Anda di halaman 1dari 47

RENCANA TINDAKAN FISIOTERAPI PADA

KELUHAN MEDIAL TIBIALIS STRESS SYNDROME


(SHIN SPLINT) SINISTRA

DISUSUN OLEH:

ARYANI TRISNA WARDANI


17121001011

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN, SAINS, DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatnya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Rencana Tindakan Fisioterapi pada Keluhan Medial Tibialis Stress
Syndrome (Shin Splint) Sinistra”
Dalam penyusunan makalah ini, kelompok kami menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan baik dari segi penulisan, penyusunan maupun dari
segi isinya, oleh karena itu kelompok kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca dan dosen pembimbing, sehingga penyusunan
selanjutnya dapat lebih sempurna.
Kami mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi kita semua.

Badung, Januari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang….........................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan.....................................................................2
1.3 Manfaat Makalah...................................................................... 2
BAB II. KAJIAN TEORI............................................................................ 3
2.1 Definisi Lari ...............................................................................3
2.2 Definisi Shin Splint…..................................................................3
2.3 Anatomi Fisiologi .......................................................................4
2.4 Etiologi........................................................................................9
2.5 Klasifikasi……..........................................................................10
2.6 Patofisiologi…………………………………………………...11
2.7 Faktor Resiko………………………………………………….11
2.8 Tanda dan Gejala……………………………………………...12
2.9 Komplikasi…………………………………………………….12
2.10 Pemeriksaan………………………………………………….12
2.11 Intervensi…………………………………………………….15
BAB III. RENCANA TINDAKAN FISIOTERAPI................................20
3.1 Keterangan Umum Penderita…………………………………20
3.2 Segi Fisioterapi……………………………………………….20
BAB IV. PENUTUP ..................................................................................38
4.1 Kesimpulan................................................................................38
4.2 Saran…......................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................39
LAMPIRAN

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tulang pada Kaki Lateral…………………………………………….4


Gambar 2.2 Tulang pada Kaki Medial…………………………………………….4
Gambar 2.3 Otot Penyusun Kaki Anterior………………………………………...5
Gambar 2.4 Otot Penyusun Kaki Posterior………………………………………..6
Gambar 2.5 Otot Penyusun Kaki Lateral………………………………………….6
Gambar 2.6 Otot Penyusun Kaki Anterior………………………………………...7
Gambar 2.7 Otot Penyusun Kaki Inferior…………………………………………7
Gambar 2.8 Anatomi Ankle……………………………………………………….8
Gambar 2.9 Tulang Tibia dan Fibula……………………………………………...9
Gambar 2.10 Alat Ukur VAS……………………………….……………………13
Gambar 2,11 Alat TENS…………………………………………………………15

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Olahraga merupakan kegiatan yang dibutuhkan oleh setiap manusia dengan
berolahraga orang dapat menyalurkan ekspresinya melalui hobi dan mencukupi
kepuasan fisik maupun psikis, sehingga kebugaran jasmani dan produktivitas
kerja semakin meningkat. Menurut Suharjana (2013: 1). Olahraga atau aktivitas
fisik merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap orang untuk
mendapatkan kebugaran dan kesehatan.
Padatnya aktivitas maka masyarakat cenderung memilih olahraga yang
praktis, efisien dan mudah dilakukan salah satunya adalah jogging atau lari.
Namun dengan minimnya pemahaman masyarakat tentang bagaimana
melakukan olah raga dengan baik dan benar sehingga melakukan kegiatan
olahraga tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan atau secara
tidak sengaja melakukan gerakan yang salah sehingga dapat menyebabkan
cedera pada tungkai bawah. Cedera dapat mengenai otot, ligamen, maupun
tulang, Cedera biasanya dikarenakan oleh kurangnya pemanasan, beban
olahraga yang berlebih, tidak melakukan gerakan dengan benar, pemilihan
lapangan yang salah dan abnormalitas postur yang makin meningkatkan resiko
cedera, cedera sering terjadi akibat beban olahraga yang berlebih (overtraining)
pada tungkai bawah adalah Shin Splint. .
Menurut (Trackher, 2002) shin splint secara umum terdiri dari satu atau
lebih proses patologi, diantaranya bone stress pada tulang tibia, Inflamasi pada
periosteum dan fasciamedial tibialis dan peningkatan tekanan compartement
pada muscle lower leg akibat overuse dan inflammation. Shin splint merupakan
rasa nyeri pada bagian dalam tulang tibia karena adanya inflamasi pada
periosteum otot tibialis posterior dikarenakan trauma berulang akibat aktifitas
olahraga, berjalan pada permukaan yang tidak rata atau keras. Keadaan ini
kemudian mengakibatkan inflamasi pada periosteum dengan nyeri sebagai

5
keluhan utamanya dan berhubungan dengan pembengkakan. Secara fisiologis
nyeri dapat hilang timbul dengan penggunaan atau setelah lama beraktifitas
olahraga. Apabila dilakukan dengan aktifitas olahraga secara terus-menerus
dapat mengalami kerusakan jaringan yang luas dan nyeri akan meningkat
menjadi lebih sering dan menetap.
Jeffery (2011), selain rasa nyeri mungkin juga adanya bengkak di sekitar
tulang tibia dan keluhan lainnya dapat berupa tenderness di bagian medial
tulang tibia, rasa nyeri pada saat awal mula berlari yang terus-menerus hingga
keesokan harinya sehingga tidak nyaman ketika berjalan dan berlari.
1.2 Maksud dan Tujuan
Agar dapat mengetahui penanganan fisioterapi pada kasus kasus Shin splint
1.3 Manfaat Makalah
Untuk memberikan edukasi dan menambah pengetahuan terkait dengan
penanganan fisioterapi pada kasus shin splint

6
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Lari


Lari adalah Gerakan tubuh dimana kedua kaki ada saat melayang di udara
(kedua telapak kaki lepas dari tanah) yang mana lari diartikan berbeda dengan
jalan yang selalu kontak dengan tanah. Lari adalah frekuensi langkah yang
dipercepat sehingga pada waktu berlari ada kecenderungan badan melayang.
Artinya pada waktu lari kedua kaki tidak menyentuh tanah sekurang-kurangnya
satu kaki tetap menyentuh tanah. Lari adalah langkah terus menerus dan ada saat
melayang.
Jadi lari merupakan gerakan tubuh dimana pada suatu saat semua kaki tidak
menginjak tanah (ada saat melayang di udara) berbeda dengan jalan yang salah
satu kaki harus tetap ada yang kontak dengan tanah.
2.2 Definisi Shin Splint
Medial tibial stress syndrome (MTSS) yang dikenal juga dengan sebutan
“shin splints” adalah cedera stres berulang yang menyebabkan rasa sakit di
sepanjang tepi bagian dalam tulang kering. Reaksi stres dari tibia dan otot-otot
disekitarnya ini terjadi karena tubuh belum benar-benar pulih dengan baik dari
kontraksi otot dan cedera tibial yang sudah sering terjadi sebelumnya. Medial
tibial stress syndrome paling sering dialami oleh para atlet atau orang yang
sering melakukan aktivitas fisik yang menuntut untuk banyak berlari dan
melompat. Dari semua cedera yang dialami oleh pelari, 13–17 persen
diantaranya disebabkan oleh medial tibial stress syndrome berulang. Penari
aerobik juga berisiko sebanyak 22 persen mengalami MTSS. Sedangkan orang
militer yang menjalani pelatihan dasar, memiliki risiko cedera MTSS sebanyak
4–8 persen. Meningkatkan intensitas atau frekuensi olahraga secara tiba-tiba
membuat otot yang belum siap mengalami stres dan akhirnya cedera. Stres yang
berulang inilah yang dikaitkan dengan terjadinya medial tibial stress syndrome.
Ketidakseimbangan otot, otot-otot kaki bawah (termasuk otot gastrocnemius,

