Dokter Pembimbing :
dr Iswan Wahab, Mkes, SpAn
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
WULAN APRILIANTISYAH 11020170131
MOH. ADREZKI M. YUSUF 11020170143
ANDI MUHAMMAD TAUFIK. H 11020170176
NOOR QADRIYANTI RAMADHANI 11020160090
MASITHA 11020170002
A. AHMAD FITRAH RAMADHAN. N 11020170045
ST. FAADIYAH 11020170051
RIZKI HANDAYANI 11020170061
TIARA PUTRI KALSUM 11020170098
RIRIN RAMADHANI RIDWAN 11020170070
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.
Kelompok 02
KASUS II
Seorang laki-laki usia 50 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran menurun
sekitar 2 jam yang lalu. Pasien mengeluarkan kalimat namun tidak jelas, mampu
membuka mata saat ditepuk badannya dan dengan rangsang nyeri pasien
menggerakkan kedua ekstremitas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital
tekanan darah 160/90 mmHg, nadi radialis 100x/menit, pernapasan 28x/menit,
Suhu 37°C. Tinggi badan pasien 160 cm dan berat badan 120 kg. Menurut
keluarga, pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus namun tidak
teratur berobat
KATA SULIT :
-
KATA KUNCI :
• Seorang laki-laki berusia 50 tahun
• Kesadaran menurun sejak 2 jam yg lalu
• Mengeluarkan kalimat namun tidak jelas
• Membuka mata saat ditepuk badannya
• Menggerakan kedua ekstremitas saat di beri rangsangan
• Pemeriksaan fisik
– TD : 160/90 mmHg
– Nadi radialis : 100x/menit
– Pernapasan 28 x/menit
– Suhu : 37 C
– Tinggi badan : 160 cm ; berat badan : 120 Kg
• Riwayat hipertensi dan DM namun tidak teratur berobat
PERTANYAAN :
1. Bagaimana tingkat kesadaran pasien pada skenario?
2. Apa saja faktor resiko penurunan kesadaran?
3. Apa yang menyebabkan kesadaran menurun pada pasien?
4. Pemeriksaan penunjang apa yg dilakukan untuk menunjang diagnosis
pasien?
5. Bagaimana mekanisme dari penurunan kesadaran pada pasien hipertensi dan
DM?
6. Bagaimana penanganan awal pada skenario?
7. Apa tindak lanjut yg dapat diambil jika penanganan awal tdk berhasil?
8. Bagaimana perspektif islam sesuai skenario?
JAWABAN :
MEMBUKA MATA
KRITERIA SKOR
RESPON VERBAL
KRITERIA SKOR
Kata-kata jelas 3
Mengerang 2
RESPON MOTORIK
KRITERIA SKOR
Composmentis 15
Somnolen/Letargis 13-14
Soporokomatus 8-12
Koma 3-7
C. Obesitas
2. Diabetes Mellitus
3. Asidosis laktat
4. Hipoglikemia
5. Uremik ensefalopati
A. Airway
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan
langkah- langkah berikut:
1. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,
agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran
member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia
yang disebabkan oleh kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku da sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot
napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya
gangguan airway.
2. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi
(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing
sound, stridor) mungkin
berhubungan
dengan sumbatan parsial
pada faring atau laring. Suara
parau (hoarseness,
dysphonia) menunjukkan
sumbatan pada laring.
Pasien yang melawan
ddan berkata-kata kasar
(gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap
karena keracunan/mabuk.
3. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada
di tengah.
b. Permasalahan
c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah
lakukan pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai
dengan ekstensi kepala sehingga lidah terletak di depan dan tidak
menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai dengan menarik dagu ke
depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher, tindakan
membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala
dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih
dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah
mungkin jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah kea
rah depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya dapat
dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau nasopharyngeal
airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway
dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu,
selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi
segaris (inline immobilization).
• Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah
satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan
penolong yang berpengalaman ketika
ada trauma
kepala
atau
leher.
Head
tilt/chin
lift
maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan
kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan
kuat di bawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke
atas.
Heimlich Maneuver
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya
karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi
saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan
asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi
sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada
mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan
kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan
berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap
dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari
belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu
memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga
diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan
yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya.
Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.
• Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
• Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian
atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban
dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari.
Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari
mulut korban dengan jari.
• Oropharingeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang
dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah
dan
mentoleransi airway
orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.
• Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan
menggunakan jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik
kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila
hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba
melalui lubang hidung yang lainnya.
B. Breathing
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk
pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal.
Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga
mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari
ventilasi yang tidak adekuat.
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui
dengan mengambil langkah-langkah berikut:
1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara
dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan
dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap
sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau
kedua hemitoraks merupakan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernapasan yang cepat, takipneu mungkin
menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak
memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
b. Permasalahan
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh
gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan
saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway,
penyebab lain harus dicari. Trauma langsung pada dada, khususnya yang
disertai trauma tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan
menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien
lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru
mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas pada keadaan
ini.
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal
dan mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan
pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk
kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Transeksi total
servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus menimbulkan
pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas.
Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma
mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita
telah menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga
pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa
(Adult respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru
karena trauma, syok, sepsis.
c. Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan
oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan
menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan
dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui intubasi
dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.
• Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas
korban harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan
teknik membuka jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup
bisa dengan tangan atau dengan menekan pipi penolong pada hidung
korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban. Mata
penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan
dada. Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui
dengan melihat pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan
lambat, tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada
pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk memberikan sekitar
10 sampai 12 napas per menit (1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).
• Mouth
to Nose
• Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan
dari mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat
efektif karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua
tangan untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut
pasien.Ada 2 teknik yang mungkin untuk menggunakan masker
mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala korban
(cephalic technique). Pada teknik kedua (lateral technique),
penyelamat adalah diposisikan di samping korban dan menggunakan
head tilt– chin lift.
• Bag Valve
Mask
Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat
meggunakan Bag Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag
yang berfungsi untuk memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup
dan masker yang menutup mulut dan hidung penderita. Ambu bag
sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan
menempelkan sungkup di wajah korban dan penolong lain
memegang bagging. Teknik ventilasi bag v alv e mask membutuhkan
instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat menggunaka npera lata
n secara efektif dalam berbagai situasi.
C. Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi
hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga
keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda
henti jantung muncul.
a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta,
perdarahan.
Bila
volume darah menurun, perfusi otak
dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran
(jangan dibalik: pasien yang sadar belum tentu normo-volemik).
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda
hipovolemia.
b. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma
adalah syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena
perdarahan yang terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri.
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya
teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau
femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada semua
situasi. Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan
kejadian ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan
tanda hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung
sehingga sianosis serta midriasis telah ada walaupun curah jantung
tidak berkurang.
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap
saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua
oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika
penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis
terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak
mulai kembali secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan,
dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita
memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis harus
ditangani segera.
c. Penanganan
• Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma
dan hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi
hipovolemia. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan syok
nonhemoragik memberikan respon yang singkat terhadap resusitasi
cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat
kelas berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang
penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah secara
akut. Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya
perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal.
Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon
pasien terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah.
Sistem klasifikasi perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-
tanda klinis awal patofisiologi kodisi syok. Upaya diagnostik dan
penangan syok harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip
penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian
volume darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas
cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE.
Pencatatan data-data awal penting untuk memonitor respon pasien
terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi memungkinkan,
pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan
untuk mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam
sirkulasi meliputi control perdarahan yang jekas terlihat,
memperoleh akses intarvena yang cukup dan menilai perfusi
jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat dikontrol
dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya
Ringer laktat, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini
mengisi volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan
cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang itertisial dan
intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse darah
didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah
adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam
volume intravaskuler.
• Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong
harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung.
Penyelamat awam harus melakukan panggilan darurat saat
penyelamat menemukan bahwa korban dalam keadaan tidak
responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam
untuk memeriksa pernapasan pasien serta langkah-langkah CPR
(cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus
segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk
korban dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau
tidak bernapas normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di
pertengahan sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah
dengan meningkatkan tekanan intrathoracic dan langsung menekan
jantung. ini menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke
miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif sangat penting
untuk mengembalikan aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini
semua pasien dalam. serangan jantung harus menerima kompresi
dada.
Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi
dan durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan
jumlah kompresi per menit. Rasio kompresi-ventilasi 30:2
direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan
inisiasi kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti
manusia atau hewan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR
dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah ke
hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung pada
penekanan dada.
Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada
permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi
dengan penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di
samping tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit biasanya
tidak keras. Kita merekomendasikan penggunaan papan meski
tidak cukup bukti terhadap penggunaan papan selama CPR.
Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari
dada korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga
tangan dapat tumpang tindih dan paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras
(push hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk
orang awam dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa
pada tingkat minimal 100 kompresi per menit dengan kedalaman
kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim penyelamat harus
mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula
(recoil) disetiap pemberian sati kali kompresi, untuk
memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya sebelum
kompresi berikutnya.
Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik
yang berbeda. Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik
kompresi dada dengan mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis
antara kedua puting susu dengan ratio kompresi-ventilasi (30:2).
Disarankan untuk melakukan kompresi pada bayi dengan dua
penolong. Pada teknik ini penolong memegang badan bayi dengan
kedua tangannya dan menempatkan kedua ibu jari intermammary
line dengan ratio kompresi-ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi
dilakukan kurang lebih 100 kali per menit secara cepat dan kuat
dengan kedalaman kompresi 4cm.
2. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang
teratur dan kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi
kardiovaskuler telah kembali normal, maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain
kardiovaskuler, ginjal, dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler
yangberulang.
b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa
hal, yakni :
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary
arrest dengan tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini
lebih dari 3 menit, maka kemungkinan besar kerusakan yang
cerebral yang irreversible telah terjadi, sehingga tindakan
resusitasi tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan
tetapi secara klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau
fungsi kardiovaskular yang dimanifestasikan pada perburukan
fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena
hambatan pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi
tidak dapat mengatasi kebutuhan O2 pada titik kritis dari
serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi
penekanan yang keliru tidak akan menghasilkan cardiac output
yang adekuat untuk memenuhi titik kritis dari kebutuhan daerah
serebral.
1) Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga
thorax maka tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat
mengalami kegagalan.
2) Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung
tidak akan dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O 2 dari
serebral.
3) Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio
pulmonary arrest.
c. Penghentian Tindakan resusitasi
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah
1-1,5 jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat
menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu
paling sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama
pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan
secara klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2
jam maka dapat dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan
resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang
efektif.
a. Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung
jawab.
b. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan
resusitasi. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian
diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu
penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU
2. Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi
tanda – tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation
Pada skenario:
E2M3V2 (Somnolen)
E. Exposure
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan
yang cukup hangat.
7. Apa tindak lanjut yang dapat diambil jika penanganan awal tidak
berhasil ?
Surgical Airway
Ketidak mampuan melakukan intubasi trachea merupakan indikasi yang jelas
untuk membuat airway surgical. Apabila terdapat suatu kendala yang
menyebabkan pipa endotracheal tidak dapat dimasukkan melalaui pita suara,
maka airway surgical harus dibuar. Pada sebagian besar pasien yang
memerlukan airway surgical lebih dianjurkan dari pada trakeostomi.
Krikotiroidotomi surgical lebih mudah dilakukan, perdarahan lebih sedikit
dan lebih cepat dikerjakan dari pada trakeostomi.
a. Krikotiroidotomi Jarum
Definisi
Krikotirodotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien
dalam keadaan gawat napas k. Dengan cara membelah membran
krikotiroid untuk dipasang anul. Membrane ini terletak dekat kulit,tidak
terlalu kaya darah sehingga lebih mudah dicapai.Tindakan ini harus
dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat.
Klasifikasi
Krikotiroidotomi di bagi menjadi 2 macam yaitu needle
cricothyroidotomy dan surgical cricothyroidotomy.
1. Needle Cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy,sebuah semprit dengan jarum
digunakan untuk melubangi melewati membran krikoid yang berada
sepanjang trakea. Setelah jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan
dari jarumnya dan dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada
sebuah kantung berkatup.
2. SurgicalCricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya
membuat insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan
memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.
Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto
oksipitalis. Puncak tulang rawan tiroid (Adam’sapple) mudah di identifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang
rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago krikoid.
Membrane krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini
diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada
kulit. Jaringan dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah
tepi bawah kartilago tiroid terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.
Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastic untuk sementara.
b. Definisi Trakestomi
Trakestomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding anterior
trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-
paru dan memintas jalan nafas bagian atas. Trakeostomi adalah bedah
pembukaan ke dalam trakea (tenggorokan) untuk membantu pernapasan
seseorang yang memiliki sumbatan atau pembengkakan pada laring atau
tenggorokan bagian atas atau yang pernah mendapatkan pembedahan
laring.
Ketika selang indvelling dimasukkan kedalam trakea, maka istilah
trakeostomi digunakan. Trakeostomi dapat menetap atau permanent.
Trakeostomi dilakukan untuk memintas suatu obstruksi jalan nafas atas,
untuk membuang sekresi trakeobronkial, untuk memungkinkan
penggunaan ventilasi mekanis jangka Panjang, untuk mencegah aspirasi
sekresi oral atau lambung pada pasien tidak sadar atau paralise (dengan
menutup trakea dari esophagus), dan untuk mengganti selang endotrakea,
ada banyak proses penyakit dan kondisi kedaruratan yang membuat
trakeostomi diperlukan.
c. Jenis Tindakan Trakeostomi
1. Surgical Tracheostomy
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam
ruang operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga
sepanjang 4-5 cm.
2. Percutaneous Tracheostomy
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit
gawat darurat. Dilakukan pembuatan lubang diantara cincin trakea satu
dan dua atau dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil,
maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan
scar. Kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil.
Gambar 2.PercutaneousTracheostomy
3. Mini Tracheostomy
Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan
trakeostomi mini ini dimasukkan menggunakan kawat dan dilator.
A. Anamnesis
A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta) / Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)
B. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran
thympani diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s
sign (echymosis di mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur
basis cranii. Serta diperiksa dan dicari cedera didaerah
maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen
cervical lateral (C1-C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks.
Diperiksa dan dicari pelebaran mediastinum, fracture costa, flail
segment, haemothoraks, pneumothoraks, dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang
membutuhkan intervensi bedah. Keputusan untuk segera
melaksanakan DPL, CT-Scan, atau laparatomi cito harus segera
diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi
menandakan adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di
dinding rectum menunjukkan adanya fraktur pelvis
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya
denyut nadi perifer merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric,
brainstem, dan spinal levels.
C. Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula
yang bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap,
EKG, radiologi, dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang
bersifat segera pada umumnya meliputi pemeriksaan glukosa darah,
jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit. Dan analisis gas darah.
Yang terakhir ini hanya dapat dikerjakan di rumah sakit yang lengkap
fasilitasnya. Secara umum, pemeriksaan darah sehubungan dengan
koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap,kadar glukosa darah,
elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah. Pada kasus tertentu
(meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal) diperlukan tindakan
pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif,
dapat dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas.
Apabila ada CT Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu
dikerjakan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) terutama
dikerjakan pada kasus mati otak (brain death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak
selamanya mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-
kasus lesi otak (GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan
hidrosefalus. Koma metabolik pada umumnya tidak memerlukan
pemeriksaan CT Scan kepala. Dalam kasus demikian ini justru
pemeriksaan laboratorium patologi klinik lebih bermanfaat. Foto dada
bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis dan riwayat
sebelumnya.
D. Re – Evaluasai
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus
menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat
ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting.
Produksi urin orang dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1
cc/kgBB/jam. Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse
oximeter dan end tidal CO2 monitoring. Penanganan rasa nyeri merupakan
hal yang penting. Golongan opiate atau anxiolitika harus diberikan secara
intravena dan sebaiknya jangan intra muscular.
E. Terapi Definitif
Terapi definitive dimulai setelah primary dan secondary survey selesai.
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage
Criteria. Apabila keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus
dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.
