Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seluruh aktivitas di dalam tubuh manusia diatur oleh sistem saraf. Sistem saraf
merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun dari milyaran sel-sel neuron yang
berorganisir dengan berbagai jaringan yang ada pada sistem organ tubuh. Sel saraf
terbagi menjadi dua tipe sel, yaitu neuron dan neuralgia. Neuron adalah struktur dasar
dan unit fungsional pada sistem saraf. Sel neuralgia adalah sel penunjang tambahan
neuron yang berfungsi sebagai jaringan ikat dan mampu menjalani mitosis yang
mendukung proses proliferasi pada sel saraf otak (Syaifuddin, 2011).
Sistem saraf terbagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Sistem saraf pusat memiliki peranan penting dalam mengatur berbagai aktivitas organ
tubuh manusia, termasuk menerima rangsangan sensorik, mengintegrasikan informasi
satu dengan yang lain, mengambil keputusan dan menghasilkan aktivitas motorik
tubuh. Sistem saraf tepi juga memiliki fungsi yang tidak jauh penting yaitu sebagai
penghantar stimulus pertama bagi tubuh. Rangsangan dinamakan stimulus, reaksi yang
dihasilkan dinamakan respons. Setiap rangsangan-rangsangan yang diterima melalui
panca indera, akan diolah ke otak melalui medula spinalis. Kemudian otak akan
meneruskan rangsangan yang ada ke organ kembali ke medula spinalis yang akan
membentuk respon (Syaifuddin, 2011).
Terganggunya sistem saraf pada tubuh manusia, berakibat fatal bagi kesehatan.
Akibatnya, manusia tidak akan bisa menjalankan rutinitas kehidupannya secara
normal. Biasanya, gejala awal suatu penyakit saraf menyerang saraf manusia ditandai
dengan gejala-gejala tertentu yang muncul dalam skala yang sering. Gangguan sistem
saraf dapat menyerang segala usia, mulai dari usia bayi hingga orang tua. Gangguan
atau kelainan sistem saraf pada manusia dapat menimbulkan efek yang sangat kritikal
(Choirunnisa, 2017).

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat kami peroleh adalah, sebagai berikut :
1. Apa saja gangguan pada Sistem Saraf Pusat?
2. Apa saja gangguan pada Sistem Saraf Tepi?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan yang dapat kami peroleh adalah, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui gangguan pada Sistem Saraf Pusat
2. Untuk mengetahui gangguan pada Sistem Saraf Tepi
1.4 Manfaat Masalah
Manfaat yang dapat kami peroleh adalah, sebagai berikut :
1. Memahami gangguan pada Sistem Saraf Pusat
2. Memahami gangguan pada Sistem Saraf Tepi

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf


Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf ke
susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan rangsangan.
Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari organ dalam tubuh,
tetapi merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai
arus informasi yang cepat dengan kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung
pada aktivitas listrik (impuls saraf). Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah
secara skematis menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang
mengenai organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan
ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses pengolahan yang
komplek pada SSP (proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP
membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi
respons motorik terhadap stimulus (Choirunnisa, 2017).
2.2 Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat merupakan salah satu bagian dari sistem saraf pada manusia.
Fungsi sistem saraf bagian pusat adalah untuk memegang segala kendali dan
pengaturan atas kerja jaringan saraf sampai kepada sel saraf. Sistem saraf pusat
meliputi otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Keduanya
merupakan organ yang sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting maka perlu
perlindungan. Selain tengkorak dan ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3
lapisan selaput meninges. Selaput otak (meningen) adalah selaput yang membungkus
otak dan sumsum tulang belakang untuk melindungi struktur saraf yang halus
membawa pembuluh darah dan cairan serebrospinalis memperkecil benturan atau

3
getaran pada otak dan sumsum tulang belakang. Ketiga lapisan membran meninges dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut.
1. Durameter merupakan selaput keras berasal dari jaringan ikat dan kuat yang
bersatu dengan tengkorak sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai
duramater yang mudah dilepaskan dari tulang kepala. Diantara tulang
kepala dengan duramater terdapat rongga epidural.
2. Araknoid, di dalam araknoid terdapat cairan serebrospinalis; semacam
cairan limfa yang mengisi sela- sela membran araknoid. Fungsi selaput
araknoid adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya
kerusakan mekanik.
3. Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat
yang disebut trabekhel. Lapisan ini penuh dengan pembuluh darah dan
sangat dekat dengan permukaan otak. Agaknya lapisan ini berfungsi untuk
mengalirkan oksigen dan nutrisi serta mengangkut bahan sisa metabolisme
di dalam otak (Syaiffudin,2016:184).

2.3 Sistem Saraf Tepi


Sistem saraf tepi terbagi menjadi sistem saraf somatik dan sistem saraf otonomik.
Saraf-saraf tersebut mengandung serabut saraf aferen dan eferen. Pada umumnya
serabut eferen terlibat dalam fungsi motorik, seperti kontraksi otot atau sekresi kelenjar
sedangkan serabut aferen biasanya menghantarkan rangsang sensorik dari kulit, selaput
lendir dan struktur yang lebih dalam (Groot ,1997).
Stimulasi diterima oleh reseptor sistem saraf tepi yang selanjutnya akan
dihantarkan oleh sistem saraf sensoris dalam bentuk impuls listrik ke sistem saraf pusat.
Pada sistem saraf pusat impuls diolah dan diinterpretasi untuk kemudian jawaban atau
respons diteruskan kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi
sebagai pencetus jawaban akhir. Sistem saraf yang membawa jawaban atau respons
adalah sistem saraf motorik. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang

4
dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh
kemauan (involunter). Jawaban volunteer melibatkan sistem saraf somatik sedangkan
yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor dari sistem saraf somatik
adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos,
otot jantung dan kelenjar sebasea (Ganong,2003).

5
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gangguan pada Sistem Saraf Pusat


3.1.1 Stroke
A. Definisi
Menurut WHO (World Health Organisation) stroke yang
mendefinisikan fungsionalitas otak yang dilakukan mendadak dengan
tanda dan klinik baik yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
digunakan, yang dapat ditimbulkan oleh peredaran oleh otak. Cahyono
(2008) mengatakan stroke adalah gangguan fungsi saraf yang
menyebabkan peredaran darah otak, baik secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) sehingga timbul
perbedaan dan tanda yang sesuai dengan fokal otak yang bermasalah.
B. Etiologi
Stroke disebabkan karena adanya serangan pada otak terdiri dari
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak schingga membuat
suplai darah ke otak menurun. Suplai darah yang menurun
menyebabkan kematian sel otak yang lebih lanjut menyebabkan
kerusakan otak dan menyebabkan disabilitas bahkan kematian.
C. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 2.1): arteria
karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-
cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus
selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan.
Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan

6
infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya
adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke
daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang
memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit
pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis,
robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi
akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas
darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi
yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur
vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et al,
2006).
D. Tanda dan Gejala
1. Ataksia
a. Lesi pada serebelum.
b. Diskoordinasi gerakan.
2. Gangguan sensoris
a. Terjadi mendadak.
b. Disertai dengan kelemahan dan gangguan motorik.
3. Gangguan penglihatan
a. Gangguan lapang pandang.
b. Diplopia (penglihatan ganda) yang disebabkan oleh stroke pada
bagian posterior otak.
4. Gangguan bicara
a. Disartria : Kata dan kalimat yang diucapkan susah dipahami.
b. Afasia
 Afasia broca (tahu apa yang ingin disampaikan tetapi
tidak menemu- kan kata apa yang harus diucapkan).

