Anda di halaman 1dari 17

Referat

PITIRIASIS ROSEA

Oleh:
Annes Claudia Adma, S. Ked.
04084822225063

Pembimbing:
Dr. Mutia Devi, SpKK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/KSM DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYARSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
PITIRIASIS ROSEA

Oleh
Annes Claudia Adma, S. Ked.
04084822225063

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Mohammad
Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 5 Desember 2022–1
Januari 2023.

Palembang, 15 Desember 2022


Pembimbing,

Dr. Mutia Devi, SpKK (K), FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Pitiriasis Rosea” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/KSM Dermatologi dan Venerologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Mutia Devi, SpKK
(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan
dalam penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu
hingga referat ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan
akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan referat di masa
mendatang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, 15 Desember 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ v
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
PATOFISIOLOGI .................................................................................................................... 2
DIAGNOSIS ............................................................................................................................. 2
PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................................................. 5
DIAGNOSIS BANDING ......................................................................................................... 6
TATALAKSANA .................................................................................................................... 8
KOMPLIKASI.......................................................................................................................... 9
PROGNOSIS .......................................................................................................................... 10
RINGKASAN ......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Herald patch, lesi primer pitiriasis rosea..............................................................10


Gambar 2. Herald patch dan lesi sekunder yang jumlahnya banyak dan ukuran lebih
kecil.........................................................................................................................................10
Gambar 3. Herald patch, skuama halus pada bagian tepi dalam membentuk gambaran skuama
kolaret......................................................................................................................................11
Gambar 4. Lesi Pitiriasis Rosea mengikuti garis lipatan tubuh (Langer’s line of
cleavage).................................................................................................................................11
Gambar 5. Lesi makula/plak mengikuti Langer’s lines membentuk Christmas tree
pattern.....................................................................................................................................12

Gambar 6. Gambaran biopsi kulit lesi sekunder pitiriasis rosea menunjukkan spongiosis fokal
dengan infiltrasi limfosit perivaskular (pewarnaan periodic acid-
schiff........................................................................................................................................13

Gambar 7. Gambaran dermoskopi dari pitiriasis rosea berupa kekuningan dengan skuama
kolaret.....................................................................................................................................14

Gambar 8. Erupsi papuloskuamosa diseminata pada sifilis sekunder..................................14

Gambar 9. Plak eritema annular dengan skuama berwarna kuning-oranye pada dermatitis
seboroik..................................................................................................................................15

Gambar 10. Plak berskuama tebal dengan batas tegas pada tinea korporis.........................16

v
PITIRIASIS ROSEA
Annes Claudia Adma, S.Ked
Pembimbing : Dr. Mutia Devi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Kelompok Staf Medis Dermatologi Dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Pitiriasis berarti skuama halus dan rosea berarti warna merah muda.1 Pitirasis rosea, juga
dikenal sebagai pitiriasis circinata, roseola annulata, dan herpes tonsurans maculosus adalah
kelainan papuloskuamosa akut dengan morfologi yang khas dan perjalanan klinis yang dapat
sembuh sendiri.2,3

Perkiraan kejadian pitiriasis rosea sebesar 0,5 – 2% di dunia. Insidensi pitiriasis rosea
pertahun 170/100.000 orang.4 Pitiriasis rosea dapat ditemukan pada semua ras dan
terdistribusi di seluruh dunia.2 Pitiriasis rosea dapat terjadi pada semua umur, namun lebih
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda dengan rentang usia 15-30 tahun dan jarang
terjadi pada usia kurang dari 2 tahun atau lebih dari 65 tahun.1,2 Pitiriasis rosea lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.1 Kejadian relaps
pada pitiriasis rosea merupakan kasus yang jarang dengan angka kejadian kisaran 1,8-3,7%.2

Penyebab pasti pitiriasis rosea belum diketahui, namun terdapat bukti penelitian bahwa
pitiriasis rosea disebabkan oleh reaktivasi laten infeksi HHV-6 (Human Herpes-Virus-6) dan
HHV-7 (Human Herpes-Virus-7).3 Virus lain sepeti HHV-8 (Human Herpes-Virus-8), HSV-
2 (Herpes Simplex Virus-2), hepatitis C, H1N1, erupsi obat, dan vaksin BCG (Bacille
Calmette-Guerin) diduga juga memicu erupsi kulit herald patch dan lesi sekunder dengan
gambaran histologi serupa.5,7

