Anda di halaman 1dari 13

Apendisitis Akut pada Anak : Tidak Hanya Tatalaksana Operatif

Anna Maria Caruso, Alessandro Pane, Roberto Garau, Pietro Atzori, Marcello Podda,
Alessandra Casuccio, Luigi Mascia

Abstrak

Tujuan : Diagnosis akurat apendisitis akut berperan penting untuk menghindari


luaran yang buruk atau pembedahan yang sebenarnya tidak perlu, namun
tatalaksana apendisitis akut masih bersifat kontroversial. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi efektivitas tatalaksana konservatif pada apendisitis
tanpa komplikasi dan luaran dari apendisitis dengan komplikasi yang menjalani
tatalaksana operasi dini pada anak-anak yang berusia lebih muda dan lebih tua

Metode : Anak-anak dengan apendisitis akut menjalani pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen, kemudian anak-anak dibagi dalam
dua kelompok: dengan komplikasi dan tanpa komplikasi. Anak yang menderita
apendisitis dengan komplikasi menjalani operasi dini; anak dengan apendisitis
tanpa komplikasi menjalani tatalaksana konservatif dengan antibiotik. Jika dalam
24-48 jam berikutnya keadaan pasien semakin memburuk, pendekatan konservatif
dinyatakan gagal dan pasien akan menjalani operasi terlambat.

Hasil : Sebanyak 362 pasien anak dilibatkan dalam penelitian ini. Seratus enam
puluh lima pasien menjalani apendiktomi dini; 197 pasien pada awalnya dirawat
secara konservatif: dari jumlah ini, 82 pasien diantaranya menjalani operasi dalam
24-48 jam karena tatalaksana konservatif dinyatakan gagal. Persentase total pasien
yang dioperasi adalah 68,2%. Terdapat peningkatan korelasi antara tatalaksana
pembedahan dan USG.

Kesimpulan : Tatalaksana konservatif untuk apendisitis tanpa komplikasi


memiliki persentase keberhasilan yang tinggi (58%). Komplikasi pada pasien
yang menjalani operasi jarang terjadi. Protokol kami bersifat efektif dalam
menentukan pasien yang membutuhkan pembedahan dini dan tatalaksana
konservatif; bendera merah spesifik (usia dan onset) dapat mengidentifikasi pasien
yang paling berisiko mengalami komplikasi atau kegagalan tatalaksana
konservatif.

Insidensi keluhan nyeri perut akut pada anak-anak yang datang ke dokter
spesialis anak dan unit gawat darurat adalah sekitar 5% dan, di antara semua
penyebab akut, apendisitis memiliki insidensi 12,7% dan merupakan indikasi
paling umum dilakukan operasi abdomen. Anak-anak memiliki morbiditas tinggi,
dengan frekuensi keseluruhan perforasi apendiks sekitar 12,5-30%. Diagnosis dini
apendisitis akut yang akurat berperan penting untuk menghindari luaran yang
buruk dan pembedahan yang tidak perlu. Namun, hingga saat ini, penegakkan
diagnosis masih merupakan suatu tantangan karena tanda-tanda klinis, gejala, dan
data instrumental bersifat tidak spesifik dan tidak dapat diandalkan terutama pada
anak-anak yang berusia lebih muda. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan pada
anak-anak, apendisitis akut tidak lagi dianggap sebagai penyakit progresif yang
tidak dapat disembuhkan dan untuk alasan ini pendekatan konservatif dianggap
aman dan efektif untuk kasus apendisitis tanpa komplikasi dan tanpa perforasi.
Sebaliknya, tatalaksana untuk kasus apendisitis yang disertai komplikasi dengan
apendektomi dini atau interval masih menjadi bahan perdebatan karena tingginya
insidensi komplikasi pada kedua pendekatan tersebut. Belum ada penelitian
mengenai apendisitis akut yang menganalisis kemungkinan kedua modalitas
terapeutik pada kelompok usia yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi efektivitas tatalaksana konservatif pada apendisitis dini dan
tanpa komplikasi, serta luaran pasien dengan apendisitis terkomplikasi yang
menjalani tatalaksana operasif dini pada kelompok usia yang berbeda (anak-anak
yang lebih muda dan lebih tua).