7
soleus, dan plantar) yang lemah dan kaku dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya MTSS.
2.3 Anatomi Fisiologi
Ankle dan kaki merupakan struktur komplek yang terdiri dari 28 tulang dan
55 artikulasi yang dihubungkan dengan ligamen dan otot. Ankle merupakan
sendi yang menopang beban tubuh terbesar pada permukaannya, puncak beban
mencapai 120% ketika berjalan dan hampir 275% ketika berlari. Sendi dan
ligamen berperan sebagai stabilitator untuk melawan gaya dan menyesuaikan
ketika aktivitas menahan beban agar stabil (Dutton, 2012).
2.3.1 Struktur Tulang Regio Ankle
Bagian distal dari tulang tibia dan fibula berartikulasi dengan tulang
tarsal pada pergelangan kaki yang membentuk struktur kaki. Yang termasuk
tulang tarsal adalah calcaneus, talus, navicular, cuneiform 1, cuneiform 2,
cuneiform 3 dan cuboid, hampir sama dengan tulang carpal pada tangan.
Dikarenakan menumpu beban yang besar maka bentuk dan ukurannya lebih
luas. Kaki memiliki persendian yang kompleks dengan 7 tulang tarsal, 5
tulang meta tarsal dan 14 tulang phalang yang menopang beban tubuh ketika
berdiri, berjalan dan berlari. Penyusun tulang kaki tertera pada gambar 2.1
dan gambar 2.2 (Wright, 2011).

Gambar 2.1 Tulang pada kaki lateral view (Miller, 2008)

8
Gambar 2.2 Tulang pada kaki medial view (Miller, 2008)
2.3.2 Stuktur Otot Regio Ankle
Sendi ankle terbentuk dari struktur yang kompleks seperti tulang,
ligamen dan otot. Struktur tersebut yang memungkinkan sendi ankle
menjadi fleksibel dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Fleksibilitas
ini dibutuhkan karena kaki beresentuhan langsung dengan tanah dan harus
dapat beradaptasi ketika berubah posisi. Fungsi otot sangat berpengaruh
terhadap fleksibilitas tersebut. Otot pada kaki dibedakan menjadi empat
macam, yaitu : Otot bagian anterior yang ditunjukkan dalam gambar 2.3 (m.
tibialis anterior, m. peroneus tertius, m. extensor digitorum longus, m.
extensor hallucis longus) berfungsi untuk gerakan dorsi fleksi.

Gambar 2.3 Otot penyusun kaki anterior view (Sobotta, 2010)


a. Otot bagian posterior yang ditunjukkan dalam gambar 2.4 (m.
gastrocnemius, m. soleus, m. plantaris, m. flexor digitorum longus, m.
flexor hallucis longus, m. tibialis anterior) berfungsi untuk gerakan
plantar fleksi.

9
Gambar 2.4 Otot penyusun kaki posterior view (Sobotta, 2010)
b. Otot bagian lateral seperti yang tertera pada gambar 2.5, terdiri dari
m.tibialis anterior untuk gerakan supinasi dan m. peroneus tertius yang
berfungsi untuk gerakan pronasi.

Gambar 2.5 Otot penyusun kaki lateral view (Sobotta, 2012)


c. Otot bagian dalam, m. extensor digitorum longus untuk gerakan ekstensi
empat jari kaki dan m. extensor hallucis longus untuk gerakan supinasi
serta gerakan ekstensi tungkai kaki, m. dorsal pedis untuk gerakan
abduksi jari kaki, m. plantar interossei, m. lumbricalis, m. digiti minimi,
m.flexor digiti minimi, m. flexor hallucis brevis, m. flexor digitorum
brevis, m. abductor digiti minimi, m.abductor hallucis seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.6 dan gambar 2.7 (Cael, 2010)

10
Gambar 2.6 otot penyusun kaki bagian anterior view (Sobotta, 2012)

Gambar 2.7 otot penyusun kaki bagian inferior view (Sobotta, 2012)
2.3.3 Persendian Regio Ankle
Persendian Menurut Premkumar (2012) Sendi pergelangan kaki (Ankle
Joint) terdiri dari bagian distal dari tulang tibia, distal fibula dan bagian superior
tulang talus. Jenis dari ankle joint adalah hinge joint. Dengan bagian lateral dan
medial diikat oleh ligamen. Adapun artikulasi disekitarnya antara lain adalah
talus dan calcaneus (subtalar joint), antara tulang tarsal (midtarsal joint), antar
tarsal bagian depan (anterior tarsal joint), antara tarsal dengan metatarsal
(tarsometatarsal joint), antara metatarsal dengan phalang (metatarsophalangeal
joint) dan antara phalang (proximal & distal interphalangeal joint).
2.3.4 Ligamen Regio Ankle

11
Ankle tersusun oleh tulang, ligamen, tendon, dan jaringan penghubung.
Susunan sendi ankle terdiri atas distal tibia,fibula, dan superior talus. Ligamen
anterior talofibular sebagai stabilizer utama untuk bagian lateral
mengungkapkan bahwa sendi ankle disusun oleh tiga ligamen ankle yakni
ligamen anterior talofibular ligamen, ligamen calcaneal fibular dan ligamen
posterior talofibular. Susunan sendi ankle dapat dilihat pada Gambar 2.8

Gambar 2.8 Anatomi Ankle (Colbenson and McMahon, 2016).


Tanda panah menunjukkan anterior talofibular ligament dan calcaneal
fibular ligament
Anterior talofibular ligament menahan inversi ketika plantar fleksi dan
calcaneofibular ligament ketika dorsifleksi (Pada saat dorsofleksi anterior
talofibular ligament tegang dan calcaneofibular ligament renggang, sedangkan
plantar fleksi terjadi sebaliknya). Calcaneofibular ligament lebih tebal secara
struktur, lebih kuat dibandingkan anterior talofibular ligament, dan berfungsi
pula untuk mencegah adduksi pada posisi netral dan posisi dorsofleksi. Selain
itu, karena calcaneofibular ligament terbentang dari lateral ankle joint sampai
subtalar joint, ligamen ini berkontribusi terhadap stabilitas untuk sendi ankle dan
subtalar. Posterior talofibular ligament merupakan ligamen yang paling kuat
diantara ketiga ligamen di lateral.Ligamen ini mengalami tekanan paling kuat
ketika dorsifleksi dan berfungsi membatasi posterior talar displacement dalam
mortise dan rotasi eksterna dari talus. Apabila terdapat disrupsi pada anterior

