KELOMPOK 6
Inzana C111 13 303
Mohd. Khairu Izzuddin Bin Abd Rahim C111 14 857
Nur Farahin Binti Abd Jakfar C111 14 859
Rohaiza Binti Mohammad C111 14 860
Ainun Shafira Binti Saidi C111 14 866
Noranida Binti Mohd Azlar C111 14 869
Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Harun Iskandar, Sp.PD, Sp,P(K), K-P
Residen Pembimbing :
dr. Nurfajar Budi Mulya
Telah menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Asma Eksaserbasi Berat Pada
Asma Persisten Sedang Tidak Terkontrol” dan telah dibacakan di hadapan
pembimbing dalam rangka tugas kepaniteraan klinik departemen pulmonologi dan
respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
dr. Nurfajar Budi Mulya Dr. dr. Harun Iskandar, Sp.PD, Sp,P(K), K-P
ii
ASMA EKSASERBASI BERAT PADA
ASMA PERSISTEN SEDANG TIDAK TERKONTROL
IDENTITAS PASIEN
I. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak
Anamnesis Terpimpin :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak
1 bulan terakhir dirasakan setiap hari dan 3 hari terakhir sesak dirasakan
memberat. Sesak diawali dengan pilek dan batuk. Pasien sering mendengar
suara mengi saat sesak. Batuk ada, dahak kuning. Demam tidak ada. Nyeri
dada tidak ada. Pasien juga mengeluh sering tidak bisa tidur karena sesak.
Pasien tidur dengan 2 bantal, kadang pasien tidur dengan posisi duduk.
Riwayat sesak pertama kali saat berumur 7 tahun. Sesak muncul saat
cuaca dingin, makan coklat, minum es, dan ketika pasien terlalu capek.
Riwayat dengan keluhan yang sama sering dialami pasien dan membaik
dengan obat. Riwayat serangan 2 kali dalam 1 minggu dalam 2 tahun terakhir.
Riwayat merokok tidak ada. Riwayat ibu pasien memiliki rhinitis alergi.
1
Keadaan umum : Sakit sedang / Gizi cukup / GCS 15 E4M6V5 (Compos
Mentis)
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98x/menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 30x/menit
Suhu : 36,5 °C
SpO2 : 98%
Mata : tidak ada anemis, tidak ada ikterik, tidak ada edema
palpebra
Leher : tidak ada kaku kuduk, tidak ada pembesaran kelenjar
limfe. DVS R+2 cmh2o
Telinga : tidak ada otorrhea
Hidung : tidak ada epistaksis dan rhinorrea
Mulut : tidak ada sianosis
Kulit : tidak ada ikterik
• THORAX
Inspeksi : Normochest, pergerakan kedua hemithorax simetris pada
saat statis dan dinamis.
Palpasi : Vokal fremitus sama pada hemithorax kiri dan kanan.
Perkusi : Sonor pada hemithorax kiri dan kanan.
Auskultasi : Bunyi napas bronchovesikuler, tidak ada ronkhi, ada
wheezing di seluruh lapangan paru.
• JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kanan linea parasternalis dextra, batas kiri
linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising tidak ada.
• ABDOMEN
2
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas.
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani
HGB 13.8 11.5 - 16.0 gr/dl PLT 451 150 - 500 10^3/ul
3
- Corakan bronchovaskuler prominent
- Tidak tampak proses spesifik pada kedua lapangan paru
- Cor: CTI dalam batas normal, aorta normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar baik
IV. DIAGNOSIS
Asma Eksaserbasi Berat Pada Asma Persisten Sedang Tidak Terkontrol
V. TERAPI
IVFD NaCl 0.9%
Combivent 1respul/6jam/inhalasi
Pulmicort 1respul/6jam/inhalasi
4
Methylprednisolon 62.5/12jam/intravena
VI. FOLLOW UP
VII. RESUME
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak
1 bulan terakhir dan 3 hari terakhir sesak dirasakan setiap hari. Sesak diawali
5
dengan pilek dan batuk. Pasien sering mendengar suara mengi saat sesak.