1. Bahan dan Metode

1.1 Pasien

Analisis prospektif dilakukan di pusat kami sejak Januari 2013 hingga


Desember 2015; pasien anak (hingga usia 14 tahun) yang dirawat di rumah sakit
dengan diagnosis apendisitis akut dilibatkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu
kami mengeksklusikan pasien dengan penyebab lain nyeri perut seperti
gastroenteritis, konstipasi, limfadenitis mesenterika atau penyebab lain akut
abdomen

1.2 Evaluasi Klinis dan Instrumental

Pada saat masuk rumah sakt, dilakukan anamnesis yang cermat cermat dan
pemeriksaan fisik yang tepat dengan menggunakan bantuan Skor Apendisitis
Pediatrik (PAS). Semua pasien juga menjalani pemeriksaan laboratorium yang
meliputi jumlah leukosit total (Total Leucocytes Count) dengan neutrofil (N%),
protein C-reaktif (CRP) dan USG abdomen.

Dilakukan evaluasi terhadap usia pasien (< atau > 6 tahun) dan onset gejala
(< atau > 48 jam). Skor PAS > 4, TLC > 12.000 sel / mm 3, N> 75%, CRP> 3 mg /
dL dapat menegakkan diagnosis apendisitis akut.

Parameter diagnosis apendisitis pada pemeriksaan USG antara lain :


diameter maksimum apendiks > 6 mm, ketebalan dinding > 3 mm, hiperemia
dinding apendiks, cairan bebas atau abses di daerah periapendiks, peningkatan
ekogenisitas dari lemak periapendiks yang berdekatan dan pembesaran kelenjar
getah bening mesenterika. Pemeriksaan USG dianggap negatif hanya jika tampak
gambaran apendiks yang normal (pasien dikeluarkan dari penelitian); pasien
dengan apendiks yang tidak tervisualisasi (USG non diagnostik) tetap dilibatkan
dalam penelitian ini dan dilakukan evaluasi terhadap luaran pasien tersebut.

Berdasarkan variabel klinis, radiologis dan pembedahan (jika dilakukan),


semua kasus dikelompokkan menjadi apendisitis tanpa komplikasi dan apendisitis
dengan komplikasi :

Apendisitis tanpa komplikasi didefinisikan sebagai: keadaan umum pasien masih


baik, nyeri terlokalisir di daerah iliaka kanan tanpa defans muskuler, tidak ada
massa yang teraba; kriteria USG meliputi : tidak ada tanda-tanda perforasi, abses,
cairan peritoneum bebas atau gas luminal yang berlebihan; tidak ada perforasi
saat pembedahan.
Apendisitis dengan komplikasi didefinisikan sebagai peritonitis atau sepsis, massa
kompleks (perforasi atau abses) pada pemeriksaan USG dan saat pembedahan;
usia dan onset timbulnya gejala lebih dari 48 jam tidak dianggap sebagai faktor
penyulit absolut.

Semua pasien dengan apendisitis disertai komplikasi menjalani pembedahan


dalam waktu 12 jam setelah dilakukan pemeriksaan (apendiktomi dini/Early
Appendectomy).

Semua pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi memulai tatalaksana


nonoperatif berikut (terapi konservatif) :