7
 Afasia Wernicke (dapat menjawab kata tetapi tidak
mengert apa yang diucapkan).
5. Gangguan kognitif
a. Demensia
b. Depresi
c. Emosional
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Teknik yang digunakan diantaranya :
1) Latihan pernapasan pasif
2) Positioning
3) Stimulasi taktil terhadap kulit, otot, persendian dengan teknik
penyadapan.
4) Latihan gerak pasif dengan pola gerak propioceptive fasilitasi
neuromuskuler dengan teknik inisiasi rhytmical.
5) Mobilisasi dini dengan latihan pasif dan aktif.

3.1.2 Parkinson
A. Definisi
Suatu penyakit degeneratif yang progresif yang memengaruhi gerakan,
terjadi karena sel-sel otak yang memproduksi dopamin. Efek awal
dapat berupa tremor ringan pada satu tangan, kekakuan, dan
keseimbangan.
B. Etiologi
Adanya kerusakan pada subtansia nigra hasil dari:
1) Pajanan neurotoksin dari lingkungan.
2) Genetik.
3) Gangguan fungsi mitokondria.
4) Oksidatif stres.

8
C. Faktor Risiko
1. Umur.
2. Riwayat keluarga.
3. Faktor Lingkungan: herbisida, pestisida.
4. Pengalaman hidup (trauma, depresi, stres emosional).
D. Tanda dan Gejala
1. Getaran tremor
2. Rigiditas otot
3. Instabilitas postural kehilangan refleks postural.
4. Depresi.
5. Gangguan kognitif ringan (gangguan persepsi visual, konsentrasi,
demensia).
6. Berkeringat berlebih.
E. Pentalaksanaan Fisioterapi
1. Fisioterapi menentukan latihan apa yang akan diberikan.
2. Kunjungan rumah.
3. Mengajarkan cara keluarga mendampingi pasien. sepihak. postur
bungkuk, anterofleksi kepala. gangguan
4. Memperlambat kerusakan sensorik dengan cara gerak yang
dihasilkan oleh kekuatan "eksternal" otot-otot tidak dapat
berkontraksi atau otot berelaksasi dengan sukarela untuk melakukan
pergerakan.
5. Mencegah jatuh
6. Membuat program latihan di rumah.
7. Melakukan tindak lanjut (tindak lanjut) Setiap 3-6 bulan.

9
3.1.3 Vertigo
A. Definisi
Perasaan berputar-putar dan penggerakkan bergerak, subjektif bila
dipindahkan, dan objektif jika membahasnya bergerak.
B. Etiologi
1. Vestibulum,
2. Delapan saraf (saraf kedelapan).
3. Retikulum dari batang otak.
4. Tabes dorsalis
5. Imaginationvertigo.
6. Penyakit umum.
7. Penyakit mata (penyakit mata).
C. Faktor Risiko
1. Jenis kelamin Vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita daripada
pria (2: 1), sekitar 88% pasien menggunakan episode rekuren.
2. Usia Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi tua Karena ada
faktor risiko yang berkaitan, yaitu hipertensi, DM, stroke.
D. Manifestasi Klinis
1. Mendorong.
2. Gangguan vestibular
3. Mual, muntah.
4. Penglihatan kabur.
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Terapi latihan
1) Berdiri dengan mata di buka, kemudian dengan mata tertutup.
2) Olahraga yang menggerakkan kepala (Gerakan, fleksi, ekstensi)
3) Dari posisi duduk kemudian berdiri dengan mata terbuka dan
tertutup. Melirikan mata kearah horizontal dan vertikal

10
3.1.4 Cedera Medula Spinalis
A. Definisi
Trauma Medulla Spinalis adalah cidera yang terjadi pada tulang
belakang baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung,
yang menyebabkan lesi di medula spinal dan menimbulkan gangguan
neuroligi bahkan kematian. Keluhan yang muncul beragam antara lain
nyeri,kelemahan dan bahkan kelumpuhan ekstermitas.

Gambar 1. Cedera Medula Spinalis

B. Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan tanda
dan gejala yang segera muncul. Komperensi yang terjadi secara
langsung pada bagian saraf spinal yang disebabkan oleh fragmen tulang,
maupun kerusakan ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Yang makan mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darahdan dapat
menyebabkan iskemik, ruptur axon dan sel membran neuron.
Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan
meluas beberapa jam kemudian sehingga peredaran masif dapat terjadi
dalam beberapa menit kemudian. Efek trauma tersebut dapat
mengakibatkan fraaktur-dislokasi, fraktur dan dislokasi. Dimana fraktur

11
yang biasanya cenderung terjadi pada tempat tempat yang sangat mobil
dan bagian yang terfiksasi seperti vertebra C1-2 dan T11-12. Sehingga
akan mengakibatkan lesi pada medula spinalis.
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas.
2. Tindak kekerasan.
3. Jatuh
4. Cedera olahraga.
D. Faktor Risiko
Area yang sering mengalami kerusakan, yaitu serviks bawah (C5-7),
mid-toraks (T4-7), dan thoraco-lumbal (T10-L2).
E. Manifestasi Klinis
1. Gangguan motorik.
2. Gangguan sensorik.
3. Gangguan kontrol vasomotor.
4. Gangguan kontrol kandung kemih & usus.
5. Gangguan fungsi seksual.
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Pada masa akut: Menjaga fungsi respirasi. Biarkan gerakan yang
bisa dan tidak boleh dilakukan pasien.
2. Pada masa pra-stabilisasi: Latihan napas, latihan LGS, perubahan
posisi, latihan penguatan.
3. Pada pascastabilisasi: Latihan mobilisasi, latihan keseimbangan,
latihan pemakaian ortesa.

3.1.5 Cedera Otak


A. Definisi
Definisi Trauma cedera otak (cedera otak) adalah trauma yang menimpa
struktur pala sehingga menimbulkan kelainan struktur atau

12
fungsionalitas jaringan otak (Akbar, 2008). Menurut Brain Injury
Association of America, kerusakan kepala adalah karena kerusakan
pada kepala, bukan kerusakan kongenital atau pun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang menyebabkan kerusakan
pada kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).

Gambar 2. Cedera Otak


B. Patofisiologi
Cidera kepala sangat bervariasi dari luka kulit hingga luka terbuka
ditenggorak, serta gegar otak dimana disertai dengan kerusakan-
kerusakan otak. Peningkatan tekanan intrakranial, yang mengakibatkan
kerusakan selanjutnya timbul hermiasi otak lanicemia dan hipoksia.
Setelah mengalami cidera kepala dimana dapat menyebabkan hilangnya
fungsi neurologi sementara maupun permanen. Getaran otak sedikit saja
akan mengakibatkan pusing atau berkunang-kunang bahkan dapat
menimbulkan kehilangan kesadaran. (Asuhan Keperawatan, vita
fatimah, falkutas kesehatan UMP, 2010)
C. Etiologi
Penyebab serius cedera kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas
(60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab cedera kepala). Menurut penelitian Turner di New York

13
tahun 1996, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48-53% dari
insiden cedera kepala, 20-28% karena terjatuh dan 3-9% lainnya akibat
tindak kekerasan dan olahraga.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko dari kerusakan kepala ada dua, yaitu trauma primer dan
trauma sekunder. Trauma primer terjadi akibat trauma pada langsung
atau tidak langsung (akselerasi dan ekselerasi), sedangkan trauma
sekunder terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik
(Sibuea, 2009)
E. Manifestasi Klinis
Gejala yang dirasakan pada cedera otak ini ada gangguan tidur, pusing
menetap, sakit kepala, gangguan bicara, dan masalah pada tingkah laku.
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
MRI, CT-Scan, Rontgen, rehabilitasi sesegera mungkin setelah
perawatan rumah selesai, mempertahankan pertahanan otot jika
diperlukan. Pencegahan cedera kepala darurat dilakukan adalah sebagai
berikut
1) Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum
peristiwa terjadi untuk mencegah faktor risiko yang mendukung
penolakan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti:
a. Tidak mengemudi dengan gangguan kesehatan (terlalu lalai
mengantuk, di bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol).
b. Pengendalian kecepatan kendaraan / tidak mengebut.
c. Penggunaan helm dan sabuk pengaman.
d. Muatan penumpang tidak berlebihan.
e. Membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet,
kondisi tidak berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok).

14
2) Pencegahan sekunder, yaitu pencegahan untuk menghentikan
perkembangan penyakit atau kerusakan kepala ke arah kerusakan
dan ketidakmampuan.

3.1.6 Alzheimer
A. Definisi
Definisi Alzheimer adalah jenis demensia yang paling umum yang telah
diubah oleh kekurangannya daya ingat sehingga menjadi masalah otak
dalam melakukan perencanaan, hukuman, dan perencanaan. Penyakit
ini mirip penyakit dengan mengerut dan mengecil. Kondisi ini
menyebabkan sel-sel saraf dalam otak apoptosis sel-sel otak pada saat
yang hampir bersamaan sehingga otak tampak mati sehingga sinyal-
sinyal otak sulit ditransmisikan kembali.

Gambar 3. Alzheimer
B. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab
yang Etiologi telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, perlindungan
imunitas, virus infeksi, polusi udara / industri, trauma, neurotransmiter,
defisit formasi sel-sel flamen, presdiposisi herediter. Dasar kelainan
patologi penyakit Alzheimer terdiri atas degenerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang terkait dengan fungsi kognitif dengan

15
penurunan daya ingat Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam
amino dapat meningkatkan selektif neuron. Kemungkinan sel-sel
tersebut adalah peningkatan protein yang diakibatkan oleh adanya
peningkatan kalsium intraseluler, pemulihan energi, keberadaan
formasi radikal bebas atau odanatnya produksi protein abnormal yang
non-spesifik. Penyakit Alzheimer sdalah penyakit genetika, tetapi
beberapa penelitian telah membuktikan peran faktor genetika, tetapi
beberapa penelitian telah membuktikan peran faktor non-genetika
(Lingkungan) juga terlibat, kompilasi faktor lingkungan hanya sebagai
faktor genetika pencetus.
C. Patofisiologi
Terkait dengan cedera dan kematian neuron, dimulai di daerah otak
hippocampus yang melibatkan ingatan dan pembelajaran, mengalami
atrofi dan mempengaruhi seluruh otak. Beta Amyloid, yang juga ditulis
Aβ, adalah peptida pendek yang merupakan produk samping proteolitik
abnormal dari protein prekursor amyloid protein transmembran (APP),
yang fungsinya tidak jelas namun dianggap terlibat dalam
perkembangan neuron. Monomer beta amyloid larut dan mengandung
short region dari beta sheet yang memiliki konsentrasi cukup tinggi,
mereka mengalami perubahan untuk membentuk struktur tersier kaya
akan beta sheet yang kemudian digabungkan membentuk fibril amiloid.
Endapan fibril ini berada di luar neuron dalam formasi padat yang
dikenal sebagai plak neuritis, dan kemudian membentuk amyloid
angiopathy atau congophilic angiopathie. Pada kelompok Alzheimer
abnormal agregasi dari protein tau, protein yang terkait mikrotubulus
yang diekspresikan dalam neuron juga diamati. Protein Tau berfungsi
untuk menstabilkan mikrotubulus di sitoskeleton sel. Seperti
kebanyakan protein terkait mikrotubulus, tau biasanya diatur oleh
fosforilasi. Pada pasien AD, hiperfolforilasi tau P-tau terakumulasi

16
sebagai ilamen heliks berpasangan yang kemudian beragregasi menjadi
massa di dalam badan sel saraf yang dikenal sebagai neurofibrillary
tangles dan sebagai neuron distrofi yang terkait dengan plak amyloid.
D. Faktor Risiko
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus Alzheimer
ini diturunkan melalui gen autosomal dominan. Individu yang
menghasilkan garis pertama pada keluarga penderita Alzheimer
memiliki risiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada
penderita Alzheimer merupakan kelainan pada kromosom 21.
Keadaan ini mendukung faktor genetik mendukung dalam penyakit
Alzheimer.
2. Faktor infeksi
Penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer ditemukan
ditemukan adanya antibodi reaktif. Virus infeksi ini menyebabkan
infeksi pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh lambat dan
kronis.
3. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan penyakit Alzheimer
dengan trauma kepala.
4. Faktor imunologis
Efa Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang
menderita Alzheimer memperoleh kelainan protein serum seperti
penurunan albumin dan meningkatkan protein alfa, meningkatkan
kontribusi peningkatan dan meningkatkan dari penderita Alzheimer
dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
yang meradang kronik yang sering didapat pada wanita yang
disebabkan oleh faktor imunitas.

17
E. Manifestasi Klinis
Gejala yang menampakkan pada penderita Alzhaimer, yaitu kehilangan
daya memori, kesulitan melakukan aktivitas rutin yang biasa, kesulitan
terkait, kesulitan tidur, disorientasi waktu dan tempat, sesuai kebutuhan
dalan Memutuskan sesuatu, menggerakkan labil dan memperbaiki
kekakuan pada otot.
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Mengurangi kekakuan otot dengan cara diberikan pijatan ringan
yang dikeluarkan otot
2. Rehabilitasi untuk memperbaiki fungsi gerak.
3. Melatih koordinasi otot otot untuk melakukan aktivitas sehari hari

3.1.7 Meningitis
A. Definisi
Definisi Meningitis adalah suatu infeksi / peradangan dari meningen,
lapisan yang rumit / encer yang mengepung otak dan jaringan saraf
dalam kaitannya dengan bakteri, virus, riketsia atau protozoa, yang
dapat digunakan terjadi secara akut dan kronis (Harsono, 2003).
Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, virus
pengantar meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan
atau virus. Vins ini dapat berpindah melalui udara dan menularkan ke
orang lain yang menghirup udara tersebut (Anonim, 2007).

18
Gambar 4. Meningitis
B. Etiologi
1. Faktor predisposisi: jenis kelamin laki-laki lebih sering
dibandingkan dengan wanita.
2. Faktor maternal: ruptur membran janin, infeksi maternal pada
minggu terakhir kehamilan.
3. Faktor imunologi: defisiensi imun, defisiensi imunoglobulin
4. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau kerusakan yang
berhubung dengan sistem persarafan.
C. Patofisiologi
Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah
(hematogen) atau perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus kavernosus.
Bakteri penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di saluran
pernapasan bagian atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa
nasofaring host. Selanjutnya setelah terhindar dari sistem komplemen
host dan berhasil menginvasi ke dalam ruang intravaskular, bakteri
kemudian melewati SDO dan masuk ke dalam CSS (Cairan Serebro
Spinal) lalu memperbanyak diri karena mekanisme pertahanan CSS
yang rendah. Dalam upaya untuk mempertahankan diri terhadap invasi

19
bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh (Mace, 2008).
Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat
meningkatkan virulensi kuman itu sendiri. Bakteri H. influenzae, N.
meningitidis dan S. pneumonia menghasilkan imunoglobulin A
protease. Bakteri-bakteri ini menginaktifkan immunoglobulin A host
dengan menghancurkan antibodi sehingga memungkinkan terjadinya
perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring dan terjadinya kolonisasi.
Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N. meningitidis
terjadi melalui fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat
adanya infeksi saluran pernapasan bagian atas dan juga kebiasaan
merokok dapat mengurangi kemampuan fimbria atau silia dalam
mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri
kemudian akan memasuki ruang intravaskular melalui berbagai
mekanisme. Bakteri meningokokus memasuki ruang intravaskular
melalui proses endositosis melintasi endotelium di jaringan ikatvakuola.
Sedangkan bakteri H. influenzae memisahkan tight junction apikal
antara sel epitel untuk menginvasi mukosa dan mendapatkan akses ke
ruang intravaskular (Mace, 2008).
D. Faktor Risiko
Faktor risiko dari penyakit meningitis, yaitu genetika, bekerja di
lingkungas peternakan, seseorang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang lemah karena faktor lingkungan yang memengaruhi risiko
meningitis hakten yang disebabkan oleh Haemophilus infuenzae tipe B
yaitu lingkar dengan air yang cepat dan rumit dengan bantuan
pengiriman atau hidy serumah dengan infeksi saluran pernapasan.
E. Manifestasi Klinis
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung pada usia si penderita
juga virus apa yang menyebabkannya. Sakit kepala, sakit kepala, pilek,

20
mual, muntah, kejang. Setelah itu, para penderita merasa sangat lelah.
Lehernya terasa pegal dan kaku. Memikirkan bayi yang terkena
meningitis biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit,
cangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
keras dan terjadi pengaruhnya seperti membuat gerakan yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku (Barkley, 2001).
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
CTscan, MRI, mempertahankan dan mempertahankan pernapasan,
mempertahankan dan mempertahankan fungsi geraknya.
G. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Tujuan utama adalah mencegah timbulnya faktor risiko meningitis
bagi individu yang belum memiliki faktor risiko dengan melakukan
pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
imunisasi pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah,
tenda, dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara
meningkatkan higiene pribadi, seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
ini masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal
dapat dilakukan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat
dilaku- kan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi
dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan juga
keluarga untuk memperbaiki gejala awal meningitis.

21
3.2 Gangguan pada Sistem Saraf Tepi
3.2.1 Bell’s Palsy
A. Definisi
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah
(nervus fasialis) secara akut pada sisi sebelah wajah. Kondisi ini
menyebabkan ketidakmampuan penderita menggerakkan separuh
wajahnya secara sadar (volunter) pada sisi yang sakit. Insiden Bell’s
Palsy adalah sebesar 20-30 kasus dari 100.000 orang, dan merupakan
60 – 70% dari seluruh kasus kelumpuhan perifer wajah unilateral.
Penyakit ini bersifat sembuh sendiri (self-limited), tetapi menimbulkan
penderitaan yang besar bagi pasien jika tidak ditangani dengan
sempurna (Mujadiddah,2017).

Gambar 5. Bell’s Palsy

22
B. Etiologi
1. Salah satu penyebab infeksi Bell’s palsy adalah karena adanya
infeksi virus herpes zoster. Herpes zoster hidup di dalam jaringan
saraf. Jika radang herpes zoster ini menyerang ganglion
genikulatum maka dapat berhubungan lumpuh pada otot-otot wajah
yang sesuai Jenis herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada
otot-otot waiah ini sering digunakan dengan Sindroma Ramsay-
Hunt atau Bell's Palsy
2. Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh
darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transduksi
(proses berubah dari bentuk bentuk lain) dan diselesaikan foramen
stilomastoideus bengkak. Nervus fasialis yang melewati daerah
tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat
menyebabkan otot-otot wajah memperbesar kelemahan atau
lumpuh.
3. Faktor herediter terkait dengan kelainan anatomi pada canalis
facialis yang berpengaruh menurun.
C. Patofisiologi
Saraf fasialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris
memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam
kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina
sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung
dengan korda timpani.Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen
labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis.
Foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66
mm.
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf
fasialis di meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah
(karena infeksi atau operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s

23
palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan menyebabkan
distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut mulut
pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron
(LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan bagian
atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini
menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.
Murakami, dkk menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di
dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari
14 kasus Bell’spalsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada
kasus yang berat. Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam telinga
dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut.
Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis
fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran
patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema,
dan gangguan vaskular saraf.
D. Faktor Risiko
1. Faktor Risiko Bell's palsy karena faktor genetik, sistem kekebalan
tubuh lemah dan terlalu sering di ruangan ber-AC pada waktu yang
cukup lama.
2. Wanita hamil, terutama pada masa kehamilan di trimester terakhir
atau pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
3. Infeksi pernapasan seperti influenza atau flu.
4. Diabetes.
5. Riwayat anggota keluarga yang mengidap bell’s palsy.
E. Manifestasi Klinis
Gejala yang dialami penderita Bell's palsy, antara lain kelemahan
otot wajah. kerutan dahi menghilang ipsilateral, tampak seperti orang