12
talofibular ligament dan calcaneofibular ligament, posterior talofibular
ligament berfungsi membatasi rotasi interna dan aduksi pergelangan kaki ketika
dorsofleksi (Hoagland, 2015).
2.3.5 Tulang Tibia
Tulang kering (tibia) adalah tulang besar dan lebih kuat yang ditemukan di
kaki bagian bawah pada vertebrata yang menghubungkan pergelangan kaki
dengan lutut, seperti pada manusia. Tulang tibia juga berfungsi untuk
membentuk bagian dari kerangka pada kaki bagian bawah, di mana ia
mendukunggerakan kaki, menciptakan titik di mana otot-otot yang dimasukkan,
menyimpan mineral dan menghasilkan selsel darah dalam sumsum tulang.
Tubuh vertebrata mengandung satu tulang tibia di setiap kaki. Tibia adalah
tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
Ujung atas memperlihatkan adanya kondil medial dan kondil lateral. Kondi-
kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang.
Permukaan superior memperlihatkkan dua dataran permukaan persendian untuk
femur dalam formasi sendi lutut. Kondil lateral memperlihatkan posterior sebuah
faset untuk persendian dengan kepala fibula pada sendi tibio-fibuler superior.
Kondil-kondil ini di sebelah belakang dipisahkan oleh lekukan popliteum.
Batang dalam irisan melintang bentuknya. Sisi anteriornya paling menjulang dan
sepertiga sebelah tengah terletak subkutan. Bagian ini membentuk krista tibia.

Gambar 2.9 Tulang tibia dan fibula (sumber : google)


2.4 Etiologi

13
Penyebab pasti cedera medial tibial stress syndrome masih belum diketahui.
Namun cedera MTSS, sering dikaitkan dengan terlalu besarnya tekanan pada
kaki bawah karena adanya ketidakwajaran biomekanik. Hal ini yang
mengakibatkan semakin besarnya stres yang diberikan pada tibia atau tulang
kering. Meningkatkan intensitas atau frekuensi olahraga secara tiba-tiba
membuat otot yang belum siap mengalami stres dan akhirnya cedera. Stres
yang berulang inilah yang dikaitkan dengan terjadinya medial tibial stress
syndrome. Ketidakseimbangan otot, otot-otot kaki bawah (termasuk otot
gastrocnemius, soleus, dan plantar) yang lemah dan kaku dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya MTSS.
Sedangkan rasa sakit yang timbul di daerah tulang kering, berasal dari
gangguan serat Sharpey yang menghubungkan medial soleus fascia melalui
periosteum tibia di mana ia dimasukkan ke dalam tulang. Bila stres otot terus
berulang, dampaknya adalah eksentrik soleus akan mengalami kelelahan dan
membuat tibial semakin membungkuk hingga akhirnya menyebabkan kondisi
medial tibial stress syndrome. Kondisi MTSS ini bisa menjadi semakin buruk
bila melakukan aktivitas, seperti berlari di jalanan menanjak serta menurun dan
di atas medan yang tidak rata atau di permukaan yang keras. Menggunakan alas
kaki yang tidak tepat saat berolahraga juga ikut memicu terjadinya cedera
medial tibial stress syndrome.
2.5 Klasifikasi
Untuk menilai tingkat keparahan shin splint, terdapat 4 tolak ukur yang
dapat di perhatikan :
 Tingkat 1 : tulang kering nyeri 2 sampai 3 jam setelah latihan. Dengan
sedikit aktifitas dapat mengurangi rasa sakit.
 Tingkat 2 : tulang kering nyeri sebelum dan setelah olahraga tetapi tidak
mempengaruhi performa.
 Tingkat 3 : tulang kering nyeri sebelum, selama dan sesudah olahraga serta
mempengaruhi performa.
 Tingkat 4 : rasa nyeri parah, tidak dapat beraktifitas. Harus di lakukan
rujukan ke dokter atau fisioterapis jika sakit berlanjut setelah satu minggu.

14
2.6 Patofisiologi
Sementara ini penyebab pasti belum diketahui, Tetapi Shin splints dapat
dikaitkan dengan overuse dari kaki bagian bawah karena ketidakteraturan
biomekanik mengakibatkan peningkatan stres yang diberikan pada tibia.
Peningkatan mendadak dalam intensitas atau frekuensi otot dalam beraktivitas
dapat mengakibatkan kelelahan terlalu cepat yang akan memaksa tibia untuk
bekerja lebih keras. Stres ini terkait dengan timbulnya Shin splints.
ketidakseimbangan otot, termasuk otot inti yang lemah seperti gastrocnemius,
soleus, dan otot plantar (umumnya fleksor digitorum longus) dapat
meningkatkan kemungkinan Shin splints.
Rasa sakit yang terkait dengan Shin splints disebabkan oleh gangguan serat
Sharpey yang menghubungkan fasia medial soleus melalui Periosteum tibia di
mana ia memasukkan ke dalam tulang dengan stres berulang. Kekuatan
dampak secara eksentrik dari kelelahan soleus dan menciptakan tibialis yang
melengkung atau bowing, berkontribusi untuk terjadinya Shin splints.
Dampaknya akan memburuk dengan berolahraga di jalan menanjak, menuruni
bukit, pada medan yang tidak rata, atau permukaan yang keras. Alas kaki yang
tidak tepat, juga dapat berkontribusi pada Shin
2.7 Faktor Resiko
Shin splint biasanya terjadi karena aktivitas fisik yang berlebihan.
Kelompok yang umumnya terpengaruh termasuk pelari, penari, dan personil
militer..Faktor risiko untuk mengembangkan splints Shin meliputi:
1. Flat foot atau kaki datar
2. Kelebihan berat badan (obesitas)
3. Otot betis terlalu kaku (yang dapat menyebabkan pronasi berlebihan)
4. Melibatkan otot Shin medial dalam jumlah berlebihan pada aktivitas otot
eksentrik
5. Melakukan latihan yang berdampak tinggi pada permukaan yang keras dan
tidak rata (seperti berlari di aspal atau beton)
6. Orang yang sebelumnya pernah mengalami Shin splints lebih mungkin
untuk terkena lagi

15
2.8 Tanda dan Gejala
Dalam evaluasi nyeri ekstremitas bawah, diagnosis dari sindrom medial
tibialis stress syndrome (shin splint) adalah melalui pemeriksaan fisik. Tanda
dan gejala yang ditimbulkan selama melakukan tes yang mendukung adanya
MTSS meliputi:
1. Adanya nyeri sepanjang 2/3 distal dari perbatasan medial tibialis saat
berolahraga atau melakukan aktifitas.
2. Adanya rasa sakit yang terjadi selama atau setelah melakukan aktivitas fisik,
yang akan berkurang setelah melakukan istirahat relatif
3. Tidak adanya kram, rasa sakit terbakar di atas tibialis posterior, atau mati
rasa atau kesemutan di kaki
4. Adanya rasa nyeri yang dirasakan ketika dilakukan palpasi pada perbatasan
tibialis posteromedial > 5 cm
5. Tidak adanya temuan lain tidak khas MTSS (misalnya, pembengkakan
parah, eritema, dll)
Jika terdapat tanda dan gejala di atas, maka diagnosis MTSS dapat
dilakukan secara tepat. Jika komponen tanda dan gejala di atas tidak ditemukan,
mungkin penyebab nyeri ekstremitas bawah bukanlah MMTS sehingga
pemeriksaan harus fokus pada penyebab yang berbeda dari nyeri ekstremitas
bawah.
2.9 Komplikasi
Komplikasi akut untuk atlet dan personil militer termasuk rasa sakit yang
mengarah pada penurunan kinerja. Dugaan sementara adalah bahwa medial
tibialis stress syndrome dapat menuju ke patah tulang dan dapat berkembang
menjadi fraktur kortikal. Namun tidak setiap orang yang mengalami MTSS akan
menjadi sebuah cedera berupa patah tulang tetapi cedera patah tulang yang parah
mungkin memerlukan intervensi bedah
2.10 Pemeriksaan
2.10.1 VAS (Visual Analogue Scale)
Visual Analogue Scale (VAS) menurut Reips & Funke (2008) adalah
sebuah respon skala psikometrik yang dapat digunakan dalam kuesioner, dan

