Anda di halaman 1dari 23

OSLER

“RHINOSINUSITIS DENGAN POLIP NASI”

Pembimbing :
dr. Wawan Siswadi, Sp. THT-KL

Disusun Oleh:
Inggil Indes Rakhmanto
2013020042

KEPANITERAAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RSUD DR SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
BAB I STATUS THT-KL ......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21

i
BAB I

STATUS THT-KL

Dosen Pembimbing : dr. Wawan Siswadi, Sp. THT-KL

Dokter Muda : Inggil Indes Rakhmanto (2013020002)

Tanggal : 17 Januari 2021

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Usia : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jatinegara

Pekerjaan : Pedagang

No. RM : 543057

II. KELUHAN UTAMA

Hidung bagian kiri tersumbat sejak 4 bulan yang lalu..

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang dengan keluhan hidung kiri merasa tersumbat sejak 4

bulan lalu dan semakin memberat sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan

tersebut dirasakan semakin hari semakin memberat. Pasien merasakan sulit

bernapas melalui hidung sehingga sering bernapas menggunakan mulut.

Penciuman kadang berkurang namun belum menghilang, pasien

1
mengeluhkan adanya pengeluaran cairan bening tak berbau dari

hidungnya, cairan tersebut juga terasa seperti tertelan, sakit kepala hilang

timbul serta nyeri pada wajah bagian kiri hilang timbul. Keluhan demam,

hidung berdarah, sulit menelan, nyeri telinga, dan gangguan pendengaran

disangkal oleh pasien.

IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien mengatakan satu tahun yang lalu pernah memiliki keluhan

yang sama pada hidung sebelah kiri juga, kemudian oleh dokter dilakukan

operasi pada hidungnya tersebut. Tidak ada alergi. Tidak ada riwayat

trauma. Tidak ada riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus

V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Keluhan serupa disangkal. Hipertensi (-), DM (-), tidak ada alergi.

dan tidak ada riwayat trauma.

VI. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

Pasien merupakan seorang pedagang di pasar dan datang ke poli

dengan BPJS

VII. PEMERIKSAAN UMUM

1. Kesadaran : Compos Mentis

2. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

3. Tanda vital

A. Tekanan darah : 120/80 mmHg

B. Nadi : 72x/menit

C. RR : 18x/menit

2
D. Suhu : 36,8oC

4. Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

5. Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan

6. Paru-paru : Tidak dilakukan pemeriksaan

7. Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

VIII. PEMERIKSAAN THT

1. Telinga

Dextra Sinistra

Daun Telinga Normotia Normotia

Lapang, hiperemis (-), Lapang, hiperemis (-),


edema (-), granulasi (-) edema (-), granulasi (-)
Canalis auricularis

Membran timpani Intak, terdapat reflek Intak, terdapat reflek


cahaya, hiperemis (-), cahaya, hiperemis (-),
edema (-) edema (-)

Tragus pain (-) (-)

Discharge (-) (-)

Hearing loss (-) (-)

2. Hidung

Dextra Sinistra

Bentuk normal,hiperemis Bentuk normal,


(-), nyeri tekan (-), hiperemis (-), nyeri
Hidung luar deformitas (-) tekan (-), deformitas (-)

Cavum nasi Lapang, mukosa normal, Sempit, mukosa pucat


massa (-) (+), massa bertangkai
mengkilat (+)

3
Discharge (-) Jernih encer (+)

Concha Inferior Hipertrofi (-), mukosa Hipertrofi (-), mukosa


hiperemis (-) hiperemis (-)

Meatus Nasi Mukosa hiperemis(-), Mukosa hiperemis (-),


Media massa bertangkai (-) massa bertangkai
mengkilat (+)

Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Nyeri pada daerah


 Sinus
Frontalis (-) (-)

 Sinus
Maksillaris
(-) (+)

 Sinus
(-) (-)
Sphenoidalis

 Sinus
Ethmoidalis (-) (+)

3. Mulut
A. Bibir : Pecah-pecah (-), drolling (-), trismus (-)
B. Ginggiva : Warna merah muda
C. Gigi : dalam batas normal
D. Lidah : dalam batas normal
E. KGB : dalam batas normal

4. Tenggorokan

Dextra Sinistra
Tonsil T1 T1

Faring Hiperemis

Laring Tidak dilakukan pemeriksaan

4
Nasofaring Tidak dilakukan pemeriksaan

Lain-lain (-)

IX. RESUME

Telah dilaporkan kasus pasien wanita, Ny S usia 42 tahun datang

dengan keluhan hidung kiri merasa tersumbat sejak 4 bulan lalu dan

semakin memberat sejak 3 minggu yang lalu. Pasien merasakan sulit

bernapas melalui hidung sehingga sering bernapas menggunakan mulut.

