Anda di halaman 1dari 26

STEP 1

GCS (Glasgow coma scale) : skala neurologi yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesadaran,
umumnya digunakan setelah adanya cidera kepala dan memberikan pertolongan darurat medis
,memiliki 3 komponen yaitu mata verbal motoric.

Bone Window : Merupakan jenis metode CT scan, digunakan untuk memperlohatkan struktur jarringan
tulang pada daerah thoraks

STEP 2

1. Kenapa pasien bisa pingsan? Bagaimana mekanismenya?


2. Mengapa pasien mengalami pingsang yang berulang?
3. Apa hubungan alcohol dan gula darah dengan kondisi pasien?
4. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan CT scan dan bone window?
5. Apa etiologic dan faktor resikonya?
6. Apa Dx dan DD nya?
7. Bagaiamana interpretasi hasil pemeriksaan?
8. Apa pemeriksaan penunjangnya?
9. Bagaimana tatalaksana dari scenario?
10. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?

Step 3

1. Kenapa pasien bisa pingsan? Bagaimana mekanismenya?


Karnan ada benturanmengenai system ARASsistem ARAS terganggu pingsan.
Sistem ARAS Menerima dan mengintegrasikan impuls sensorik dari luar.
Kesadaran ditentukan oleh fungsi kortesk serebri dengan sistem ARAS yang terletak dibagian
atas pons, aras akan menerima serabut saraf dari jarass sensoris, dan thalamus nuclei
dipancarkan secara difus kekedua korteks serebri, system aras menjaga fungsi kortesk
serebri agar tetap sadar, korteks serebri berperan pada system saraf pusat mengenai
kesadaran.
2. Mengapa pasien mengalami pingsang yang berulang?
Saat kecelakaan kemungkinan terbentur dan akan menganggu dari system ARAS (system on
off dalam tubuh) sehingga dapat terjadi pingsan yang berulang.

3. Apa hubungan alcohol dan gula darah dengan kondisi pasien?


Hubungan dengan Gula darah: system Aras juga berperan dalam aliran darah, dicurigai
adanya hipoglikemia. Diperiksa untuk mengetahui pingsan dikarenakan oleh efek gula darah
atau karna kecelakaan yang terjadi.
Hubunagn dengan alcohol: salah satu efek alcohol menurunkan kesadaran, Diperiksa untuk
mengetahui pingsan dikarenakan oleh efek alcohol atau karna kecelakaan yang terjadi.

4. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan CT scan dan bone window?


Karna dari trauma atau kecelakaan yang terjadi, dicurigai adanya fraktur dan perdarahan
sehingga dilakukan ct scan dan bone window. Ct scan digunakan sebagai prognosa cidera
kepala pada pasien dan melihat kelainan lainnya yang berhubungan.

5. Apa etiologic dan faktor resikonya?


Etiologi : Adanya benturan keras terutama mengenai kepala.
Faktor resiko : usia
6. Bagaiamana interpretasi hasil pemeriksaan?
GCS : E2M2V2
HR : Meningkat
RR: Meningkat
TD : Menurun
Suhu : Normal

7. Apa Dx dan DD nya?


Dx : Trauma Capitis (Trauma dapat disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung)
DD :

8. Apa pemeriksaan penunjangnya?


Ct scan : melihat ada tidaknya fraktur
Mri : digunakan setelah ct scan
Gula darah : mengetahui karna penyebab metabolisme
Foto rontgen : proyeksi AP lateral

