GCS (Glasgow coma scale) : skala neurologi yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesadaran,
umumnya digunakan setelah adanya cidera kepala dan memberikan pertolongan darurat medis
,memiliki 3 komponen yaitu mata verbal motoric.
Bone Window : Merupakan jenis metode CT scan, digunakan untuk memperlohatkan struktur jarringan
tulang pada daerah thoraks
STEP 2
Step 3
Step 4
Step 7
Jawab :
FORMASIO RETIKULARIS
Suatu anyaman neuron-neuron yang saling berhubungan yang meluas di
seluruh batang otak dan masuk ke dalam talamus membentuk reticular
activating system (RAS) yang
mengontrol derajat keseluruhan
kewaspadaan korteks dan penting dalam
kemampuan untuk mengarahkan
perhatian
Jaringan ini menerima dan
mengintegrasikan semua masukan
sinaptik sensorik yang datang.
Serat-serat asendens yang berasal dari
formasio retikularis membawa sinyal ke
atas untuk membangunkan dan
mengaktifkan korteks serebrum.
Sebaliknya, serat-serat desendens dari
korteks, terutama daerah motoriknya,
dapat mengaktifkan RAS.
FORMASIO RETIKULARIS
Suatu anyaman neuron-neuron yang saling berhubungan yang meluas di seluruh
batang otak dan masuk ke dalam talamus membentuk reticular activating
system (RAS) yang mengontrol derajat keseluruhan kewaspadaan korteks dan
penting dalam kemampuan untuk mengarahkan perhatian
Jaringan ini menerima dan mengintegrasikan
semua masukan sinaptik sensorik yang datang.
Serat-serat asendens yang berasal dari formasio
retikularis membawa sinyal ke atas untuk
membangunkan dan mengaktifkan korteks
serebrum.
Sebaliknya, serat-serat desendens dari korteks,
terutama daerah motoriknya, dapat mengaktifkan
RAS.
Jawab : Lucid interval: Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Lucid
interval ini terjadi pada cedera primer yang ringan karena kalau yang cedera primer yang
berat dia bakal ga sadar terus dari awal ga pake fase sadar
Fraktur tulang tengkorak (daerah temporal) salah satu cabang arteri meningea media
(arteri ini masuk melalui foramen spinosum dan berjalan antara durameter dan tulang di
permukaan dan os temporale) robek akan terjadi perdarahan meimbulkan perdarahan
epidural lama lama akan terjadi desakan oleh hematoma duramater akan lepas lebih
lanjut dari tulang hematom tambah besar. Karena perdarahan ini bersal dari arteri,
maka darah akan terus terpompa keluar hingga lama lama hematom makin besar terus
nanti tekanan intrakranial meningkat hipoksia/iskemik otak penurunan kesadaran
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. 1) Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Lebih lanjut keadaa Trauma
kepala menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri
kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya
perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Masa
antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut lucid interval. Lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada epidural hematom. Sementara pada subdural hematoma cedera
primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak akan mengalami lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. Hal ini juga dapat dilihat pula pada
pasien dimana pasien mengalami kecelakaan dan terjadi pingsansadar
penurunan kesadaran, ini khas tanda-tanda lusit interval dimana terjadi pada
epidural hematom. Dimana tekanan intracranial dapat meningkat jika ada
perdarahan intracranial (EDH, SDH, kontusio otak, PSA, ICH), edema otak,
tumor otak, dan hidrosefalus. Akibat dari adanya peningkatan TIK akan
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke otak sehingga timbul
iskemia otak. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang
menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang
menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.
Peningkatan tekanan intrakranial
Terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak
dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu
atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses
kompensasi agar volume otak tetap konstan Pasien dengan cedera kepala dapat
mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral sehingga akan dapat terjadi
penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral
Kemudian herniasi serebral ini dapat menekan organ-organ vital otak, seperti
batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun
kardiovaskuler.