Penciuman kadang berkurang namun belum menghilang, pasien

mengeluhkan adanya pengeluaran cairan bening tak berbau dari hidungnya,

cairan tersebut juga terasa seperti tertelan, sakit kepala hilang timbul serta

nyeri pada wajah bagian kiri hilang timbul. Keluhan demam, hidung

berdarah, sulit menelan, nyeri telinga, dan gangguan pendengaran

disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan inspeksi cavum nasi hidung sinistra di dapatkan

adanya mukosa pucat (+), keadaan sempit dan ditemukan massa bertangkai

mengkilat (+), begitu pula pemeriksaan inspeksi meatus nasi media hidung

sinistra ditemukan mukosa hiperemis (-) dan massa bertangkai mengkilat

(+). Pada saat palpasi sinus, pasien merasakan nyeri pada sinus ethmoidalis

sinistra (+) dan sinus maxilaris sinistra. (+)

X. DIAGNOSIS BANDING

1. Fibroma hidung

2. Kondroma, neurofibroma, angiofibroma hidung

3. Papiloma inversi

5
4. Karsinoma, sarkoma hidung

5. Rhinosinusitis akut

6. Rhinitis alergi

7. Rhinitis vasomotor

XI. DIAGNOSIS

Rhinosinusitis kronis dengan polip nasal sinistra

XII. TATALAKSANA
1. Dexametasone 0,5 mg 2 dd 1

2. Rhinos 2 dd 1

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi
Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari cavum

oris dan basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam

secara vertikal adalah regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi

cavum nasi dextra dan sinistra. Pintu masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di

posterior akan masuk ke nasopharynx melalui choana. Hampir seluruh bagian dari

cavum nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum nasi yang dilapisi oleh

kulit. Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium dari

tulang yang membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari

hidung.

Mukosa cavum nasi juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan dengan

cavum nasi seperti: nasopharynx di posteriornya, sinus paranasales di superior

dan lateralnya, dan sacus lacrimalis dan konjungtiva di superiornya. Bagian 2/3

inferior mukosa cavum nasi adalah area respirasi dan 1/3 superiornya adalah area

olfaktori. Area respirasi dari cavum nasi mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis

semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada banyak kelenjar seromukus

dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat permukaannya

menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang terdapat di udara

yang terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh aksi siliar

(eskalator mukosiliar) ke arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan 6 mm

per menit.

7
Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae yaitu:

concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan dengan arah

inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk jalannya udara

yaitu Recessus sphenoethmoidalis, Meatus nasi superior, Meatus nasi medius,

Meatus nasi inferior.

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia


yang sulit dideskripsikan karena sangat bervariasi pada tiap
individu. Ada empatpasang sinus paranasal, mulai dari yang
terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus ethmoid dan
sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga

8
didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke dalam rongga
hidung

9
II. Definisi
Rhinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai

dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan

hidung/obstruksi/kongesti atau pilek (secret hidung anterior/posterior),

nyeri/tekanan wajah, penurunan/hilangnya penghidu. Salah satu dari temuan

endoskopi: Polip dan/atau, sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau,

edema/obstruksi mukosa dimeatus media. Gambaran tomografi komputer

memperlihatkan perubahan mukosa dikompleks osteomeatal dimeatus media.

Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat

ini yang lebih diterima adalah rhinosinusitis. Rhinosinusitis kronik suatu

inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua

belas minggu atau lebih. Rhinosinusitis kronik (RK) didefinisi-kan sebagai

peradangan kronis yang terjadi pada mukosa cavum nasi dan sinus

paranasalis. Rhinosinusitis kronik dengan polip nasal ditentukan

berdasarkan adanya rhinosinusitis kronik yang disertai dengan adanya

benjolan lunak yang berada pada cavum nasi. Polip nasi diyakini timbul

10
pada mukosa cavum nasi karena adanya inflamasi yang berlangsung lama

(kronik).

