Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN EC HIPOGLIKEMIA

DISUSUN OLEH:
Farah Sonya Anastasya
2010730036

PEMBIMBING
Prof. dr. Iskandar Sp.Pd

RSIJ CEMPAKA PUTIH-KEPANITERAAN KLINIK

BAB 1
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN :
Nama :Ny.
Umur : 57 thn
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : gg. Berdikari no 12 RT 4/8 Sunter Kemayoran
Tgl Masuk RS :30/7/2021
ANAMNESIS :
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS SOEWONDO dengan penurunan kesadaran sejak subuh.
Menurut keluarga, pasien minum obat gula jam 10 tadi malam, setengah jam setelah minum
obat, pasien mengeluh pusing, lemas, dan sempoyongan, kemudian pasien pergi tidur, ketika
subuh tiba, keluarga membangunkan pasien, namun pasien tidak bangun, dan terdengar suara
mengorok. keluarga mengira pasien masih tidur, kemudian satu jam SMRS, keluarga
membangunkan pasien, namun pasien tidak bangun. pasien memilik riwayat penyakit diabetes
sejak dua tahun yang lalu, dan pasien rutin minum obat yang diberikan oleh dokter. Pasien
minum dua macam obat, namun keluarga lupa nama obatnya. Riwayat hipertensi disangkal
keluarga pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


• Diabetes Mellitus Tipe 2

Riwayat Penyakit Keluarga


• Ayah pasien menderita DM
• Riwayat penyakit lain pada keluarga disangkal
Riwayat Psikososial
• Pasien tidak mengkontrol pola makan
• Sering makan makanan berlemak
• Tidak pernah berolahraga
• Merokok dan meminum alkohol disangkal
Riwayat Pengobatan
• Pasien mengkonsumsi obat diabetes mellitus dua jenis obat dan rutin minum obat
Riwayat Alergi
• Riwayat alergi terhadap makanan disangkal oleh pasien
• Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal oleh pasien
• Riwayat alergi terhadap cuaca disangkal oleh pasien
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Tanda Vital :
TD : 140/80 mmHg
N : 108x/mnt
R : 26x/m
S : 36,20C
Kepala : normocepal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok.
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/-, reflek cahaya (+), pupil isokhor.
Telinga : bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-, membran tympani intact
Hidung : mukosa hidung merah muda, septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Thoraks :Bentuk Normochest
Paru :
I : normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
P : nyeri tekan (-), Vokal Fremitus normal
P : sonor pada kedua lapang paru
A : vesicular, ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba di ICS V midclavicula
P : batas atas di ICS III linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea parasternalis
dextra, batas kiri di ICS V linea parasternalis sinistra
A : BJ I dan II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
I : spider navi (-) distended (-)
A : Bising usus (+) 8 kali permenit
P : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
P : timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-, sianosis -/-
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-, sianosis -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 31 Mei 2012
WBC : 9,65 (4,8-10,8 103/uL)
HGB : 13,6 (12-16 g/dL)
HCT : 39 (35-37 %)
PLT : 437 (150-450 103/uL)
• Kimia Darah:
GDS : 21 mg/dL.
Ureum : 18 mg%
Kreatinin : 0,5 mg%
SGPT : 30 U/L
SGOT : 36 U/L
Daftar Masalah :
• Penurunan kesadaran ec hipoglikemi
Subjektif : pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran 3 jam SMRS, tidak sadar
sewaktu dibangunkan keluarga, sebelumnya pasien mengeluh lemas, sempoyongan, dan
berkeringat dingin. 5 hari yang lalu didiagnosis doabetes mellitus. Pasien mengkonsumsi
4 jenis obat oral antidiabetik sehari.
Objektif :
• Pemeriksaan fisik :
• Nadi = 108x/menit
• Kesadaran : koma saat datang di UGD

