Anda di halaman 1dari 43

SKENARIO 1

Seorang laki-laki berusia 53 tahun dibawa ke Unit Gawat

Darurat RS oleh keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran.

Berdasarkan alloanamnesis didapatkan informasi bahwa pasien tiba-

tiba tidak sadarkan diri kurang lebih 3 jam yang lalu, saat dipanggil dan

digoyang badannya, tidak membuka mata. Diketahui bahwa pasien

adalah penderita DM dan hipertensi yang tidak terkontrol tapi rutin

minum Gibenclamid.

1
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Penurunan kesadaran

Penurunan kesadaran adalah penurunan atas pengetahuan diri,

lokasi dan waktu pada setiap lingkungan (Corwin, 2009).

2. Diabetes Mellitus

Merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin dan kerja

insulin (Sudoyo, 2014)

3. Hipertensi

Meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan

tekanan darah diastolik >90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan

selang waktu yang 5 menit dalam keadaan cukup (Sudoyo, 2014).

4. Glibenklamid

Obat antidiabetic oral golongan sulfonylurea yang bekerja

meningkatkan kadar insulin dalam tubuh sehingga meningkatan

kadar gula darah tubuh pada pasien DM tipe 2 (Nafriadi, 2012).

2
BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mengapa pasien mengalami penurunan kesadaran?

2. Bagaimana cara melakukan penilaian kesadaran?

3. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu (HT dan DM tidak

terkontrol) dengan penurunan kesadaran pasien?

4. Bagaimana hubungan konsumsi glibenklamid rutin dengan kondisi

pasien?

5. Apa yang terjadi pada pasien? Interpretasi dan Diagnosis?

3
BAB III

ANALISIS MASALAH

1. Mengapa pasien mengalami penurunan kesadaran?

Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan

fungsi integritas otak dan sebagai “ final common pathway” dari

gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan

mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila

terjadi penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi

otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam

hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang

digunakan diklinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau

sopor, koma ringan dan koma. Terminologi tersebut bersifat

kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai

secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow

(Harsono, 2005).

Penurunan kesadaran secara garis besar dapat terjadi akibat

gangguan metabolik/fungsional dan gangguan struktural.

1) Gangguan metabolik/fungsional

Gangguan ini antara lain berupa keadaan

hipoglikemik/hiperglikemik, gangguan fungsi hati, gangguan

fungsi ginjal, gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi

obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-bahan kimia,

infeksi susunan saraf pusat.

2) Gangguan struktural dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu:

a) Lesi supratentorial

4
i. Perdarahan intraserebral : ekstradural, subdural,

intraserebral

ii. Infark : emboli, thrombosis

iii. Tumor otak : Tumor primer, tumor

sekunder, abses, tuberkuloma

b) Lesi infratentorial

i. Perdarahan : serebelum pons

ii. Infark : batang otak

iii. Tumor : serebelum

iv. Abses : serebelum

(Hasrono, 2005)

2. Bagaimana cara melakukan penilaian kesadaran?

Tingkat kesadaran dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :

A. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar

sepenuhnya,dapat menjawab semua pertanyaan tentang

keadaan sekelilingnya.

B. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk

berhubungan dengansekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

C. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,

waktu),memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang

berhayal.

D. Somnolen (Obtundasi, Letargi),yaitu kesadaran menurun,

respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun

kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)

tetapi jatuh tertidur lagi, mampumemberi jawaban verbal.

5
E. Stupor (soporo koma ),yaitu keadaan seperti tertidur lelap,

tetapi adarespon terhadap nyeri.

F. Coma (comatose),yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada

respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon

kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon

pupil terhadap cahaya) (Bhaskar, 2017).

Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk

mengetahui tingkat kesadaran sesorang yaitu Glasgow Coma Scale

(GCS). Skor GCS dapat digunakan untuk menilai status neurologis

dan derajat keparahan disfungsi otak (Mongan, Soriano, Sloan, et

al., 2015).

GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian : respons

membuka mata (eye opening), respons motorik terbaik (best motor

response), dan respons verbal terbaik (best verbal response).

Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangat

penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat,

sebagai contoh: GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga

harus dituliskan seperti : GCS 10 (E2M4V3). Skor tertinggi

menunjukkan pasien sadar (compos mentis), yakni GCS 15

(E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3 = E1M1V1)

(Bhaskar, 2017).

Berikut dibawah ini penilaian kesadaran dengan Glasgow

Coma Scale (GCS) :

6
3. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu (HT dan DM tidak

terkontrol) dengan penurunan kesadaran pasien?

Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM,

antara lain hipoglikemi, asidosis (KAD dan asidosis laktat),

hiperosmolaritas (SHH), dan uremik ensefalopati (uremia karena

gagal ginjal yang disebabkan oleh diabetik nefropati). Hipoglikemia

menyebabkan edema selular, sedangkan hiperosmolaritas

menyebabkan sel mengkerut. Kedua kondisi sel ini menyebabkan

penurunan eksitabilitas sel-sel saraf yang menyebabkan penurunan

kesadaran. Selain dua kondisi tersebut, asidosis juga

mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada

penurunan kesadaran. Patogenesis uremik ensefalopati

menyebabkan penurunan kesadaran masih belum jelas, namun

diduga berhubungan dengan akumulasi zat-zat neurotoksik di dalam

darah (Huang, 2016).

7
Pada penderita hipertensi berat dapat mengalami penurunan

kesadaran karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut

ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera

(Wiryowidagdo, 2002).

4. Bagaimana hubungan konsumsi glibenklamid rutin dengan kondisi

pasien?

Glibenklamid merupakan obat hiperglikemia oral (OHO)

sulfonilurea yang memiliki mekanisme merangsang sekresi insulin

dan kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita

diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik.

Glibenklamid bereaksi pada reseptor sulfonilurea berupa ATP-

dependent pottasium channel yang menstimulasi depolarisasi dari

sel β pankreas dan merangsang sekresi insulin via eksositosis.

Glibenklamid juga mengaktivasi glikogen fosforilase alfa dan

meningkatkan fruktosa selular 2.6-bifosfat liver yang menghasilkan

penurunan glukoneogenesis dan meningkatkan efek hipoglikemia

setelah mengkonsumsi glibenklamid (Abdulkadir, 2012).

5. Apa yang terjadi pada pasien? Interpretasi dan Diagnosis?

A. Interpretasi

Berdasarkan kasus pada skenario ini didapatkan seorang

laki-laki berusia 53 tahun mengalami penurunan kesadaran.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh banyak hal yakni

disingkat SEMENITE (sirkulasi, ensefalitis, metabolik,

elektrolit, neoplasma, intoksikasi, trauma, epilepsi). Pasien

merupakan penderita DM dan hipertensi tidak terkontrol

8
tetapi rutin minum Glibenclamide. Berdasarkan riwayat

penyakit pasien, penurunan kesadaran yang dialami oleh pasien

adalah akibat gangguan metabolik.

Pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut :

 Kesadaran : E3V3M4  GCS 10 (sopur)

 Tekanan darah : 240/140 mgHg  hipertensi

 Suhu : 39,9’c  hipertermi

 Frekuensi nafas : 40 x/menit kussmaul  takipneu,

napas cepat dan dalam

 Danyut nadi : 120 x/menit lemah  takikardi

Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sebagai berikut :

 Hb : 10,99 gr%  anemia

 Leukosit : 19.200/ul  leukositosis (kemungkinan

adanya infeksi)

 Trombosit : 173.000/ul  DBN

 GDS : 456 mg/dL  hiperglikemi

 Ureum : 40 mg/dL  normal

 Creatinin : 1,5 mg/dL

 Kalium : 3,3 mmol/L

Terapi yang sudah diberikan pada pasien :

 Di UGD pasien diberikan infus RL tetesan cepat, kemudian

dirawat di HCU dan diberikan terapi insulin  terapi yang

diberikan sudah tepat.

B. Diagnosis

9
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan maka diagnosis pada

pasien ini adalah ketoasidosis diabetic (KAD).

BAB IV

ANALISIS MASALAH

Pria 53 thn DM dan HT tidak


terkontrol

Pemeriksaan
fisik Penurunan kesadaran

Diagnosis dan Pemeriksaan


diagnosis banding penunjang

; Tatalaksana
UGD

10
BAB V

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. All about krisis hipertensi!

2. All about kegawatdaruratan diabetik!

3. Efek samping penggunaan rutin glibenklamid tak terkontrol?

4. Penyebab penurunan kesadaran di gangguan metabolik dan

hipertensi?

5. All about terapi insulin!

6. Indikasi dan kontra indikasi HCU!

11
BAB VI

BELAJAR MANDIRI

12
BAB VII

13
PELAPORAN

1. All about krisis hipertensi!

A. Definisi

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan yang ditandai

oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan adanya

kemungkinan akan timbulnya kelainan organ target atau telah

terjadi kelainan organ target (Roesma, 2014).