 Setelah evaluasi klinis, laboratorium dan USG pertama, semua pasien


mendapat antibiotik intravena (Cefotaxime 50-100 mg / kg 3 kali sehari);
pasien mendapat cairan intravena dan tidak ada asupan oral yang
diizinkan selama 12 jam berikutnya. Setelah 6 dan 12 jam, dilakukan
evaluasi klinis ulang dan setelah 24-48 jam dilakukan pemeriksaan USG
dan laboratorium ulang. Jika hasil pemeriksaan USG dan laboratorium
ulang tidak menunjukkan adanya perburukan jika kondisi klinis pasien
membaik (nyeri berikurang, demam < 38C, pasien dapat mobilisasi,
toleransi asupan cairan oral), dapat diberikan diet normal, antibiotik
intravena dipertahankan setidaknya selama 72 jam dan pasien
dipulangkan dengan antibiotik oral untuk 5 hari dan dilakukan kontrol
klinis setelah 1 minggu (pasien tidak dioperasi);
 Jika dalam 24-48 jam berikutnya kondisi klinis pasien tidak membaik
dan / atau terdapat perburukan pada hasil pemeriksaan laboratorium dan
USG, pendekatan konservatif dianggap gagal dan pasien harus menjalani
operasi (apendiktomi terlambat/Late Appendectomy) menggunakan
pendekatan terbuka atau laparoskopi, sesuai dengan preferensi dokter
bedah.
Untuk pasien dengan USG non-diagnostik pada evaluasi pertama, kami
menerapkan protokol yang sama, tetapi keputusan untuk melakukan apendiktomi
dini atau perawatan konservatif didasarkan pada data klinis dan laboratorium;
pasien yang tidak dioperasi menjalani pemeriksaan USG ulang setelah 24 jam
dan, jika hasil USG sekali lagi non-diagnostik atau diagnostik untuk apendisitis
sederhana, pasien tetap mendapat tatalaksana konservatif.
Pada saat masuk di rumah sakit, dilakukan pengisian persetujuan tertulis
oleh orang tua pasien, untuk pembedahan dini pada apendisitis dengan komplikasi
dan untuk perawatan konservatif pada apendisitis tanpa komplikasi dengan
kemungkinan dilakukan pembedahan terlambat dalam 24-48 jam jika tatalaksana
konservatif tidak berhasil.
Hal-hal yang dinilai adalah:
 Evaluasi perbedaan antara tiga kelompok: apendiktomi dini (EA),
apendiktomi terlambat (LA) dan tanpa pembedahan
 Korelasi antara USG dan luaran pasien
 Evaluasi faktor risiko usia dan onset gejala di antara pasien yang
menjalani pembedahan
 Analisis komplikasi seperti infeksi pada area operasi, abses, oklusi
intestinal, operasi ulang, dan lainnya
 Jumlah pasien yang tidak menjalani pembedahan namun dirawat
kembali di rumah sakit atau menjalani apendiktomi lambat setelah
pasien dipulangkan dari rumah sakit

1.3 Analisis Statistik

Dilakukan analisis statistik data kuantitatif dan kualitatif, termasuk statistik


deskriptif untuk semua item. Data kontinyu dinyatakan sebagai rerata ± SD.
Perbedaan antar kelompok dinilai dengan uji Chi-square atau uji Fisher exact,
seperti yang dibutuhkan untuk variabel kategorial; dilakukan analisis univariat
vatians (ANOVA) untuk variabel parametrik, dan analisis post hoc dengan uji
Tukey untuk menentukan apakah ada perbedaan berpasangan. Data dianalisis oleh
perangkat lunak Epi Info (versi 6.0, Centers for Disease Control and Prevention,
Atlanta, GA, AS) dan Perangkat Lunak IBMSPSS versi 22 (IBMCorp., Armonk,
NY, USA). Semua nilai-p bersifat dua sisi dan p ≤ 0,05 dianggap signifikan secara
statistik.

2. Hasil

Sebanyak 362 pasien anak dilibatkan dalam penelitian ini. Saat masuk
rumah sakit, 165 pasien mengalami apendisitis dengan komplikasi dan menjalani
apendiktomi dini, sedangkan 197 pasien mengalami apendisitis tanpa komplikasi
dan dirawat dengan tatalaksana konservatif pada awalnya: 82 pasien diantaranya
kemudian menjalani operasi dalam waktu 24-48 jam karena kegagalan pengobatan
konservatif (apendiktomi terlambat/late appendectomy). Persentase total pasien
yang menjalani operasi adalah 68,2%.

Karakteristik demografi untuk ketiga kelompok dilampirkan pada Tabel 1.


Usia median semua pasien adalah 112,2 bulan dengan perbedaan dalam tiga
kelompok: pasien yang menjalani apendiktomi dini berusia lebih muda daripada
pasien yang menjalani apendiktomi terlambat dan tanpa apendiktomi (p = 0,001
dan p = 0,030). Usia < 6 tahun berkorelasi dengan komplikasi operasi (Tabel 2).

Berdasarkan jenis kelamin, 215 pasien berjenis kelamin laki-laki dan


mayoritas pasien yang menjalani apendiktomi dini berjenis kelamin laki-laki (p =
0,043 vs pasien tanpa apendiktomi).

Berdasarkan onset, 203 pasien gejala berlangsung selama kurang dari 48


jam dan durasi gejala lebih dari 48 jam berkorelasi dengan komplikasi operasi
(Tabel 2).
Tabel 1. Data demografis pasien : evaluasi umum dan perbedaan dalam kelompok
konservatif dan operatif

Tabel 2. Evaluasi luaran tanpa komplikasi dan dengan komplikasi berdasarkan


usia dan onset gejala

Nilai median PAS saat masuk rumah sakit adalah 8,6 dengan perbedaan
statistik antar kelompok: nilai PAS lebih tinggi pada kelompok yang menjalani
apendiktomi dini.

