Anda di halaman 1dari 46

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 25 September2020

UNIVERSITAS MUSLIM Indonesia

LAPORAN PBL SISTEM KEGAWATDARURATAN


DAN TRAUMATOLOGI MODUL
KESADARAN MENURUN

Tutor: dr. Zulfiyah surdam


KELOMPOK 7

ANDI HERAWATI (110 2017 0021)


RIZQIE HAYYUDIAH NUR (110 2017 0031)
WIDYA ISLAMIYAH TAHIR (110 2017 0036)
GHITA SHUPIYESA. S (110 2017 0040)
ASRAPIA HUBAISYING (110 2017 0049)
MUH. FADIL ASRAR (110 2017 0055)
NURAFNI (110 2017 0065)
A. AYU PRATIWI NZ (110 2017 0076)
NURUL FITRIANA IBRAHIM (110 2017 0084)
MUHAMMAD AFIEF BATARA PUTRA (110 2017 0102)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 1
Seorang perempuan 19 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran
menurun sekitar 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 40x/menit,
pernapasan 10x/menit, temperature 37 C. Evaluasi kesadaran penderita hanya
menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Nampak jejas pada
pelipis kanan. Saat diantar ke Puskesmas oleh warga, penderita sempat berbicara
dengan baik.
KATA SULIT
-
KATA KUNCI
1. Perempuan, 19 tahun
2. Kesadaran menurun 1 jam setelah kecelakaan lalu lintas
3. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg (Hipertensi Grade 1)
- Nadi : 40x/menit (Bradikardi)
- Pernapasan : 10x/menit (Bradipnea)
- Suhu : 37 C (Normal)
4. Mengeluarkan suara merintih, dan rangsang nyeri membuka mata, dan
hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri
5. Tampak jejas di pelipis kanan
6. Berbicara dengan baik saat diantar ke Puskesmas oleh warga
PERTANYAAN
1. Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala
penurunan kesadaran?
2. Apa yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran sesuai dengan
skenario?
3. Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun!
4. Jelaskan bagaimana penanganan awal yang diberikan pada pasien sesuai
dengan skenario!
5. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal?
6. Jelaskan syarat evakuasi korban!
7. Apa perspektif islam yang sesuai?
JAWABAN PERTANYAAN

1. Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala?


Tingkat penurunan kesadaran dapat dinilai secara kualitatif atau secara
kuantitatif.
A. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kualitatif:
1) Compos Mentis yaitu, sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya. pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
2) Apatis yaitu, keadaan dimana pasien tampak segan dan acuk tak acuh
terhadap lingkungannya.
3) Delirium yaitu, penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
4) Somnolen (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia) yaitu, keadaan mengantuk
yang masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti,
pasien akan tertidur kembali.
5) Stupor yaitu, keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik.
6) Semi-Koma (koma ringan) yaitu, penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik.
Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
7) Koma yaitu, penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien secara
kualitatif yaitu masuk dalam kategori Sopor (Stupor).
B. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kuantitatif:
Secara kuantitatif dapat dengan menggunakan skala koma Glasgow
(GCS). Hal-hal yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah reaksi membuka
mata, berbicara dan gerakan/motorik.

Skala Koma Glasgow


Eye Spontan 4
Mengikuti perintah panggilan 3
Reaksi terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri 1
Verbal Berorientasi baik 5
Disorientasi/bingung 4
Tidak sesuai/satu kata saja 3
Tidak dimengerti/suara saja 2
Tidak ada suara sama sekali 1
Motorik Mengikuti perintah/bertujuan 6
Menepis rangsang nyeri 5
Gerakan menghindari nyeri 4
Gerakan fleksi dekortikasi 3
Gerakan esktensi deserebrasi 2
Tidak ada gerakan sama sekali 1
INTERPRETASI -Penurunan kesadaran ringan SKG : 13-15
-Penurunan kesadaran sedang SKG : 9-12
-Penurunan kesadaran berat SKG : 3-8
Berdasarkan scenario, interpretasi GCS pasien yaitu E2M4V2 dengan
jumlah 8. Masuk dalam kategori penurunan kesadaran berat.

C. Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, ini juga merupakan skala
yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih
sederhana daripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat,
penolong pertama dan kru ambulans. Skala AVPU adalah metode cepat
untuk menilai LOC (Level Of Consciousness). LOC pasien dilaporkan
sebagai A, V, P, atau U. Empat unsur yang diuji.
1) Alert – jika pasien spontan dan langsung merespon secara tepat
terhadap pertanyaan paramedis.
2) Verbal - jika pasien merespon terhadap perintah, yang mungkin hanya
berupa suara erangan.
3) Pain - jika pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri.
4) Unresponsive - jika pasien tidak memberi respon.

2. Apa yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran ?


Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi,
baik yang bersifat intracranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan
singkat tentang factor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut.

a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak).


Perdarahan, thrombosis maupun emboli. Mengingat insidensi stroke cukup
tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan
kesadaran perlu digaris bawahi.
c) Infeksi: ensefalo meningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/absesotak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai
suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalo meningitis.
Gangguan metabolisme. Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan
diabetes mellitus sering dijumpai.
d) Neoplasma. Neoplasmaotak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia. Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia
dewasa dan lanjut. Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur
namun progresif/ tidak akut.
e) Trauma kepala. Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan
lalu-lintas.
f) Epilepsi. Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsy umum dan status
epileptikus
g) Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan
bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h) Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan in isering kali tidak
menunjukkan “identitas” nya secara jelas; dengan demikian memerlukan
perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian
penyebab gangguan kesadaran.

Asal Penyebab Penyebab sekunder Lokasi


patologis utama
Intrakranial Vaskuler Hemorragik Intracerebral
Subarachnoid
Subdural
Extradural
Infark
Infeksi Meningitis
Encephalitis
Abses
Tumor Massa efect
Edema serebri
Post epilepsi
Trauma Vaskuler
kepala
Hipoksia
ensefalopaty
Edema serebri
Ekstrakranial kardiovaskuler Syok
Hipertensi berat
Infeksi Septik
Metabolik Hiper/hipoglikemia
Gangguan
elektrolit

3. Fisiologi Kesadaran

Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan


efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran
dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus
menerus terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti
bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari
dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai
respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan
bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status
kesadaran normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau
konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga
berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera
mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi.
Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio
retikularis dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.5

Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak.


Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal
centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan
desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas waspada.
Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan
nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan.
Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi,
yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif
kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul
keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan
kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut.5

Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme


kesadaran pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-
spesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls
protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik
reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras
genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif
primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan
kesadaran yang sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya,
penglihatan, penghiduan atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen
spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena
penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuron-
neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti
intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung
secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk
memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh
korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada
seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah
otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus,
yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri.5

Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau
neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan
potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara
kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses
biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron
tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban
kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan
kesadaran.5
Patofisiologi Kesadaran Menurun

Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat


dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya
mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak
langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak
fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.7

a. Disfungsi otak difus

1. Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.

2. Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh
pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau
molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.

3. Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan
thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal
atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera
aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).

4. Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik


sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral
ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.

5. Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan


penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.7

b. Efek langsung pada batang otak

1. Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat


reticular activating system.

2. Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana
neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
3. Lebih jarang terjadi.

4. Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi
arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic
injury.5

c. Efek kompresi pada batang otak

1) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah

2) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan
intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai
sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar
serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam
dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari
struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal
yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di
seluruh hemisfer.

3) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular
batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas

4) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi
seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.

Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:

1. Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron


pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.

2. Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi


supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan
tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara
pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti
intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii
dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat
sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio
melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma. 7

Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak
kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan
neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu
bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya
gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma
kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak
kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial. 7

Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik


yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi
sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang
menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi),
biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang
otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua
hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat
kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara
berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya
bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan
letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma. 7

Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak
ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika
batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan
serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel.
Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal
somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada
area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera
akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.5

4 Bagaimana penanganan awal pada pasien sesuai dengan skenario ?

Primary Survey

Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan,


tanda- tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi
diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan
efisien. Pengelolaan pasien berupa primary surv ey yang cepat dan kemudian
resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan
ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:

1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)


2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability: status neurologis
5. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia

Airway

a. Penilaian

Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan langkah-


langkah berikut:

1. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,


agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran member kesan
adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku da sekitar mulut.
Retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.
2. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi
(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau
(hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang
melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia
dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.
3. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di
tengah

b. Permasalahan

1. Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis (stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen
saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total

c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala
sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat
dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang
leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan
kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih
dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.

Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin


jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver), airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau
nasopharyngeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka
airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu,
selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris
(inline immobilization).

Head tilt/chin lift maneuver

Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-
satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong
yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift
maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala
dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah
bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.

Jaw Trhust Manuever

Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan
jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus
mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus
dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.

Heimlich Maneuver

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya


karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi saluran
napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan asfiksia dan
merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien sering
tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat
menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama
tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut
dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien
dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu
memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga
diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih
dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat
mengeluarkan benda asing.
Back Blows

Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.

Finger sweep

Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian


atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban dengan
memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari. Penyelamat
kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari mulut korban dengan
jari.

Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan
pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
Oropharingeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan
airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang
yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada
pasien yang sadar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi.
Pasien yang dapat mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar
membutuhkan intubasi.

Nasopharyngeal Airways

Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan


dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan jelly.
Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung
yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway,
hentikan dan coba melalui lubang hidung yang lainnya.

Breathing

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk


pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal. Airway
yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga mempunyai
adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari ventilasi yang tidak
adekuat.
a. Penilaian

Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan
mengambil langkah-langkah berikut:

1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding
dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest
dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya
harus dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat,
takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya
ventilasi yang adekuat.

b. Permasalahan

Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh


gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan saraf
pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab
lain harus dicari. Trauma langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma
tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan menyebabkan
pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien lanjut usia yang
mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru mempunyai resiko
bermakna untuk mengalami gagal napas pada keadaan ini.

Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal dan


mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan pernapasan
diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang
meningkat menjadi terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan
nervus frenikus menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot
intercostal. Bantuan ventilasi mungkin dibutuhkan.

Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas.
Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma mengenai
abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah menderita
gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup.
Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory distress syndrome,
ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok, sepsis.

c. Penanganan

Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan


oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan
udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube
masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka
panjang sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan
trakeostomi.

Mouth to Mouth

Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban


harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan
napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan
menekan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh
mulut korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat
pengembangan dada. Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui
dengan melihat pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan lambat,
tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban.
Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1 nafas
setiap 4 sampai 5 detik).

Mouth to Nose

Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian


napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka
yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau
mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.

Mouth to Mask

Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari
mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karena
memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat
masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2 teknik yang mungkin untuk
menggunakan masker mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala
korban (cephalic technique). Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat
adalah diposisikan di samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.

Bag Valve Mask

Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag


Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk
memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut
dan hidung penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang
penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan
menempelkan sungkup di wajah korban dan penolong lain memegang bagging.
Teknik ventilasi bag v alv e mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat
harus dapat menggunaka npera lata n secara efektif dalam berbagai situasi.

Circulation

Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi


hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga
keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda henti
jantung muncul.

a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta, perdarahan.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar belum
tentu normo-volemik). Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia.
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-kanan),


untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur
biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-
blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun
dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan
bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda
gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac
output.

b. Permasalahan

Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah
syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu
banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti jantung adalah:
tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah
besar karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada
semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini.
Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia
dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada
walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak ada cadangan nyata oksigen di
dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas
bahwa tidak semua oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik.
Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis
terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali
secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu,
henti jantung klinis harus ditangani segera.

c. Penanganan

Syok

Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan


hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia. Sebagai
tambahan, kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik memberikan respon
yang singkat terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang penting untuk
memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut. Perubahan-perubahan ini
dapat menunjukkan adanya perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman
terapi awal. Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien
terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi
perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi
kodisi syok. Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian
volume darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera
yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-data awal
penting untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-tanda vital,
produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi
memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.

Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk
mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi meliputi
control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup
dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat
dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan

Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan
cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang
itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse darah
didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk
mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume intravaskuler.

Chest Compression

Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus


mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus
melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam
keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam
untuk memeriksa pernapasan pasien serta langkah-langkah CPR
(cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan. Setelah melakukan panggilan
darurat, semua tim penolong harus segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di
bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau
tidak bernapas normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan
sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan tekanan
intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini menghasilkan aliran darah dan
pengiriman oksigen ke miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif sangat
penting untuk mengembalikan aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini semua
pasien dalam. serangan jantung harus menerima kompresi dada. Tim penyelamat
harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam
kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi per menit. Rasio kompresi-
ventilasi 30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.

Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi


kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan yang
dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2
ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung
pada penekanan dada. Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban
pada permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan
penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di samping tempat tidur.
Karena tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan
penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap penggunaan papan selama
CPR. Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada
korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang
tindih dan paralel.

Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push


hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam dan
kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal 100
kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim
penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula
(recoil) disetiap pemberian satu kali kompresi, untuk memungkinkan jantung
untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya.
Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik yang
berbeda. Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik kompresi dada
dengan mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis antara kedua puting susu
dengan ratio kompresi-ventilasi (30:2). Disarankan untuk melakukan kompresi
pada bayi dengan dua penolong. Pada teknik ini penolong memegang badan bayi
dengan kedua tangannya dan menempatkan kedua ibu jari intermammary line
dengan ratio kompresi-ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi dilakukan kurang
lebih 100 kali per menit secara cepat dan kuat dengan kedalaman kompresi 4cm.

Indikasi Pengakhiran Resusitasi

a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi

Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:

1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang


dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan cerebral,
maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain:
2. Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik dan
bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
3. Refleks pupil
4. Reflex air mata
5. Struggling (meronta-ronta)
5. Tonus otot meningkat

Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah perbaikan:
1. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:

a. Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau


pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi

2. Fungsi kardiovaskular
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan kuat
dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah kembali normal,
maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler, ginjal,
dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.

b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi

Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni :

1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan
tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka
kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi,
sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara
klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena hambatan
pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak dapat mengatasi
kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan yang
keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat untuk memenuhi titik
kritis dari kebutuhan daerah serebral.
1) