PTYRIASIS ROSEA
OLEH :
Muhammad Almutaali Basri
111 2021 2115
PEMBIMBING :
Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp.KK, FINSDV
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp.KK, FINSDV Muhammad Almutaali Basri
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
BAB II................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................2
2.1 Definisi........................................................................................................2
2.2 Epidemiologi..............................................................................................4
2.3 Etiopatologi................................................................................................6
2.4 Gejala Klinis...............................................................................................7
2.5 Diagnosis.................................................................................................11
2.6 Diagnosis Banding..................................................................................13
2.7 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................14
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................15
2.9 Edukasi.....................................................................................................17
2.10 Prognosis...............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
Khususnya, sebagian besar bentuk morfologis atipikal mengikuti jalur
yang sesuai dengan bentuk klasik. Oleh karena itu kami mengusulkan
klasifikasi varian PR yang disederhanakan dan komprehensif, termasuk
bentuk atipikal, berdasarkan perbedaan patogenesis, gambaran klinis,
dan perjalanan penyakit. 3
Pityriasis rosea (PR) adalah penyakit kulit jinak yang dapat sembuh
sendiri yang ditandai dengan munculnya ruam kulit multipel secara tiba-
tiba dengan pola yang khas pada batang tubuh dan tungkai. 'Pityriasis'
(artinya seperti dedak) menunjukkan bahwa ada sisik halus pada lesi
kulit. 'Rosea' berarti seperti mawar dan menggambarkan warna khas
ruam, meskipun warnanya sangat bervariasi pada orang-orang dari ras
yang berbeda. Ciri khas PR adalah jalannya acara yang tampaknya
'terprogram'. Lesi tunggal yang lebih besar, berukuran sekitar 1 hingga
3 sentimeter, biasanya mendahului ruam yang meluas hingga dua
minggu. Lesi awal ini, juga dikenal sebagai 'herald patch', paling sering
muncul di batang tubuh (Gambar 1). Ini berbentuk oval, dengan mawar,
bersisik, batas sedikit lebih tinggi dan bagian tengah lebih pucat. Patch
herald mungkin tidak dapat diidentifikasi pada banyak orang, sehingga
ketidakhadirannya tidak selalu mengecualikan diagnosis PR. 4
3
Gambar 1. Lesi terbesar adalah herald patch. Lesi lainnya adalah erupsi
sekunder.
2.2 Epidemiologi
4
kelompok usia, hal ini lebih sering terjadi pada subjek berusia antara 10
dan 35 tahun. Ini sedikit lebih sering pada wanita, dengan rasio wanita-
ke-pria 1,5-2:1. Tidak ada dominasi ras yang dilaporkan. 5
Pityriasis rosea (PR) adalah penyakit papuloskuamosa yang umum;
namun, epidemiologinya belum mapan. Studi pusat tunggal, yang
sebagian besar dilakukan di luar Amerika Serikat, memperkirakan
prevalensi PR menjadi 0,39-4,80%1; namun, tidak ada perkiraan
prevalensi PR yang dipublikasikan dari beragam, kohort nasional
pasien Amerika. Kami bertujuan untuk memperkirakan prevalensi PR
menggunakan database All of Us, sebuah inisiatif yang baru-baru ini
diluncurkan oleh National Institutes of Health yang berusaha untuk
memasukkan komunitas yang secara historis kurang terwakili dalam
penelitian (misalnya, gender, ras, dan minoritas seksual dan populasi
pedesaan). Penelitian ini dianggap sebagai pengecualian IRB oleh
University of Pennsylvania. Kami melakukan analisis cross-sectional
dari database All of Us dengan mengidentifikasi pasien dengan
diagnosis PR menggunakan kode ICD-9-CM 696.3 dan kode ICD 10-
CM L42. Rekam medis elektronik dari setiap pasien dengan PR
kemudian dianalisis untuk mengumpulkan data tentang usia, jenis