16
merupakan instrumen pengukuran dalam karakteristik subjektif. VAS
diperkenalkan oleh American Pshycological Association biasa digunakan
dalam dunia kedokteran dan psikologi, namun tidak menutup kemungkinan
digunakan untuk kepentingan lain. VAS memuat hanya satu pertanyaan yang
dapat dijawab oleh responden, satu pertanyaan tersebut hanya mewakili
pernyataan yang disampaikan oleh peneliti terhadap responden. Skala yang
terdapat pada VAS bernama skala Likert , memiliki garis lurus dari mulai nol
sampai 10, atau dari nol sampai 100. Penggunaan skala dalam VAS didukung
oleh keterangan visual berupa gambar ekspresi rasa sedih.

Gambar 2.10 alat ukur nyeri VAS (Visual Analogue Scale)


(sumber: google)
2.10.2 ROM (Range of Motion)
ROM (Range of Motion) adalah jumlah maksimum Gerakan yang
mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh yaitu
sagittal, transversal dan frontal. Potongan sagittal adalah garis yang
melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri
dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi
tubuh menjadi bagian depan dan belakang dan potongan transversal adalah
garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bahian atas dan bawah.
Mobilisasi sendi di setiap potongan dibatasi oleh ligament, otot dan
konstruksi sendi. Beberapa Gerakan sendi spesifik untuk setiap potongan.
Pada potongan sagittal, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari
tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal,
gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai) serta eversi
dan inversi (kaki). Pada potongan transversal, Gerakan adalah pronasi dan

17
supinasi (tangan) rotasi internal dan eksternal (lutut) serta dorsofleksi dan
plantarfleksi (kaki).

Gambar 2.11 Alat goniometer yang untuk mengukur ROM (Range


of Motion)
2.10.3 MMT (Manual Muscle Testing)
Pengukuran kekuatan otot adalah suatu pengukuran untuk
mengevaluasi kontraktilitas termasuk didalamnya otot dan tendon dan
kemampuannya dalam menghasilkan suatu usaha. Pemeriksaan kekuatan
otot diberikan kepada individu yang dicurigai atau actual yang mengalami
gangguan kekuatan otot maupun daya tahannya. Dalam pengkuran kekuatan
otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual
yang disebut MMT (Manual Muscle Testing). Pemriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui kemampuan otot mengkontraksi kelompok otot secara
volunteer.
Dalam Manual Muscle Testing (MMT), kekuatan diukur dengan skala lima
poin yaitu:
 Nilai 0 : Tidak ada kontraksi atau tonus otot sama sekali.
 Nilai 1 : Terdapat kontraksi atau tonus otot tetapi tidak ada
gerakan sama sekali.
 Nilai 2 : Mampu melakukan gerakan namun belum bisa
melawan garvitasi.
 Nilai 3 : Mampu bergerak dengan lingkup gerak sendi secara
penuh dan melawan gravitasi tetapi belum bisa melawan tahanan
minimal.

18
 Nilai 4 : Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dan dapat
melawan tahanan sedang.
 Nilai 5 : Mampu melawan gravitasi dan mampu melawan
tahanan maksimal.
2.11 Intervensi
2.11.1 Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah modalitas
fisioterapi yang menghasilkan arus listrik dengan frekuensi rendah yang
digunakan untuk menghasilkan kontraksi otot atau modifikasi implus nyeri
melalui efek-efek saraf sensorik. Rangsangan pada serabut saraf sensorik yang
bermyelin tebal akan menghasilkan efek inhibisi atau blocking terhadap
aktivitas serabut saraf bermyelin tipis atau tidak bermyelin yang membawa
implus nyeri, sehingga informasinya nyeri tidak sampai sistem saraf pusat
(Pranata, 2013).

Gambar 2.11 alat TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)


(Sumber:google)
2.11.2 Ultrasound
Terapi ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas) yang
dapat mengurangi nyeri akut maupun kronis. Terapi ini menggunakan arus
listrik yang dialirkan lewat transducer yang mengandung kristal kuarsa yang
dapat mengembang dan kontraksi serta memproduksi gelombang suara
yang dapat ditransmisikan pada kulit serta ke dalam tubuh. Peralatan yang

19
dipergunakan pada terapi ultasound adalah generator penghasil frekuensi
gelombang yang tinggi, dan transducer yang terletak pada aplikator.
Transducer terbuat dari kristal sintetik seperti barium titanate atau
sirkon timbal titanat yang memiliki potensi piezeloelectric yakni potensi
untuk memproduksi arus listrik bila dilakukan penekanan pada kristal.
Terapi ultrasound biasanya dilakukan pada rentang frekuensi 0.8 sampai
dengan 3 megahertz (800 sampai dengan 3,000 kilohertz). Frekuensi yang
lebih rendah dapat menimbulkan penetrasi yang lebih dalam (sampai
dengan 5 sentimeter). Frekuensi yang umumnya dipakai adalah 1000
kilohertz yang memiliki sasaran pemanasan pada kedalaman 3 sampai 5 cm
dibawah kulit. Pada frekuensi yang lebih tinggi misalkan 3000 kilohertz
energi diserap pada kedalaman yang lebih dangkal yakni sekitar 1 sampai 2
cm. Gelombang suara dapat mengakibatkan molekul molekul pada jaringan
bergetar sehingga menimbulkan energi mekanis dan panas. Keadaan ini
menimbulkan panas pada lapisan dalam tubuh seperti otot, tendo, ligamen,
persendian dan tulang. Penetrasi energi ultrasound bergantung pada jenis
dan ketebalan jaringan. Jaringan dengan kadar air yang tinggi menerap lebih
banyak energi sehingga suhu yang terjadi lebih tinggi. Pada jaringan lokasi
yang paling berpotensi untuk terjadi peningkatan suhu yang paling tinggi
adalah antara tulang dan jaringan lunak yang melekat padanya.
2.11.3 Massage
Massage dalam bahasa arab dan perancis berarti menyentuh atau
meraba. Dalam bahasa Indonesia disebut pijat atau urut.Selain itu masase
dapat disempurnakan dengan ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau
gerakan-gerakan tangan yang mekanis terhadap tubuh manusia dengan
mempergunakan bermacam-macam bentuk pegangan atau teknik
(Bambang Trisno Wiyanto, 2012). Pengaplikasian massage pun di bagi
menjadi beberapa macam Teknik yaitu :
1. Eflourage (gosokan)
Eflourage adalah suatu gerakan dengan mempergunakan seluruh
permukaan telapak tangan melekat pada bagian tubuh yang

