FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 1
Seorang perempuan 19 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran
menurun sekitar 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 40x/menit,
pernapasan 10x/menit, temperature 37 C. Evaluasi kesadaran penderita hanya
menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Nampak jejas pada
pelipis kanan. Saat diantar ke Puskesmas oleh warga, penderita sempat berbicara
dengan baik.
KATA SULIT
-
KATA KUNCI
1. Perempuan, 19 tahun
2. Kesadaran menurun 1 jam setelah kecelakaan lalu lintas
3. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg (Hipertensi Grade 1)
- Nadi : 40x/menit (Bradikardi)
- Pernapasan : 10x/menit (Bradipnea)
- Suhu : 37 C (Normal)
4. Mengeluarkan suara merintih, dan rangsang nyeri membuka mata, dan
hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri
5. Tampak jejas di pelipis kanan
6. Berbicara dengan baik saat diantar ke Puskesmas oleh warga
PERTANYAAN
1. Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala
penurunan kesadaran?
2. Apa yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran sesuai dengan
skenario?
3. Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun!
4. Jelaskan bagaimana penanganan awal yang diberikan pada pasien sesuai
dengan skenario!
5. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal?
6. Jelaskan syarat evakuasi korban!
7. Apa perspektif islam yang sesuai?
JAWABAN PERTANYAAN
C. Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, ini juga merupakan skala
yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih
sederhana daripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat,
penolong pertama dan kru ambulans. Skala AVPU adalah metode cepat
untuk menilai LOC (Level Of Consciousness). LOC pasien dilaporkan
sebagai A, V, P, atau U. Empat unsur yang diuji.
1) Alert – jika pasien spontan dan langsung merespon secara tepat
terhadap pertanyaan paramedis.
2) Verbal - jika pasien merespon terhadap perintah, yang mungkin hanya
berupa suara erangan.
3) Pain - jika pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri.
4) Unresponsive - jika pasien tidak memberi respon.
3. Fisiologi Kesadaran
Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau
neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan
potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara
kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses
biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron
tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban
kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan
kesadaran.5
Patofisiologi Kesadaran Menurun
2. Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh
pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau
molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.
3. Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan
thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal
atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera
aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).
2. Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana
neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
3. Lebih jarang terjadi.
4. Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi
arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic
injury.5
2) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan
intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai
sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar
serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam
dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari
struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal
yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di
seluruh hemisfer.
3) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular
batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas
4) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi
seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak
kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan
neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu
bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya
gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma
kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak
kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial. 7
Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak
ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika
batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan
serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel.
Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal
somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada
area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera
akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.5
Primary Survey
Airway
a. Penilaian
b. Permasalahan
1. Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis (stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen
saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total
c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala
sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat
dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang
leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan
kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih
dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-
satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong
yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift
maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala
dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah
bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan
jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus
mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus
dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.
Heimlich Maneuver
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
Finger sweep
Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan
pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
Oropharingeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan
airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang
yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada
pasien yang sadar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi.
Pasien yang dapat mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar
membutuhkan intubasi.
Nasopharyngeal Airways
Breathing
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan
mengambil langkah-langkah berikut:
1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding
dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest
dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya
harus dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat,
takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya
ventilasi yang adekuat.
b. Permasalahan
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas.
Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma mengenai
abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah menderita
gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup.
Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory distress syndrome,
ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok, sepsis.
c. Penanganan
Mouth to Mouth
Mouth to Nose
Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari
mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karena
memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat
masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2 teknik yang mungkin untuk
menggunakan masker mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala
korban (cephalic technique). Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat
adalah diposisikan di samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.
Circulation
a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta, perdarahan.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar belum
tentu normo-volemik). Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia.
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
b. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah
syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu
banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti jantung adalah:
tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah
besar karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada
semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini.
Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia
dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada
walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak ada cadangan nyata oksigen di
dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas
bahwa tidak semua oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik.
Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis
terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali
secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu,
henti jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk
mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi meliputi
control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup
dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat
dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan
cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang
itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse darah
didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk
mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume intravaskuler.
Chest Compression
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah perbaikan:
1. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:
2. Fungsi kardiovaskular
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan kuat
dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah kembali normal,
maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler, ginjal,
dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni :
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan
tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka
kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi,
sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara
klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena hambatan
pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak dapat mengatasi
kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan yang
keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat untuk memenuhi titik
kritis dari kebutuhan daerah serebral.
1) Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga thorax maka
tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan.
2) Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak akan dapat
memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral.
3) Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary arrest.
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5 jam
jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling sedikit 30
menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara klinis
terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap sebagai
indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
a. Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
b. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi. Setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.
D. Disability
E. Exposure
5. Secondary Survey
ANAMNESIS
A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta)Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)
PEMERIKSAAN FISIK
1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani
diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di
mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari
cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral
(C1-C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari
pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks,
pneumothoraks, dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan
intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau
laparatomi cito harus segera diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan
adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan
adanya fraktur pelvis.
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan
spinal levels.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang
bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG,
radiologi, dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada
umumnya meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar
hemoglobin, hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya
dapat dikerjakan di rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum,
pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin
lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah.
Pada kasus tertentu (meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal)
diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan
serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada
CT Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati
otak (brain death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak
(GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma
metabolik pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala.
Dalam kasus demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik
lebih bermanfaat. Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis
dan riwayat sebelumnya.
RE-EVALUASI
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus
menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat
ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi
urin orang dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam.
Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal
CO2 monitoring. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan
opiate atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra
muscular.
TERAPI DEFINITIF
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai.
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria.
Apabila keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah
sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien
FARMAKOLOGI
Tujuan utama dari perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
apabila sel saraf otak diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya apabila saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian. Adapun obat-obatan yang dapat digunakan:8,9,10
1) Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemia. Cairan yang dianjurkan, yaitu cairan larutan garam fisiologis atau
”RL” (Ringer’s Lactate). Kadar natrium dan serum juga harus dipertahankan
dalam batas normal.
2) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada penderita-penderita
dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak
hipotensi
3) Flurosemid
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5
mg/kg BB, secara intravena.
4) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah. Karen itu
obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi.
1) Adrenalin (epinephrine)
Farmakodinamik:
Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan
menghilangkan bronkospasme. Pada jantung paru, adrenalin merangsang reseptor
α agar terjadi vasokonstriksi perifer dan merangsang reseptor di jantung agar
pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah ke miokard
menjadi lebih baik. Adrenalin mengubah “fine ventricular fibrillation” menjadi
“corse ventricular fibrillation” yang lebih mudah disembuhkan dengan defibrilasi
(DC syok).
Sediaan:
Pada pasien dengan syok ringan, dosis diberikan 0.3-0.5 mg secara subkutan
dalam larutan 1:1000. Pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau
ditingkatkan 0.5-1 mg. Inhalasi ephinephrin adalah larutan tidak steril 1% HCl tu
2% epi bitartat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) untuk mengatasi
bronkonstriksi (bronkospasme). Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0.5-1 mg
dalam larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya pendek.
2) Ephedrine
Farmakodinamik:
Efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada pemberian oral,
potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang. Ephedrine
merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada
reseptor adrenergic dan secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran
katekolamin.
Sediaan:
Untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau depresi
halotan diberikan ephedrin dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV.
3) Dopamin
Farmakodinamik:
Dopamin dipakai untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada syok
septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi jantung. Sebelum diberikan pada
penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi terlebih dahulu.
Sediaan:
Dosis dopamin dimulai dari 2-5 g/kgBB/menit, 5-10 g/kgBB/menit, sampai
>10 g/kgBB/menit. Dosis tersebut memberikan efek yang berbeda.
4) Atropin
Farmakodinamik:
Atropin menghambat pengaruh N.Vagus pada SA node. Dapat meningkatkan
denyut nadi pasien sinus bradikardia atau blok AV derajat 1 atau 2.
Sediaan:
Sediaan atropin yaitu 0.25 dan 0.5 mg tablet dan suntikan. Untuk bayi dan anak-
anak diberikan 0.01 mg/kgBB karena mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis.
5) Lidokain
Farmakodinamik:
Lidokain merupakan obat pilihan aritmia ventrikuler, efeknya segera dan masa
kerjanya pendek.
Sediaan:
Dosis untuk penyuntikan intravena 1-1.5 mg kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan dalam tetesan infus 15-50 g/kgBB/menit.
6) Cedilanid
Farmakodinamik:
Obat ini digunakan untuk pasien tachyarythmia supraventricular dan kegagalan
jantung kongestif.