9. Bagaimana tatalaksana dari scenario?


10. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?
1. Hematom Epidural
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam
3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
- TIK meningkat
- Cephalgia memberat
- Kesadaran menurun
11. Bagaimana struktur anatominya ? (dilengkapi gambar)
Lapisan pembungkus dan pelindung otak
Skin, subcutaneous, apponeurosis gallea (lapisan dari jaringan fibrosa tapi dapat digerakan
dengan bebas, seperti helm, dibawah Ap. Gallea terdapat v.diploid merupakan vena yang
mudah terkena infeksi) jaringan ikat, perikranium.
Bila terjadi perdarahan dari arteri meningea dapat terjadi epidural hematoma.
Lapisan meningeas : duramater (dekat dengan tubula interna) piamater (membrane halus
yang memiliki banyak vaskularisasi dpat sebagai penyokong plexus.
Ruang subdural : ruang diantara duramater dan arachnoid, pada saat ada perdarahan p.
darah rupture dan terlihat pada saat hematoma. Acending articular terletak di tentorium
cerebelli, ruang subarachnoid berfungsi sebagi sirkulasi dari lcs,

Step 4
Step 7

1. Bagaimana Struktur anatominya?

Jawab :

FORMASIO RETIKULARIS
 Suatu anyaman neuron-neuron yang saling berhubungan yang meluas di
seluruh batang otak dan masuk ke dalam talamus  membentuk reticular
activating system (RAS) yang
mengontrol derajat keseluruhan
kewaspadaan korteks dan penting dalam
kemampuan untuk mengarahkan
perhatian
 Jaringan ini menerima dan
mengintegrasikan semua masukan
sinaptik sensorik yang datang.
 Serat-serat asendens yang berasal dari
formasio retikularis membawa sinyal ke
atas untuk membangunkan dan
mengaktifkan korteks serebrum.
 Sebaliknya, serat-serat desendens dari
korteks, terutama daerah motoriknya,
dapat mengaktifkan RAS.

Keadaan kesadaran sesuai urutan penurunan tingkat keterjagaannya, didasarkan


pada tingkat interaksi antara rangsangan perifer dan otak:
■ Kewaspadaan maksimal
■ Terjaga
■ Tidur (beberapa jenis)
■ Koma
Kewaspadaan maksimal bergantung pada masukan sensorik pembangkit-
perhatian yang "memberi energi" untuk RAS dan selanjutnya tingkat aktivitas SSP
secara keseluruhan. Di ekstrim yang lain, KOMA adalah kehilangan total
responsivitas seorang yang hidup terhadap rangsangan luar, disebabkan oleh
kerusakan batang otak yang mengganggu RAS atau oleh depresi luas korteks
serebrum, misalnya yang menyertai kekurangan O2.

- secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan efektif


antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat
digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus
terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa
seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu bereaksi secara
optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh.
Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh
terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta
sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal
bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh
yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi
dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera mengantisipasi untuk
kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil
dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan
korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.

- Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak.


Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal
centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan
desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas waspada.
Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan
nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan.
Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi,
yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif kembali
ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul keadaan
siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan kondisi ini,
sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut.
- Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran
pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input
spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik,
propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada
tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina dan
sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer. Impuls aferen
spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya
spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan
atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang
kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui
lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuron- neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris thalamus
(dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara multisinaptik,
unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls
yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai
diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang
digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban
kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari
titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada
kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah yaitu substansia retikularis yang
mengandung lintasan non-spesifik difus, yang menimbulkan “kesadaran” dalam
korteks serebri.
- Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau
neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial
aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara kehidupan
neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses biokimiawi, karena
derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif.
Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun
penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran.

Yudy Goysal. Kesadar Menurun (Koma).Bagian/ SMF Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
2. Kenapa pasien bisa pingsan? Bagaimana mekanismenya?

Jawab : Kesadaran membutuhkan fungsi normal dari kedua hemisfer serebri


dan ascending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari midpons ke
hipotalamus anterior

FORMASIO RETIKULARIS
 Suatu anyaman neuron-neuron yang saling berhubungan yang meluas di seluruh
batang otak dan masuk ke dalam talamus  membentuk reticular activating
system (RAS) yang mengontrol derajat keseluruhan kewaspadaan korteks dan
penting dalam kemampuan untuk mengarahkan perhatian
 Jaringan ini menerima dan mengintegrasikan
semua masukan sinaptik sensorik yang datang.
 Serat-serat asendens yang berasal dari formasio
retikularis membawa sinyal ke atas untuk
membangunkan dan mengaktifkan korteks
serebrum.
 Sebaliknya, serat-serat desendens dari korteks,
terutama daerah motoriknya, dapat mengaktifkan
RAS.