20
digosok.Bentuk telapak tangan dan jari-jari selalu menyesuaikan dengan
bagian tubuh yang digosok.Tangan menggosok secara supel menuju
kearah jantung dengan dorongan dan tekanan.
2. Petrissage (pijitan)
Petrissage adalah suatu gerakan pijatan dengan mempergunakan
empat jari merapat berhadapan dengan ibu jari yang selalu lurus dan
supel.
3. Shocking (goncangan)
Shocking adalah suatu gerakan goncangan dengan mempergunakan
satu tangan atau kedua belah tangan dan biasanya dilakukan di daerah
otot-otot paha, tungkai bawah, kaki, tengkuk, bahu, lengan atas dan
bawah, tangan dan daerah perut.Bagian tubuh yang digoncang harus
benar-benar lemas dan rileks dahulu.
4. Tapotement (pukulan)
Tapotement adalah suatu gerakan pukulan dengan mempergunakan
satu tangan atau kedua belah tangan bergantian. Variasi tapotement :
a. Beating
Gerakan pukulan dengan mempergunakan jari-jari lemas dan
menggenggam sikap pergelangan tangandorsofleksi (menekuk
kebelakang).
b. Clapping
Suatu gerakan pukulan dengan mempergunakan telapak tangan
dan jari-jari yang membuat cekung, sikap pergelangan tangan
palmar fleksi, bergerak ganti berganti.
c. Friction (gerusan)
Suatu gerakan gerusan kecil-kecil yang dilakukan dengan
mempergunakan ujung tiga jari, (jari telunjuk, jari tengan dan manis)
yang merapat.
d. Fibration (getaran)
Suatu gerakan getaran yang dilakukan dengan mempergunakan
ujung jari-jari atau seluruh permukaan telapak tangan.

21
e. Stroking (mengurut)
Suatu gerakan mengurut dengan mempergunakan ujung-ujung
tiga jari yang merapat (jari telunjuk, tengah dan manis). Untuk
menguatkan tekanan, tangan lain dapat membantunya. (Bambang
Trisno Wiyanto, 2012).
2.11.4 Streching (peregangan)
Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
setiap menuver terapi yang dirancang untuk meningkatkan pemanjangan
jaringan lunak dengan demikian meningkatkan fleksibilitas dengan
memperpanjang struktur yang adaptif diperpendek dan telah menjadi
hypomobile dari waktu ke waktu.
Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang
pertama yang akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan
tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan
bila dilakukan terus menerus, otot akan beradaptasi dan hal ini hanya
bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan
respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan
sarkomer otot. Setiap otot tersusun atas beberapa serabut otot. Satu serabut
otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari
beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer
merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan
miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan
pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan
elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang, maka
pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan
tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan
dilepaskan, maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length.
Kecendrungan otot (Ilyas, 2016).
2.11.5 Balance Exercise
Balance Exercise adalah latihan khusus untuk membantu meningkatkan
kekuatan otot pada anggota gerak bawah dan sistem vestibular atau

22
keseimbangan tubuh (Jowir, 2012). Ada beberapa gerakan yang digunakan
dalam balance exercise, seperti gerakan plantar fleksi, hip fleksi, hip
ekstensi, knee fleksi, side leg rise dan ditambah dengan Cawthorn’s Head
Exercises yang meliputi eye-ear exercise, eye exercise, dan head exercise.
2.11.6 Strengthening
Kekuatan (strength) yaitu suatu kemampuan kondisi fisik manusia yang
diperlukan dalam peningkatan prestasi belajar gerak. Kekuatan merupakan
salah satu unsur kondisi fisik dalam berolahraga karena dapat membantu
meningkatkan komponen-komponen seperti kecepatan, kelincahan, dan
ketetapan. Kekuatan adalah kemampuan kontraksi seluruh sistem otot
dalam menerima beban atau tahanan baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar dan mampu mengatasi suatu tekanan dalam waktu kerja tertentu
sehingga kekuatan ini sebagai dasar dari komponen kondisi fisik lain guna
menunjang komponen kondisi fisik tersebut. Strength atau kekuatan
mengacu pada kemampuan jaringan kontraktil otot untuk menghasilkan
ketegangan dan gaya resultan pada otot (McArdle, et al., 2009). Kekuatan
otot adalah istilah luas yang mengacu pada kemampuan jaringan kontraktil
untuk menghasilkan ketegangan dan gaya resultan berdasarkan kapasitas
otot tersebut (Kisner & Colby, 2012).
Kekuatan otot merupakan kemampuan otot menahan beban baik berupa
beban eksternal maupun beban internal. Kekuatan otot sangat berhubungan
dengan sistem neuromuskular yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf
mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Dengan demikian semakin
banyak serabut otot teraktivasi maka semakin besar pula kekuatan yang
dihasilkan oleh otot.

23
BAB III
RENCANA TINDAKAN FISIOTERAPI

3.1 Keterangan Umum Penderita


Nama : I Made Sansekerta
Tanggal Lahir : Denpasar, 02 Februari 1995
Umur : 25 Tahun
Alamat : Jl. Besakih, gang sandat no. 10
Pendidikan : D3 Manajemen
Pekerjaan : Atlet lari marathon
Agama : Hindu
Hobi : Skate board
Tanggal Pemeriksaan : 1 Desember 2019
Diagnosa Medis : Medial Tibialis Stress Syndrome Sinistra (Shin
Splint Sinistra)
3.2 Segi Fisioterapi
3.2.1 Pemeriksaan Subjektif
1. Nordic Body Map
Kuisioner Kelelahan Umum dengan 30 Item Pertanyaan

No Pertanyaan Ya/Tidak
1 Apakah saudara merasa berat di bagian kepala ? Tidak
2 Apakah saudara merasa lelah pada seluruh badan ? Tidak
3 Apakah kaki saudara merasa berat ? Tidak
4 Apakah saudara menguap ? Tidak
5 Apakah pikiran saudara merasa kacau ? Tidak
6 Apakah saudara merasa mengantuk ? Tidak
7 Apakah saudara merasa ada beban pada mata ? Tidak
Apakah saudara merasa kaku atau canggung dalam
8 Ya
bergerak?

24
9 Apakah saudara merasa sempoyongan dalam berdiri ? Tidak
10 Apakah ada perasaan ingin berbaring ? Tidak
11 Apakah saudara merasa susah berpikir ? Tidak
12 Apakah saudara merasa lelah untuk berbicara ? Tidak
13 Apakah perasaan saudara menjadi gugup ? Tidak
14 Apakah saudara tidak bisa berkonsentrasi ? Tidak
Apakah saudara tidak dapat memusatkan perhatian
15 Tidak
terhadap sesuatu ?
Apakah saudara mempunyai kecendrungan untuk lupa
16 Tidak
?
17 Apakah saudara merasa kurang percaya diri ? Tidak
18 Apakah saudara merasa cemas terhadap sesuatu ? Tidak
19 Apakah saudara merasa tidak dapat mengontrol sikap ? Tidak
20 Apakah saudara merasa tidak tekun dalam pekerjaan ? Tidak
21 Apakah saudara sakit kepala ? Tidak
22 Apakah saudara merasa kaku di bagian bahu ? Tidak
23 Apakah saudara merasa nyeri di bangian punggung ? Tidak
24 Apakah nafas saudara merasa tertekan ? Tidak
25 Apakah saudara merasa haus ? Tidak
26 Apakah saudara merasa serak ? Tidak
27 Apakah saudara merasa pening ? Tidak
28 Apakah kelopak mata saudara merasa kejang ? Tidak
Apakah anggota badan saudara terasa bergetar (tremor)
29 Tidak
?
30 Apakah saudara merasa kurang sehat ? Tidak
Dari hasil Kuesioner dengan 30 item pertanyaan dapat disimpulkan:
 Berdasarkan pertanyaan nomor 1-10 menggambarkan kondisi
musculoskletal yang baik karena hanya 90% dari 10 (sepuluh) item tersebut
tidak memiliki gangguan selain terasa kaku atau canggung saat bergerak.