Sumber : HUBUNGAN GLASGOW COMA SCALE DENGAN GLASGOW OUTCOME
SCALE
BERDASARKAN LAMA WAKTU TUNGGU OPERASI PADA PASIEN
PERDARAHAN EPIDURAL p-ISSN: 0126-2092; e-ISSN: 2442-5230 Majalah
Kedokteran Andalas, Vol. 39, No.2, Agustus 2016, hal. 50-5, Cedera Kepala
dengan Lucid Interval Departemen Saraf Ambarawa KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”
JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
Alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak, sehingga
mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan terjadinya disinhibisi, ataksia dan
sedasi. Sama dengan depresan lain seperti barbiturat dan benzodiazepin, konsumsi
minuman beralkohol dalam jumlah sedang dapat menyebabkan efek antiansietas
dan menyebabkan kehilangan inhibisi perilaku dalam suatu rentang dosis yang
luas. Tanda intoksikasi pada tiap individu bervariasi, mulai dari efek eksitasi dan
meluapluap hingga perubahan mood yang tidak terkontrol dan gejolak emosi yang
dapat disertai kekerasan. Pada kasus intoksikasi yang lebih lanjut, fungsi sistem
saraf pusat secara umum akan terganggu dan kemudian menimbulkan kondisi
anestesi umum pada tubuh.
Metabolisme alkohol menjadi senyawa acetaldehyde dalam tubuh dibagi menjadi
2 jalur, yaitu melalui jalur alkohol dehidrogenase dan melalui jalur Microsomal
Ethanol-Oxidizing System (MEOS). Acetaldehyde lalu dioksidasi menjadi asetat
oleh proses metabolisme yang ketiga. Jalur utama untuk metabolisme alkohol
melibatkan alkohol dehidrogenase (ADH), golongan cytosolic enzyme yang
mengkatalisis konversi alkohol menjadi acetaldehyde. Enzim ini terletak terutama
di hepar, namun sejumlah kecil ditemukan di organ lain seperti otak dan lambung.
Selama konversi etanol oleh ADH menjadi acetaldehyde, ion hidrogen ditransfer
dari etanol ke kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+ ) untuk
membentuk NADH. Oksidasi alkohol yang dihasilkan melebihi reducing
equivalents di hepar. Kelebihan produksi NADH berkontribusi pada gangguan
metabolisme pada alkoholisme kronis, dan merupakan penyebab dari asidosis
laktat maupun hipoglikemia pada keracunan alkohol akut.
Sumber : The Consumption of Alcohol and its Effect towards Health Topaz Kautsar
Tritama | Konsumsi Alkohol dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Majority | Volume 4 |
Nomor 8 | November 2015
Setelah terjadi trauma kepala, jaringan otak dapat cedera dengan didapatkan adanya
kontusio, laserasi atau hematoma. Lesi tersebut dapat tedeteksi dengan CT scan dengan
gambaran densitas tinggi atau campuran. Dengan klasifikasi dari Traumatic Coma Data
Bank, berdasarkan gambar CT scan maka penderita dapat digolongkan perlu tindaka
operasi atau tidak perlu.
6. Apa etiologic dan faktor resikonya?
Jawab : Etiologi
o Kecelakaan lalu lintas
o Cedera saat olahraga
o Pukulan KDRT
Trauma
o Kecelakaan , kekerasan fisik
Non trauma
o Gangguan metabolik, iskhemik global, tumor otak
Faktor resiko
- Umur : Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun sesuai
dengan peningkatan usia
- Hipotensi dan hipoksia : Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut,
2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang
berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg),
memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
- Patah tulang kepala : Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi pada
kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna
terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal.
1. PemeriksaandenganmenggunakanGCS
a. Instrumen ini dapat diandalkan
b. Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak terdapat
perbedaan antarpenilai
c. Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan
instrumen GCS ini dengan mudah.
d. Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi) pasien yang terbaik
e. Bila seseorang sadar maka ia mendapat nilai 15
f. Nilai terendah adalah 3
8. Apa Dx dan DD nya?
Jawab : Dx : Traumatic brain injury
DD :
Perdarahan extradulare
Disebabkan oleh kerusakan arterial dan diakibatkan robekan cabang-
cabang arteria meningea media, yang khususnya berada pada daerah pterion.