Batuk ada, dahak kuning. Demam tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Pasien juga
mengeluh tidak bisa tidur karena sesak. Pasien tidur dengan 2 bantal, kadang
pasien tidur dengan posisi duduk.
Riwayat sesak pertama kali saat berumur 7 tahun. Sesak muncul saat
cuaca dingin, makan coklat, minum es, dan ketika pasien terlalu capek.
Riwayat dengan keluhan yang sama sering dialami pasien dan membaik
dengan obat. Riwayat serangan 2 kali dalam 1 minggu dalam 2 tahun terakhir.
3 hari terakhir sesak setiap hari. Riwayat merokok tidak ada. Riwayat ibu
pasien memiliki rhinitis alergi.
Pasien kemudian dirawat di perawatan di RSWS selama 4 hari dan
terapi selama di rumah sakit yaitu Combivent 1respul/6jam/inhalasi,
Pulmicort 1respul/6jam/inhalasi, Methylprednisolon 62.5/12jam/intravena,
serta Aminofilin 1¼ ampul dalam NaCl 0.9% 100 cc 21 tetes per menit.
Kemudian pasien diizinkan pulang tanggal 29 maret dengan obat pulang
Symbicort per 8jam dan Methylprednisolon 8mg per 12jam dalam keadaan
membaik.
6
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan keterbatasan
aliran udara yang reversibel dan hiperesponsif saluran pernapasan. 1
Asma memiliki 2 fitur utama, yaitu:
1. Riwayat gejala pernapasan seperti mengi, dada tertekan, sesak dan
batuk yang bervariasi sepanjang waktu dan variasi dalam
intensitas1
2. Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi1
B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
Negara-negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia-Pasifik
seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa
tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien
asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebuht disebaban manajemen dan
pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan
Global Initiative for Asthma (GINA).
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children)
tahun 1995 melaorkan prevalensi asma sebesar 2,1% sedangkan pada tahun
2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di
beberapa kota di Indonesia menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6
sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%. Berdasarkan gambaran tersebut,
terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
perlu mendapat perhatian serius.
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih
menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara
7
berkembang. Prevalensi dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di
negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perbedaan
prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma bronkial berdasarkan letak
geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian. Selama sepuluh tahun
terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma bronkial dan penyakit
alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia.
Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan kuisioner
namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma bronkial
sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada
wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi
yang pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.
Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi
(atopi) dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi.
Asma bronkial atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau
lebih alergen seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi
ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen.
Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%.Asma
bronkial merupakan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Data pada penelitian saudara kembar monozigot dan dizigot,
didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial diturunkan sebesar 60-
70%.
C. Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain allergen, virus, dan iritan yang dapat meginduksi respon inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah bsar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergim antibody IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus
8
dan bronkus kecil. Bia seseorang menghirup allergen, terjadi fase
sensitisasi, antibody IgE orang tersebut meningkat. Allergen kemudian
beriatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan barbagai macam mediator. Beberapa
mediator yang dikelaurkan adalah histamine, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada
dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for
Edition. 2011
9
D. Diagnosis
Anamnesis
1. Gejala kunci :
- Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas cepat, produksi sputum,
sering waktu malam, respons terhadap bronkodilator
2. Gembaran Gejala :
- Perenial, musiman atau keduanya, terus-menerus, episodik, atau
keduanya, awitan, lama, frekuensi, variasi diurnal terutama nocturnal
dan waktu bangun pagi hari
3. Faktor presipitasi :
- Infeksi virus, allergen lingkungan, dalam rumah (jamur, tungau debu
rumah, kecoa, serpih hewan atau produk sekretorinya) dan outdoor
(serbuk sari/pollen)
- Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, system pendingin/pemanas, membakar
kayu, pelembab, karpet, jamur, hewan peliharaan, mebel dibungkus
kain).
- Latihan jasmani, kimiawi/allergen lingkungan kerja
Perubahan lingkungan
- Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan udara, debu, partikulat, uap,
gas)
- Stress
- Obat (aspirin, antiinflamasi, β-blocker termasuk tetes mata)
- Makanan, aditif, pengawet
- Perubahan udara, udara dingin
- Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)
4. Perkembangan penyakit :
- Usia awitan dan diagbosis
- Riwayat cedera saluran napas
- Progress penyakit
- Penanganan sekarang dan respon, antara lain penanganan eksaserbasi
- Frekuensi menggunakan SABA
- Keperluan oral steroid dan frekuensi penanganannya
5. Riwayat keluarga :
- Riwayat asma, alergi, sinusitis, eksim atau polip nasal pada anggota
keluarga dekat
6. Riwayat sosial :
- Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah
- Faktor sosial yang berpengaruh
- Derajat pendidikan
- Pekerjaan
7. Riwayat eksaserbasi :
- Tanda prodromal dan gejala
- Cepatnya awitan, lama, frekuensi, deraat berat, umlah eksaserbasi dan
beratnya/tahun
- Penanganan biasanya
10
8. Efek asma terhadap penderita :
- Episode perawatan di luar jadwal (gawat darurat, dirawat di RS)
- Keterbatasan aktivitas terutama latihan jasmani, riwayat bangun malam
- Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan, pola hidup dan efe ekonomi
9. Persepsi penderita dan keluarga terhadap penyakit :
- Pengetahuan mengenai asma : penderita, orang tua, istri/suami atau
teman dan mengetahui kronisitas asma
- Persepsi penderita mengenai penggunaan obat pengontrol jangka lama
- Kemampuan penderita, orang tua, istri/suami/teman untuk menolong
penderita
- Sumber ekonomi dan sosiokultural.
Pemeriksaan Fisis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisi pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan
entuk toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan dileher, perut dan dada pada auskultasi dapat
ditemuka mengi, dan ekspirasi memanjang.
Pemeriksan Penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/ PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan disbanding PFM oleh karena PFM
tidak begitu sensitive disbanding FEC, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM fibuat utnuk
pemantauan dan buakn alat diagnostic, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yag tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibody
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji allergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk ulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya
tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala
klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsy
paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
11
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilaukkan di luar
riset.
6. Uji hipereaktivitas Bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1>90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronchial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan
obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitive. Respon sejenis
dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyej alergi tanpa asma. Di
samping itu, ukuran allergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2um sampai 20um
dan tidak dalam bentuk nebulas. Tes provokasi sebenanyakurang
memberikan informasi klinis disbanding dengan tes kulit. Tes provokasi
nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilaukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamine, dan metakolin.
12
E. Pemeriksaan Penunjang
13
Laboratorium
untuk diagnosis
dilakukan pada pasien dengan gejala asma dan faal paru normal.
F. Terapi
14
-indikasi: gejala asma jarang, tidak ada gejala malam hari, tidak ada eksaserbasi
Step 4: KSI dosis rendah/formoterol atau KSI dosis sedang/LABA+ SABA bila
perlu
Step 5: Rujuk
15
Contoh terapi pengontrol pada pasien asma
16
G. Manajemen Kontrol Asma
Manajemen asma untuk mencapai asma terkontrol dan menurunkan
risiko, harus melibatkan:
1. Pengobatan
3. Terapi non-farmakologi
Penggunaan ICS yang tidak memadai: tidak ada pemberian ICS, tidak
patuh akan penggunaan ICS, cara penggunaan inhaler yang tidak tepat
17
Penggunaan SABA yang berlebihan (mortalitas meningkat jika
>1x200-dosis canister/bulan)
Kehamilan
Aktivitas fisik
Asma okupasi
secepat mungkin
18
Selalu tanyakan riwayat asma pada pasien sebelum memberikan
obat tersebut
J. Pelangi Asma
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for
19
2. The Netter Collection of Medical Illustrations: Respiratory System Second
Edition. 2011
20