B. Etiologi

Menurut Devicaesaria (2014), etiologi krisis hipertensi antara

lain :

1) Hipertensi Esensial

2) Penyakit Ginjal

a) Penyakit parenkim ginjal

b) Pielonefritis kronik

c) Glomerulonefritis

d) SLE (Sistemik Lupus Erimatous)

e) Vaskulitis Ginjal

3) Obat-obatan

a) Clonidine

b) Metildopa

c) Tranylcypromine

4) Kehamilan dapat ditemukan pada eklamsi atau preeklamsi

berat

5) Kelainan endokrin

a) Glucocorticoid Excess

b) Primary aldosteronism

14
6) Kelainan sistem saraf pusat

a) CVA hemoragik

b) Cidera kepala

C. Klasifikasi

Menurut Roesma (2014), klasifikasi krisis hipertensi

meliputi dua kelompok, yaitu :

1) Krisis hipertensi darurat (emergency hypertension)

Tekanan darah pada hipertensi darurat >220/140

mmHg disertai adanya kelainan atau kerusakan organ target

yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus

diturunkan dengan segera yaitu dalam menit sampai jam agar

dapat mencegah atau membatasi kerusakan organ target

yang terjadi. Penderita krisis hipertensi darurat perlu

dirawat di ruangan intensive care unit (ICU).

Penyebab krisis hipertensi darurat biasanya

dikarenakan pengobatan yang tidak adekuat terhadap

hipertensi primer, hipertensi renovaskular, penyakit

parenkim ginjal, hiperaldosterone primer.

15
2) Krisis hipertensi mendesak (urgency hypertension)

Tekanan darah pada hipertensi mendesak >180/110 mmHg

tetapi tidak disertai kelainan atau kerusakan organ target

yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat

dilaksanakan lebih lambat yaitu dalam hitungan jam sampai

hari.

D. Gambaran klinik

TD Funduskopi Status Jantung Ginjal GI

16
neurologi

>220/14 - Perda - Sakit - Den - Ure - M


0 mmHg rahan kepala yut jelas mia ual
- Eksud - Kacau - Me - Prot - M
at gangguan mbesar einuria untah
- Edem kesadaran dekompen
a papila - Kejan sasi
g - Olig
- later uria
alisasi

Gambaran klinik krisis hipertensi darurat :

Perbedaan gejala klinik pada krisis hipertensi darurat dan

krisis hipertensi mendesak, sebagai berikut :

17
E. Patofisiologi

F. Diagnosis

1) Anamnesis

• Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

• Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

• Usia sering pada usia 40 – 60 tahun.

18
• Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, perubahan mental,

ansietas ).

• Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine

berkurang ).

• Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung,

kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).

• Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

• Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD

( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran

( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,

altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi

dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,

kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta

lain seperti penyakit jantung koroner.

3) Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan yang segera seperti :

• darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.

• urine : Urinelisa dan kultur urine.

• EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi

• Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu

setelah pengobatan terlaksana

b) Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis

dan hasil pemeriksaan yang pertama ) :

• sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography

( kasus tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).

19
• menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah

neurologi : Spinal tab, CAT Scan.

Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk

Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA )

(Joseph, 2003).

G. Tatalaksana

1) Hipertensi Urgensi

a) Captopril golongan Angiotensin converting enzym 25 mg

sebagai dosis awal kemudian ditingkatkan menjadi 50-100

mg setelah 90-120 menit.

b) Nicardipine golongan Calsium Chanel Blocker 30 mg dapat

diulang setiap 8 jam.

c) Labetalol golongan β-Blocker 200 mg dapat diulang 3-4

jam kemudian.

d) Clonidine golongan simpatolitik sentral 0,1-0,2 mg

kemudian berikan 0,05-1 mg setiap jam.

e) Nifedipine golongan Calsium Chanel Blocker.

2) Hipertensi Emergensi

a) Sodium Nitroprusside 0,25-10 μg/kg/menit I.V

b) Fenodopam mesylate 0,1-0,3 μg/kg/menit I.V

c) Nitrogliserin 5-100 μg/kg/menit I.V

d) Nicardipine 5-15 mg/jam I.V

e) Labetalol 20-80 mg I.V bolus setiap 10 menit

20
H. Diagnosis Banding

1) Sindrom cushing

2) Stroke

3) Perdarahan subarachnoid

4) Tumor otak

5) Gagal ginjal

6) Diseksi aorta

7) Epilepsi, ensefalitis

8) Trauma medulla spinalis

9) Lupus eritomatosus

2. All about kegawatdaruratan diabetik!

A. DEFINISI

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat

terjadi pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.

Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin

terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis

hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik

(KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi

yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah

keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat

pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai

dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum

21
yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni (American Diabetes

Association, 2004).

B. EPIDEMIOLOGI

Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-

based adalah antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien

diabetes. Adapun angka kejadian SHH < 1% (Gaglia JL,

Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-

kawan ditemukan bahwa dari 613 pasien yang diteliti, 22%

adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan campuran

dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut

ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya

campuran KAD dan SHH, adalah mereka yang berusia lebih dari

60 tahun (Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD)

adalah < 5% pada sentrum yang berpengalaman, sedangkan

tingkat kematian pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler

(SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih buruk

pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi (American

Diabetes Association, 2004).

C. PATOGENESIS

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya

adalah defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan

resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat

untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan

untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri

selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan

22
menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk

lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan

produksi insulin makin kurang (Wyckoff J, Abrahamson MJ,

2004).

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang

efektif dalam darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra

insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon

pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan

produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi

glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia dan

perubahan osmolaritas extracellular (Wyckoff J, Abrahamson

MJ, 2004).

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya

hormone kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan

penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose

(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar

menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-OHB] dan

acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan

ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin

disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak

cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang

sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat

( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya

lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini

masih lemah. KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang

menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium,

dan elektrolit lain keluar (Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

23
D. FAKTOR PENCETUS

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi

karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus

krisis hiperglikemia ini antara lain :

1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia

dicetuskan oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa :

Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses, Sepsis dan

Lain-lain.

2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark

miokard akut, Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika

3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.

4. Heat stroke

5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis

akut, Obstruksi intestinal

6. Obat-obatan : Diuretika, Steroid dan Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi

karena yang bersangkutan menghentikan suntikan insulin

ataupun pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada

20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,

permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan makan

berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang mencetuskan

ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan

insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat

badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan

akan jatuh dalam hypoglikemia, pemberontakan terhadap

24
otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Wyckoff J,

Abrahamson MJ, 2004).

E. DIAGNOSIS

1. Presentasi klinik

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya

didahului oleh gejala diabetes yang tidak terkontrol.

Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan kabur,

poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. KAD

berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam,

sedangkan SHH cenderung berkembang dalam beberapa

hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas. Dehidrasi akan

bertambah berat bila disertai pemakaian diurétika.Gejala

tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering,

turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia.Pada pasien

tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga

pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan

respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status

mental dapat bervariasi dari sadar penuh , letargi, sampai

koma. Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya

aseton yang dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi

pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi

terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH

tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang mungkin

merupakan gejala klinik yang dominan (Sudoyo, 2014).

Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering

untuk DKA dan SHH, pasien dapat normotermik atau

25
bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi

perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda

buruknya prognosis (Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD

dibandingkan dengan SHH. Diperlukan perhatian khusus

untuk pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini

bisa merupakan akibat ataupun faktor penyebab (terutama

pada pasien muda) DKA. Evaluasi lebih lanjut harus

dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan

dehidrasi dan asidosis metabolic (Wyckoff J, Abrahamson

MJ, 2004).

F. PEMERIKSAAN LABORATORIK

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD

atau SHH meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea

nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion gap),

osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik,

Analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung

jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni,

darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan

antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi

(Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

G. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD.

Ketosis karena kelaparan dan ketoasidosis alkoholik (KAA)

dibedakan dengan anamnesis dan konsentrasi glukosa plasma

yang terentang dari sedikit meningkat ( jarang > 250 mg/dl)

sampai hipoglikemia. Sebagai tambahan, walaupun KAA dapat

26
mengakibatkan asidosis, konsentrasi bikarbonat serum pada

keadaan ketosis kelaparan biasanya tidak lebih rendah dari 18

mEq/l. KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya

asidosis metabolik yang tinggi anion gap seperti acidosis laktat,

minum obat-obatan seperti salicylate, metanol, ethylene glycol,

dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis (dimana lebih khas

asidosis hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis).

Riwayat intoksikasi obat atau menggunakan metformin harus

dicari (Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

H. TERAPI

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan

koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan

elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor

presipitasi dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan

monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta

langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan

dengan baik.

Terapi cairan :

1) Pasien dewasa

Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan

sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar

pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).

Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung

pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya

urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14

ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl

27
0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum

rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu

ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4)

sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral

(Sudoyo, 2014).

2) Pasien berusia < 20 tahun

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki

volume

intravascular dan extravascular ,dan mempertahankan

perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan volume

vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko

edema cerebral karena pemberian cairan yang terlalu

cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik

(NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Terapi Cairan

selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan

dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9% ( tergantung

pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5

kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5

ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi (Sudoyo,

2014).

Terapi Insulin :

1) Insulin reguler diberikan dengan infus intravena secara

kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika

tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian

insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg

28
bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus

intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–

7 unit/jam pada orang dewasa).

2) Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD

atau 300 mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu

diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 (3–6

units/jam), dan dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada

cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau

konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara

rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau

status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik

(Sudoyo, 2014).

Kalium

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium

diindikasikan pada saat kadar dalam darah dibawah 5.5 mEq/l,

dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium

( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup

untuk mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5

mEq/l.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat

KAD/SHH dan komplikasi akibat pengobatan:

1) Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi

merupakan komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0%

pada anak-anak dengan DKA.

29
2) Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat

terjadi saat terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu

pengurangan dalam tekanan osmotic koloid yang

mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan

penurunan compliance paru-paru.

3) Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi

oleh keadaan hipertonisitas merupaka komplikasi yang

jarang terjadi tetapi dapat fatal (Sudoyo, 2014).

J. PENCEGAHAN

Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan

perawatan medik yang baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi

efektif dari tenaga kesehatan selama belum timbulnya

penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal

ini meliputi informasi spesifik pada:

1) kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan

2) Target glukosa darah dan penggunaanshort-acting insulin

selama penyakit,

3) Mengobati demam dan infeksi, dan

4) Inisiasi darisuatu diet cairan yang mudah dicerna yang

mengandung karbohidrat dan garam. Yang paling penting,

pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah

menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai

sakit .

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada

keterlibatan pasien dan anggota keluarganya. Pasien atau

anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur dan

30
mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau

darah ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu

badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan

berat badan (Wyckoff J, Abrahamson MJ, 2004).

3. Efek samping penggunaan rutin glibenklamid tak terkontrol?

A. Mekanisme kerja obat

Glibenclamid dapat erangsang sekresi insulin di kelenjar

pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang

sel-sel く pankreasnya masih berfungsi dengan baik. Potensinya

200x lebih kuat dari Tolbutamid. Durasi kerja sampai 24 jam,

dimetabolisme di hati, dieliminasi ½ di ginjal dan ½ di feses

(Dipiro, 2008)

B. Dosis

Permulaan 1 dd 2,5-5 mg, bila perlu dinaikkan setiap

minggu sampai maksimal 2 dd 10 mg. Dosis tunggal harian

sebesar 1 mg terbukti efektif dan dosis maksimal yang

dianjurkan adalah 8 mg (Katzung, 2010).

C. Efek samping

Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Memiliki efek

hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu diingatkan untuk

melakukan jadwal makan yang ketat (Soegondo, 2002).

Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi

karena :

31
1) Kelebihan obat atau dosis obat : terutama insulin,

atau obat hipoglikemik oral

2) Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun :

gagal ginjal kronik, pasca persalinan

3) Asupan makanan tidak adekuat : jumlah kalori atau

waktu makanan tidak tepat

4) aktivitas jasmani meningkat (Soegondo, 2002).

4. Penyebab penurunan kesadaran di gangguan metabolik dan

hipertensi?

Terjadinya penurunan kesadaran pada penderita hipertensi

dapat disebabkan oleh adanya edema otak. Terdapat 2 teori yang

menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya edema otak, yaitu :

A. Reaksi otoregulasi yang berlebihan

Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi

vasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah

otak dan iskemi. Vasospasme dan iskemi akan menyebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis fibrinoid, dan

perdaragan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan

sawar darah-otak sehingga dapat timbul edema otak.

B. Kegagalan otoregulasi

Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan

mendadak menyebabkan kegagalan otoregulasi sehingga tidak

terjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodiliatasi. Vasodilatasi

awalnya terjadi secara segmental (sausage string pattern),

tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel

yang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi

32
komponen plasma yang akhirnya menimbulkan edema otak

(Wiryowidagdo, 2002).

Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM,

antara lain hipoglikemi, asidosis (KAD dan asidosis laktat),

hiperosmolaritas (SHH), dan uremik ensefalopati (uremia karena

gagal ginjal yang disebabkan oleh diabetik nefropati) (Huang,

2016).