Analisis laboratorium saat masuk rumah sakit menunjukkan perbedaan


statistik antar ketiga kelompok: semua parameter mengalami perubahan yang
lebih signifikan pada kelompok yang menjalani apendiktomi dini.

Dalam kelompok dengan tatalaksana konservatif:

 115 pasien (58%) mengalami regresi gejala lengkap saat dipulangkan;


setelah 24-48 jam nilai rerata PAS adalah 1,9, data laboratorium
menunjukkan rata-rata TLC 8,2 sel / mm3, neutrofil 63% dan CRP 14 mg /
dL dan pasien dipulang setelah rata-rata perawatan 4,9 hari; 22 pasien
(19%) mengalami readmisi setelah dipulangkan tetapi hanya 10 pasien
diantaranya (8,6%) yang membutuhkan terapi antibiotik dan 2 pasien
(1,7%) menjalani operasi (masing-masing setelah 8 dan 16 bulan);
 82 pasien (42%) tidak responsif terhadap tatalaksana konservatif dan
menjalani apendiktomi terlambat; 2 pasien diantaranya (2,5%) yang
mengalami perforasi saat operasi (Tabel 2);

Hanya 25% pasien apendiktomi dini tidak mengalami komplikasi


(misdiagnosis). 30% dari semua pasien yang dioperasi (apendiktomi dini dan
terlambat) berusia lebih muda dari 6 tahun dan 75,6% pasien diantaranya
mengalami komplikasi saat operasi (Tabel 2).
Persentase keseluruhan komplikasi adalah 7,7%, 95% di antaranya terjadi
pada pasien apendiktomi dini; 37% pasien dengan komplikasi berusia lebih muda
dari 6 tahun dan 16% pasien memiliki onset gejala kurang dari 48 jam (Tabel 4).
Tercatat hanya ada 1 kasus apendisitis negatif saat operasi, pada pasien
yang menjalani apendiktomi terlambat.
Pemeriksaan USG positif apendisitis pada 264 pasien (73%): 159 (60%)
pasien didiagnosis dengan apendisitis tanpa komplikasi dan 105 (40%) pasien
dengan apendisitis disertai komplikasi. Pemeriksaan USG memiliki sensitivitas
dan spesifisitas masing-masing 85,5% dan 99,2% untuk penegakkan diagnosis
apendisitis disertai komplikasi, dengan nilai prediksi positif 98,1% dan nilai
prediksi negatif 93,1%. Korelasi antara pemeriksaan USG dan luaran pasien
dilampirkan pada Tabel 3. Mengenai USG non-diagnostik (27%), hasil USG
ulang setelah 24-48 jam menjadi diagnostik untuk apendisitis tanpa komplikasi
pada 10% pasien tetapi tidak ada diantaranya yang menjalani operasi; tidak ada
hasil USG ulang yang menjadi diagnostik untuk apendisitis dengan komplikasi.
Tabel 3. Korelasi antara pemeriksaan USG dan luaran pasien