24
letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan mata, sulit terasa, sulit
bicara, susah makan dan minum, pembengkakan wajah, singkirkan atau
hilanganya rasa sanggup dilepas, air liur sering keluar (Dewanto, dkk. ,
2009)
Adapun gejala pada mata ipsilateral, yaitu sulit atau tidak mampu
menuluy mata ipsilateral, mata air berkurang, alis mata jatuh, kelopak
mata bawah kecap, nyen matang, sensitif terhadap cahaya (Dewanto,
dkk., 2009).
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Masase
Pemberian masase wajah pada kondisi Bell's Palsy untuk perbaikan
perlengketan jaringan dengan cara menyediakan penguluran pada
jaringan yang superfisial menggunakan otot-otot wajah. Dengan
memberikan masase wajah ini akan terjadi peningkatan vaskularisas
dengan pergerakan pumping action pada vena sehingga
memperlancar sirkulasi darah dan limfe. Efek relaksasi dapat
diperbaiki dan elastisitas otot tetap terpelihara serta mencegah
timbulnya perlengketan jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah.
Masase dilakukan selama 5-10 menit, 2-3 kali sehari. Masase ini
membantu mempertahankan tonus otot wajah agar tidak kaku,
2. Cermin latihan
Cermin latihan merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang
menggunakan cermin yang akan memberikan umpan balik terhadap
para penderita sehingga dapat memperbaiki kesalahan dalam
pergerakannya sendiri.

25
3.2.2 Lesi Peroneus
A. Definisi
Lesi peroneus adalah kelainan yang digabungkan dengan penurunan
fungsi motorik dan motorik pada tungkai bawah dan kaki akibat lesi
pada nervus snauond. Lesi peroneus yang terjadi akibat kerusakan atau
cedera pada saraf perifer yaitu saraf peroneus akan mengakibatkan
kelemahan pada otot-otot yang disarafi dan potensi terjadinya
kontraktur dan atropi pada otot yang mengalami disuse atau kelemahan.

Gambar 6. Lesi Peroneus


B. Etiologi
Penyebab lesi peroneus karena kepentingan pada saraf selama jongkok,
duduk bersilang kaki yang lama dan sering, dan dapat diakibatkan
karena trauma.
C. Patofisiologi
Penyebab neurologi dari foot drop meliputi mononeuropati nervus
peroneus yang sering disebabkan oleh trauma yang terjadi pada kaput
fibula. Keluhan yang terjadi berups drop foot (parsial atau komplit),
parestesia pada bagian lateral tungkai bawah atau kedua gejala motoris

26
dan sensoris tersebut. Patofisiologi dari kerusakan saraf yang sering
menyebabkakn foot drop adalah sebagai berikut :
- Integritas fungsional dari axon tergantung pada pasokan zat tropic
yang disintesis di perikaryon neuronal yang diangkut menuruni
axon dan dikenal sebagai aliran axoplasmik.
- Laserasi dapat menghentikan aliran ini. Crush injury juga dapat
mengehntikan aliran ini. Double crush terjadi ketika adanya injuri
di proksimal dari nerve root sehingga akan menghambat aliran
axoplasmik, sehingga axon rentan mengalami kerusakan.
- Lesi distal pada axon tersebut dianggap bertanggung jawab atas
peningkatan risiko drop foot, biasanya terjadi pada cedera pinggul
pada pasien dengan riwayat stenosis tulang belakang sebelumnya.
D. Faktor Risiko
Adanya dislokasi lutut, pembedahan pada lutut, berat badan berlebih
dan adanya deformitas.
E. Manifestasi Klinis
Hilangnya fungsi motorik dari gerakan eversi dan ekstensi jari-jari kaki
dan dorsifleksi secara keseluruhan atau sebagian dapat terjadi pada
gerakan atau punun di sini.
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Inframerah.
2. Penguatan untuk menguatkan otot-otot pada kaki.

3.2.3 Lesi Brakialis


A. Definisi
Definisi Lesi pleksus brakialis adalah jaringan saraf yang berasal dari
C5-TI. pleksus brakialis adalah persarafan yang berjalan dari leher ke
arah aksial yang dibuat ramus ventral saraf ventral saraf vertebra C5-TI.

27
Lesi pada pleksus brakialis dapat memengaruhi fungsi saraf motorik dan
sensorik pada membrum superium (Setiawan, 2012).
B. Etiologi
Mekanisme yang umum menyebabkan cedera traksi pada pleksus
brakialis adalah penarikan yang kuat pada anggota gerak atas menjauh
dari tubuh. Cedera seperti ini biasanya berasal dari kecelakaan sepeda
motor atau kecelakaan kendaraan bermotor kecepatan tinggi. Jatuh dari
ketinggian tertentu juga dapat menyebabkan cedera pada pleksus
brakialis, baik tipe traksi maupun dari hantaman langsung. Selain itu,
juga sering didapatkan dari luka tembus dan luka tembak berkecepatan
rendah ataupun tinggi, Sedikit lebih jarang, penarikan ke atas yang tiba-
tiba pada satu lengan yang terabduksi (seperti ketika seseorang
menggapai batang pohon untuk mencegah dirinya jatuh) menyebabkan
cedera pada pleksus yang lebih bawah. Ini menyebabkan gejala berupa
clawed hand karena hilangnya fungsi nervus ulnaris dan otot intrinsik
Etiologi tangan yang dipersarafinya (Shin, dkk., 2005).
C. Patofisiologi
Lesi pleksus brakialis terjadi akibat benturan keras sendi bahu yang
mengakibatkan terminal pleksus robek. Terjadi karena tarikan yang kuat
antara leher dengan bahu atau antara ekstremitas atas dengan trunkus.
Patologi saraf muncul diantara dua titik. Pada titik proksimal di medula
spinalis dan akar saraf (nerve root junction), sedangkan pada titik distal
ada di taut neuromuskuler (neuromuscular junction). Processus
coracoideus sebagai pengungkit saat hiperabduksi yang kuat pada bahu.
Selain arah gerakan yang kuat pada pleksus brakialis, kecepatan tarikan
menentukan terjadinya kerusakan saraf sehingga terjadi cedera pada
akar saraf C5-T1 (Songcharoen, 2005).

28
D. Faktor Risiko
Lesi pleksus brakialis disebabkan oleh kekuatan dengan tiba-tiba dan
ber- lebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penekukan atau
terjatuh dengan posisi miring, kecelakaan berkendaraan, jatuh dari
ketinggian. Trauma juga dapat mengakibatkan dislokasi dan sekaligus
merusak jaringan lunak di sekitar dislokasi mulai dari otot, fasia, kulit,
tulang sampai struktur neuromuskuler (Suroto, dkk., 2009)
E. Manifestasi Klinis
Pada kondisi cedera pleksus akan terlihat dan dirasakan, gejala-gejala
yang timbul berupa; (1) nyeri, terutama pada leher dan bahu. Nyeri pada
lokasi suatu saraf sering ada jika telah terjadi ruptur, sedangkan pada
cedera evulsi cir khasnya adalah hilangnya kelunakan perkusi pada area
itu, (2) parestesia dan disestesia, (3) lemahnya tubuh atau terasa berat
menggerakkan ekstremitas, (4) denyut nadi menurun, karena cedera
vaskular mungkin terjadi bersamaan dengan cedera traksi (Sidharta,
2008)
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
Terapi latihan dalam bentuk assisted active movement, assisted active
movement bahu, free active movement bahu, relaxed passive movement
exercise bahu dan siku dapat meningkatkan kekuatan otot. Mekanisme
dari latihan tersebut akan menimbulkan kontraksi suplai darah pada
daerah yang dilatih sehingga jaringan pada daerah tersebut kaya akan
oksigen, dengan demikian akan mempercepat pertumbuhan serabut otot
(muscle fiber) baru yang efeknya akan meningkatkan volume dan massa
otot tersebut sehingga secara langsung kekuatan otot akan bertambah
(Lewit, 2009).