25
 Berdasarkan pertanyaan nomor 11-20 menggambarkan kondisi umum yang
baik terbukti 100% dari 10 (sepuluh) item tersebut klien tidak memiliki
masalah pada motivasi.
 Berdasarkan pertanyaan 21-30 menggambarkan kondisi fisik yang baik
karena dari 100% dari 10 (sepuluh) item tersebut tidak memiliki gangguan.
Tabel 1. Nordic Body Map Questionare
No. Lokasi Penderita Keterangan
0 Sakit kaku pada leher atas A
Tidak Terasa Sakit (A)
1 Sakit pada leher bawah A
Sedikit Sakit (B)
2 Sakit pada bahu kiri A
Sakit (C)
3 Sakit pada bahu kanan A
Sangat Sakit (D)
4 Sakit pada lengan atas kiri A
5 Sakit pada punggung A
6 Sakit pada lengan atas kanan A
7 Sakit pada pinggul A
8 Sakit pada pantat (buttock) A
9 Sakit pada pantat (Buttom) A
10 Sakit pada siku kiri A
11 Sakit pada siku kanan A
12 Sakit pada lengan bawah kiri A
13 Sakit pada lengan bawah kanan A
14 Sakit pada pergelangan tangan kiri A
15 Sakit pada pergelangan tangan kanan A
16 Sakit pada tangan kiri A
17 Sakit pada tangan kanan A
18 Sakit pada paha kiri A
19 Sakit pada paha kanan A
20 Sakit pada lutut kiri A
21 Sakit pada lutut kanan A
22 Sakit pada betis kiri D

26
23 Sakit pada betis kanan A
24 Sakit pada pergelangan kaki kiri A
25 Sakit pada pergelanagn kaki kanan A
26 Sakit pada kaki kiri A
27 Sakit pada kaki kanan A

Gambar 1. Nordic
Body Map
Questionnaires

= tidak sakit

= sedikit sakit

= sakit

= sangat sakit

Gambar Nordic Body Map

Berdasarkan hasil Nordic Body Map Questionare diatas dilihat pada gambar
secara umum memiliki gangguan anggota gerak yaitu Sangat sakit pada bagian betis
kiri.
2. Keluhan utama:
Klien datang dan mengeluhkan nyeri pada bagian distal dan
posteromedial tibia dimana posisi berdiri terasa sakit, lokasi nyeri
terlokalisir di tulang kering.
3. Riwayat penyakit sekarang :

27
Pada tanggal 1 Agustus 2019, saat berlari klien mulai merasakan adanya
sedikit rasa nyeri pada bagian tulang kering atau tibia tetapi tidak dihiraukan
oleh klien tersebut. Klien tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti
biasa tanpa menghiraukan rasa nyeri tersebut dan setelah 3 minggu yaitu
tanggal 22 Agustus 2019 klien mulai merasakan sangat nyeri pada tibia
bagian distal saat sedang berlatih lari yang menyebabkan klien merasakan
sakit saat berdiri dan tidak dapat berjalan normal. Kemudian klien
mengompresnya dengan es. Karena tidak ada perubahan, klien
menghentikan aktivitasnya selama satu hari. Kemudian klien dibawa ke
fisioterapis pada tanggal 24 Agustus 2019.
4. Riwayat Keluarga dan Status Sosial
 Lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan
diwaktu senggang, aktivitas sosial
Pertanyaan:
a) Apa pekerjaan dan bagaimana situasi kerja di tempat bapak/ibu
bekerja?
b) Bagaimana kondisi di lingkungan tempat tinggal bapak/ibu ?
c) Apakah bapak/ibu rutin melakukan aktifitas di waktu senggang
seperti olah raga dan rekreasi ?
d) Apakah bapak/ibu aktif di lingkungan sosial seperti kerja bakti ?
e) Apakah ada keluarga yang mengalami sakit seperti yang bapak/ibu
keluhkan ?
Jawaban :
a) Klien merupakan seorang atlit lari marathon dan juga mempunyai
hobby bermain skate board
b) Kondisi di lingkungan tempat tinggal seperti layak biasanya
c) Setiap hari klien rutin melakukan jogging dan terkadang di selengi
dengan bermain skate board
d) Klien aktif di kegiatan sosial.
e) Tidak ada keluarga mengalami penyakit serupa seperti klien
5. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta

28
Tidak ada riwayat penyakit dahulu
3.2.2 Pemeriksaan Objektif
1. Pemeriksaan Tanda Vital
(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan,
berat badan)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 78X/menit
Pernapasan : 20X/menit
Temperatur : 36,50C
Berat badan : 70kg
Tinggi badan :180cm
2. Inspeksi / Observasi
a. Statis:
 Klien berdiri dengan telapak kaki kiri menjadi rata (flat foot)
b. Dinamis:.
 Klien terlihat menahan rasa sakit saat berjalan dan saat
melakukan gerakan dorsofleksi
3. Palpasi
 Nyeri tekan pada bagian distal posterior tibia
4. Joint Test
 Pemeriksaan Gerak Dasar (Gerak aktif/pasif/isometrik
fisiologis)
Aktif
Ankle dan Foot
Jenis Gerak Aktif ROM terbatas ROM Normal
Gerakan
Sangat nyeri
Dorsofleksi 5o 15o

Nyeri 30o
55o
Plantarfleksi

29
Nyeri 5o 20o
Inversi

Sedikit nyeri
Eversi 5o 10o

Pasif
Ankle dan Foot
Jenis Gerak Pasif ROM terbatas ROM Normal
Gerakan
Sangat nyeri
Dorsofleksi 8o 15o

Nyeri 40o
55o
Plantarfleksi

Nyeri 10o 20o


Inversi

Sedikit nyeri
Eversi 8o 10o

5. Tes isometric melawan tahanan


Dorsofleksi : Sangat nyeri
Plantar fleksi : Nyeri
Inversi : Sedikit nyeri
Eversi Sedikit nyeri
6. Muscle Test
 MMT (Manual Muscle Testing)
Ankle dan foot
No. Subjek Prosedure Nilai MMT

30
1. Plantar fleksi Klien berdiri dengan 2 : Mampu
dengan kaki kiri dengan melakukan gerakan
lutut ekstensi, kemudian tanpa melawan
klien mengangkat tumit gravitasi
dari lantai dengan teratur
sampai full ROM
2. Dorsofleksi Duduk dengan lutut 2 : Mampu
menggantung pada tepi melakukan gerakan
meja atau bed dan klien tanpa melawan
mendorsofleksikan ankle gravitasi
3. Inversi ankle Duduk dengan kaki 3 : mampu
menggantung pada tepi melakukan Gerakan
meja atau bed dan secara penuh dan
inversikan kaki pada melawan gravitasi
ROM yang tetapi tidak dapat
memungkinkan menahan tahanan
minimal
4. Eversi ankle Duduk dengan kaki 3. mampu melakukan
menggantung pada tepi Gerakan secara
meja atau bed dan penuh dan dapat
eversikan kaki pada ROM melawan gravitasi
yang memungkinkan. tetapi tidak dapat
menahan tahanan
minimal
VAS (Visual Analogue Scale)
Nyeri statis :0
Nyeri dinamis : 8
Nyeri tekan :5
3.2.3. Underlying Process

31
Mekanisme perjalanan penyakit pasien/klien, meliputi ; penyebab
dan akibat umum keluhan, intervensi FT, dampak pemberian terapi dan
planning.