Diagnosis pitiriasis rosea dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pitiriasis rosea ditandai lesi awal berupa plak atau patch tunggal (primary, herald patch)
diikuti patch oval berskuama pada badan dan ekstremitas proksimal dengan gambaran
Christmas-tree pattern. Pada sebagian kecil kasus ditemukan gambaran lesi atipikal sehingga
harus dapat dibedakan dengan kelainan kulit lain dengan lesi serupa.3
Pitiriasis rosea berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia
(SNPPDI) 2019 pitiriasis rosea merupakan penyakit dengan kompetensi 4. Oleh karena itu,
lulusan dokter harus mampu mendiagnosis dan melakukan penatalaksaan secara mandiri dan
tuntas. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengkaji penyakit pitiriasis rosea secara
1
komprehensif dan diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan bagi dokter umum.

PATOFISIOLOGI
Terdapat berbagai faktor yang memperkuat dugaan etiologi pitiriasis rosea akibat infeksi virus
seperti variasi musiman, adanya prodromal, pengelompokan familial dalam beberapa kasus,
dan adanya herald patch (yang mungkin berkorelasi dengan titik inokulasi organisme) diikuti
oleh infeksi sekunder serta erupsi dan kekambuhan yang jarang. Patofisiologi pitiriasis rosea
terutama dikaitkan dengan infeksi HHV-6 dan HHV-7. Hal ini didasarkan pada penelitian yang
menemukan adanya DNA kedua virus tersebut di dalam sampel kulit (baik lesi ataupun nonlesi),
air liur, sel mononuklear darah tepi, atau serum pasien pitiriasis rosea, sedangkan DNA virus
CMV (Cytomegalo Virus) tidak ditemukan. Jumlah virus yang ditemukan pada lesi kulit yang
rendah mengarahkan kepada hipotesis bahwa manifestasi klinis pitiriasis rosea tidaklah
disebabkan oleh infeksi virus tersebut secara langsung, melainkan akibat respon reaktif
terhadap replikasi sistemik virus tersebut. Air liur juga menandakan pasien yang mengalami
pengaktifan kembali dari infeksi primer karena kelenjar ludah bertindak sebagai reservoir hanya
pada individu yang terinfeksi sebelumnya.2,8
Sel natural killer (NK) dan sel B hanya ditemukan sedikit pada lesi, hal ini menandakan
adanya dominansi dari imunitas yang diperantarai sel T. Pada dermis ditemukan peningkatan
sel CD4dan sel Langerhans yang menggambarkan adanya proses pengenalan dan presentasi
antigen viral. Anti-imunoglobulin M (IgM) juga ditemukan dalam keratinosit, yang dapat
berhubungan dengan fase eksantema pada infeksi virus.9 Beberapa sitokin lain dapat menjadi
pembeda antara pasien pitiriasis rosea dengan orang sehat. Beberapa sitokin yang diduga
berperan, antara lain IL-17, interferon gamma (IFN-γ), vascular endothelial growth factor
(VEGF), dan dan IP-10 (Interferon-inducible Protein-10.2

DIAGNOSIS
Diagnosis pitiriasis rosea ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis jarang dijumpai gejala prodromal. Hanya sebagian kecil pasien yang mengeluhkan
gejala menyerupai flu seperti demam, malaise, nausea, nyeri kepala, hilang nafsu makan, dan
atralgia.1,7 Keluhan yang dijumpai adalah kelainan kulit yang diawali dengan lesi primer berupa
satu bercak berukuran besar pada daerah badan yang bertahan selama 1 minggu atau lebih. Lesi
primer umumnya berupa bercak kemerahan atau salmon-colored yang sedikit meninggi,
muncul di badan, soliter, berbentuk oval atau anular, diameter kira-kira 3 cm, ditutupi oleh
skuama halus dengan permukaan epidermis kering, dan kadang mengalami deskuamasi
2
(Gambar 1). Pada daerah lesi dapat dirasakan gatal ringan-sedang. 5,7