Tabel 4. Komplikasi pembedahan

3. Diskusi
Meskipun apendisitis akut merupakan keadaan darurat bedah yang paling
umum di masa kanak-kanak, penegakkan diagnosis dapat menjadi sangat sulit
karena presentasi klinis bersifat atipikal. Pada anak yang lebih tua, tingkat
kesalahan diagnosis awal apendisitis adalah berkisar antara 28% hingga 57%, dan
sekitar 30% pasien menunjukkan perforasi saat diagnosis, terutama pada anak-
anak yang berusia kurang dari 5 tahun. Pemeriksaan USG memiliki sensitivitas
(99%), spesifisitas (95%) dan nilai prediksi positif (97%) yang baik dalam
penegakkan diagnosis apendisitis pada anak-anak, yang dapat membantu
membedakan apendisitis sederhana dengan apendisitis disertai komplikasi, tetapi
penting untuk mengintegrasikan hasil USG dengan penilaian klinis pasien.
Tatalaksana apendisitis tetap menjadi masalah yang menantang meskipun
merupakan patologi umum dan telah tersedia alat diagnostik yang berbeda seperti
skor klinis, data laboratorium, dan USG.
Ketika pasien datang terlambat dengan apendisitis disertai komplikasi
berupa perforasi dan abses apendiks atau massa inflamasi, terdapat dilema untuk
tatalaksana dengan pembedahan segera (risiko komplikasi intraoperatif) atau
tatalaksana konservatif dengan antibiotik(dengan atau tanpa apendiktomi interval)
karena tingkat kekambuhan berkisar antara 6% dan 30% dan terdapat beberapa
faktor rekurensi prediktif.
Menurut beberapa penulis, pasien dengan apendisitis perforasi yang
dikelola dengan apendiktomi dini tidak mengalami komplikasi saat operasi dan
memiliki klinis pasca operasi dengan lama rawat inap, durasi terapi antibiotik, dan
durasi demam yang lebih singkat, serta jumlah pemeriksaan radiografi,
komplikasi pasca-rawat inap dan rawat inap berulang setelah dipulangkan dari
rumah sakit yang lebih rendah.
Sebagian besar pasien dengan apendisitis akut datang lebih awal dan
sebelum mengalami komplikasi dan biasanya mendapat tatalaksana berupa
apendiktomi. Berdasarkan premis bahwa apendisitis perforasi dan apendisitis
tanpa perforasi adalah entitas yang berbeda dengan prognosis yang sangat
berbeda, tatalaksana non-operatif juga dapat diterapkan pada anak-anak, tetapi
penelitian yang mendukung masih sangat sedikit. Sebuah penelitian prospektif tak
teracak membandingkan tatalaksana operatif dan non-operatif untuk apendisitis
akut menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan mengenai data laboratorium dan
perawatan di rumah sakit dengan persentase kekambuhan setelah tatalaksana non-
operatif sebesar 28,6%. Penelitian lain melaporkan persentase keberhasilan pada
lebih dari 75% kasus setelah tatalaksana konservatif untuk apendisitis tanpa
komplikasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas protokol
diagnostik dalam membedakan apendisitis tanpa dan dengan komplikasi yang
masing-masing ditangani dengan tatalaksana konservatif dan operatif pada
kelompok usia yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan kami terhadap
apendisitis akut berbeda dari yang telah dilaporkan oleh banyak penulis lain
karena kami memutuskan untuk menerapkan tatalaksana konservatif pada pasien
dengan apendisitis tanpa komplikasi dan pembedahan dini pada pasien yang
mengalami perforasi dan komplikasi lain.
Mengenai diagnosis, hasil penelitian kami mengkonfirmasi beberapa data
yang sudah dijelaskan dalam literatur tentang PAS dan penanda inflamasi.
Pemeriksaan USG merupakan metode yang bermanfaat dalam penegakkan
diagnosis apendisitis dengan peningkatan korelasi terhadap pembedahan terutama
dalam kasus yang disertai komplikasi; hanya 7% pemeriksaan USG yang memberi
hasil keliru (tanpa komplikasi), dan hal ini menegaskan bahwa pemeriksaan USG
bersifat spesifik untuk diagnosis komplikasi dan bahwa, ketika USG bersifat tidak
diagnostik, lebih mungkin untuk menemukan apendisitis tanpa komplikasi.
Pada pasien yang menjalani apendiktomi dini, persentasi kesalahan
diagnosis apendisitis komplikasi (tanpa perforasi) bersifat rendah dan
menggunakan USG non-diagnostik terjadi dalam 66% kasus, yang semakin
menegaskan validitas pemilihan protokol kami dan kegunaan USG untuk
memutuskan pasien mana yang harus dirawat lebih awal. Komplikasi lebih sering
terjadi pada apendisitis disertai komplikasi, pada anak-anak yang lebih muda dan
pada kasus dengan onset lambat seperti yang dilaporkan dalam literatur.
Tatalaksana konservatif untuk apendisitis tanpa komplikasi bersifat aman
dan efektif dengan persentase keberhasilan yang tinggi (58%). Pasien yang tidak