Polip nasi adalah massa jinak yang berasal dari mukosa rongga hidung atau

sinus paranasal. Polip nasi terlihat sebagai massa halus yang mengandung

banyak cairan, lonjong, semi translusen, yang lebih banyak ditemukan di meatus

medius dan sinus etmoid. Kata polip berasal dari Yunani (Poly-pous) yang

kemudian dilatinkan (polyposis) dan berarti berkaki banyak. Polip hidung adalah

masa yang tumbuh dalam rongga hidung, sering kali multiple dan bilateral.

Massa ini lunak berwarna putih keabu-abuan, agak transparan, permukaan licin

mengkilat, bertangkai dan mudah digerakkan. Berasal dari epitel dimeatus

medius, ethmoid atau sinus maksila.

Polip nasal dapat menjadi besar dan dapat memenuhi rongga hidung dan

sampai keluar dari nares anterior. Ada polip yang tumbuh ke posterior ke arah

nasofaring dan disebut polip koanal, sering tidak terlihat pada pemeriksaan

rinoskopi anterior. Polip koanal paling sering berasal dari sinus maksila

(antrum). Sehingga disebut juga polip antrokoanal. Polip koanal yang lain

adalah sfenokoanal dan etmoidokoanal

III. Epidemiologi

Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4

% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam

jangka waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka

prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-

16 %, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap

rinosinusitis kronik. Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu

11
penyakit kronik yang paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit

jantung, diabetes dan sefalgia

Insiden polip nasi sangat sulit ditentukan, ada yang melaporkan,

insidennya 1-4% dan literature lain melaporkan insiden Polip nasi adalah 1-20

per1000 orang dewasa. Polip nasi ditemukan pada pria dan wanita dengan

perbandingan 2,5:1. Dapat mengenai seluruh ras dan biasanya timbul

pada orang dewasa yang berusia 20-40 tahun. Jarang ditemukan pada anak-anak

insidennya adalah 0,1%.

Rhinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi biasanya berhubungan dengan

beberapa kondisi medis yang mempengaruhi keparahan dari penyakit. Pada

penelitian retrospektif yang dilakukan pada 400.000 pasien Rinosinusitis

Kronis dengan Polip Nasi memiliki angka prevalensi penyakit premorbid cukup

tinggi seperti rhinosinusitis akut, rhinitis alergi, rhinitis kronik, asma,

gastroesopha-geal reflux disease dan sleep apnea.

IV. Klasifikasi

Penyakit Rinosinusitis dapat dibagi menjadi, ringan, sedang dan berat

berdasarkan skor total visual analoque scale (VAS). Ringan = 0-3, Sedang = 3-

7, Berat = 7-10. Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Klasifikasi dan stadium polip nasi menurut mackay yaitu Stadium 0: tidak

ada polip. Stadium 1: polip terbatas dimeatus media (MM) tidak keluar ke

rongga hidung. Tidak tampak dengan pemeriksaan rinoskopi anterior hanya

terlihat dengan pemeriksaan endoskopi. Stadium 2: polip sudah keluar dari

MM dan tampak dirongga hidung tetapi tidak memenuhi/menutupi rongga

hidung. Stadium 3: polip sudah memenuhi rongga hidung.

12
V. Etiologi

Penyebab utama rhinosinusitis adalah selesma (common cold) yang

merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat

di ikuti infeksi bakteri.

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi dari RSK antara lain ISPA

akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitiss alergi, rhinitis hormonal pada

wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau

hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil,

infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom

kartagener, dan diluar negri adalah penyakit fibrosis kistik

Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti tapi

ada 3 faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu adanya peradangan

kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus, adanya gangguan

keseimbangan vasomotor dan adanya peningkatan tekanan cairan interstisial

dan edema mukosa hidung.

III. Patofmekanisme

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi

antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang

membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang

berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium

tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang

menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mulaserous. Kondisi ini bisa

13
dianggap sebagai rhinositis non-bakteria dan biasanya sembuh dalam beberapa

hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul

dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi

bakteri. Sekret menjadi purulent. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut

bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.. Jika terapi tidak berhasil (misalnya

karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan

bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan

rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi

kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista.

Proses pembentukan polip hidung diduga melalui dua tahap yaitu : Tahap

awal terjadi perubahan mukosa berupa udim dan infiltrasi sel-sel radang

sepertieosinofil dan netrofil yang dibebaskan oleh alergi, infeksi dan gangguan

vasomotoratau kombinasinya. Tahap kedua mukosa yang udim tersebut

menonjol ke kavum nasi karena pengaruhmekanisme dari lingkungannya yaitu

tekanan negatif.