Keadaan kesadaran sesuai urutan penurunan tingkat


keterjagaannya, didasarkan pada tingkat interaksi
antara rangsangan perifer dan otak:
■ Kewaspadaan maksimal
■ Terjaga
■ Tidur (beberapa jenis)
■ Koma
Kewaspadaan maksimal bergantung pada masukan sensorik pembangkit-perhatian
yang "memberi energi" untuk RAS dan selanjutnya tingkat aktivitas SSP secara
keseluruhan. Di ekstrim yang lain, KOMA adalah kehilangan total responsivitas
seorang yang hidup terhadap rangsangan luar, disebabkan oleh kerusakan
batang otak yang mengganggu RAS atau oleh depresi luas korteks serebrum,
misalnya yang menyertai kekurangan O2.

3. Mengapa pasien mengalami pingsan yang berulang?

Jawab : Lucid interval: Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Lucid
interval ini terjadi pada cedera primer yang ringan karena kalau yang cedera primer yang
berat dia bakal ga sadar terus dari awal ga pake fase sadar

Fraktur tulang tengkorak (daerah temporal)  salah satu cabang arteri meningea media
(arteri ini masuk melalui foramen spinosum dan berjalan antara durameter dan tulang di
permukaan dan os temporale) robek akan terjadi perdarahan  meimbulkan perdarahan
epidural  lama lama akan terjadi desakan oleh hematoma  duramater akan lepas lebih
lanjut dari tulang  hematom tambah besar. Karena perdarahan ini bersal dari arteri,
maka darah akan terus terpompa keluar hingga lama lama hematom makin besar terus
nanti tekanan intrakranial meningkat  hipoksia/iskemik otak  penurunan kesadaran

Sumber: HUBUNGAN GLASGOW COMA SCALE DENGAN GLASGOW


OUTCOME SCALE BERDASARKAN LAMA WAKTU TUNGGU OPERASI PADA
PASIEN PERDARAHAN EPIDURAL oleh Ewi Astuti, Syaiful saanin. MKA, Vol. 39,
No.2, Agustus 2016
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih
dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor
serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial
akan meningkat 10-15 mmHg.
Jadi pada awalnya tidak terjadi penurunan kesadaran, tapi seiring dengan peningkatan
oedem tersebut terjadi dekompensasi yang berakibat penurunan kesadaran.
Sumber : Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000

 Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. 1) Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
 Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Lebih lanjut keadaa Trauma
kepala menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri
kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya
perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.
 Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Masa
antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut lucid interval. Lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada epidural hematom. Sementara pada subdural hematoma cedera
primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak akan mengalami lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. Hal ini juga dapat dilihat pula pada
pasien dimana pasien mengalami kecelakaan dan terjadi pingsansadar 
penurunan kesadaran, ini khas tanda-tanda lusit interval dimana terjadi pada
epidural hematom. Dimana tekanan intracranial dapat meningkat jika ada
perdarahan intracranial (EDH, SDH, kontusio otak, PSA, ICH), edema otak,
tumor otak, dan hidrosefalus. Akibat dari adanya peningkatan TIK  akan
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke otak  sehingga timbul
iskemia otak. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang
menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang
menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.
 Peningkatan tekanan intrakranial
Terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak
dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu
atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses
kompensasi agar volume otak tetap konstan  Pasien dengan cedera kepala dapat
mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral  sehingga akan dapat terjadi
penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi  maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral
 Kemudian herniasi serebral ini dapat menekan organ-organ vital otak, seperti
batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun
kardiovaskuler.
Sumber : HUBUNGAN GLASGOW COMA SCALE DENGAN GLASGOW OUTCOME
SCALE
BERDASARKAN LAMA WAKTU TUNGGU OPERASI PADA PASIEN
PERDARAHAN EPIDURAL p-ISSN: 0126-2092; e-ISSN: 2442-5230 Majalah
Kedokteran Andalas, Vol. 39, No.2, Agustus 2016, hal. 50-5, Cedera Kepala
dengan Lucid Interval Departemen Saraf Ambarawa KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”
JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