Gambar 1. Herald patch, lesi primer pitiriasis rosea.4

Lesi sekunder dengan ciri yang menyerupai seperti lesi primer dengan ukuran lebih
kecil dan dengan cepat bertambah banyak akan muncul setelah 2 hari – 2 minggu (umumnya 2
minggu) (Gambar 2). Perjalanan penyakit pitiriasis rosea berlangsung sekitar 3-8 minggu dan
akan mengalami resolusi spontan.7,10

Gambar 2. Herald patch dan lesi sekunder yang jumlahnya banyak dan ukuran lebih kecil (↑).3

Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi primer atau herald patch pada 80% pasien.
Lesi primer berupa patch atau plak sewarna kulit/merah muda/ salmon-
colored/hiperpigmentasi yang berbatas tegas, diameter 2-5 cm, berbentuk oval. Bagian
tengan lesi memiliki karakteristik skuama halus, dan pada bagian dalam tepinya terdapat
skuama yang lebih jelas membentuk gambaran kolaret.4,10 Predileksi lesi primer biasanya
pada area trunkus yang tidak terekspos sinar matahari, tetapi dapat juga ditemukan di leher,
wajah atau ekstremitas atas.7

3
Gambar 3. Herald patch, skuama halus pada bagian tepi dalam membentuk gambaran skuama kolaret (↑).3

Lesi sekunder dapat berupa makula/plak merah muda, multipel, simetris, dan
berukuran lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti Langer’s
lines (Gambar 4) atau susunannya sejajar dengan kosta sehingga membentuk gambaran
Christmas tree pattern atau pohon cemara terbalik pada punggung atau Hanging Curtain Sign
(Gambar 5).4,10

Gambar 4. Lesi Pitiriasis Rosea mengikuti garis lipatan tubuh (Langer’s line of cleavage).4

Gambar 5. Lesi makula/plak mengikuti Langer’s lines membentuk Christmas tree pattern.3
4
Pada sebagian kecil kasus (sekitar 20%) pasien dengan pitiriasis rosea dapat memiliki
gambaran klinis yang berbeda dari tipe klasik atau disebut dengan pitiriasis rosea atipikal.7
Pada pitiriasis atipikal, plak primer (herald patch) bisa tidak ditemukan atau berjumlah lebih
dari satu (biasanya lokasinya berdekatan) atau bisa menjadi satu-satunya manifestasi klinis
(tidak disertai lesi sekunder). Umumnya pada anak-anak lesi sekunder dapat terdistribusi
hanya di daerah perifer, mengenai wajah, kulit kepala berambut, atau lokalisata pada regio
tertentu seperti telapak tangan, telapak kaki, aksila, vulva, dan lipat paha. Morfologi lesi
sekundernya juga dapat bersifat atipikal berupa makula tanpa skuama, urtika, eritema
multiforme-like, vesikel, pustul, dan purpura.2,7,10

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan alur penegakkan diagnosis pitiriasis rosea, apabila gambaran klinis meragukan
terutama pada tipe atipikal maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
histopatologi.10 Gambaran histologis pada pitiriasis rosea tidak begitu spesifik, meliputi
akantosis ringan, patchy parakeratosis fokal, multifokal, atau konfluen, dan ekstravasasi
eritrosit ke lapisan epidermis. Dapat ditemukan fokal spongiosis pada kasus akut. Infiltrasi
limfosit perivaskular ringan dapat ditemukan pada lapisan dermis (Gambar 6). Evaluasi
histologis cukup membantu dalam mengeksklusi kondisi lain saat diagnosis pitiriasis rosea
masih meragukan. Gambaran histopatologi ini serupa pada herald patch dan lesi sekunder.
Adanya sel-sel diskeratotik intraepidermal dengan agregasi tonofilamen, banyak vakuola dan
desmosom intrasitoplasma dilaporkan memiliki ciri yang agak spesifik. Perubahan sitologis
ini serupa dengan yang terlihat pada infeksi virus seperti herpes simplex dan varicella zoster,
dan oleh karena itu diyakini memperkuat anggapan bahwa virus adalah etiologinya. Perubahan
histopatologi lesi pada anak-anak mirip dengan orang dewasa.11 Dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding.

Gambar 6. Gambaran biopsi kulit lesi sekunder pitiriasis rosea menunjukkan spongiosis fokal dengan infiltrasi
limfosit perivaskular (pewarnaan periodic acid-schiff ).11

5
Pemeriksaan darah rutin tidak direkomendasikan dalam mendiagnosis pitiriasis rosea,
karena biasanya memberikan hasil yang normal. Pada pasien pitiriasis rosea dapat ditemukan
leukositosis, limfositosis, neutrofilia, eosinofilia, dan basofilia. Pada pemeriksaan darah tepi,
peningkatan laju sedimen eritrosit, penurunan limfosit T dan peningkatan limfosit B telah
dilaporkan. Perubahan serupa dicatat untuk anak-anak dengan pitiriasis rosea. Autoantibodi
dilaporkan berhubungan dengan pitiriasis rosea pada orang dewasa. Temuan ini tidak
dilaporkan pada anak-anak. Peran mediator inflamasi pada pitiriasis rosea juga masih
dieksplorasi.11 Pemeriksaan VDRL dan rapid plasma reagin (RPR) juga dapat dikerjakan, bila
ada kecurigaan sifilis sekunder.9
Pemeriksaan dermatoskopi dapat dilakukan untuk membantu membedakan pitiriasis
rosea dengan kondisi lain. Pada dermoskopi pitiriasis rosea akan didapatkan warna
kekuningan (40%), skuama kolaret perifer (84%) (Gambar 7a), distribusi pembuluh darah
yang tersusun longgar dan tidak merata (35%), dan background kemerahan yang difus (31%)
(Gambar 7b).12

a b
Gambar 7. Gambaran dermoskopi dari pitiriasis rosea berupa kekuningan dengan
(a) skuama kolaret perifer dan (b) kemerahan di tengah.12

DIAGNOSIS BANDING
Sifilis sekunder (Macular Syphilid)
Kelainan kulit pada sifilis sekunder dapat berupa erupsi papuloskuamosa atau sifilis
psoriasiformis menyerupai gambaran pitiriasis rosea (Gambar 8a). Eksantema pertama pada
erupsi selalu diawali dengan makula. Namun, pada sifilis sekunder akan didapatkan riwayat
chancre primer dan tidak akan ditemukan herald patch. Lesi tersebar luas dan biasanya
melibatkan telapak tangan dan telapak kaki (Gambar 8b), serta akan didapatkan keluhan
sifilis sekunder seperti kondiloma lata, “moth-eaten” alopecia, dan patch mukosa. Keluhan
sistemik berat dan limfadenopati juga dapat ditemukan. Uji serologis sifilis dapat dilakukan
untuk menyingkirkan diagnosis banding sifilis.1

6
a b
Gambar 8. (a) Erupsi papuloskuamosa diseminata pada sifilis sekunder, (b) tampilan yang umum pada sifilis
sekunder papul psoriasiform predileksi di telapak tangan. 3

Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan kelompok kelainan papuloskuama. Pada dermatitis seboroik
bagian kulit kepala dan rambut alis merupakan predileksi skuama paling sering, namun
terdapat juga area predileksi pada daerah sternum dan regio interskapula, terkadang juga
terdapat pada permukaan fleksor sendi dimana berbentuk patch yang ditutupi oleh skuama
yang berminyak berwarna kekuningan (Gambar 9).7

Gambar 9. Plak eritema annular dengan skuama berwarna kuning-oranye pada dermatitis seboroik.3

Tinea korporis
Pada pitiriasis rosea gambaran patch dengan skuama kolaret pada tepi lesi seringkali
disangka sebagai penyakit jamur (Gambar 10). Perbedaan gambaran klinis yang dapat
dikenali adalah skuama yang kasar pada tinea korporis, sedangkan skuama pada pitiriasis
rosea bersifat halus.1 Pada tinea korporis juga jarang menyebar secara luas. Plak pada tinea
korporis tidak terdistribusi di garis lipatan kulit seperti pada pitiriasis rosea.7 Pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menyingkirkan tinea korporis berupa pemeriksaan KOH.
Pada tinea korporis hasilnya akan ditemukan jamur berupa hifa panjang bersekat.1