• Pemeriksaan Penunjang :
• GDS 21 mg/dl
Assesment : penurunan kesadaran ec hipoglikemia
Planning : berikan IV glukosa 40% sebanyak 50 ml, setengah jam kemudian diberikan
lagi 10-50 ml glukosa 40% setiap 10-20 menit sampai penderita sadar, dan seterusnya dapat
diberikan peroral. Cek gds selanjut per 1-2 jam.
• Hipertensi grade 1
Subjektif : pasien memiliki riwayat hipertensi, RPK (+)
Objektif :
• Pemeriksaan Fisik :
• TD= 140/90 mmHg
Assesment hipertensi grade I
Planning Amloidipine 5 mg 1x1

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm,
mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada
vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan
maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk
oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama
dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat
ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal
dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
1. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2. Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi mensekresi insulin
dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m,
sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua
pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
a) Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glukagon yang menjadi
faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
b) Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , mensekresi insulin.
c) Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, mensekresi somatostatin.

II. 2 Fisiologi

II. 3 Patofisiologi

II. 4 Definisi
Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di
mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (PERKENI
2006).

Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula.
DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan gejala yang
timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2005).

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Sudoyo,Aru W,2006).

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial
ekonomi(Shahab,Alwi, 2006).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006).
II. 5 Klasifikasi
Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus
tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional
(Adam, John MF, 2000).

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009)
memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta
Ayu, 2009):

• Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

• Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

• Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor
lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada
aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat
penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi
setelah transplantasi organ).

• Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.

II. 6 Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat
juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan
dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2006) :

• Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan
khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl,
kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (Sudoyo,Aru W, 2006).
Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes
melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru W, 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus,
toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular
di kemudian hari (PERKENI, 2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis
diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis
yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi
glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah
penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu.
Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

II. 7 Penatalaksanaan

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya
resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta
pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi
ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis
diabetes melitus (Sudoyo, Aru W, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes (PERKENI, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu (PERKENI, 2006) :
• Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
• Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
diabetes melitus. (PERKENI, 2006).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non
farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan
penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah
tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau
intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat
sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada
gambar 2.

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006.

Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan


adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan
konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun
pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

• Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola
hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) :
• Mengikuti pola makan sehat
• Meningkatkan kegiatan jasmani
• Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur
• Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data
yang ada
• Melakukan perawatan kaki secara berkala
• Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
• Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
• Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

• Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya
mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain (Sudoyo, Aru w,
2006) :
• Menurunkan berat badan
• Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
• Menurunkan kadar glukosa darah
• Memperbaiki profil lipid
• Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
• Memperbaiki sistem koagulasi darah

Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan
(Sudoyo, Aru w, 2006) :
• Kadar glukosa darah mendekati normal
• Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
• Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
• Kadar A1c < 7%
• Tekanan darah < 130/80 mmhg
• Profil lipid yang berkisar normal
• Kolesterol LDL < 100 mg/dl
• Kolesterol HDL > 40 mg/dl
• Trigliserida < 150 mg/dl
• Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein dan
lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Sudoyo, Aru w, 2006).
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut
konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006 adalah
sebagai berikut :
• Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika
dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan
energi sebesar 4 kilokalori.
Rekomendasi pemberian karbohidrat (Sudoyo, Aru w, 2006) :
• Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
• Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari
karbohidrat
• Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal
70% dari total kalori perhari
• Jumlah serat 25-50 gram per hari
• Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai
lebih dari total kebutuhan kalori per hari
• Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame,
acesulfam dan sucralosa
• Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari
• Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari

• Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan
asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam
amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram (Sudoyo, Aru
w, 2006).
Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
• Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
• Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
• Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1
mg/kgbb/hari
• Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
• Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dari pada hewani.

• Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan


makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti
vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dibedakan
menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan
kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid
tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian
MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, kolesterol
VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai
panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan
kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak
omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktifitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan
perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
• Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10
% dari total kebutuhan kalori per hari
• Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
• Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari
• Batasi asupan asam lemak bentuk trans
• Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang.
• Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori
per hari.
• Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan
lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari
(PERKENI, 2006).
• Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll (PERKENI, 2006).
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb (PERKENI, 2006) :
• Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
• Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
• Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
• BB Normal : BB ideal ± 10 %
• Kurus : < BBI - 10 %
• Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The
Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment.
• BB Kurang <18,5
• BB Normal 18,5-22,9
• BB Lebih >23,0
• Dengan risiko 23,0-24,9
• Obes I 25,0-29,9
• Obes II ≥ 30

• Latihan jasmani
Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah satu
dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan
untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan
sehari-hari (Sudoyo, Aru w, 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan (PERKENI,2006).

Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

• Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai


dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006).
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja
obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, Aru W,
2006).

Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006) :

• Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

• penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion


Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

• penghambat glukoneogenesis: metformin


Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >
1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.

• Penghambat glukosidase alfa (acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari (PERKENI, 2006) :


• OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
• Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
• Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
• Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
• Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
• Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
• Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-
glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.
Tabel 7. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

• Insulin

• Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal insulin basal
(insulin kerja sedang atau panjang)

• Bila sasaran glukosa darah basal telah tercapai, namun A1C belum mencapai target
pengendalian glukosa darah prandial insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting)

• Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untik
keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, Aru W, 2006).
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
• Yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI, 2006) :
•insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
•insulin kerja pendek (short acting insulin)
•insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
•insulin kerja panjang (long acting insulin)
•insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

tabel 8. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

II. 8 Penyulit DM Type 2 :

• Penyulit akut :

• Ketoasidosis diabetik (KAD)

• Hiperosmolar non ketotik (HNK)


• Hipoglikemia

• Penyulit Kronik :

• Makroangiopati

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi

Pembuluh darah otak

• Mikroangiopati

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati

• Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh


hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau
tanpa adanya ketosis (Sudoyo, Aru W, 2006).
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari
sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus
(Sudoyo, Aru W, 2006).

HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis,
penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering
(57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan
HHNK (21%) (Sudoyo, Aru W, 2006).

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria


mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume
intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Sudoyo, Aru W,
2006).
Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan (Sudoyo, Aru W, 2006) :
• Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
• Penggantian elektrolit
• Pemberian insulin intravena
• Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
• Pencegahan

• Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam
atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama (PERKENI, 2006).

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,


gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma) (PERKENI, 2006).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan


makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori
atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah
15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia
berat (PERKENI, 2006).

Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran (PERKENI, 2006).

• Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi komplikasi


pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan
pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri,
yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan
komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika
(Permana,Hikmat, 2007).

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu (Permana,Hikmat,


2007):
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis

• Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada
kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif
dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai
adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya
pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada
stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula
darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila
dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

Nefropati diabetika

Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai


penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat
timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya
proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan
demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan
darah.

2. Komplikasi Makrovaskular

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri


akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM
timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar


gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia
merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini
dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular.
II. 9 Evaluasi medis secara berkala
• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah
makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan
• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
• EKG
• Foto sinar-X dada
• Funduskopi

Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah :


• Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
• Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau
karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2
jam posprandial.

Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan
dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

II. 10 Kriteria pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian


DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai
kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria
keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 10 (PERKENI, 2006).

Tabel 10. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.


DAFTAR PUSTAKA
• American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Mellitus
Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE Medical guidelines for clinical
practice for the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13(Supl 1).
• American Diabetes Association. ADA position statement : standard of medical
care in diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.
• American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology. The American Association of Clinical Endocrinologists medical
guidelines for the management of Diabetes Mellitus: the AACE system of
intensive diabetes self-management-2002 Update. Endo Practice. 2002;8(suppl.
1):40-82.
• Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical Target
Treatments. Health Communication Australia. 2002.
• Stephen J, Maxine A, Michael W. Current Medical Diagnosis & Treatment
2011,50thanniversary Edition.United States of America: The Mcgraw-Hill
Companies; 2011.
• Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI;
2007.
• Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995.
• Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Vol 3.ed.13. 2000.

Anda mungkin juga menyukai