Hal yang menjadi dasar utama patogenesis dari KAD dan

SHH adalah defisit insulin efektif dalam darah yang diikuti dengan

peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekolamin,

kortisol, dan growth hormone. Hiperglikemia terjadi karena

peningkatan gluconeogenesis, glikogenolisis, dan hambatan glucose

uptake pada jaringan perifer. Pada KAD, kombinasi dari defisiensi

insulin dan peningkatan dari hormon kontra insulin menyebabkan

pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa (lipolisis) ke

aliran darah dan oksidasi asam lemak di liver menjadi badan keton

(β-hydroxybutyrate dan acetoacetate),sehingga mengakibatkan

ketonemia dan asidosis metabolik. Patogenesis SHH masih belum

terlalu jelas bila dibandingkan dengan KAD, namun tingkat

dehidrasi yang lebih tinggi (karena diuresis osmotik) dan perbedaan

ketersediaan insulin membedakan kondisi SHH dengan KAD.

Walaupun defisiensi insulin relatif ditemukan pada SHH, jumlah

sekresi insulin relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan KAD,

dimana kadar insulin tidak bermakna. Kadar insulin pada SHH tidak

adekuat untuk memfasilitasi glucose uptake pada jaringan yang

33
sensitif terhadap insulin, tetapi adekuat untuk mencegah

terjadinya lipolisis dan ketogenesis (Kitabchi et al., 2009).

Asidosis laktat merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi

dari asam laktat di dalam darah yang menyebabkan keadaan

asidosis. Secara fisiologis, sumber utama asam laktat berasal dari

eritrosit, otot skeletal, kulit, dan otak. Konversi asam laktat

menjadi glukosa dan oksidasinya secara utama terjadi di liver,

tetapi ekskresinya juga dilakukan oleh ginjal. Produksi berlebih

dari asam laktat (hipoksia jaringan), gangguan eksreksi (gagal liver

atau ginjal) atau keduanya (kegagalan sirkulasi) dapat menyebabkan

akumulasi dari asam laktat (English dan Williams, 2004).

Hipoglikemia dapat terjadi karena keterlambatan makan,

kegiatan jasmani berlebihan tanpa suplemen kalori, atau

peningkatan dosis insulin. Selain itu, kondisi ini dapat terjadi pada

pasien yang mengkonsumsi obat hipoglikemik oral yang menstimulasi

sel beta pankreas (sulfonylurea, meglitinide, d-phenilalanine

34
analog), terutama bila pasien geriatrik, memiliki penyakit ginjal

atau liver, atau dalam pengobatan lain yang mengganggu

metabolisme sulfonylurea (fenilbutazone, sulfonamide atau

warfarin) (German, 2011).

Diabetik nefropati terjadi akibat interaksi dari faktor

hemodinamik dan metabolik. Faktor hemodinamik yang

berkontribusi, antara lain peningkatan tekanan sistemik dan

intraglomerular, juga aktivasi jalur hormon vasoaktif termasuk

diantaranya sistem renin angiotensin dan endothelin. Selain jalur

hemodinamik, stres oksifatif, formasi polyol ginjal, dan akumulasi

dari advanced glycation end products (AGEs) merupakan jalur

metabolik yang juga berperan dalam patogenesis diabetik

nefropati. Kedua jalur ini akan menuju pada peningkatan

permeabilitas albumin di ginjal dan akumulasi extracellular matrix

sehingga terjadi proteinuria, glomerulosklerosis, dan akhirnya

fibrosis tubulointerstisial. Uremik Ensefalopati terjadi pada pasien

dengan gagal ginjal akut maupun kronik, terutama bila creatinine

clearance (CrCl) berada di bawah 15 ml/menit (Brouns dan De,

2004).

Hipoglikemia menyebabkan edema selular, sedangkan

hiperosmolaritas menyebabkan sel mengkerut. Kedua kondisi sel ini

menyebabkan penurunan eksitabilitas sel- sel saraf yang

menyebabkan penurunan kesadaran. Selain dua kondisi tersebut,

asidosis juga mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat berlanjut

pada penurunan kesadaran. Patogenesis uremik ensefalopati

menyebabkan penurunan kesadaran masih belum jelas, namun

35
diduga berhubungan dengan akumulasi zat-zat neurotoksik di dalam

darah (Huang, 2016).