4. Apa hubungan alcohol dan gula darah dengan kondisi pasien?


Jawab :


 Alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak, sehingga
mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan terjadinya disinhibisi, ataksia dan
sedasi. Sama dengan depresan lain seperti barbiturat dan benzodiazepin, konsumsi
minuman beralkohol dalam jumlah sedang dapat menyebabkan efek antiansietas
dan menyebabkan kehilangan inhibisi perilaku dalam suatu rentang dosis yang
luas. Tanda intoksikasi pada tiap individu bervariasi, mulai dari efek eksitasi dan
meluapluap hingga perubahan mood yang tidak terkontrol dan gejolak emosi yang
dapat disertai kekerasan. Pada kasus intoksikasi yang lebih lanjut, fungsi sistem
saraf pusat secara umum akan terganggu dan kemudian menimbulkan kondisi
anestesi umum pada tubuh.
 Metabolisme alkohol menjadi senyawa acetaldehyde dalam tubuh dibagi menjadi
2 jalur, yaitu melalui jalur alkohol dehidrogenase dan melalui jalur Microsomal
Ethanol-Oxidizing System (MEOS). Acetaldehyde lalu dioksidasi menjadi asetat
oleh proses metabolisme yang ketiga. Jalur utama untuk metabolisme alkohol
melibatkan alkohol dehidrogenase (ADH), golongan cytosolic enzyme yang
mengkatalisis konversi alkohol menjadi acetaldehyde. Enzim ini terletak terutama
di hepar, namun sejumlah kecil ditemukan di organ lain seperti otak dan lambung.
Selama konversi etanol oleh ADH menjadi acetaldehyde, ion hidrogen ditransfer
dari etanol ke kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+ ) untuk
membentuk NADH. Oksidasi alkohol yang dihasilkan melebihi reducing
equivalents di hepar. Kelebihan produksi NADH berkontribusi pada gangguan
metabolisme pada alkoholisme kronis, dan merupakan penyebab dari asidosis
laktat maupun hipoglikemia pada keracunan alkohol akut.

Sumber : The Consumption of Alcohol and its Effect towards Health Topaz Kautsar
Tritama | Konsumsi Alkohol dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Majority | Volume 4 |
Nomor 8 | November 2015

5. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan CT scan dan bone window?


Jawab : CT-Scan Otak(1)
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis
mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita
secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa :
oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural,
fraktur dan lain-lain.
Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak.Indikasi pemeriksaan CT-
Scan pada penderita trauma kapitis :
c.1. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
c.2. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c.3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
c.4. Adanya kejang
c.5. Adanya tanda neurologis fokal
c.6. Sakit kepala yang menetap
( Neurologi klinis Dasar )

Setelah terjadi trauma kepala, jaringan otak dapat cedera dengan didapatkan adanya
kontusio, laserasi atau hematoma. Lesi tersebut dapat tedeteksi dengan CT scan dengan
gambaran densitas tinggi atau campuran. Dengan klasifikasi dari Traumatic Coma Data
Bank, berdasarkan gambar CT scan maka penderita dapat digolongkan perlu tindaka
operasi atau tidak perlu.
6. Apa etiologic dan faktor resikonya?
 Jawab : Etiologi
o Kecelakaan lalu lintas
o Cedera saat olahraga
o Pukulan KDRT

Trauma
o Kecelakaan , kekerasan fisik
Non trauma
o Gangguan metabolik, iskhemik global, tumor otak
 Faktor resiko
- Umur : Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun sesuai
dengan peningkatan usia
- Hipotensi dan hipoksia : Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut,
2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang
berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg),
memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
- Patah tulang kepala : Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi pada
kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna
terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal.