Protokol Rujukan
Apabila belum ada prosedur tetap, maka dianjurkan prosedur dibawah
ini: 1
1) Dokter yang merujuk Dokter yang akan merujuk harus berbicara
dengan dokter penerima rujukan, dan memberikan informasi dibawah
ini:
Identitas pasien
Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit
yang penting
Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
Responter hadap terapi
2) Informasi untuk petugas yang akan mendampingi Petugas
pendamping harus paling sedikit diberitahukan:
Pengelolaan jalan nafas pasien
Cairan yang telah / akan diberikan
Prosedur khsus yang mungkin akan diperlukan
Revised Trauma Score, prosedur resusitasi dan perubahan-
perubahan yang mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan
3) Dokumentasi
“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan
menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya
kecuali dari Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan
terlindungi, dan syetan pun akan menjauh darinya.”
(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat
yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya
tidak mampu menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada
Rabb kami. Ya Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan,
taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah,
mudahkanlah segala urusan dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak
dari jauhnya bepergian dan pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan.
Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga.
Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam
bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi
harta maupun keluarga kami.”
(HR. Muslim).
DAFTAR PUSTAKA
1) Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological life
support: Approach to the patient with coma. Neurocritical Care 2012; 17(S1):
54-9.
2) Josephine Handoko, Ellen. (2019). “Pemahaman Mahasiswa Terhadap
Pemeriksaan Kesadaran Glasglow Coma Scale”. Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret. Doi:10.31219
3) Maulidhany Tahir, Akina. (2018). “Patofisiologi Kesadaran Menurun”. UMI
Medical Journal, 3 (2), doi:10.1257.
4) Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation in
the intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
5) uang Ian.2016. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada
Penderita Diabetes Mellitus. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan,
Tangerang, Indonesia
6) Lasta Arshinta, Ivo Ariandi, Sholehuddin Munajjid.2018. Hubungan Antara
Hipertensi Dengan Penurunan Fungsi Kognitif di Puskesmas Samalantan,
Kalimantan Barat. Dokter Umum Puskesmas Samalantan. Kalimantan Barat
7) Husnah. 2012. Penatalaksanaan Obesitas. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
8) Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta
9) Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam neurologi
klinis dasar. Dian rakyat. Jakarta
10) Fauci, AS and dkk. 2009. Harrison`s Principles of Manual Medicine 17th
Edition. New York: McGraw-Hill`s Access Medicine. Hal : 207-211
11) Sudoyo , A.R, Setiyohadi, B. Alwi., Simadibrata,M. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam : Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Jilid II.Edisi IV.
Jakarta : FKUI. Hal : 161-166
12) Alboni P, Brignole M, Menozzi C, et. all. Clinical Spectrum of neurally
mediated reflex syncope. The European Society of Cardiology. [Online]
2003. Diunduh dari http://europace.oxfordjournals.org/content/6/1/55
.full.pdf.
13) Ooi S, Manning Peter. 2008. Guide To The essentials in
emergency Medicine. National University Hospital. Mc Graw Hill. Hal :
140-143
14) Morrag, Rum. Syncope. Medscape Reference. 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/811669-overview.
15) Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung
16) Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Deteminannya di
Indonesia. 2009;59(No. 12):580-7.
17) Cuciureanu, D. Hypertensive Encephalopathy: Between Diagnostic and
Reality. Roumanian Journal of Neurology 6/3. 2007:114-177. Available
from:
http://www.medica.ro/reviste_med/download/neurologie/2007.3/Neuro_Nr -
3_2007_Art-02.pdf nmm nm
18) Ian Huang. 2016. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada
Penderita Diabetes Mellitus.Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan,
Tangerang, Indonesia
19) Henry Sharon, Karen Brasel, Ronald M Stewart.2018. ATLS : Advanced
Trauma Life Support Tenth Edition. The Commite On Trauma : American
College of Surgeon
20) Mock C, Lormand JD, Goosen J, Joshipura M, Peden M. 2004. Guidelines
for essential trauma care. Geneva : World Health Organization
21) Wardani (2014). Kumpulan SOP (StandarOperasionalProsedur)
22) DazSpecta (2011). ProsedurPerawatanTrakeostomi
23) Paniselvam (2011). PengertianTrakeostomiRichard O. Cummins, ACLS text
book. Essential of ACLS