7
Gambar 10. Plak berskuama tebal dengan batas tegas pada tinea korporis.3

Dermatitis numularis
Pada dermatitis numularis, plak biasanya berbentuk sirkuler, tidak oval seperti pada pitiriasis
rosea. Lesi pada dermatitis numularis lebih banyak ditemukan di tungkai bawah atau
punggung tangan, yang merupakan tempat lesi yang jarang pada pitiriasis rosea. Pada
dermatitis numularisjuga tidak didapatkan skuama kolaret, dan biasanya justru didapatkan
vesikel. Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
dermatitis numularis.1

Psoriasis gutata
Pada psoriasis gutata, lesi biasanya berukuran lebih kecil dibanding pitiriasis rosea dan tidak
tersusun sesuai Langer’s lines. Psoriasis gutata berbentuk seperti tetesan air memiliki skuama
yang tebal dan tidak tipis seperti pada pitiriasis rosea. Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk menyingkirkan diagnosis banding psoriasis gutata.7,10

Erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea


Gambaran klinis pada erupsi obat dapat menyerupai pitiriasis rosea klasik, namun lebih
seringmemberi gambaran atipikal. Lesi biasanya lebih besar, dapat terjadi hiperpigmentasi
dan ditemukan riwayat pemakaian obat untuk menyingkirkan diagnosis erupsi obat.3

TATALAKSANA
Mayoritas pasien dengan pitiriasis rosea tidak membutuhkan terapi karena sebagian besar
asimpotamatik dan akan mengalami resolusi spontan, namun durasi erupsi tercatat berkurang
dengan pemberian intervensi.7

Non-farmakologis
Tidak ada terapi nonfarmakologis spesifik untuk pitiriasis rosea. Tatalaksana hanya berupa
edukasi dan konseling mengenai penyakit. Edukasi berupa penjelasan kelainan kulit dapat
8
sembuh sendiri dan pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala.8

Farmakologis
Pitiriasis rosea umumnya sembuh spontan dalam 2-12 minggu dan jika asimptomatik, hanya
edukasi yang diberikan. Tatalaksana farmakologis pada penyakit pitiriasis rosea bersifat
simptomatis terutama pada pasien dengan eksantema ekstensif atau gejala berat seperti
pruritus dengan menggunakan golongan makrolida, fototerapi, dan atau antiviral.13
1. Topikal
Larutan antipruritus seperti losio calamine atau kortikosteroid topical dapat diberikan
jikagatal sangat mengganggu.1
2. Sistemik
a. Antihistamin seperti cetrizin dengan dosis 1x10 mg per hari dapat diberikan jika gatal
sangat mengganggu.1
b. Penggunaan antibiotik golongan makrolida bagi pasien pitiriasis rosea dilaporkan dapat
menyembuhkan pitiriasis rosea Mekanisme kerja makrolida dalam pitiriasis rosea masih
belum diketahui dan masih kontroversial, namun diyakini bahwa makrolida lebih
bertindak sebagai anti- inflamasi dan imunomodulator daripada sebagai antibiotik.
Makrolida yang dapat digunakan adalah eritromisin oral 4x250mg/hari selama 14
hari.1,10
c. Asiklovir dengan dosis asiklovir 5x400mg/hari per oral selama 7 hari atau dosis tinggi
5x800 mg/hari per oral selama 7 hari dapat diberikan apabila terdapat gejala menyerupai
flu atau kelainan kulit luas. Asiklovir juga dapat mempercepat penyembuhan ruam,
membantu meredakan pruritus dan memperbaiki gejala sistemik.13
d. Pada kelainan kulit luas dapat diberikan fototerapi sinar narrowband UVB (Ultraviolet
B)dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali/minggu selama 4 minggu. UVB dapat
mempercepat penyembuhan karena menghambat fungsi sel Langerhans sebagai penyaji
antigen. Pemberian harus hati-hati karena UVB meningkatkan risiko hiperpigmentasi
pasca-inflamasi.1,10,13

KOMPLIKASI
Tidak ada komplikasi serius yang dapat terjadi pada pasien pitiriasis rosea. Pasien mungkin
mengalami gejala seperti flu, namun biasanya gejala ini bersifat ringan. Hipo atau
hiperpigmentasi dapat terjadi pasca-inflamasi sementara yang biasanya hilang tanpa bekas.
Pada 30% kasus pitiriasis rosea dapat dikaitkan dengan rasa kecemasan dan depresi yang bisa