7. Bagaiamana interpretasi hasil pemeriksaan?


Jawab : GCS : E2M2V2:
E2: respon membuka matanya dengan respon nyeri
M2: dapat melakukan ekstensi yang abnormal
V2: suaranya mengerang
TD: Normal
HR: takikardi
Rr : takipneu
T: Normal
Pupil isokor : normal
Refleks cahaya +: normal
Nafas tdk bau alkhohol : penurunan kesadaran bukan karna alkhohol
GDS dalam batas normal, penurunan kesadaran bukan karena hipoglikemi

1. PemeriksaandenganmenggunakanGCS
a. Instrumen ini dapat diandalkan
b. Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak terdapat
perbedaan antarpenilai
c. Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan
instrumen GCS ini dengan mudah.
d. Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi) pasien yang terbaik
e. Bila seseorang sadar maka ia mendapat nilai 15
f. Nilai terendah adalah 3
8. Apa Dx dan DD nya?
Jawab : Dx : Traumatic brain injury
DD :

Tipe-tipe perdarahan intracranial

 Perdarahan extradulare
Disebabkan oleh kerusakan arterial dan diakibatkan robekan cabang-
cabang arteria meningea media, yang khususnya berada pada daerah pterion.
Darah terkumpul di antara lamina externa dura mater dan calvaria, dan meluas
pelan-pelan karena tekanan arterial
Biasanya, terdapat riwayat cedera region capitis (sering saat aktivitas
olahraga) yang menyebabkan kesadaran sedikit menghilang. Setelah cedera,
biasanya pasien kembali sadar dan mengalami suatu lucid interval untuk masa
beberapa jam. Setelah itu pasien cepat mengantuk diikuti penurunan kesadaran,
yang dapat menuju pada kematian

 Hematoma subdulare
Hematoma subdulare dihasilkan oleh perdarahan di dalam lapisan seluler
perbatasan dura. Hematoma diakibatkan perdarahan vena, biasanya dari venae
cerebri yang robek, saat venae memasuki sinus sagitalis superior
Pasien yang beresiko tinggi mengalami hematoma subdurale adalah
dewasa muda dan orang tua. Biasanya riwayat klinis meliputi cedera biasa yang
diikuti oleh hilangnya kesadaran atau perubahan kepribadian
 Perdarahan subarachoidea
Khususnya perdarahan subarachnoidea diakibatkan pecahnya aneurisma
intracerebrale yang berasal dari pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai dan
di sekitar circulus arteriosus cerebri (dari willis), tetapi dapat terjadi pada pasien
yang mengalami cedera cerebri yang bermakna

Sumber: Gray’s Basic Anatomy

Cedera Kepala Ringan


Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatic < 24 jam
GCS 13 -15
Cedera Kepala Sedang
Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam
Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari
GCS 9-12
Cedera Kepala Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatic > 7 hari
GCS 3-8

9. Apa pemeriksaan penunjangnya?


 Jawab : Pemeriksaan penunjang :
 Umumnya diperlukan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala. CT scan
kepala dipilih bila dicurigai adanya trauma kepala dengan komplikasi
perdarahan intrakranial, tumor atau massa di daerah supratentorial.
 MRI kepala dipilih bila dicurigai adanya kelainan di daerah serebelum,
batang otak, atau medula spinalis.
 Pungsi lumbal harus dilakukan bila terdapat dugaan adanya infeksi
susunan saraf pusat.
 Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) digunakan untuk mendiagnosis
kejang tanpa adanya konvulsi.
 foto polos kepala. foto polos kepala memiliki sensitivitas dan spesiñsitas
rendah dalam mendeteksi perdarahan intrakranial.