29
3.2.4 Lesi Ulnaris
A. Definisi
Lesi ulnaris disebabkan kompresi saraf pada siku dan tangan, juga
menyebab- kan sindrom kompresi yang lain pada cabang-cabang yang
lebih dari saraf ulnar (Gilman, 1992). Lesi ulnaris merupakan kerusakan
saraf ulnaris yang sering tejadi akibat adanya kompresi (Chusid, 1985).
B. Etiologi
1) Kompresi karena penyumbatan tulang yang kurang baik.
2) Gesekan yang disebabkan oleh penyempitan yang berulang dari
serabut saraf.
3) Dislokasi berulang.
C. Faktor Risiko
1) Faktor mekanik.
2) Faktor vaskular.
D. Manifestasi Klinis
1) Nyeri.
2) Mati rasa.
3) Kelemahan otot tangan.
4) Pembengkakan.
E. Pentalaksanaan Fisioterapi
1) Pemeriksaan laboratorium.
2) Rontgen.
3) Pengobatan medis.
4) Pembedahan.
5) TENS.
6) Masase.
7) Terapi latihan.

30
3.2.5 Lesi Radialis
A. Definisi
Merupakan suatu kelainan fungsional dan struktural pada nervus
radialis, dengan adanya bukti klinis yang menunjukkan terkenanya sara!
tersebut atau jaringan penunjangnya (WHO, 1980). Lesi radialis
merupakan suatu kondisi yang disebabkan paralisis dari kelompok otot
ekstensor dari tangan dan jari dikarenakan cedera saraf radialis (Mosby,
2008)
B. Etiologi
Lesi radialis dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor mnana yang
mungkin terjadi sendiri-sendiri maupun bersamaan (multiple factor).
1) Trauma: Trauma dapat terjadi pada saat olahraga, kerja, pemakaian
kruk atau posisi tangan pada waktu operasi dapat terjadinya lesi
radialis
2) Infeksi: Dapat terjadi karena sifilis, herpes zoster, lepra, dan TBC
3) Toksin: Lebih spesifik mengenai saraf radialis adalah pada lead
Etiologi intoxication.
4) Penyakit vaskular
5) Neoplasma.
C. Faktor Risiko
Pada fraktur dan dislokasi, lesi terjadi karena penekanan saraf
oleh fragmen hematom, kalus yang terbentuk sesudah fraktur, atau
karena peregangan saraf akibat suatu dislokasi. Lesi radialis sering
terjadi pada fraktur kaput humerus. Nervus radialis dapat terjadi akibat
tidur dengan menggantungkan lengan diatas sandaran kursi (saturday
night palsy), atau tidur dengan kepala diatas lengan atas. Akibat
penekan pada waktu saraf ini menembus septum intermukuskularis
lateralis (WHO,1980)

31
Nervus radialis merupakan saraf perifer yang paling sering
tekena cedera Saraf ini terkena pada lesi medula spinalis bagian servikal
dan pleksus brakialis. Trauma perifer dapat mengenai trunkus atau
sebagian cabang nervis seperti dislokasi sendi bahu, fraktur humerus,
pembentukan kalus di sekitar fraktur, tekanan yang timbul dari
penopang atau selama tidur, dalam keadaan anestesi atau mabuk dan
polineuritis yang mengenai nervus radialis juga dapat terjadi (Mosby,
2008).
D. Manifestasi Klinis
1) Penekanan pada lengan atas pada otot trisep.
2) Motorik: kelumpuhan brakioradialis, ekstensor pergelangan tangan
dan
3) Sensorik: perasaan hilangnya sensasi di atas dorsum ibu jari
(WHO
4) Menurut Mosby (2008) gejala yang paling sering terjadi pada lesi
radialis ekstensor digitorum. 1980). adalah nyeri dan keterbatasan
gerak sendi, tidak dapat mengekstensikan siku karena parese trisep,
tidak dapat supinasi meluruskan jari, tidak dapat fleksi siku pada
posisi lengan bawah antara pronasi dan supinasi karena parese M.
brachioradialis
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Menurut WHO (1980) dan Mosby (2008) penatalaksanaan fisioterapi
pada kasus lesi radialis adalah dengan terapi latihan (free active
exercise, passive erercise dan stretching). Latihan tersebut bertujuan
untuk penguatan dan peregangan otot-otot fleksor dan ekstensor trunk
dan memperbaiki atau mengembalikan gerakan sendi yang normal.

32
3.2.6 Lesi Medianus
A. Definisi
Definisi Kelainan struktural pada nervus medianus yang menyebabkan
kelainan fungsional (Campbell, 2012). Gangguan nervus medianus
dapat minimbulkan Velemahan pada otot lengan bawah dan jari-jari
sehingga menimbulkan masalah pada tangan bawah seperti paralisis
pada otot fleksor longus. nergelangan tangan serta jari dan sensasi pada
kulit hilang atau berkurang nada setengah bagian lateral telapak tangan
dan permukaan palmar, ibu jari. telunjuk, jari tengah, dan setengah sisi
radial jari manis Lesi medianus merupakan kerusakan jaringan atau
terjadinya tekanan terhadap nervus medianus di dalam terowongan
karpal pada pergelangan tangan, tepatnya dibawah fleksor retinakulum
(Mumenthaler & Matle, 2006).

Gambar 7. Lesi Medianus

B. Etiologi
Campbell (2012) menyebutkan etiologi dari lesi medianus adalah
trauma langsung maupun tidak langsung.
1) Langsung: Akibat trauma perifer meliputi fraktur dan dislokasi
kaput humeri maupun dislokasi sendi siku.