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui

tempat yang sempit akan menyebabkan tekanan negatif pada daerah

sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga

mengakibatkan edema mukosa dan menyebabkan polip. Fenomena ini

menjelaskan mengapa polip banyak berasal dari area yang sempit di

infundibulum etmoid, hiatus semilunaris dan area lain di meatus medius. Pada

awal pembentukan polip ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi

didaerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan

interseluler, sehingga mukosa yang sembab akan menjadi polipoid.

14
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan

kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambal membentuk tangkai,

sehingga terbentuk polip.

IV. Diagnosis Banding

Diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat

tumbuh dihidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain.

Papiloma inversi (Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara

histologis jinak tapi perangai klinisnya ganas dapat menyebabkan pendesakan /

destruksi dan sering kambuh kembali, penampakannya sangat merupai polip.

Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada

rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang.

Diagnosis banding lain adalah meningokel/meningoensefalokel pada anak.

Biasanya akan menjadi lebih besar pada saat mengejan atau menangis.

V. Gejala Klinis

Gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada masa dalam hidung, sukar

mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia.

Gejala sekunder termasuk ingus turun kearah tenggorok (post nasal drip),

rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga rasa penuh, mengorok, gangguan tidur,

dan penurunan prestasi kerja. Pada pasien dengan penyakit yang ringan dapat

tanpa gejala

VI. Pemeriksaan Fisik

Biasanya polip sudah dapat terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior.

Polip yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga

menyebabkan deformitas wajah (hidung mekar). Polip kecil yang berada di

15
celah meatus medius sering tidak terdeteksi pada rinoskopi anterior dan baru

terlihat pada nasoendoskopi.

Massa tunggal atau multipel keabuan, paling sering berasal dari meatus

medius dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tampak licin, semi translusen.

VII. Pemeriksaan Penunjang

Histopatologi

Secara makoskopis Polip merupakan masa bulat atau lonjong dengan

permukaan licin berwarna pucat keabuan, lobuler , dapat multiple dan bersifat

sangat tidak sensitif. Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh

sedikitnya aliran darah yang memasok polip tersebut. Bila terjadi trauma

berulang atau suatu proses inflamasi dapat berubah jadi kemerahan.

Secara mikroskopis epitel pada polip merupakan epitel bertingkat semu

bersilia yang serupa dengan mukosa sinus dan mukosa hidung normal.

Membran basal tebal, stoma edematosa, sel-selnya terdiri dari campuran

limfosit, sel plasma, eosinophil dan makrofag, kadang-kadang didapati

banyak neutrofil. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah

sangat sedikit, dan terlihat melebar, tidak mempunyai serabut syaraf. Polip

16
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena

aliran aliran udara menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa

kertinisasi, yang tingginya bervariasi. Selain sel goblet, polip juga

mengandung kelenjer di submucosa yang berbeda dengan kelenjer

dimukosa hidung. Kelenjer-kelenjer ini muncul setelah polip terbentuk.

Hellquist membagi polip nasi menjadi 4 sub-tipe histologis, yaitu, tipe I polip

alergik dengane osinofil yang dominan, tipe II polip fibroinflamatorik dengan

netrofil yang dominan, tipe III polip dengan hiperplasia kelenjer seromusinosa

dan tipe IV polip dengan sroma atipik

Pemeriksaan Penunjang CT Scan

Pada pemeriksaan foto sinus paranasal sering menunjukkan rinosinusitis.

Pada pemeriksaan CT scan akan terlihat bagaimana sel-sel ethmoid dan

kompleksostio-meatal tempat biasanya polip tumbuh. CT scan perlu dilakukan

bila ada polip unilateral, bila tidak membaik dengan pengobatan konservatif

selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi dan bila ada kecurigaan

komplikasi sinusitis

VIII. Penatalaksanaan

Non Operatif

Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah

kortikosteroid. Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon

antiinflamasi non-spesifik yang mengurangi ukuran polip dan

mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-obatan lain tidak memberikan

dampak yang berat.

17
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal

adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen antiinflamasi non-spesifik

ini secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki

gejala lain secara cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip sering

tumbuh kembali dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan

hingga bulanan

Respon antiinflamasi non-spesifik kortikosteroid topical hidung secara

teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah tumbuhnya polip kembali

jika digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid yang efektif

dan relative aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek

seperti fluticson, mometason, budesonide dan lain-lain

Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik

mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang

digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:

• Amoksisilin + asam klavulanat

• Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime

• Florokuinolon : ciprofloksasin

• Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin

• Klindamisin

• Metronidazole

Terapi penunjang lainnya meliputi:

• Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik

• Antihistamin

• Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil

18
• Mukolitik

• Antagonis leukotrien

• Imunoterapi

• Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap

iritan dan nutrisi yang cukup

Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali

setahun. Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan

follow up yang lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima

kortikosteroid oral dosis tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid

topikal dalam jangka lama.

Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi

medikamentosa gagal dan untuk pasien dengan infeksi/peradangan sinus

berulang yang memerlukan perawatan dengan berbagai antibiotik.

Operatif

Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan

kortikosteroid sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi

bakteri dan mengurangi inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan

edema dan perdarahan yang banyak, yang akan mengganggu kelancaran

operasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga

operasinya akan lebih mudah. Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan

pasien akan optimal untuk menjalani bedah sinus endoskopi dan

kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan seminimal mungkin.

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan

sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan

19
peralatan canggih endoskopi. Antara lain: Ekstraksi polip, Etmoidektomi,

Operasi Caldwell-Luc (membuka sinus maksila melalui fossa canina) dan

FESS (pembersihan kompleks osteomeatal).

Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip

atau cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat

yang sangat menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong

langsung menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang

terbaik ialah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

IX. Komplikasi

Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi

keorbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang

sulit diobati.

Komplikasi orbita: Selulitis periorbital, Selulitis orbita, Abses

subperiosteal, Abses orbita. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila

dan frontal). Komplikasi endokranial: Abses epidural / subdural, Abses otak,

Meningitis, Serebritis, Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi lain yang

sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi septum nasi,

hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

X. Prognosis

Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga

perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal

pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Avdeeva, K., Fokkens, W., 2018. Precision Medicine in Chronic
Rhinosinusitis with Nasal Polyps. Curr. Allergy Asthma Rep. 18.
https://doi.org/10.1007/s11882-018- 0776-8
2. Van Zele, T., Holtappels, G., Gevaert, P., Bachert, C., 2014.
Differences in Initial Immunoprofiles between Recurrent and
Nonrecurrent Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. Am. J. Rhinol.
Allergy 28, 192–198. https://doi.org/10.2500/ajra.2014.28. 403
3. Stevens, W.W., Schleimer, R.P., Kern, R.C., 2016. Chronic
Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J. Allergy Clin. Immunol. Pract. 4,
565–572. https://doi.org/10.1016/j.jaip.2016.04 .012
4. Chalermwatanachai, T., VilchezVargas, R., Holtappels, G., Lacoere, T.,
Jáuregui, R., Kerckhof, F.-M., Pieper, D.H., Van de Wiele, T.,
Vaneechoutte, M., Van Zele, T., Bachert, C., 2018. Chronic
rhinosinusitis with nasal polyps is characterized by dysbacteriosis of the
nasal microbiota. Sci. Rep. 8. https://doi.org/10.1038/s41598-018-
26327-2
5. Rimmer, J., Fokkens, W., Chong, L.Y., Hopkins, C., 2014. Surgical
versus medical interventions for chronic rhinosinusitis with nasal
polyps. Cochrane Database Syst. Rev.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD 006991.pub2
6. Bachert, C., Zhang, L., Gevaert, P., 2015. Current and future treatment
options for adult chronic rhinosinusitis: Focus on nasal polyposis. J.
Allergy Clin. Immunol. 136, 1431– 1440.
https://doi.org/10.1016/j.jaci.2015.10 .010
7. Fokkens, W.J., Bachert, C., Douglas, R., Gevaert, P., Georgalas, C.,
Harvey, R., Hellings, P., Hopkins, C., Jones, N., Joos, G., Kalogjera, L.,
Kern, B., Kowalski, M., Price, D., Schlosser, R., Senior, B., Thomas,
M., Toskala, E., Voegels, R., Wang, D.Y., Wormald, P.J., 2012. EPOS
2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012.
A summary for otorhinolaryngologists. 1–12, 12.
https://doi.org/10.4193/Rhino12.000

21

Anda mungkin juga menyukai