a) Angiography cerebral dapat memperlihatkan gambaran yang pathognomonik dari perdarahan


subdural, epidural atau intracerebral.
b) Pneumogram bermanfaat dalam memperlihatkan dilatasi, pergeseran, atau distorsi ventrikel yang
terjadi setelah cedera kepala
c) Electroencephalography dapat menjadi pembantu diagnosis dan prognosis pada kasus-kasus
tertentu.
d) Echoencephalogram dapat menunjukkan adanya pergeseran garis tengah sebagaimana halnya
pada contusio otak, hematoma, dan edema cerebri.
e) Brain scanning dapat memperlihatkan peningkatan uptake isotop di daerah hematoma, kontusio,
atau edema.
f) Psikometri sangat berguna setelah fase akut dalam menilai derajat dan tipe defisit organik

(Buku Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional), Patofisiologi. Sylvia. EGC


10. Bagaimana tatalaksana dari scenario?
Jawab : Tata laksana awal pada penurunan kesadaran dilakukan untuk mencegah kerusakan
otak lebih lanjut, sambil menunggu kepastian diagnosis lebih lanjut. Mempertahankan jalan
napas yang adekuat sehingga mencegah iskemia jaringan otak tetap merupakan prinsip paling
penting. Bila dibutuhkan maka dapat diberikan bantuan ventilasi mekanik. Mempertahankan
fungsi kardiovaskular dengan mempersiapkan akses intravaskular dengan baik. Anak dengan
penyebab koma yang belum jelas penyebabnya, dilakukan pemeriksaan gula darah dextrostick
atau diberikan langsung dekstrosa 25% sebanyak 1 – 4 ml/ kgBB sambil memperhatikan
responnya. Bila didapatkan perbaikan dramatis, selanjutnya diberikan infus glukosa 10%.
Kesadaran yang tidak pulih setelah pemberian infus dekstrosa, menyingkirkan adanya
hipoglikemia.
 Peningkatan tekanan intrakranial harus diturunkan dengan pemberian manitol 20% per drip
intravena dengan dosis 0,5 – 1,0 gram /kg selama 30 menit setiap 6 – 8 jam. Nalokson diberikan
bila dicurigai adanya overdosis narkotika, atau apabila telah selesai kita curiga adanya
hipoglikemia.

 TINDAKAN BEDAH
Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa pertimbangan dan berbeda
pada setiap jenis trauma kapitis. Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi hematoma perlu
dipertimbangkan apabila ditemukan hematoma dengan volume melebihi 25 cm3 pada hasil CT-
scan. Meskipun demikian indikasi pembedahan pada cedera kepala tidak hanya berdasarkan
hasil CT-scan saja tetapi juga adanya perburukan klinis dan lokasi lesi. Semua luka
penetrasi/tembus merupakan indikasi pembedahan.

Sumber : Penurunan Kesadaran : Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PENDIDIKAN
KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXI Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM Cetakan Pertama 2012 ISBN 978-979-8271-39-7 Indikasi Pembedahan pada Trauma
Kapitis CDK-236/ vol. 43 no. 1, th. 2016.
a) Pasien Dalam Keadaan Sadar (GCS : 15)

1. Simple Head Injury (SHI)

Pasien biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita
mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).

b) Pasien Dengan Kesadaran Menurun

1. Cedera kranioserebral ringan (GCS : 13-15)

Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa


disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto
kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien
disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai
kemungkinan hematoma intracranial misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:
• Orientasi (waktu dan tempat) baik
• Tidak ada gejala fokal neurologik
• Tidak ada muntah atau sakit kepala
• Tidak ada fraktur tulang kepala
• Tempat tinggal dalam kota
• Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS

2. Cedera kranioserebral sedang (GCS : 9-12)

Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.


Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil tanda fokal serebral, dan cedera organ lain.
Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher
dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan.
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya.
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial.
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya

3. Cedera kranioserebral berat (GCS : 3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di
samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera
kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni
akibat gangguan kardiopulmoner.

1. Airway
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.

2. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi per-napasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• jika perlu pakai ventilator

3. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
4. Disability, pada disability lakukan pemeriksaan neurologis dasar yang disebut
AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Pain stimuli response, Unresponsive)
5. Exposure pasien dicek secara menyeluruh. Buka pakaian penderita, cegah
hipotermia(beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat)

11. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?


Jawab :

Komplikasi sistemik terutama disebabkan oleh kondisi hipoksemia, hipotensi, hipertensi,


hiperglikemia dan hipoglikemia [Jeremitsky et al, 2003). Diantara komplikasi sekunder
tersebut, hiperglikemia merupakan salah satu hal yang sering terjadi dan berhubungan
dengan derajat cedera dan hasil luaran pasien [Rovlias and Kotsou, 2000). Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hiperglikemia berperan penting dalam
mempercepat keburukan hasil klinis pada trauma kepala. Mekanisme yang memicu
terjadinya hiperglikemia setelah trauma kepala adalah respon akibat strees fisik, respon
inflamasi, diabetes mellitus, disfungsi kelenjar pituitary dan atau hipothalamus, pembedahan
dan anestesia.

Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat mengalami
ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental
(gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.

Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan telinga
tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak
maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.

Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (pada
minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium
dan hematom intrakranial.

Hematom subdural kronik.

Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi
labirintin) (Adams, 2000).

Sumber : Head Trauma in Children: Classification and Long-Term Monitoring ISSN


1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online) Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma 8(2) : 42-58, September 2019.

Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar
kemudian membaik dengan sendirinya tetapi
beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri
kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam
3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput
dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.
Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang
terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
- TIK meningkat
- Cephalgia memberat
- Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
RUMAH SAKIT HUSADA .FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA

1. Penurunan kesadaran, seperti penurunan kesadaran hingga koma, kematian sel otak
(brain death), locked-in syndrome, dan kondisi vegetatif.
2. Kejang-kejang berulang atau disebut juga dengan epilepsi pasca-trauma.
3. Kerusakan saraf yang dapat memicu masalah lainnya seperti kelumpuhan otot wajah,
penglihatan ganda hingga kehilangan kemampuan melihat, gangguan bicara (afasia), sulit
menelan, dan kerusakan pada indra penciuman.
4. Kerusakan pembuluh darah yang berpotensi memicu stroke dan pembekuan darah.
5. Infeksi akibat bakteri yang masuk diantara luka atau tulang yang patah. Jika tidak diobati,
kondisi ini dapat menyerang sistem saraf lainnya dan menyebabkan penyakit meningitis.
6. Pembendungan cairan otak di mana cairan serebrospinal terkumpul pada ruang ventrikel
otak dan menimbulkan peningkatan tekanan otak.
7. Penyakit degenerasi otak, meliputi demensia pugilistika, penyakit Alzheimer, dan penyakit
Parkinson.
Ganz, JC. (2011). Head Injury Management Guidelines for General Practitioners. Journal of
Neurosciences in Rural Practice, 2(2), pp. 198-200.
Gean, AD. Fischbein, NJ. Head Trauma. Neuroimaging Clinics of North America, 20(4), pp.
527-556.
NINDS (2018). Traumatic Brain Injury Information Page.
NHS Choices UK (2015). Health A-Z. Minor Head Injury/Lump on Head.
Mayo Clinic (2018). Diseases & Conditions. Traumatic Brain Injury.
HSE. Conditions and Treatments. Head Injury, Minor.
Dawodu, ST. Medscape (2017). Traumatic Brain Injury.
Wilberger, JE Mao, G. MSD Manuals. Overview of Head Injury.

Anda mungkin juga menyukai