32
Cedera langsung saat
Akibat adanya
olahraga
overuse dan
penekanan
berulang Cedera pada Adanya nyeri
distal
postermedial
tibia

Kelemahan otot

Nyeri tekan pada


distal posterior tibia

Positioning

Stabilisasi

Massage

Heating
modalitas
Aktif dan pasif dan
stretching Electrical
stimulation

Menurunnya
kemampuan fungsional Latihan
fungsional,
balace,
strengthening

33
3.2.4 Diagnosis Fisioterapi
1. Impairment
 Adanya nyeri pada posterior tibia saat berdiri
 Adanya inflamasi pada daerah tibialis
 Kelemahan pada tungkai kiri
 Adanya penurunan lingkup gerak sendi
2. Functional Limitation
 Klien mengalami keterbatasan saat nanik dan turun tangga
 Mengalami keterbatasan kemampuan fungsional seperti
berjalan, berlari dan melompat
3. Disability / Participation restriction
 Pekerjaan sebagai atlet lari untuk sementara berhenti
dikarenakan nyeri
 Hobby bermain skate board sementara di hentikan
 Ibadah mengalami hambatan
4. ICF
 Body function
b28015 pain in lower limb
b7100 mobility of a single joint
b7150 stability of a single joint
b7300 power of isolated muscles and muscle groups
b7350 tone of isolayrd muscles and muscle groups
b7400 endurance of isolated muscles
b7601 control of complex voluntary movements
b770 gait pattern functions
 Body structures
s75020 bones of ankle and foot
s750021 ankle joint and joint of foot and toes
s750022 muscles of ankle and foot
s7700 bones

34
s7701 joints
s7702 muscles
 Activities and participation
d4104 standing
d4154 maintaining a standing position
d4552 running
d9201 sports
3.2.5 Rencana Program Fisioterapi
1. Tujuan Jangka Panjang
 Mengembalikan kemampuan berjalan, berlari dan melompat
dari klien.
2. Tujuan Jangka Pendek
 Mengurangi nyeri pada tibia
 Meningkatkan nilai ROM
 Memperkuat otot calf muscle yaitu gastrocnemius
3. Teknologi Intervensi Fisioterapi
 Penggunaan electrical stimulation dengan arus TENS
(Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
 Massage
 Streching
 Balencing exercise
 Strengthening
 Penggunaan ultrasound.
 Penggunaan electrical stimulation dengan arus TENS
(Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation).
3.2.6 Rencana Intervensi
No Rencana Type Rencana intervensi Intensitas
waktu

35
1 0-5 hari  Electrical  TENS F: 1x sehari
stimulatin (Transcutaneu I: 28 mA
s Electrical T: 15 menit
Nerve T: Konvensional
Stimulatin)
 Heating F : 3 MHz
modalitas  Ultrasound I :0,45-0,60
watt/ cm2.
T : 5 menit.
T : continues

2. 6-12 hari  Electrical  TENS F: 4x/6hari


stimulatin (Transcutanes I: 28 mA
Electrical T: 15 menit
Nerve T: Konvensional
Stimulatin

 Heating  Ultrasound F : 3 MHz


modalitas I :0,45-0,60
watt/ cm2.
T : 5 menit.
T : continues

 Pasif  Pasif streching F : 1x sehari


I : 8x repetisi/sesi
stretching ankle dan foot
T : 5 menit
T : Pasif
Stretching
F : 1x sehari
I : ringan-sedang

36
 Massage  Massage pada T : 12 menit
bagian ankle T : Eflurage
dan foot

3 13-20 hari  Electrical  Transcutaneus F: 4x/7sehari


stimulation Electrical I: 28 mA
Nerve T: 15 menit
Stimulation T: Konvensional

 Aktif  Aktif F : 1x sehari


I : 8x repetisi/sesi
stretching stretching
T : 5 menit
ankle dan foot
T : Aktif
Stretching

4 21-27 hari  Heating  Ultrasound F : 3 MHz


modalitas I :0,45-0,60
watt/ cm2.
T : 5 menit.
T : continues

 Balance dan  Balance F : 1x sehari


stabilitation exercise I : 8x
exercise berupa plantar repetisi/sesi
flexion, hip T : 5 menit
flexion, hip T : Balace

37
extention, knee
flexion, side
leg raise

 Massage  Massage pada F : 1x sehari


bagian ankle I : ringan-sedang
T : 12 menit
dan foot
T : Eflurage

5 28-34 hari  Heating  Ultrasound F : 3 MHz


modalitas I :0,45-0,60
watt/ cm2.
T : 5 menit.
T : continues

 Balance  Balance F : 1x sehari


exercise exercise I : 8x
berupa plantar repetisi/sesi
flexion, hip T : 5 menit
flexion, hip T : Balace
extention, knee
flexion, side
leg raise

 Strengthening  Trengthening F : 1x sehari


I : 10x
pada ankle dan
repetisi/sesi
kaki
T : 5 menit
T : strengthening

38
 Massage  Massage F : 1x sehari

pada bagian I : ringan-sedang


ankle dan T : 12 menit
T : Eflurage
kaki

3.2.7 Rencana Evaluasi dan Tindah Lanjut


Setelah dilakukan terapi pada klien diperoleh hasil penurunan nyeri
dan adanya peningkatan LGS:
Tabel. Evaluasi penilaian penurunan nyeri dengan VAS :

Waktu Evaluasi
No. Pemeriksaan
VAS LGS

1. 0 - 5 Hari - VAS:5/10/ tekan - Dorsofleksi ankle : Sangat Nyeri (+)


- VAS:8/10/ gerak ROM : 5°
- VAS:0/10/diam - Plantarfleksi ankle: Nyeri (+)
ROM : 30°
- Inversi ankle: Nyeri (+)
ROM : 5°
- Eversi ankle: Sedikit Nyeri (+)
ROM : 5°
2. 6-12 hari VAS:3/10/ tekan - Dorsofleksi ankle : Sangat Nyeri (+)
VAS:6/10/ gerak ROM : 8°
VAS:0/10/diam - Plantarfleksi ankle: Nyeri (+)
ROM : 40°
- Inversi ankle: Nyeri (+)

39
ROM : 10°
- Eversi ankle: Sedikit Nyeri (+)

3. 13-20 hari VAS:2/10/ tekan - Dorsofleksi ankle : Nyeri (+)


VAS:5/10/ gerak ROM : 10°
VAS:0/10/diam - Plantarfleksi ankle: Nyeri (+)
ROM : 45°
- Inversi ankle: Sedikit nyeri (+)
ROM : 15°
- Eversi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 10o

4. 21-27 hari VAS:0/10/ tekan - Dorsofleksi ankle : Sedikit nyeri (+)


VAS:3/10/ gerak ROM : 15°
VAS:0/10/diam - Plantarfleksi ankle: Sedikit nyeri (+)
ROM : 50°
- Inversi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 20°
- Eversi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 10o

5. 28-34 hari VAS:0/10/ tekan - Dorsofleksi ankle : Tidak nyeri (-)


VAS:0/10/ gerak ROM : 15°
VAS:0/10/diam - Plantarfleksi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 55°
- Inversi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 20°
- Eversi ankle: Tidak nyeri (-)
ROM : 10o

40
 MMT tanggal 24 Agustus 2019
No. Subjek Prosedure Nilai MMT
1. Plantar fleksi Klien berdiri dengan 2 : Mampu
dengan kaki kiri dengan melakukan gerakan
lutut ekstensi, kemudian tanpa melawan
klien mengangkat tumit gravitasi
dari lantai dengan teratur
sampai full ROM
2. Dorsofleksi Duduk dengan lutut 2 : Mampu
menggantung pada tepi melakukan gerakan
meja atau bed dan klien tanpa melawan
mendorsofleksikan ankle gravitasi
3. Inversi ankle Duduk dengan kaki 3 : mampu
menggantung pada tepi melakukan Gerakan
meja atau bed dan secara penuh dan
inversikan kaki pada melawan gravitasi
ROM yang tetapi tidak dapat
memungkinkan menahan tahanan
minimal
4. Eversi ankle Duduk dengan kaki 3. mampu melakukan
menggantung pada tepi Gerakan secara
meja atau bed dan penuh dan dapat
eversikan kaki pada ROM melawan gravitasi
yang memungkinkan. tetapi tidak dapat
menahan tahanan
minimal

 MMT tanggan 27 September 2019


No. Subjek Prosedure Nilai MMT

41
1. Plantar fleksi Klien berdiri dengan 5 : Mampu melawan
dengan kaki kiri dengan gravitasi dan mampu
lutut ekstensi, kemudian melawan tahanan
klien mengangkat tumit maksimal
dari lantai dengan teratur
sampai full ROM
2. Dorsofleksi Duduk dengan lutut 5 : Mampu melawan
menggantung pada tepi gravitasi dan mampu
meja atau bed dan klien melawan tahanan
mendorsofleksikan ankle maksimal
3. Inversi ankle Duduk dengan kaki 5 : Mampu melawan
menggantung pada tepi gravitasi dan mampu
meja atau bed dan melawan tahanan
inversikan kaki pada maksimal
ROM yang
memungkinkan
4. Eversi ankle Duduk dengan kaki 5 : Mampu melawan
menggantung pada tepi gravitasi dan mampu
meja atau bed dan melawan tahanan
eversikan kaki pada ROM maksimal
yang memungkinkan.

42
BAB IV
PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan
Shin splint merupakan rasa nyeri pada bagian dalam tulang tibia karena
adanya inflamasi pada periosteum otot tibialis posterior dikarenakan trauma
berulang akibat aktifitas olahraga, berjalan pada permukaan yang tidak rata
atau keras. Keadaan ini kemudian mengakibatkan inflamasi pada periosteum
dengan nyeri sebagai keluhan utamanya dan berhubungan dengan
pembengkakan. Pada kasus medial tibialis stress syndrome (shin splint)
sinistra ini, ditemukan impairment berupa nyeri pada daerah distal
posteromedial tibia serta gangguan fungsional pada kaki kiri. Penatalaksanaan
fisioterapi pada pasien dengan nama I Made Sansekerta , umur 25 tahun dengan
diagnosa medis medial tibialis stress syndrome setelah dilakukan terapi
sebanyak 5 kali dengan menggunakan massage, ultrasound, TENS, stretching,
strengthening dan balance exercise dapat disimpulkan bahwa adanya
penurunan nyeri pada distal posteromedial tibia serta peningkatan kemampuan
fungsional pada kaki kiri setelah dilakukan terapi.
4.2 Saran
Dalam hal menangani pasien dengan kondisi medial tibialis stress
syndrome diperlukan kerja sama tim bukan hanya fisioterapis agar
mendapatkan hasil yang maksimal. Pasien juga harus aktif untuk melakukan
edukasi yang telah diajarkan oleh fisioterapis. Apabila masyarakat disekitar
lingkungan terdapat tanda tanda seperti tersebut diharapkan langsung periksa
di institusi kesehatan terdekat.

43
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A., Aponte-Mellado, B.J.Premkumar, A.Sharman, S.Gupta. (2012). The


effects of oxidative stress on female reproduction: a review. Reproductive
Biology and endocrinology. 10: 49.
Baker, K. G., V. J. Robertson, et al. (2001). "A review of therapeutic ultra
sound: biophysical effects." Physical Therapy 81(7): 1351.
Cael, Christy, 2010; Functional Anatomy, Lippincott Williams&Wilkins,
Philadelphia
Dutton A, dkk. 2012. Rujukan Cepat Kebidanan. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran
Franklyn M, Oakes B. Aetiology and mechanisms of injury in medial tibial stress
syndrome: Current and future developments. World J Orthop. 2015 Sep
18;6(8):577-89.
Jeffrey A. Dean., Avery, David R., McDonald, Ralph E., 2011. Dentistry for the
Child - Adolescent Ninth Edition. India: Mosby. Hal. 376 dan 380-3
Kisner, C. & Colby, L. A., 2012. Therapeutic Exercise. Philadelphia: F.A Davis
Company
Koh F, Charlton K, Walton K, McMahon AT. 2015. Role of Dietary Protein and
Thiamine Intakes on Cognitive Function in Healthy Older People: A
Systematic Review. Nutrients, 7(4):2415-2439.
McArdle, W., Katch, F. & Katch, V., 2009. Exercise Physiology : Nutrition,
Energy, and Human Performance. Philadelphia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins,.
Pranata, Andi Eka. 2013. Manajemen Cairan dan Elektrolit. Yogyakarta : Haikhi
Rompe, J.D., Cacchio, A., Furia, J.P. et al, Low-energy extracorporeal shock wave
therapy as a treatment for medial tibial stress syndrome. Am J Sports Med.
2010;38:125–132
Sobbota. 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 21. Jakarta: EEG Penerbit
Buku Kedokteran
Suharjana. (2013). Kebugaran Jasmani.Yogyakarta: Jogja Global Media.

44
Thacker SB, Gilchrist J, Stroup DF, Kimsey CD. The prevention of shin splints in
sports: a systematic review of literature. Med Sci Sports Exerc.
2002;34(1):32–40.
Winters M, Bakker EWP, Moen MH, Barten CC, Teeuwen R, Weir A. Medial tibial
stress syndrome can be diagnosed reliably using history and physical
examination. Br J Sports Med. 2018
Wright, Kenneth. E, D.A, dan William R. Whitehill, The Comprehensive Manual
Of Taping and Wraping Techniques, Second Edition 2011
Miller. 2008. Nursing for wellness in older adult. Theory and Practice four edition.
Philadelphia.
Zablotowitcz, R.M., Hoagland, R.E., Wagner, S.C. 1996.Effect of Saponin on The
Growth and activity of Rizophere Bacteria.CRC Press. USA. Pp 83-95

45
LAMPIRAN

46
47

Anda mungkin juga menyukai