kelamin, dan ras yang diidentifikasi sendiri. Kami menggunakan metode
Wald dengan interval kepercayaan 95% (CI) untuk menghitung
prevalensi keseluruhan PR. Saat ini, database All of Us telah
mendaftarkan 327.654 peserta. Kami mengidentifikasi 687 pasien
dengan PR, mewakili prevalensi keseluruhan 0,21% (95% CI, 0,19-
0,23) (Tabel I). Usia rata-rata saat diagnosis adalah 36,5 tahun (standar
deviasi 16,1). Prevalensi tertinggi pada kelompok usia 18-25 (0,77%,
95% CI 0,63-0,92), menurun dengan bertambahnya usia. Kami
mengamati dominasi perempuan-ke-laki-laki 3:1. Prevalensi dalam
kelompok ras tertentu termasuk 0,21% (95% CI, 0,17-0,25) di Hispanik,
5
0,17% (95% CI, 0,09-0,25) di Asia, 0,24% (95% CI, 0,20-0,28) di Black,
dan 0,20 % pada pasien kulit putih (0,20%, 95% CI, 0,18-0,22). 6
2.3 Etiopatologi
6
besar uji klinis mengecualikan anak-anak. Dalam laporan ini, kami akan
membatasi diri pada orang dewasa dengan PR. 7
Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian
obat, misalnya bismut, arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril,
klonidin, interferon, ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin
kinase; dan telah dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik,
misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat
menyerupai pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan
bahwa pitiriasis rosea dapat disebabkan oleh obat. Terdapat pula
laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yang timbul setelah vaksinasi
difteri, cacar, pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan virus influenza
H1 N1 .1
Etiologi virus PR diduga kuat karena DNA human herpesvirus 7
(HHV-7) sering terdeteksi dalam darah dan air liur pasien PR. HHV-7
termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Betaherpesvirinae. Infeksi
primer biasanya terjadi di masa kanak-kanak dan virus bertahan
sepanjang hidup individu dalam infeksi laten dengan kemungkinan
reaktivasi. 8
Banyak hipotesis telah dipostulasikan tentang penyebab pasti PR,
yang memberatkan baik agen infektif seperti virus, bakteri, spirochetes,
dan etiologi noninfeksi seperti atopi dan autoimunitas. Ada berbagai
faktor yang menunjukkan etiologi infeksi untuk kondisi ini seperti variasi
musiman, adanya prodromal, pengelompokan familial dalam beberapa
kasus dan adanya herald patch (yang mungkin berkorelasi dengan titik
inokulasi organisme) diikuti oleh sekunder. erupsi dan jarang kambuh.
Namun, meskipun upaya berulang, tidak ada bukti pasti untuk agen
infeksi tunggal untuk gangguan ini. Pencarian agen ini menyebabkan
evaluasi sejumlah organisme dalam gangguan ini seperti
7
cytomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, parvovirus B19,
picornavirus, virus influenza dan parainfluenza, Legionella spp.,
Mycoplasma spp., dan Chlamydia spp. infeksi; namun, ada bukti bahwa
PR tidak terkait dengan mereka. Ada beberapa laporan yang
mengevaluasi peran streptokokus dalam PR berdasarkan premis
bahwa PR biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas.
Sharma dkk. menemukan peningkatan titer ASLO pada 37,7% pasien
mereka dan efek terapeutik positif eritromisin dalam pengobatan PR,
sehingga menunjukkan keterlibatan streptokokus dalam PR. Namun,
Parija dan Thappa dalam penelitian terhadap 20 kasus dan kontrol
menemukan bahwa protein C-reaktif negatif pada semua pasien, titer
ASLO hanya meningkat pada dua pasien, streptococcus hemolyticus
dapat diisolasi pada usap tenggorokan hanya pada dua pasien, dan
hasilnya tidak signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan
kontrol, sehingga menyangkal peran streptokokus dalam PR. 9
8
serentak atau dalam beberapa hari. Tempat predileksi pada batang
tubuh, lengan atas bagian proksimal dan tungkai atas, sehingga
menyerupai pakaian renang perempuan zaman dahulu. Kecuali bentuk
yang lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea dapat juga berbentuk
urtika, vesikel dan papul, yang lebih sering terdapat pada anak-anak.