33
2) Tidak langsung: Biasanya disebabkan oleh penekanan yang terlalu
lama pada aksila (terjadi pada orang yang menggunakan kruk aksila
pada sandaran kursi).
Mumenthaler& Matle (2006) etiologi dari lesi medianus adalah sebagai
berikut.
1) Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
2) Pekerjaan: pekerjaan yang melakukan gerakan mengetuk atau fleksi
dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang. Infeksi:
tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis. Faktor Risiko . Kelemahan
motorik. ianggtan sensorik pada otot yang dipersarafi oleh nervus
medianus.
3) Melemahnya refleks tendon.
4) Pergelangan tangan (wrist) ekstensi dan tidak dapat difleksikan.
5) Pronasi tangan tidak dapat dilakukan
6) Distal jari telunjuk tidak dapat difleksikan
7) Ibu jari tidak dapat beroposisi schingga tidak dapat mendekati ujung
jari jari lainnya (Campbell, 2012)
C. Faktor Risiko
Mumenthaler (2006) menyebutkan faktor risiko yang dapat terjadi
akibat lesí medianus adalah dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan
bawah, pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan.
Diabetes melitus dapat juga menyebabkan terjadinya lesi pada nervus
medianus oleh karena penekanan nervus medianus yang disebabkan
oleh perubahan jaringan ikat Perubahan tersebut termasuk edema
tenosinovial dan akselerasi glikosilasi dengan aktivitas lisil oksidase
yang berujung pada pembentukan kolagen sehingga terbentuk fibrosis
dan pengurangan ketegangan jaringan ikat.

34
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada lesi nervus medianus dapat berupa
(Mumenthaler, 2006):
1) Kelemahan motorik, gangguan sensorik pada otot yang dipersarafi
nervus medianus, gangguan otonom dan melemahnya refleks
tendon. Lesi nervus medianus menyebabkan pergelangan tangan
ekstensi dan tidak dapat difleksikan, pronasi tangan tidak dapat
dilakukan sedangkan phalang distal jari telunjuk tidak dapat
difleksikan dan ibu jari tidak dapat beroposisi sehingga tidak dapat
mendekati ujung jari-jari lainnya.
2) Posisi tangan monkey hand dengan supinasi, ekstensi ujung jari
telunjuk jari tengah dan ibu jari pada sendi metakarpofalangeal,
ekstensi jari sisi radial di sendi interfalangeal oposisi dan abduksi
ibu jari. Penatalaksanaan Fisioterapi Campbell (2012) &
Mumenthaler (2006) mengatakan bahwa penatalaksanaa fisioterapi
pada lesi medianus dapat berupa terapi latihan.

3.2.7 Sindrom Guillain Barre


A. Definisi
Definisi Sindrom Guillain Barré merupakan penyakit langka yang
discbabkan oleh sistem kekebalan seseorang menyerang sistem saraf
tepi dan menycbabkan kelemahan otot bahkan apabila parah dapat
menyebabkan terjadinya kelumpuhan (Japardi, 2002). Sindrom Guillain
Barré adalah polineuropati inflamasi akut yang mengalami
demielinisasi yang disebabkan oleh serangan imun (faktor seluler dan
hormonal) terhadap selubung mielin yang mengakibatkan kelumpuhan
motorik umum pada orang sehat (Ginsberg, 2008)
B. Etiologi
1) Tidak diketahui.

35
2) Infeksi bakteri Compylobacter jejeni
3) Infeksicytomegalovirus dan virus epstein barr (Pourmand, 2008).
Ginsberg (2008) menyebutkan bahwa penyebab dari sindrom Guillain
Barré sampai sekarang belum diketahui, tetapi mekanisme patogenetik
mencakup demielinisasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson
pada sistem saraf perifer. Penyakit sindrom Guillain Barré juga dapat
disebabkan h berbagai proses autoimun seperti Cytomegalovirus
(CMV), Epstein-barr ias, vcoplasma pneumonia dan Compylobacter
jejuni.
C. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit sindrom Guillain Barré
adalah infeksi dari virus dan bakteri tertentu, vaksinasi, pembedahan
dan penyakit sistemik (Poundmard, 2008). Selain hal tersebut,
kehamilan atau dalam fase aifas juga dapat merupakan faktor risiko
penyakit ini (Ginsberg, 2008)

D. Manifestasi Klinis
Poundmard (2008) menyebutkan pasien yang mengalami
sindrom Guillain Barré dapat mengalami kelemahan yang bersifat
progresif pada satu atau lebih ekstremitas, adanya keterlibatan saraf
kranial, perubahan sensori, nyeri, dan perubahan otonom, dan gejala
pada pernapasan.
Manifestasi klinis penyakit sindrom Guillain Barré menurut
Ginsberg (2008) dibagi menjadi dua kategori, yaitu motorik dan
sensorik. Manifestasi motorik dapat berupa paralisis yang bersifat
progresif dan ascenden, penurunan refleks, dan bersifat simetris.
Manifestasi sensorik dapat berupa kesemutan, gangguan sensibilitas
kulit, kesulitan BAB dan BAK, kesulitan bernapas dan menelan, serta
penglihatan kabur.

36
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksaan fisioterapi dalam penyakit sindrom Guillain Barré yaitu
untuk uengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melau imunitas (imunoterapi) (Poundmard, 2008). Sumber lain,
Ginsberg (2005), menyebutkan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus
ini dapat berupa mengurangi nyeri, menghindari terjadinya kontraktur,
dekubitus, dan kelemahan otot. Pemberian breathing exercise bertujuan
untuk meningkatan efektivitas mekanisme batuk dan membantu
pembersihan jalan napas, meningkatkan kekuatan, daya tahan dan
koordinasi dari otot-otot pernapasan, mempertahankan atau
meningkatkan mobilitas dada dan memperbaiki pola pernapasan.
Positioning (pemberian posisi) merupakan program latihan yang harus
dilakukan untuk mencegah luka akibat tekanan. Passive exercise pada
kasus sindrom Cuillain Barré dapat mengurangi rasa nyeri serta
memelihara lingkup gerak sendi.

3.2.8 Polineuropati
A. Definisi
Polineuropati merupakan kelainan fungsi yang bersinambungan pada
beberapa saraf perifer diseluruh tubuh. Sistem saraf perifer terdiri atas
bermacam-macam tipe sel dan elemen yang membentuk saraf motorik,
saraf sensorik, dan saraf autoimun (Mumenthaler & Matlle, 2006),
Polineuropati adalah suatu kondisi yang ditandai dengan gangguan
fungsi dan struktur yang mengenai saraf perifer (Poundmard, 2015)
B. Etiologi
Berikut ini beberapa penyebab dari polineuropati yang sering terjadi:
1) Polineuropati herediter
a. Neuropati motorik dan sensorik herediter.

37
b. Neuropati dengan kecenderungan terhadap palsi tekanan.
2) Polineuropati karena kelainan metabolik
a. Neuropati diabetes.
b. Uremia.
c. Gout.
3) Polineuropati karena infeksi
a. Tifus.
b. Infeksi HIV
c. Polineuropati karena penyakit arteri (Mumenthaler &
Mattle,2006).
Polineuropati disebabkan oleh (Poundmard, 2015) :
1) Infeksi dapat menyebabkan polineuropati, kadang karena racun
yang dihasilkan oleh bakteri.
2) Bahan racun yang dapat melukai saraf perifer dan menyebabkan
polineuropati.
3) Kanker dapat menyebabkan polineuropati dengan menyusup
langsung ke dalam saraf.
4) Kekurangan gizi dan kelainan metabolik juga dapat menyebabka
polineuropati.
5) Penyakit yang dapat menyebabkan polineuropati adalah diabetes,
gagal ginjal, dan kekurangan gizi.
C. Faktor Risiko
1) Defisiensi vitamin (khususnya vitamin B).
2) Penyalahgunaan alkohol.
3) Keracunan.
4) Obat-obatan kemoterapi untuk pengobatan kanker seperti
vincristine dan taxanes (Mumenthaler& Mattle, 2006).
D. Manifestasi Klinis
1) Kram.