9
terjadi dengan pitiriasis rosea.8

PROGNOSIS
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam waktu 3-8 minggu.
Beberapa kasus menetap hingga 3 bulan. Kekambuhan diyakini jarang terjadi dan penelitian
telah melaporkan episode kedua hanya terjadi pada 1-3% pasien. Kekambuhan multipel (>2)
dianggap sebagai presentasi yang sangat jarang dari kondisi yang sangat umum ini..
Prognosis pitiriasis rosea baik secara quo ad vitam, quo ad functionam, dan quo ad
sanationam adalah bonam.1,8

RINGKASAN
Pitiriasis rosea adalah self-limitting disease berupa gangguan papuloskuamosa akut. Pitiriasis
rosea dikarakteristikkan dengan lesi awal berupa plak atau patch tunggal (primary, herald
patch) diikuti patch oval berskuama pada badan dan ekstremitas proksimal dengan gambaran
Christmas-tree pattern. Perkiraan kejadian pitiriasis rosea sebesar 0,5 – 2% di dunia dengan
rentang usia puncak 15 – 30 tahun dan rasio perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan
laki-laki. Etiologi pitiriasis rosea masih belum diketahui dan diduga berkaitan dengan
reaktivasi HHV-6 dan HHV-7. Diagnosis pitiriasis rosea dapat dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik, dan biasanya tidak memerlukan pemeriksaan penunjang kecuali
manifestasi klinis pitiriasis rosea meragukan atau merupakan pitiriasis rosea atipikal.
Pitiriasis rosea bersifat self-limiting disease sehingga pengobatannya biasanya hanya bersifat
suportif dan simptomatik. Prognosis pitiriasis rosea baik karena tidak menimbulkan
komplikasi yang serius dan dapat sembuh spontan.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Triestianawati W. Ptiriasis rosea. Dalam: Menaldi SLS, Bramono K,


Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2017. h.225–7.
2. Litchman G, Nair PA, Le, JK. Pityriasis Rosea. J. Dermatolog Treat. 2022; h. 617-
622

3. Clark M, Gudjonsson JE. Ptyriasis rosea. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology.
Edisi ke-9. New York: McGraw Hill Education;2019. h. 518–25.

4. Bolognia JL, Scaffer JV, Duncan KO, Ko CJ, penyunting. Dermatology Essentials.
Edisi ke-2. Elsevier, Philadelphia, PA;2022. h. 75.

5. Griffiths CEM, Bleiker TO, Creamer D, Ingram JR, Simpson RC, penyunting. Rook’s
Dermatology Handbook. Edisi ke-1. John Wiley & Sons Ltd;2022. h. 41-42.

6. Nagar, Rahul & Khare, Sanjay & Sengar, Suneel. Clinico-epidemiological study of
pityriasis rosea in children. Int. j. med. res. 2015. h. 1339-44.

7. James DW, Elstson DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM, penyunting.
Andrew Disease of The Skin : Clinical Dermatology. Edisi ke-13. Elseivier,
Philadelphia, PA; 2020. h. 205-206.

8. Mahajan K, Relhan V, Relhan AK, Garg VK. Pityriasis Rosea: An Update on


Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects. Indian J. Dermatol. 2016;
61(4), h. 375–384.

9. Leung AKC, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Pitiriasis rosea: an updated review. Curr
Pediatr Rev. 2020;17(3):201–11.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venerologi Indonesia. Jakarta:
PERDOSKI; 2021. h.48-51.
11. Hoeger P, Kinsler V, Yan A, editor. Harper’s Textbook of Pediatric Dermatology.
Edisi ke-4. Blackwell Publishing Ltd; 2020. h. 416-418.
11
12. Singh P, Kumar J, Hulmani M, Resident J. The clinico-pathological and dermascopic
study on pitiriasis rosea. Acta Sci. Derm. Venereol. 2021;108(17):1910-8.
13. Lebwohl MG, Heymann WR, Coulson IH, Murrel DF, penyunting. Treatmen of Skin
Disease : Comprehensive Theurapeutic Strategies. Edisi ke-6. Elseivier, Philadelphia,
PA; h. 654-657.

12

Anda mungkin juga menyukai