dioperasi menunjukkan durasi rawat inap yang lebih singkat dibandingkan dengan
pasien yang menjalani pembedahan (apendiktomi dini dan apendiktomi terlambat)
dan hasil ini berbeda dari yang telah dilaporkan dalam penelitian lain.
Fakta bahwa beberapa pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi tidak
mengalami perbaikan dalam waktu 24-48 jam meskipun telah mendapat terapi
antibiotik dan oleh karena itu dilakukan apendiktomi terlambat masih bersifat
kontroversial. Pasien tanpa komplikasi yang menjalani apendiktomi terlambat
(tanpa komplikasi saat diagnosis pertama dan tanpa perforasi saat operasi
terlambat) merupakan hasil yang tidak terduga dan bersifat kontroversial (22%);
mereka mungkin mewakili sekelompok pasien yang paling beresiko mengalami
perburukan klinis di mana terapi antibiotik hanya memberi sedikit manfaat.
Meskipun terdapat perbedaan utama antara pasien tanpa pembedahan
dengan pasien apendiktomi dini, beberapa parameter juga menunjukkan
perbedaan pada pasien yang menjalani apendiktomi terlambat, seperti usia, data
laboratorium dan nilai PAS sehingga hal ini dapat digunakan sebagai faktor
penanda kegagalan tatalaksana konservatif: Namun, perbedaan ini tidak
membenarkan pendekatan bedah untuk semua pasien yang menolak kemungkinan
keberhasilan yang tinggi (58%) bahkan pada anak yang lebih muda.
Keuntungan utama dari tatalaksana antibiotik adalah dapat menghindari
operasi beserta komplikasinya; kerugian tatalaksana antibiotik adalah tidak
mampu menghilangkan apendiks yang mengalami inflamasi, selain itu orang tua
akan selalu khawatir adanya apendisitis berulang setiap kali anak mengeluh nyeri
perut. Dalam penelitian kami, hanya 19% pasien yang dirawat kembali di rumah
sakit dan hanya 1,7% pasien menjalani apendiktomi terlambat : tidak satu pun dari
pasien ini yang mengalami apendisitis perforasi. Kami berpendapat bahwa ketika
informasi yang cukup mengenai gejala alarm diberikan kepada orang tua, tingkat
readmisi dapat dibandingkan dengan pasien yang dioperasi.
Penelitian ini memiliki beberapa keuntungan: kami melibatkan sejumlah
besar pasien yang semuanya dievaluasi dan dirawat di pusat yang sama, kami
melibatkan semua kelompok usia tidak seperti pada penelitian lain yang
mengeksklusi pasien yang berusia lebih muda. Selain itu kami mengevaluasi
efektivitas tatalaksana konservatif dan operatif.
Berdasarkan hasil penelitian kami, kami berpendapat bahwa tatalaksana
konservatif harus diterapkan untuk kasus apendisitis tanpa komplikasi (tidak
seperti pusat kesehatan lain yang menerapkan apendiktomi dini) tanpa
memandang usia dan onset timbulnya gejala : tingkat kecurigaan tinggi dalam
mengidentifikasi bendera merah spesifik (usia dan onset) dapat meningkatkan
keterampilan diagnostik untuk menghindari kegagalan tatalaksana atau timbulnya
komplikasi. Persentase komplikasi operasi yang rendah pada apendisitis dengan
komplikasi membuat kami berpihak pada tatalaksana pembedahan dibandingkan
tatalaksana konservatif, dengan apendiktomi interval yang mengakibatkan pasien
berisiko tinggi mengalami komplikasi seperti abses dan kembali ke aktivitas
normal yang tertunda untuk anak dan keluarganya.
Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan: penelitian ini bukan
merupakan uji coba secara acak, yang mungkin dapat bersifat lebih valid dalam
mengevaluasi secara signifikan efektivitas tatalaksana konservatif dibandingkan
operatif untuk kasus apendisitis tanpa dan dengan komplikasi; periode evaluasi
yang relatif singkat (3 tahun); selain itu, persentase USG non-diagnostik
merupakan bias yang signifikan karena mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitas
hasil pemeriksaan USG.
Sebagai kesimpulan, kami percaya bahwa penting untuk mengidentifikasi
pasien yang mungkin mendapat manfaat dari tatalaksana konservatif sehingga
dapat menghindari apendiktomi negatif atau tidak perlu, mengingat bahwa
apendisitis sederhana memiliki risiko kekambuhan yang sangat rendah. Hal ini
merupakan perubahan penting dari pendekatan tradisional : apendiktomi setelah
tatalaksana non-operasi tidak dianggap sebagai komplikasi atau kegagalan tetapi
sebagai langkah lain dalam algoritma tatalaksana apendisitis akut. Pada kasus
apendisitis dengan komplikasi, pendekatan pembedahan dini yang kami terapkan
bersifat aman dan efektif untuk mengatasi risiko kekambuhan yang tinggi.
Dibutuhkan penelitian prospektif berskala besar lebih lanjut untuk memvalidasi
kesimpulan penelitian kami.

Anda mungkin juga menyukai