Darah terkumpul di antara lamina externa dura mater dan calvaria, dan meluas
pelan-pelan karena tekanan arterial
Biasanya, terdapat riwayat cedera region capitis (sering saat aktivitas
olahraga) yang menyebabkan kesadaran sedikit menghilang. Setelah cedera,
biasanya pasien kembali sadar dan mengalami suatu lucid interval untuk masa
beberapa jam. Setelah itu pasien cepat mengantuk diikuti penurunan kesadaran,
yang dapat menuju pada kematian
Hematoma subdulare
Hematoma subdulare dihasilkan oleh perdarahan di dalam lapisan seluler
perbatasan dura. Hematoma diakibatkan perdarahan vena, biasanya dari venae
cerebri yang robek, saat venae memasuki sinus sagitalis superior
Pasien yang beresiko tinggi mengalami hematoma subdurale adalah
dewasa muda dan orang tua. Biasanya riwayat klinis meliputi cedera biasa yang
diikuti oleh hilangnya kesadaran atau perubahan kepribadian
Perdarahan subarachoidea
Khususnya perdarahan subarachnoidea diakibatkan pecahnya aneurisma
intracerebrale yang berasal dari pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai dan
di sekitar circulus arteriosus cerebri (dari willis), tetapi dapat terjadi pada pasien
yang mengalami cedera cerebri yang bermakna
Pasien biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita
mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di
samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera
kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni
akibat gangguan kardiopulmoner.
1. Airway
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
2. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi per-napasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• jika perlu pakai ventilator
3. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
4. Disability, pada disability lakukan pemeriksaan neurologis dasar yang disebut
AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Pain stimuli response, Unresponsive)
5. Exposure pasien dicek secara menyeluruh. Buka pakaian penderita, cegah
hipotermia(beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat)
Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat mengalami
ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental
(gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan telinga
tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak
maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (pada
minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium
dan hematom intrakranial.
Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi
labirintin) (Adams, 2000).
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar
kemudian membaik dengan sendirinya tetapi
beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri
kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam
3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput
dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.
Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang
terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
- TIK meningkat
- Cephalgia memberat
- Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
RUMAH SAKIT HUSADA .FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA
1. Penurunan kesadaran, seperti penurunan kesadaran hingga koma, kematian sel otak
(brain death), locked-in syndrome, dan kondisi vegetatif.
2. Kejang-kejang berulang atau disebut juga dengan epilepsi pasca-trauma.
3. Kerusakan saraf yang dapat memicu masalah lainnya seperti kelumpuhan otot wajah,
penglihatan ganda hingga kehilangan kemampuan melihat, gangguan bicara (afasia), sulit
menelan, dan kerusakan pada indra penciuman.
4. Kerusakan pembuluh darah yang berpotensi memicu stroke dan pembekuan darah.
5. Infeksi akibat bakteri yang masuk diantara luka atau tulang yang patah. Jika tidak diobati,
kondisi ini dapat menyerang sistem saraf lainnya dan menyebabkan penyakit meningitis.
6. Pembendungan cairan otak di mana cairan serebrospinal terkumpul pada ruang ventrikel
otak dan menimbulkan peningkatan tekanan otak.
7. Penyakit degenerasi otak, meliputi demensia pugilistika, penyakit Alzheimer, dan penyakit
Parkinson.
Ganz, JC. (2011). Head Injury Management Guidelines for General Practitioners. Journal of
Neurosciences in Rural Practice, 2(2), pp. 198-200.
Gean, AD. Fischbein, NJ. Head Trauma. Neuroimaging Clinics of North America, 20(4), pp.
527-556.
NINDS (2018). Traumatic Brain Injury Information Page.
NHS Choices UK (2015). Health A-Z. Minor Head Injury/Lump on Head.
Mayo Clinic (2018). Diseases & Conditions. Traumatic Brain Injury.
HSE. Conditions and Treatments. Head Injury, Minor.
Dawodu, ST. Medscape (2017). Traumatic Brain Injury.
Wilberger, JE Mao, G. MSD Manuals. Overview of Head Injury.