5. All about terapi insulin!

Indikasi kontraindikasi efek samping penggunaan insulin

a. Indikasi

Penggunaan insulin pada pasien diabetes melitus diindikasikan

pada pasien dengan penurunan berat badan yang cepat, menderita

ketoasidosis, asidosis laktat, dan koma hiperosmolar, pasien diabetes

melitus yang mengalami stress berat seperti infeksi sistemik, operasi

berat, diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali, serta

diabetes melitus yang tidak berhasil dengan pengobatan OHO dosis

maksimal.

b. Kontraindikasi

Pada pasien hipoglikemi dan hipersensitif pada insulin

dikontraindikasikan pada penggunaan insulin.

c. Efek samping

Efek samping akibat penggunaan terapi insulin salah satunya

yaitu hipoglikemia. Hipoglikemi merupakan efek samping yang paling

sering terjadi dan terjadi akibat dosis insulin yang terlalu besar,

36
tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak

insulin, atau karena faktor yang meningkatkan sensitivitas terhadap

insulin seperti insufisiensi adrenal atau pituitari, ataupun kerja fisik

yang berlebihan.

Selain hipoglikemi, efek samping lain yang dapat terjadi

adalah reaksi alergi dan resistensi dari insulin sendiri. Pengunaan

insulin rekombinan dan insulin yang lebih murni telah dapat

menurunkan insiden reaksi alergi dan resistensi. Meski demikian

kadang-kadang reaksi tersebut masih dapat terjadi akibat adanya

bekuan atau terjadinya denaturasi preparat insulin, atau kontaminan,

atau akibat pasien sensitif terhadap senyawa yang ditambahkan

dalam proses formulasi preparat insulin. Reaksi alergi lokal pada kulit

yang sering terjadi akibat IgE atau resistensi akibat timbulnya

antibodi IgG.

(Soegondo, 2007)

6. Indikasi dan kontra indikasi HCU!

A. Definisi

HCU adalah unit pelayanan di Rumah Sakit bagi pasien dengan

kondisi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran yang stabil yang masih

memerlukan pengobatan, perawatan dan observasi secara ketat

(Kemenkes RI, 2010).

B. Alur Pelayanan HCU

37
C. Indikasi masuk & keluar HCU (Kemenkes RI, 2010)

1) Indikasi masuk

a) Pasien dengan gagal organ, dan ada risiko tinggi untuk

komplikasi

b) Pasien yang memerlukan perawatan perioperatif

2) Indikasi keluar

a) Pasien sudah stabil yang tidak perlu pemantauan ketat

b) Pasien yang memburuk sehingga perlu dipindahkan ke ICU

3) Tidak perlu masuk

a) Pasien dengan fase terminal

b) Pasien/keluarga menolak untuk dirawat di HCU

D. Kasus Indikasi masuk dengan keluhan system organ menurut

Kemenkes RI, (2010) :

1. Sistem Kardiovaskuler

a) Miokard Infark dengan Hemodinamik stabil

b) Gangguan irama jantung dengan hemodinamik stabil

c) Gangguan irama jantung yang memerlukan pacu jantung

sementara / menetap dengan hemodinamik stabil

d) Gagal jantung kongesif NYHA kelas I atau II

38
e) Hipertensi urgensi tanpa ada gagal organ target

2. Sistem Pernapasan

Gangguan pernapasan yang memerlukan fisioterapi yang

intensif dan agresif

3. Sistem Saraf

a) Cedera kepala sedang samapai berat yang stabil dan

memerlukan tirah baring dan memerlukan pemeliharaan

jalan napas secara khusus, seperti hisap lendir

b) Cedera sumsum tulang belakang leher yang stabil

4. Sistem Saluran Pencernaan

Perdarahan saluran cerna bagian atas tanpa hipotensi dan

respon dengan pemberian cairan

5. Sistem Endokrin

Diabetik Ketoasidosis dengan infuse insulin kontinyu

6. Pembedahan

Pasca bedah besar dengan hemodinamik stabil, tetapi masih

memerlukan resusitasi cairan dan pengawasan.

7. Kebidanan dan Kandungan

Preeklamsia pada kehamilan atau pasca persalinan

(Kemenkes, 2010)

39
BAB VIII

PENUTUP

A. SIMPULAN

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang dilakukan pada pasien skrenario kali ini didapatka

kesimpulan bahwa pasien mengalami ketoasidosis diabetik dan krisis

hipertensi. Keadaan tersebut dikarenakan pasien sudah lama

mengidap DM dan hipertensi yang tak terkontrol, akibatnya terjadi

penumpukan kadar glukosa darah yang sangat tinggi hingga

menyebabkan KAD dan terjadi peningkatan tekanan darah yang

ekstreme sehingga terjadi krisis hipertensi.