Sediaan:
Dosis digitalisasi jumlah totalnya 0.8-1.6 mg IV, dibagi 4 kali pemberian selang 6
jam, diikuti dosis pemeliharaan 0.2 mg IM tiap 12 jam.8,9,10
6. Syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita
dengan penurunan kesadaran
Rujukan
1) Rujukan dilaksanakan jika tindak lanjut penanganan terhadap pasien
tidak memungkinkan untuk dilakukan di Puskesmas Klinik/tempat
praktik mandiri Dokter dan Dokter Gigi/ tenaga kesehatan karena
keterbatasan sumberdaya.
2) Sebelum Pasien dirujuk, terlebih dahulu dilakukan koordinasi dengan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dituju mengenai kondisi Pasien, serta
tindakan medis yang diperlukan oleh Pasien.
3) Proses pengiriman Pasien dilakukan bila kondisi Pasien stabil,
menggunakan ambulans Gawat Darurat atau ambulans transportasi yang
dilengkapi dengan penunjang resusitasi, didampingi oleh tenaga
kesehatan terlatih untuk melakukan tindakan resusitasi dan membawa
surat rujukan. Bagi tempat praktik mandiri Dokter dan Dokter
Gigi/tenaga kesehatan, penyediaan ambulans dilaksanakan berkoordinasi
dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan rujukan atau PSC 119.
Persiapan Rujukan
Persiapan yang harus dilakukan sebelum merujuk adalah :
1) Persiapan tenaga kesehatan, pastikan pasien dan keluarga didampingi
oleh minimal dua tenaga kesehatan (dokter dan/atau perawat) yang
kompeten.
2) Persiapan keluarga, beritahu keluarga pasien tentang kondisi terakhir
pasien, serta alasan mengapa perlu dirujuk. Anggota keluarga yang lain
harus ikutmengantar pasien ke tempat rujukan.
3) Persiapan surat, beri surat pengantar ke tempat rujukan, berisi identitas
pasien,alasan rujukan, tindakan dan obat–obatan yang telah diberikan
pada pasien.
4) Persiapan Alat,bawa perlengkapan alat dan bahan yang diperlukan.
5) Persiapan Obat, membawa obat–obatan esensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk.
6) Persiapan Kendaraan, persiapkan kendaraan yang cukup baik, yang
memungkinkan pasien berada dalam kondisi yang nyaman dan dapat
mencapai tempat rujukansecepatnya.Kelengkapan ambulance, alat, dan
bahan yang diperlukan.
7) Persiapan uang, ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah
cukup untuk membeli obat-obatan dan bahan kesehatan yang diperlukan
di tempatrujukan.
8) Persiapan donor danar, siapkan kantung darah sesuai golongan darah
pasien atau calon pendonor darah dari keluarga yang berjaga – jaga dari
kemungkinan kasus yang memerlukan donor darah
Gambar 1
b. Memindahkan pasien dengan tarikan Selimut atau alas
1) Atur brankar dalam posisi terkunci pada tiap sisinya dan dekatkan
dan sejajarkan dengan tempat tidur atau brankar atau stretcher yang
akan digunakan selanutnya.
2) Satu perawat berada disisi tempat tidur, sedangkan posisi dua
perawat yang lain di samping brankar.
3) Gunakan pengalas dibawah tubuh klien untuk media mengangkat
dapat berupa selimut maupun alas brankar
4) Silangkan tangan pasien didepan dada untuk mencegah terjepit
5) Perawat yang berada di sisi tempat tidur siap memegang dan
mendorong pasien
6) Dua perawat lain yang berada di samping brankart memulai aba-aba
secara bersamaan dan mengangkat/ menarik pengalas di bawah
tubuh pasien dan pasien hingga mencapai tempat tidur satunya.
Apabila pasien dalam kondisi cedera berat ataupun fraktur yang luas
maupun memiliki bobot tubuh yang sedikit berlebih anjurkan
minimal terdapat 4 perawat yang masing-masing berada pada sisi
kepala, samping kanan kiri dan kaki.
7) Jauhkan brankar
8) Baringkan pasien ke kiri atau kanan dan tarik pengalas atau selimut.
9) Atur posisi pasien hingga merasa nyaman.
Gambar 2
7. Perpektif Islam
“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut
nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari
Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan
syetan pun akan menjauh darinya.”
(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat yang
telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya
Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan, taqwa dan amal yang
Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan
dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak dari jauhnya bepergian dan
pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah Engkau adalah teman
dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi harta maupun keluarga kami.”
(HR. Muslim).
Daftar Pustaka