Anna Maria Caruso, Alessandro Pane, Roberto Garau, Pietro Atzori, Marcello Podda,
Alessandra Casuccio, Luigi Mascia
Abstrak
Hasil : Sebanyak 362 pasien anak dilibatkan dalam penelitian ini. Seratus enam
puluh lima pasien menjalani apendiktomi dini; 197 pasien pada awalnya dirawat
secara konservatif: dari jumlah ini, 82 pasien diantaranya menjalani operasi dalam
24-48 jam karena tatalaksana konservatif dinyatakan gagal. Persentase total pasien
yang dioperasi adalah 68,2%. Terdapat peningkatan korelasi antara tatalaksana
pembedahan dan USG.
Insidensi keluhan nyeri perut akut pada anak-anak yang datang ke dokter
spesialis anak dan unit gawat darurat adalah sekitar 5% dan, di antara semua
penyebab akut, apendisitis memiliki insidensi 12,7% dan merupakan indikasi
paling umum dilakukan operasi abdomen. Anak-anak memiliki morbiditas tinggi,
dengan frekuensi keseluruhan perforasi apendiks sekitar 12,5-30%. Diagnosis dini
apendisitis akut yang akurat berperan penting untuk menghindari luaran yang
buruk dan pembedahan yang tidak perlu. Namun, hingga saat ini, penegakkan
diagnosis masih merupakan suatu tantangan karena tanda-tanda klinis, gejala, dan
data instrumental bersifat tidak spesifik dan tidak dapat diandalkan terutama pada
anak-anak yang berusia lebih muda. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan pada
anak-anak, apendisitis akut tidak lagi dianggap sebagai penyakit progresif yang
tidak dapat disembuhkan dan untuk alasan ini pendekatan konservatif dianggap
aman dan efektif untuk kasus apendisitis tanpa komplikasi dan tanpa perforasi.
Sebaliknya, tatalaksana untuk kasus apendisitis yang disertai komplikasi dengan
apendektomi dini atau interval masih menjadi bahan perdebatan karena tingginya
insidensi komplikasi pada kedua pendekatan tersebut. Belum ada penelitian
mengenai apendisitis akut yang menganalisis kemungkinan kedua modalitas
terapeutik pada kelompok usia yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi efektivitas tatalaksana konservatif pada apendisitis dini dan
tanpa komplikasi, serta luaran pasien dengan apendisitis terkomplikasi yang
menjalani tatalaksana operasif dini pada kelompok usia yang berbeda (anak-anak
yang lebih muda dan lebih tua).
1.1 Pasien
Pada saat masuk rumah sakt, dilakukan anamnesis yang cermat cermat dan
pemeriksaan fisik yang tepat dengan menggunakan bantuan Skor Apendisitis
Pediatrik (PAS). Semua pasien juga menjalani pemeriksaan laboratorium yang
meliputi jumlah leukosit total (Total Leucocytes Count) dengan neutrofil (N%),
protein C-reaktif (CRP) dan USG abdomen.
Dilakukan evaluasi terhadap usia pasien (< atau > 6 tahun) dan onset gejala
(< atau > 48 jam). Skor PAS > 4, TLC > 12.000 sel / mm 3, N> 75%, CRP> 3 mg /
dL dapat menegakkan diagnosis apendisitis akut.
2. Hasil
Sebanyak 362 pasien anak dilibatkan dalam penelitian ini. Saat masuk
rumah sakit, 165 pasien mengalami apendisitis dengan komplikasi dan menjalani
apendiktomi dini, sedangkan 197 pasien mengalami apendisitis tanpa komplikasi
dan dirawat dengan tatalaksana konservatif pada awalnya: 82 pasien diantaranya
kemudian menjalani operasi dalam waktu 24-48 jam karena kegagalan pengobatan
konservatif (apendiktomi terlambat/late appendectomy). Persentase total pasien
yang menjalani operasi adalah 68,2%.
Nilai median PAS saat masuk rumah sakit adalah 8,6 dengan perbedaan
statistik antar kelompok: nilai PAS lebih tinggi pada kelompok yang menjalani
apendiktomi dini.
3. Diskusi
Meskipun apendisitis akut merupakan keadaan darurat bedah yang paling
umum di masa kanak-kanak, penegakkan diagnosis dapat menjadi sangat sulit
karena presentasi klinis bersifat atipikal. Pada anak yang lebih tua, tingkat
kesalahan diagnosis awal apendisitis adalah berkisar antara 28% hingga 57%, dan
sekitar 30% pasien menunjukkan perforasi saat diagnosis, terutama pada anak-
anak yang berusia kurang dari 5 tahun. Pemeriksaan USG memiliki sensitivitas
(99%), spesifisitas (95%) dan nilai prediksi positif (97%) yang baik dalam
penegakkan diagnosis apendisitis pada anak-anak, yang dapat membantu
membedakan apendisitis sederhana dengan apendisitis disertai komplikasi, tetapi
penting untuk mengintegrasikan hasil USG dengan penilaian klinis pasien.
