Abstract
Hypoglycemia is a drop in blood glucose, even though blood glucose is still > 100 mg/dL.
Diabetes mellitus is a syndrome that occurs due to carbohydrate metabolism disorders
characterized by hyperglycemia, which in the long term can cause macro and microvascular
abnormalities. Hypoglycemia is often experienced by type 1 DM patients, followed by type 2
DM patients treated with insulin and phonylureas. Symptoms of hypoglycemia are
categorized into neuroglycopenia, which is a symptom that is directly related to the brain if
there is a lack of blood glucose. The second symptom of hypoglycemia is autonomic, ie
symptoms that occur as a result of activation of the sympatho-adrenal system resulting in
changes in physiological perception. Regardless of a person's diabetes mellitus status, the
prognosis of hypoglycemia is poor because it is directly related to an increased risk of death
in general and is related to cardiovascular outcomes.
Keywords: hypoglycemia, coma, diabetic mellitus
Abstrak
Hipoglikemia adalah glukosa darah yang turun mendadak, meskipun glukosa darah masih >
100mg/dL. Diabetes mellitus adalah sindrom yang terjadi akbat gangguan metabolisme
karbohidrat yang ditandai oleh hiperglikemia, yang dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kelainan makro dan mikrovaskuler.Hipoglikemia sering dialami oleh pasien
DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan sulfonilurea.
Gejala hipoglikemia dikategorikan menjadi neuroglikopenia, yaitu gejala yang berhubungan
langsung terhadap otak apabila terjadi kekurangan glukosa darah. Gejala hipoglikemia kedua,
adalah autonom, yaitu gejala yang terjadi sebagai akibat dari aktivasi sistem simpato-adrenal
sehingga terjadi perubahan persepsi fisiologi. Tanpa memandang status diabetes melitus
seseorang, prognosis hipoglikemia kurang baik karena berkaitan langsung dengan
peningkatan risiko kematian secara umum maupun yang terkait dengan luaran
kardiovaskuler.
Kata kunci : hipoglikemia, koma, diabetes mellitus
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) meruakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristi hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, teruatam mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah. Worh Health Organization (WHO) sebelumnya sudah merumuskan
bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singka tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didaparkan defisiensi insulin abosolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.1
Kasus penyakit diabetes melitus (DM) di Indoneisa menurut laporan terakhir
Kementerian Kesehatan memiliki prevalensi sebesar 1,5% dnegan prevalensi tertinggi di
provinsi DKI Jakarta dan terendah di provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut kemenkes,
Indonesia diprediksi pada tahun 2035 memiliki peningkatan jumlah pasien sebanyak 592 juta
jiwa dan menempati urutan ketujuh di dunia. Pasien DM sering disertai dengan penyakit
penyerta baik yang merupakan penyakit komplikasi dari DM maupun penyakit lainnya
sehingga obat yang digunakan menjadi lebih banyak.2
Kegawatdaruratan deabetes melitus (DM) adalah suatu keadaan yang mengancam
jiwa yang terkiat dengan komplikasi akut DM sehingga perlu mendapatkan pertolongan
dnegan segera. Yang termasuk dalam keadaan kegawatdaruratan DM adalah hipoglikemia
dan krisis hiperglikemia (ketoasidosis diabeteik, hyperosmolar hyperglychemic state, koma
lakto-asidosis).3
Anamnesis
Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter
dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga atau pada
keadaan tertentu dengan penolong pasien. Pada anamnesis, menanyakan ke pasien tentang
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, riwayat pengobatan, riwayat pribadi atau alergi dan sosial.
Skenario 2, seorang pasien Tn. GS berusia 22 tahun dibawa keluarga ke UGD RS
Ukrida karena sejak 45 menit yang lalu pasien tidak bisa bicara, badan lemas, keringat dingin
terus. Kira-kira 50 menit yang lalu pasien mengeluh pusing saat akan makan pagi jam 10.00.
Sudah sejak 6 tahun yang lalu pasien suntik Actrapid tiap sebelum makan dengan takaran 16-
14-14 U.
Hasil anamnesis :
- Identitas pasien : laki-laki usia 22 tahun
- Keluhan utama : pasien tidak bisa bicara, badan lemas, keringat dingin terus, dan sekitar
50 menit yang lalu pasien mengeluh pusing saat akan makan pagi.
- Riwayat penyakit sekarang : Pasien dibawa dengan tandu oleh keluarganya dalam
keadanan lemas, kesadaran menurun, keluar keringat dingin, dan akralnya dingin. Pasien
tidak dapat kontak, kecuali saat dicubit mengaduh, tidak bisa menggerakkan tangan dan
kaki.
- Riwayat penyakit dahulu : riwayat diabetes
- Riwayat penyakit dalam keluarga : -
- Riwayat pengobatan : sejak 6 tahun yang lalu pasien suntik Actrapid setiap sebelum
makan dengan takaran 16-14014 U.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan tubuh
pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Pemeriksaaan fisik dilakukan untuk
membantu dalam menegakkan diagnosis dan tatalaksana untuk pasien. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan yaitu keadaan umum, tanda-tanda vital, pemeriksaan head to toe, dan
pemeriksaan khusus.
1. Pertolongan pertama
Dalam penangganan pasien gawat darurat, situasi tidak memungkinkan untuk melakukan
anamnesis terhadap pasien. Meskipun kondisi pasien sudah dapat diindetifikasi,
penyebab kondisi tersebut masih perlu dipertanyakan. Maka dari itu diperlukan metode
peniliaian berdasarkan metode ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability and
Exposure) Assessment.
Tabel 1. Metode ABCDE.
Penilaian Tindakan
A (airways) - Suara Head till dan chin lift
- Terdengar nafas
B (breathing) - Frekuensi nafas - Posisikan duduk dengan tegak
- Pergerakan dada - Bantuan pernafasan
- Perkusi - Obat inhalasi
- Auskultasi - Ventilasi bag mask
- Oksimetri O2 - Dekompresi tension pneumotoraks
C (circulation) - Warna kulit - Tinggikan kaki
- Waktu pengisian kapiler - Infus saline
- Denyut nadi - Hentikan pendarahan
- Auskultasi jantung
- Tekanan darah
D (disability) - Tingkat kesadaran - Tatalaksana ABC
- Pergerakan anggota badan - Pemberian glukosa pada hipoglikemia
- Reflek cahaya
- Glukosa darah
E (exposure) - Inspeksi kulit - Mengobati penyebab yang dicurigai
- Suhu
2. Kesadaran
Kesadaran diatur oleh ascending reticular activating system (ARAS) dan kedua hemisfer
otak. Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi:
a. Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab
pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.
b. Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan
dengan orang lain dan lingkungannya.
c. Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur,
masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban
secara verbal, namun mudah tertidur kembali.
d. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak
menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri.
e. Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua
rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar.
3. Glasglow Coma Scale (GCS)
Glasglow coma scale (GCS) adalah suatu skala neurologik yang digunakna untuk
menilai secara objektif derajat kesadaran seseorang. GCS digunakan juga untuk menilai
tingkat kesadaran seseorang saat memberikan pertolongan darurat medis. GCS terdiri
dari tiga pemeriksaan, yaitu penilian respons membuka mata (eye opening), repons
motorik terbaik (best motor response), dan respons verbal terbaik (best verbal response).
Gambar 1. Glasglow coma scale.
Hasil skala koma pasien didapatkan sebagai berikut : tidak ada kontak, kecuali dicubit
pasien mengaduh dan menyeringai, tidak dapat menggerakkan tangan dan kaki, tidak
bisa bicara.
- Respon mata : 2
- Respon verbal ; 2
- Respon motorik : 1
Dapat disimpulkan, nilai GCS pasien adalah 4 atau E1V2M2 dengan tingkat perahan
GCS parah.
Hasil pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit berat, kesadaran somnolen
TTV : tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 96x/menit, napas 24/menit, suhu 36,5oC.