38
2) Degenerasi tulang.
3) Perubahan warna kulit, kuku, dan rambut.
4) Tidak dapat merasakan suhu dan nyeri.
5) Ketidakstabilan pada saat berdiri dan berjalan.
6) Kelemahan otot.
7) Atrofi otot (Mumenthaler & Mattle, 2006).
8) Kesemutan, mati rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk
merasakan getaran.
9) Nyeri sering kali bertambah dan timbul di malam hari.
10) Penderita tidak dapat merasakan nyeri dan suhu sehingga mereka
melukai dirinya sendiri.
11) Ketidakmampuan merasakan posisi sendi menyebabkan
ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan.
12) Kelemahan otot dan atrofi otot (Poundmard, 2015).
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Terapi untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi gerak
tubuh (Mumenthaler & Mattle, 2006).
2. Terapi simptomatis untuk mengurangi dan menghilangkan rasa
nyeri (Poundmard, 2015).

3.2.9 Trigeminal Neuralgia


A. Definisi
Trigeminal neuralgia adalah gangguan yang terjadi akibat kelainan dari
nervus kranialis ke-5 yaitu nervus trigeminal yang dikenal juga sebagai
tic douloureux. eminal neuralgia merupakan satu betuk nyeri
neuropatik, bahwa nyeri ropatik ditandai dengan adanya kerusakan saraf
(Ariyawardana, 2012). Trigeminal neuralgia merupakan suatu
kumpulan gejala yang ditandai dengan serangan sakit yang hebat secara

39
mendadak disertai spasme otot wajah dalam waktu singkat
(Balasundram, 2012).

Gambar 8. Trigeminal Neuralgia


B. Etiologi
Debta (2010) menyebutkan bahwa trigeminal neuralgia belum diketahui
penyebabnya (idiopatik). Trigeminal neuralgia terjadi akibat adanya
kompresi askular pada saraf menyebabkan kerusakan saraf trigeminal.
Sharav (2002) iolog dari trigeminal neuralgia adalah sebagai berikut.
1) Penekanan mekanik oleh pembuluh darah.
2) Penekanan oleh lesi atau tumor
3) Sklerosis multipel.
4) Kerusakan secara fisik dari nervus trigeminus oleh karena
pembedahan atau infeksi.
C. Patofisiologi
Patofisiologis terjadinya trigeminal neuralgia sesuai dengan
penyebab terjadinya penyakit tersebut. Penekanan mekanik pembuluh
darah pada akar nervus ketika masuk ke brainstem yang paling sering
terjadi, sedangkan di atas bagian nervus trigeminus atau portio 3 minor
jarang terjadi. Pada orang normal pembuluh darah tidak bersinggungan
dengan nervus trigeminus. Penekanan ini dapat disebabkan oleh arteri
atau vena baik besar maupun kecil yang mungkin hanya menyentuh atau

40
tertekuk pada nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan akar
nervus ini adalah arteri cerebelar superior. Penekanan yang berulang
menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan mielin
(demielinisasi) pada serabut saraf. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan
aktifitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke
nukleus nervus trigeminus dan menimbulkan gejala trigeminal
neuralgia (Nurmikko & Eldridge, 2001).
Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda
spinalis yang ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang
membungkus saraf, jika sudah melibatkan sistem nervus trigeminus
maka akan menimbulkan gejala trigeminal neuralgia. Pada tipe ini
sering terjadi secara bilateral dan cenderung terjadi pada usia muda
sesuai dengan kecenderungan terjadinya sklerosis multipel (Olessen,
1988 ; Kaufmann, 2001 ; Passos, 2001).
Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan
menimbulkan potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf.
Aktifitas ektopik ini terutama disebabkan karena terjadinya perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium sehingga menurunnya nilai
ambang membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan ephaptic
antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang rendah dapat
mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after
discharge (Sharav, 2002 ; Bryce, 2004.
Selain itu aktivitas aferen menyebabkan dikeluarkannya asam
amino eksitatori glutamat. Glutamat akan bertemu dengan reseptor
glutamat alfa-amino-3-hidroxy-5-methyl-4-isaxole propionic acid
(AMPA) di post sinap sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi.
Aktivitas yang meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor
glutamat lain N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium
yang menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini

41
akan menyebabkan saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi
peningkatan kalsium intra seluler. Mekanisme inilah yang menerangkan
terjadinya sensitisasi sentral (Rose, 1997 ; Loeser,2001).
D. Faktor Risiko
Faktor risiko yang biasanya terjadi munculnya secara tiba-tiba pada
wajah, dapat muncul secara mendadak (Suyono, 2010 Faktor risiko lain
biasanya tumor dan sklerosis multipel (Sharav, 2002).
E. Manifestasi Klinis
Rasa nyeri, tertusuk, terbakar Manifestasi Klinis Rasa nyeri muncul
oleh rangsangan trigger zone yang biasa dilakukan pada saat menyikat
gigi, mengenakan riasan, bercukur, cuci muka, bahkan pada saat ada
getaran ketika sedang berlari atau berjalan (Suyono, 2010). Selain gejala
tersebut, pasien juga dapat mengalami nyeri neuropatik, kesulitan sat
menggosok gigi, makan, menelan, dan berbicara (Sharav, 2002).
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1) Terapi farmakologik.
2) Terapi non farmakologik (Suyono, 2010).
3) Terapi medikamentosa.
4) Pembedahan (Sharav, 2002).

42
DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan, vita fatimah, falkutas kesehatan UMP, 2010

Choirunnisa,2017.eprints.umm.ac.id

Farmaka Suplemen Volume 15 Nomor 2

Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari

Genoveva dan Kharunnisa ǀ Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula Spinalis J


Med ula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 48

Ginsberg. L. (2008). Lecture notes neurology. (Edisi 8). Jakarta: Erlangga

Japardi, I. (2002). Sindroma Guillain Barre. USU.

Mace, S. E. (2008). Acute Bacterial Meningitis. Emerg Med Clin N Am, 38.281-317

Mujaddidah, Nur. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun
Medika vol.I no.2

Mumentheler, M.& Mattle. H.(2006). Fundamental of neurology. New York: Theime

Permadi, Agung Wahyu. 2019. Fisioterapi Manajemen Kiomprehensif Praklinik.


Penerbit Buku Kedokteran : EGC. ISBN: 978-623-203-142-5

SN Asiyah.2014.digilib.uinsby.ac.id

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Edisi. 6. Jakarta: EGC.

Syaifuddin. 2016. Anatomi dan Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan dan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta:Buku Kedokteran EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai