Anda di halaman 1dari 5

Fisiologi Kesadaran

Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan

efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat

digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus

terhadap keadaan lingkungan atau segala hal dalam pikiran kita. Hal ini bermaksud

bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu bereaksi

secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh.

Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh

terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar

akan diri dan lingkungannya. Dalam kehidupan seharian kita, status kesadaran normal

bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh yang

ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan

perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera mengantisipasi untuk kemudian

bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini adalah hasil dari

interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan korteks

serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik11.

Pada saat manusia semua lagi tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi pada semua

bagian otak. Bagian rostral substansia retikularis yang disebut sebagai pusat penggugah

atau arousal centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi

(melakukan desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi kepada keadaan

awas-waspada. Manakala, apabila pusat tidur tidak diaktifkan, maka pembebasan dari

inhibisi mesensefalik dan nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi

aktif secara spontan. Justeru, keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri

dan sistem saraf tepi, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan

balik positif kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu
timbul keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan

kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut11.

Tambahan lagi, masukan impuls yang menuju Sistem Saraf Pusat yang berperan

pada mekanisme kesadaran pada prinsipnya ada dua tipe, yaitu input yang spesifik dan

non-spesifik. Yang pertama, input spesifik merupakan impuls aferen khas yang

meliputi impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini

dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras

genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer.

Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang

sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan,

penghiduan atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui

cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui

lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuronneuron di substansia retikularis

medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris thalamus (disebut

neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan

lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan

seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending

reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen

non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen

non-spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari titik-titik manapun pada tubuh ke

titik-titik pada seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian

bawah otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik

difus, yang bertanggungjawab menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri11.

Justeru, derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh berapa banyaknya neuron

penggerak atau neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Kemampuan untuk dapat
digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi adalah unsur fungsional utama

neuron-neuron tersebut. Selain itu juga, hal itu juga didukung oleh proses-proses yang

memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses

biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut

yang aktif. Adanya gangguan-gangguan baik pada neuron-neuron pengemban

kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan

kesadaran. Struktur yang berperan dalam kesadaran antara lain adalah11:

1. Reticular Activating System (RAS)

Jaringan neuron dan serat saraf di batang otak yang menerima input dari traktus

spinothalamikus (sensorik) dan diteruskan ke seluruh korteks serebral. Arousal yaitu

keaktifannya bergantung sepenuhnya pada fungsi RAS yang adekuat. Arousal tidak ada

hubungannya dengan fungsi berpikir otak. Respon buka mata saat dipanggil berarti

RAS berfungsi tapi tidak berarti orang tersebut sadar atau aware.

2. Korteks Serebri

Fungsi korteks serebri adalah untuk memodulasi informasi yang berasal dari

RAS karenanya korteks membutuhkan RAS untuk berfungsi dengan baik. Awareness

itu berarti korteks serebral bekerja dengan baik dan pasien dapat berinteraksi dan

menginterpretasi lingkungan di sekitarnya.


Gambar 1 Pusat-pusat kesadaran pada otak

2.3 Epidemiologi

Secara umum, prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar

antara 14-24%, dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar

antara 6-56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53%

pasien geriatri pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif.

Seterusnya, delirium dijumpai pada 60% pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan

pasca-akut, dan 83% pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium secara

keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi meningkat seiring

bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien berusia 85 tahun atau lebih. Lebih lanjut,

pada 10-30% pasien geriatri yang datang ke departemen gawat darurat, delirium

merupakan gejala yang menggambarkan kondisi membahayakan jiwa. Di Indonesia,

prevalensi delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM adalah 23% (tahun 2004),

sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien rawat inap. Sindrom delirium dapat

memberi dampak buruk, bukan saja karena sindrom delirium ini meningkatkan risiko
kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa rawat serta

meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas kesehatan dan pelaku rawat4.

Anda mungkin juga menyukai