Lesi oral jarang terjadi. Dapat terjadi enantema dengan makula dan
plak hemoragik, bula pada lidah dan pipi, atau lesi mirip ulkus aftosa.
Lesi akan sembuh bersamaan dengan penyembuhan lesi kulit. 1
9
Gambar 2. Erupsi sekunder pada pityriasis rosea menunjukkan
'Christmas tree pattern'/ Pohon cemara terbalik.
10
Gambar 3. Regio Thorakalis tampak macula eritematus batas jelas
bentuk bulat lonjong, sumbu Panjang searah pelipatan kulit, tepi
meninggi, ditengah terdapat skuama kekuningan melekat di tepi.
2.5 Diagnosis
Klinis 11
Anamnesis
Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat,
kelompok usia 10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan.
Gejala subjektif biasanya tidak ditemukan, tetapi dapat disertai
gatal ringan maupun sedang.
Kelainan kulit diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder.
Timbul lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan
setelah lesi primer, tetapi umumnya dalam waktu 2 minggu. Kadang-
kadang lesi primer dan sekunder timbul secara bersamaan.
11
Dapat pula ditemukan demam yang tidak terlalu tinggi atau lemah
badan.
Pemeriksaan fisik
Gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa
makula/plak sewarna kulit/merah muda/salmon-colored
/hiperpigmentasi yang berbatas tegas, umumnya berdiameter 2-4 cm
dan berbentuk lonjong atau bulat. Bagian tengah lesi memiliki
karakteristik skuama halus, dan pada bagian dalam tepinya terdapat
skuama yang lebih jelas membentuk gambaran skuama kolaret.
Lesi primer biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju,
tetapi kadang-kadang ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal
seperti paha atas atau lengan atas. Lesi primer jarang ditemukan di
wajah, penis atau kulit kepala berambut.
Erupsi simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas
proksimal.
Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda, multipel,
berukuran lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong,
yang mengikuti Langer lines sehingga pada punggung membentuk
gambaran christmas-tree pattern.
Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
Varian
Pitiriasis rosea atipikal
Pada pitiriasis rosea atipikal herald patch dapat tidak ditemukan,
berjumlah lebih dari satu, atau menjadi satu-satunya manifestasi
klinis. Lesi dapat terdistribusi hanya di daerah perifer, mengenai
wajah, kulit kepala berambut, atau lokalisata pada regio tertentu
seperti telapak tangan, telapak kaki, aksila, vulva, dan lipat paha.
12
Lesi dapat berupa urtika, erythema multiforme-like, vesikuler,
pustular, dan purpura.11
2.6 Diagnosis Banding
13
atas, leher, dan skalp, wama lebih gelap, skuama lebih tebal dan
berminyak. Kelainan akan menetap bila tidak diobati.
Erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea: gambaran klinis dapat
menyerupai pitiriasis rosea klasik, tetapi sering memberi gambaran
atipikal. Lesi biasanya lebih besar, selanjutnya terjadi
hiperpigmentasi dan berubah menjadi dermatitis likenoid. Perlu
dilakukan pemeriksaan riwayat pemakaian obat. 1
14
2.8 Penatalaksanaan
15
dengan baik, bentuk terapi ini harus dipertimbangkan pada pasien PR
yang datang pada awal perjalanan penyakit mereka yang menunjukkan
gejala mirip flu dan/atau penyakit kulit yang luas. Beberapa tahun yang
lalu, eritromisin dilaporkan bermanfaat bagi pasien PR? tetapi
pengalaman klinis dan laporan yang lebih baru menunjukkan tidak ada
kemanjuran azitromisin pada PR belum mengkonfirmasi hasil awal ini.