Tatalaksana apendisitis tetap menjadi masalah yang menantang meskipun
merupakan patologi umum dan telah tersedia alat diagnostik yang berbeda seperti
skor klinis, data laboratorium, dan USG.
Ketika pasien datang terlambat dengan apendisitis disertai komplikasi
berupa perforasi dan abses apendiks atau massa inflamasi, terdapat dilema untuk
tatalaksana dengan pembedahan segera (risiko komplikasi intraoperatif) atau
tatalaksana konservatif dengan antibiotik(dengan atau tanpa apendiktomi interval)
karena tingkat kekambuhan berkisar antara 6% dan 30% dan terdapat beberapa
faktor rekurensi prediktif.
Menurut beberapa penulis, pasien dengan apendisitis perforasi yang
dikelola dengan apendiktomi dini tidak mengalami komplikasi saat operasi dan
memiliki klinis pasca operasi dengan lama rawat inap, durasi terapi antibiotik, dan
durasi demam yang lebih singkat, serta jumlah pemeriksaan radiografi,
komplikasi pasca-rawat inap dan rawat inap berulang setelah dipulangkan dari
rumah sakit yang lebih rendah.
Sebagian besar pasien dengan apendisitis akut datang lebih awal dan
sebelum mengalami komplikasi dan biasanya mendapat tatalaksana berupa
apendiktomi. Berdasarkan premis bahwa apendisitis perforasi dan apendisitis
tanpa perforasi adalah entitas yang berbeda dengan prognosis yang sangat
berbeda, tatalaksana non-operatif juga dapat diterapkan pada anak-anak, tetapi
penelitian yang mendukung masih sangat sedikit. Sebuah penelitian prospektif tak
teracak membandingkan tatalaksana operatif dan non-operatif untuk apendisitis
akut menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan mengenai data laboratorium dan
perawatan di rumah sakit dengan persentase kekambuhan setelah tatalaksana non-
operatif sebesar 28,6%. Penelitian lain melaporkan persentase keberhasilan pada
lebih dari 75% kasus setelah tatalaksana konservatif untuk apendisitis tanpa
komplikasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas protokol
diagnostik dalam membedakan apendisitis tanpa dan dengan komplikasi yang
masing-masing ditangani dengan tatalaksana konservatif dan operatif pada
kelompok usia yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan kami terhadap
apendisitis akut berbeda dari yang telah dilaporkan oleh banyak penulis lain
karena kami memutuskan untuk menerapkan tatalaksana konservatif pada pasien
dengan apendisitis tanpa komplikasi dan pembedahan dini pada pasien yang
mengalami perforasi dan komplikasi lain.
Mengenai diagnosis, hasil penelitian kami mengkonfirmasi beberapa data
yang sudah dijelaskan dalam literatur tentang PAS dan penanda inflamasi.
Pemeriksaan USG merupakan metode yang bermanfaat dalam penegakkan
diagnosis apendisitis dengan peningkatan korelasi terhadap pembedahan terutama
dalam kasus yang disertai komplikasi; hanya 7% pemeriksaan USG yang memberi
hasil keliru (tanpa komplikasi), dan hal ini menegaskan bahwa pemeriksaan USG
bersifat spesifik untuk diagnosis komplikasi dan bahwa, ketika USG bersifat tidak
diagnostik, lebih mungkin untuk menemukan apendisitis tanpa komplikasi.
Pada pasien yang menjalani apendiktomi dini, persentasi kesalahan
diagnosis apendisitis komplikasi (tanpa perforasi) bersifat rendah dan
menggunakan USG non-diagnostik terjadi dalam 66% kasus, yang semakin
menegaskan validitas pemilihan protokol kami dan kegunaan USG untuk
memutuskan pasien mana yang harus dirawat lebih awal. Komplikasi lebih sering
terjadi pada apendisitis disertai komplikasi, pada anak-anak yang lebih muda dan
pada kasus dengan onset lambat seperti yang dilaporkan dalam literatur.
Tatalaksana konservatif untuk apendisitis tanpa komplikasi bersifat aman
dan efektif dengan persentase keberhasilan yang tinggi (58%). Pasien yang tidak
dioperasi menunjukkan durasi rawat inap yang lebih singkat dibandingkan dengan
pasien yang menjalani pembedahan (apendiktomi dini dan apendiktomi terlambat)
dan hasil ini berbeda dari yang telah dilaporkan dalam penelitian lain.
Fakta bahwa beberapa pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi tidak
mengalami perbaikan dalam waktu 24-48 jam meskipun telah mendapat terapi
antibiotik dan oleh karena itu dilakukan apendiktomi terlambat masih bersifat
kontroversial. Pasien tanpa komplikasi yang menjalani apendiktomi terlambat
(tanpa komplikasi saat diagnosis pertama dan tanpa perforasi saat operasi
terlambat) merupakan hasil yang tidak terduga dan bersifat kontroversial (22%);
mereka mungkin mewakili sekelompok pasien yang paling beresiko mengalami
perburukan klinis di mana terapi antibiotik hanya memberi sedikit manfaat.
Meskipun terdapat perbedaan utama antara pasien tanpa pembedahan
dengan pasien apendiktomi dini, beberapa parameter juga menunjukkan
perbedaan pada pasien yang menjalani apendiktomi terlambat, seperti usia, data
laboratorium dan nilai PAS sehingga hal ini dapat digunakan sebagai faktor
penanda kegagalan tatalaksana konservatif: Namun, perbedaan ini tidak
membenarkan pendekatan bedah untuk semua pasien yang menolak kemungkinan
keberhasilan yang tinggi (58%) bahkan pada anak yang lebih muda.
Keuntungan utama dari tatalaksana antibiotik adalah dapat menghindari
operasi beserta komplikasinya; kerugian tatalaksana antibiotik adalah tidak
mampu menghilangkan apendiks yang mengalami inflamasi, selain itu orang tua
akan selalu khawatir adanya apendisitis berulang setiap kali anak mengeluh nyeri
perut. Dalam penelitian kami, hanya 19% pasien yang dirawat kembali di rumah
sakit dan hanya 1,7% pasien menjalani apendiktomi terlambat : tidak satu pun dari
pasien ini yang mengalami apendisitis perforasi. Kami berpendapat bahwa ketika
informasi yang cukup mengenai gejala alarm diberikan kepada orang tua, tingkat
readmisi dapat dibandingkan dengan pasien yang dioperasi.
Penelitian ini memiliki beberapa keuntungan: kami melibatkan sejumlah
besar pasien yang semuanya dievaluasi dan dirawat di pusat yang sama, kami
melibatkan semua kelompok usia tidak seperti pada penelitian lain yang
mengeksklusi pasien yang berusia lebih muda. Selain itu kami mengevaluasi
efektivitas tatalaksana konservatif dan operatif.
Berdasarkan hasil penelitian kami, kami berpendapat bahwa tatalaksana
konservatif harus diterapkan untuk kasus apendisitis tanpa komplikasi (tidak
seperti pusat kesehatan lain yang menerapkan apendiktomi dini) tanpa
memandang usia dan onset timbulnya gejala : tingkat kecurigaan tinggi dalam
mengidentifikasi bendera merah spesifik (usia dan onset) dapat meningkatkan
keterampilan diagnostik untuk menghindari kegagalan tatalaksana atau timbulnya
komplikasi. Persentase komplikasi operasi yang rendah pada apendisitis dengan
komplikasi membuat kami berpihak pada tatalaksana pembedahan dibandingkan
tatalaksana konservatif, dengan apendiktomi interval yang mengakibatkan pasien
berisiko tinggi mengalami komplikasi seperti abses dan kembali ke aktivitas
normal yang tertunda untuk anak dan keluarganya.
Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan: penelitian ini bukan
merupakan uji coba secara acak, yang mungkin dapat bersifat lebih valid dalam
mengevaluasi secara signifikan efektivitas tatalaksana konservatif dibandingkan
operatif untuk kasus apendisitis tanpa dan dengan komplikasi; periode evaluasi
yang relatif singkat (3 tahun); selain itu, persentase USG non-diagnostik
merupakan bias yang signifikan karena mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitas
hasil pemeriksaan USG.
Sebagai kesimpulan, kami percaya bahwa penting untuk mengidentifikasi
pasien yang mungkin mendapat manfaat dari tatalaksana konservatif sehingga
dapat menghindari apendiktomi negatif atau tidak perlu, mengingat bahwa
apendisitis sederhana memiliki risiko kekambuhan yang sangat rendah. Hal ini
merupakan perubahan penting dari pendekatan tradisional : apendiktomi setelah
tatalaksana non-operasi tidak dianggap sebagai komplikasi atau kegagalan tetapi
sebagai langkah lain dalam algoritma tatalaksana apendisitis akut. Pada kasus
apendisitis dengan komplikasi, pendekatan pembedahan dini yang kami terapkan
bersifat aman dan efektif untuk mengatasi risiko kekambuhan yang tinggi.
Dibutuhkan penelitian prospektif berskala besar lebih lanjut untuk memvalidasi
kesimpulan penelitian kami.