Head to toe : Akral dingin dan badan teraba basah keringat
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dilakukan untuk menegakkan trias Whipple pada
diagnosis hipoglikemia adalah kadar glukosa darah. Selain
1. Kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah ≤ 70 mg/dL merupakan suatu nilai waspada hipoglikemia yang
direkomendasikan menurut klasifikasi hipoglikemia oleh International Hypoglycemia
Study Group (IHSG). Merupakan ambang batas perlunya pemberian karbohdrat kerja
cepat dan penyesuai dosis terapi penurunan glukosa darah pada pasien dengan DM.
kadar glukosa darah < 54 mg/dL menggambar suatu hipoglikemia yang bermakna secar
aklinis. Apabila hipoglikemia disertai dengan suatu gangguan kognitif berat yang
memerluka bantuan orang lain untuk pemulihan gejala, maka ini dikenal dengan sebutan
hipoglikemia berat.
Tabel 2. Derajat Hipoglikemia.
Derajat Kriteria kadar
Deskripsi
Hipoglikemia glukosa darah
Nilai ambang cukup rendah untuk memulai
Ambang waspada
≤ 70 mg/dL pemberian karbohidrat kerja cepar dan
hipoglikemia
penyesuaian dosis terapi penurun glukosa.
Hipoglikemia klinis Nilai ambang cukup rendah untuk
< 54 mg/dL
signifikan mengindikasikan suatu hipoglikemia serius.
Hipoglikemia yang berkaitan dengan
Tidak ada ambang batas
Hipoglikemia berat gangguan kognitif berat yang memerlukan
khusus
pertolongan orang lain untuk pemulihan.
Periode terbaik melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, ketika gejala
hipoglikemia mulai muncul pada pasien. Apabila kadar glukosa darah normal, maka
peluang gejala yang bermanifestasi pada pasien disebabkan oleh hipoglikemia snagat
kecil. Jika kadar glukosa darah rendah dan gejala membaik ketik kadar glukosa
meningkat pasca pemberian tatalaksana, hal tersebut mengkonfirmasi hipoglikemia
sebagai penyebab gejala yang ada. Apabila penyebab hipoglikemia masih belum jelas,
pemeriksaan penunjang lainnya seperti kadar insulin plasma, peptida C, proinsulin, dan
kadar beta hidrokdibutirat perlu dipertimbangkan. Ini disarakan pada individu
hipoglikemik tanpa disertai penyakit penyerta dan komordibitas serta faktor risiko
hipoglikemia sebelumnya.4
2. Pemeriksaan Hb
Tes hemoglobin merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur jumlah
hemoglobin di dalam darah. Hemoglobin adalah protein pada sel darah merah yang
berfungsi membawa oksigen ke organ dan jaringan tubuh. Tingkat hemoglobin
dinyatakan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram (gm) per desiliter (dL) darah utuh,
satu desiliter adalah 100 mililiter.5 Hasil pemeriksaan Hb didapatkan 12,8gm/dL.
pemeriksaan Hb normal sebagai berikut:
- Anak-anak: 11 - 13 gm/dL
- Pria dewasa: 14 - 18 gm/dL
- Wanita dewasa: 12 - 16 gm/dL
- Pria setelah usia paruh baya: 12,4 - 14,9 gm/dL
- Wanita setelah usia paruh baya: 11,7 - 13,8 gm/dL
- Pemeriksaan elektrolit
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang
bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion
bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai
elektronetralitas. Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh
elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan,
Contoh kation antara lain natrium, kalium, kalsium, dan magnesium. Contoh anion antara
lain klorida, bikarbonat, dan fosfat.6
Tabel 3. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel.6
Plasma CairanInterstitial Cairan Intraseluler
(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
Na+ 140 148 13
K+ 4,5 5,0 140
Ca2+ 5,0 4,0 1x10-7
Mg2+ 1,7 1,5 7,0
Cl- 104 115 3,0
HCO3- 24 27 10
SO42+ 1,0 1,2 --
PO42+ 2,0 2,3 107
Protein 15 8 40
Anion Organik 5,0 5,0 --
Tatalaksana
Tujuan terapi hipoglikemia adalah mengembalikan dengan cepat level glukosa darah
ke rentang normal, mengurangi atau meniadakan risiko injuri dan gejala. Namun, terapi
hipoglikemia harus memperhatikan dan menghindari overtreatment yang bisa menjadikan
pasien hiperglikemia dan peningkatan berat badan. Ketika diperlukan, pengukuran glukosa
darah dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya hipoglikemia (khususnya ketika terdapat
kemungkinan pasien tersebut dalam pengaruh alkohol).11
a. Terapi hipoglikemia ringan – sedang
1. Pemberian makanan tinggi glukosa (karbohidrat)
2. Ketika terapi hipoglikemia, pilihan karbohidrat menjadi penting.
3. Karbohidrat kompleks atau makanan yang mengandung lemak bersamaan dengan
karbohidrat (seperti coklat) dapat memperlambat absorbsi glukosa dan tidak boleh
digunakan pada kasus hipoglikemia yang darurat.