Karena pada kasus, pasien terjadi penurunan kesadaran,

peningkatan respirasi dan tekana lebih dari normal maka penangan

yang pertama dilakukan yaitu koreksi airway, breathing, dan

sirkulasinya. Setelah pernafasan ditangani, maka berikan insulin

bolus 0,1U/kgBB secara IV, kemudian berikan cairan kristaloid NaCl

0,9% 1 liter/jam untuk mengatasi asidosis metaboliknya. Setelah

kadar glukosa darah mencapai 200 mg/dl, NaCl diganti dengan D 5%

40
+ NaCl 0,45% sebanyak 150-250 ml/jam untuk mencegah terjadinya

hipoglikemia. Koreksi bikarbonat dan kalium jika diperlukan. Apabila

kadar glukosa darah sudah mencapai 200 mg/dL dan pasien stabil

maka lakukan maintenance.

B. SARAN

1. Pada saat tutorial mahasiswa mencari sumber informasi yang

lebih akurat dan diharapkan dapat memperluas pengetahuan

secara mandiri.

2. Tutor saat kegiatan sesi pertama memberikan arahan terhadap

learning objective yang di harapkan pada blok yang sedang

berjalan.

3. Sesi kedua tutorial di harapkan semua sasaran pembelajaran

sudah terhabas semua, apabila belum dapat di tambahkan

kembali pada laporan kelompok.

4. Mahasiswa yang kurang aktif dapat diberi pancingan agar

mengikuti kegiatan tutorial lebih aktif kembali

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir AAA. (2012). Comparative effects of glibenclamide and


metformin on creactive protein and oxidant/antioxidant status in
patients with type II diabetes mellitus. SQU Medical Journal.
12:55–61.
American College of Surgeons. 2012. Head Injury. Advanced Trauma
Life Support Student Course Manual (Ninth Edition). Chicago.
USA.

41
American Diabetes Association. (2004) Hyperglycemic crises in
patients with diabetes mellitus. Diabetes Care vol 27
supplement1: S94-S102.

Bhaskar S. 2017. Glasgow Coma Scale: Technique and Intepretation.


Clinics in Surgery, 2, 2–5.

Brouns R, De Deyn PP. Neurological complications in renal failure: a


review. Clin Neurol Neurosurg. 2004; 107(1):1-16.

Devicaesaria A. Hypertensive crises. (2014). Medicinus. 27(3):9–24.


Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. 7th ed. New
York: McGraw Hill.

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta:


Aditya Media

English P, Williams G. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in


diabetes mellitus. Postgrad Med J 2004; 80:253-261.

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ. (2004) Acute hyperglycemic


crisis in elderly. Med Cli N Am 88: 1063-1084.

German MS. Pancreatic Hormones and Diabetes Mellitus . Dalam:


Gardner DG, Shoback D, eds.Greenspan’s Basic & Clinical
Endocrinology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.

Huang, Ian. 2016. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran


pada Penderita Diabetes Mellitus. MEDICINUS Vol. 5 No. 2.

Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.

Joseph Harbison, Omar Hossain, Damian Jenkinson, John Davis,


Stephen J. Louw and Gary A. Ford. (2003). Diagnostic Accuracy
of Stroke Referrals From Primary Care, Emergency Room
Physicians, and Ambulance Staff Using the Face Arm Speech
Test.

Katzung.2010. Basic and Clinical Pharmacoligy. Edition 10th. San


Fransisco : EGC

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor

42
834/MENKES/SK/VII/2010. Pedoman Penyelengaraan Pelayanan
High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit

Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN: Hyperglycemic


crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009;
32:1335–1343.

Mongan PD., Soriano III SG., Sloan TB. 2015. 'Traumatic Brain
Injury'. A Practical Approach to Neuroanesthesia. Wolters
Kluwer. USA. 277

Nafriadi, Gunawan, dan Gan Sulistia. (2012). Farmakologi Dan Terapi.


Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Roesma.(2014). Krisis Hipertensi, dalam : Sudoyo (editor) Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing

Soegondo, dkk.2002.Diabetes Mellitus Penatalaksaan Terpadu. Jakarta


: FKUI.

Soegondo S. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus terkini. Dalam:


Soegondo S dkk (eds). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: FKUI; 2007

Wiryowidagdo. 2008. Tanaman Obat untuk Penyakit Jantung, Darah


Tinggi dan Kolesterol. Jakarta Selatan : Agromedia.

43

Anda mungkin juga menyukai