Beberapa pasien dengan PR mungkin mendapat manfaat dari
fototerapi, meskipun ini harus digunakan dengan hati-hati mengingat
dapat meningkatkan risiko pasca hiperpigmentasi inflamasi setelah
resolusi penyakit (Box 41-2).12
Menurut PERDOSKI11
- Nonmedikamentosa
Tidak ada
- Medikamentosa
16
Prinsip: penyakit dapat sembuh spontan, penglihatan bersifat
simtomatis. Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:
1. Topikal
Bila gatal sangat mengganggu:
Larutan anti pruritus seperti calamine lotion.
Kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan
antihistamin seperti setirizin 1x10 mg per hari.
Kortikosteroid sistemik.
Eritromisin oral 4x250 mg/hari selama 14 hari.
Asiklovir 3x400 mg/hari per oral selama 7 hari diindikasikan
sebagai terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai
flu-like symptoms atau keterlibatan kulit yang luas.
Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B
(NB-UVB) dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali
seminggu selama 4 minggu.
- Antihistamin
- Bedak mengandung asidum salisikum
- Steroid topical / sistemik, bila parah
- Konselling
2.9 Edukasi
17
2.10 Prognosis
18
BAB III
KESIMPULAN
19
mengetahui jenis pengobatan yang mereka terima, percobaan terbatas
karena peneliti tidak buta dan pasien tidak secara acak ditugaskan ke
salah satu dari dua kelompok pengobatan. Mengingat bahwa asiklovir
dan turunannya adalah obat yang relatif murah dan dapat ditoleransi
dengan baik, bentuk terapi ini harus dipertimbangkan pada pasien PR
yang datang pada awal perjalanan penyakit mereka yang menunjukkan
gejala mirip flu dan/atau penyakit kulit yang luas. Beberapa tahun yang
lalu, eritromisin dilaporkan bermanfaat bagi pasien PR, tetapi
pengalaman klinis dan laporan yang lebih baru menunjukkan tidak ada
kemanjuran azitromisin pada PR belum mengkonfirmasi hasil awal ini.
Beberapa pasien dengan PR mungkin mendapat manfaat dari
fototerapi, meskipun ini harus digunakan dengan hati-hati mengingat
dapat meningkatkan risiko pasca hiperpigmentasi inflamasi setelah
resolusi penyakit.
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam
waktu 3-8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SW, S. L., Bramono, K., Indriatmi, W. & FK UI. Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin. (2021).
2. Hanardi, M. A. & Rifa Institute. PITIRIASIS ROSEA: MANIFESTASI
KLINIS DAN TATALAKSANA. 2, 2003–2005 (2022).
3. Urbina, F., Das, A. & Sudy, E. Clinical variants of pityriasis rosea. World
J. Clin. Cases 5, 203 (2017).
4. Contreras-Ruiz, J. et al. Interventions for pityriasis rosea. Cochrane
Database Syst. Rev. 2019, (2019).
5. Rosea, P. Atlas of Pediatric Dermatoscopy. Atlas Pediatr.
Dermatoscopy 121–126 (2018) doi:10.1007/978-3-319-71168-3.
6. Joshi, T. P., Calderara, G. A. & Lipoff, J. B. Prevalence of pityriasis
rosea in the United States: A cross-sectional study using the All of Us
database. JAAD Int. 8, 45–46 (2022).
7. Chuh, A., Zawar, V., Sciallis, G. & Kempf, W. A position statement on
the management of patients with pityriasis rosea. J. Eur. Acad.
Dermatology Venereol. 30, 1670–1681 (2016).
8. Engelmann, I. et al. Relapsing pityriasis rosea with HHV-7 reactivation
in an 11-year-old girl. Pediatrics 141, (2018).
9. Mahajan, K., Relhan, V., Relhan, A. & Garg, V. Pityriasis rosea: An
update on etiopathogenesis and management of difficult aspects.
Indian J. Dermatol. 61, 375–384 (2016).
10. Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., Suyoso, S. & Airlangga, U. Atlas
Penyakit Kulit dan Kelamin. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin 226–230
(2018).
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI). PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER SPESIALIS
KULIT DAN KELAMIN DI INDONESIA. Journal of Chemical Information
21
and Modeling vol. 53 (2017).
12. Wolff, K. et al. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. (2008).
22