4. Glukosa 15 g (2 – 3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
a. 15 g glukosa (monosakarida) diperlukan dalam peningkatan glukosa darah sekitar
2,1 mmol/L dalam 20 menit dan dapat meredakan gejala bagi kebanyakan pasien.
b. 20 g glukosa diperlukan dalam peningkatan glukosa darah sekitar 3,6 mmol/L
dalam 45 menit.
c. Susu dan jus jeruk lambat dalam menaikkan glukosa darah, namun dapat
menghilangkan gejala.
5. Pasien dengan kontrol glikemik yang buruk dapat merasakan gejala hipoglikemia
walaupun dengan kadar glukosa lebih 4,0 mmol/L. Tidak ada bukti yang
menyatakan terjadi disfungsi kognitif. Maka dari itu, terapi hipoglikemia yang
direkomendasikan adalah untuk meredakan gejala. Jadi, pasien yang mengalami
hipoglikemia dengan kadar glukosa darah 4,0 mmol/ L dapat diterapi dengan snack
karbohidrat, misalnya 1 buah pisang, atau 1 potong roti.
6. Anak - anak seringkali membutuhkan lebih sedikit 15 g karbohidrat untuk
mengkoreksi kadar glukosa darah; bayi: 6 membutuhkan g; balita membutuhkan 8 g;
dan anak kecil kemungkinan membutuhkan 10 g
7. Pemeriksaan glukosa darah harus dilakukan setelah 15 menit setelah pemberian
terapi. Ulangi langkah terapi hingga glukosa darah mencapai setidaknya 70 mg/dl
8. Setelah kadar glukosa darah kembali normal, pasien diminta untuk makan atau
mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia
b. Terapi hipoglikemia berat
1. Glukagon merupakan hormon yang disekresi pankreas untuk menstimulasi hepar
agar mengeluarkan glukosa yang tersimpan ke aliran darah. Injeksi glukagon dapat
diberikan pada pasien DM dengan kadar glukosa darah yang terlalu rendah untuk
diterapi dengan intake glukosa.
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, berikan dekstrosa 20% sebanyak 50 cc (jika
kadar glukosa belum naik signifikan, diberikan dekstrosa 40% sebanyak 25 cc),
diikuti dengan infus D5% atau 10%.
3. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian parenteral. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang dekstrosa 20% [5]
4. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1 – 2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang. Pemberian dekstrosa 20% dapat diulang.
Komplikasi
Hipoglikemia dapat menimbulkan komplikasi berupa perubahan inflamasi,
kardiovaskuler, dan neurologis akut. Hipoglikemia pada individu dengan diabetes mellitus
tipe 1 (T1DM) maupun individu sehat dapat menimbulkan peningkatan adhesi platelet
monosit, aktivasi platelet, dan sejumlah penanda inflamasi (CD-40, IL-6, dan hsCRP).
Namun, belum diketahui apakah perubahan penanda inflamasi tersebut berkaitan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Prognosis
Tanpa memandang status diabetes melitus seseorang, prognosis hipoglikemia kurang
baik karena berkaitan langsung dengan peningkatan risiko kematian secara umum maupun
yang terkait dengan luaran kardiovaskuler.
Edukasi
Adanya bukti yang kuat bahwa edukasi DM dapat meningkatkan luaran pasien.
Edukasi pasien terhadap hipoglikemia yang dapat diberikan, antara lain :10
1. Dalam rencana edukasi, seseorang dengan DM maupun keluarganya harus mengetahui
gejala hipoglikemia dan dapat mengatasi episode hipoglikemia dengan tepat, baik
dengan glukosa oral maupun glukagon.
