melampaui
jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.
• lnokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga
kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh kuman
terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.
Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu
postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.
PATOGENESIS

• Sebenamya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang
lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitasnya infeksinya.
GEJALA KLINIS

• Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan


serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit,
sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
(Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang
sesuai.
• Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas
selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Agar proses selanjutnya
lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.
GEJALA KLINIS

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum


determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas
pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:

• TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

• Ti : Tuberkuloid indefinite

• BT : Borderline tuberculoid

• BB : Mid borderline

• BL : Borderline lepromatous

• Li : Lepromatosa indefinite

• LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil


GEJALA KLINIS

• Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar,
yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah
tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga
merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti
dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih
tipe, baik ke arah TI maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai
klasifikasi dapat dilihat pada tabel 11-1.
GEJALA KLINIS

• Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I. Diagnosis
banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 11-2 dan 11-3.
• Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang
termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TI dan BT
dengan IB kurang dari 2+.
• Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah te~adi perubahan klasifikasi. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TI dan BT menurut klasifikasi Ridley- Jopling.
GEJALA KLINIS
GEJALA KLINIS

• Bila pada tipe-tipe tersebut disertai STA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB.
Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apa pun klasifikasi
klinisnya dengan STA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Karena pemeriksaan
kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih
menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena.
Hal ini tercantum pada tabel 11-4.
• Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan
maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil
pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan
pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis kl inis di wajah berbeda
dengan tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun
dapat berbeda tipenya, umpamanya di sisi kiri berbeda dengan sisi kanan. Begitu pula dasar
diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya
diambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi,
lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas, tabung
reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan sebagainya.
GEJALA KLINIS

• Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.
Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting
bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli
kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi kelainan kulit yang
masih berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa.
• Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infitrat saja, atau keduanya. Buatlah diagnosis banding dengan banyak penyakit kulit
lainnya yang hampir serupa, sebab penyakit kusta ini mendapat julukan the greatest
imitator dalam ilmu Penyakit Kulit. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai
diagnosis banding antara lain dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis
alba, dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.
GEJALA KLINIS

• Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba
dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap
rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
• Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila
dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di
daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki
kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan Voluntary Muscle Test (VMT).
GEJALA KLINIS

• Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,


ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris,
N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi
memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe ke arah lepromatosa
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan
sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
• Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius alas, tulangtulang
jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer,
terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi,
mutilasi tangan dan kaki.
GEJALA KLINIS

• Gejala-gejala kerusakan saraf : • N. radialis:


• N. ulnaris:
• - anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
• - anestesia pada ujung jari anterior kelingking
telunjuk
• dan jari manis

• - clawing kelingking dan jari manis • - tangan gantung (wrist drop)


• - atrofi hipotenar dan otot interoseus serta • - tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
• kedua otot lumbrikalis medial.
• tangan.
• N. medianus:

• - anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,


• N. poplitea lateralis:

• telunjuk, dan jari tengah • - anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
• - tidak mampu aduksi ibu jari
• dorsum pedis
• - clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah


• - kaki gantung (foot drop)
- ibu jari kontraktur

• - atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral • - kelemahan otot peroneus
GEJALA KLINIS

• N. tibialis posterior:
• Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer
• - anestesia telapak kaki
dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
• - claw toes

• - paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus


pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
• pedis mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
• N. fasialis: disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat
• - cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum
• lagoftalmus
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
• - cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
• N. trigeminus: kerusakan bagianbagian mata lainnya. Secara
• - anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva
sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
• mat a
menyebabkan kebutaan.
• - atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
GEJALA KLINIS

• lnfiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan
oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
• Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu cara
membuat diagnosis kedua bentuk polar TI dan LL yang akan diuraikan secara skematis
(tabel 11-1 ).
• Bentuk campuran mempunyai sifat campuran antara kedua bentuk polar tersebut. Pada
gambar 11-2 dapat dilihat hubungan masing-masing antara spektrum kusta dengan
pemeriksaan bakterioskopik, SIS, dan tes Mitsuda (Gambar 11-2).
GEJALA KLINIS

• Kusta histoid

• Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus
yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisten.

• Kusta tipe neural

• Kusta tipe neural murni mempunyai tanda sebagai berikut :

1. tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit

2. ada satu atau lebih pembesaran saraf

3. ada anestesia dan atau paralisis, serta

4. atrofi otot pada daerah yang disarafinya

5. bakterioskopik negatif

6. tes Mitsuda umumnya positif

7. untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau


nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.
PENUNJANG DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


• Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwamai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (STA), antara
lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
• Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga
ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin . Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat
dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh
karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling
banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
ditempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.
PENUNJANG DIAGNOSIS

• Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu
gambaran sediaan. lrisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal
clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow
(sel lepra) yang di dalamnya mengandung kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu
dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwamai dengan pewamaan yang
klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl
Neelsen dan cara-cara lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan
dengan keadaan setempat.

Anda mungkin juga menyukai