2. Faktor risiko hipoglikemia harus didiskusikan secara rutin kepada pasien yang
mendapat terapi DM menggunakan insulin, obat sulfonilurea/glinid, khususnya kepada
pasien yang memiliki riwayat hipoglikemia.
3. Pasien dengan DM diharapkan mengetahui makanan yang mengandung karbohidrat dan
paham peran karbohidrat terhadap glukosa darah.
4. Untuk menghindari hipoglikemia, pasien dengan terapi kerja lama sekretagog dan
insulin dosis tetap direkomendasikan agar membuat rencana makan yang tepat.
5. Pasien dengan terapi insulin lainnya harus mengetahui bahwa injeksi prandial harus
disertai dengan makan. Ketidakseimbangan pola makan dan injeksi insulin dapat
menyebabkan fluktuasi dalam glukosa darah.
6. Pasien yang memiliki riwayat hipoglikemia dengan adanya terapi ADO harus
diinstruksikan untuk selalu membawa karbohidrat agar dapat mengatasi hipoglikemia
yang mungkin terjadi.
7. Aktivitas fisik meningkatkan pengunaan glukosa yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia. Faktor risiko hipoglikemia termasuk durasi olahraga, intensitas olahraga,
ketidakcukupan suplai energi. Hipoglikemia karena olahraga dapat dihindari dan
diminimalisir dengan memakan snack yang dengan mudah diserap tubuh.
Melakukan monitoring glukosa darah diperlukan untuk mencegah risiko
hipoglikemia. Pasien yang diterapi dengan insulin, sulfonilurea/glinid dianjurkan untuk
mengecek glukosa darah kapanpun merasa adanya gejala hipoglikemia. Hal ini dilakukan
untuk mengkonfirmasi bahwa pasien harus mengkonsumsi karbohidrat untuk mengkoreksi
level glukosa darah yang rendah. Upaya PGDM (Pemantauan Glukosa Darah Mandiri) dapat
membantu meningkatkan kontrol glikemik pada pasien DM.10
Kesimpulan
Berdasarkan skenario, laki-laki usia 22 tahun didiagnosis koma hipoglikemia ec
diabetes mellitus tipe I. koma hipoglikemia merupakan salah satu kegawadaruratan dari
diabetes mellitus. Hipoglikemia adalah glukosa darah yang turun mendadak, meskipun
glukosa darah masih > 100mg/dL. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah < 70 mg/dL (<4,0 mmol/L) dengan atau adanya whipple’s triad, yaitu terdapat gejala-
gejala hipoglikemia, seperti kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang dengan
pengobatan. Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe
2 yang diterapi dengan insulin dan sulfonilurea.
Daftar Pustaka
1. Purnamasari D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II : Diagnosis dan klasifikasi
diabetes melitus. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2017.
2. Saibi Y, Hasan D, Safitri B, Anwar V. Potensi hipoglikemia dan hiperglikemia ada
pasien dm tipe 2 akibat interaksi obat. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 2020;5(2):258 - 267.
3. Tjokroprawiro A, Murtiwi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.2: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. 2nd ed.
Surabaya: Airlangga University Press; 2015.
4. ADA. Glycemic targets: Standards of medical care in diabetes-2018. Diabetes Care .
2018;41(Suppl 1):S55–64.
5. [Internet]. Medicinenet.com. [cited 16 November 2021]. Available from:
https://www.medicinenet.com/hemoglobin/article.html
6. Ferawati I, dan Yaswir R. 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Fisiologi dan Gangguan
Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboraorium. 1(2): 80-
84.
7. Tanggo Y. Diabetes mellitus tipe 1 pada orang dewasa. Majalah Kedokteran UKI.
2012;28(4):188 - 193.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
9. Manaf A. Hipoglikemia : pendekatan klinis dan penatalaksanaan. 6 th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2017.
10. Rusdi M. Hipoglikemia pada psien diabetes mellitus. Journal Syifa Sciences and Clinical
Research. 2020;2(2):83 - 90.
11. Hypoglycemia (Low Blood Glucose) | ADA [Internet]. Diabetes.org. [cited 16 November
2021]. Available from:
https://www.diabetes.org/diabetes/medication-management/blood-glucose-testing-and-
control/hypoglycemia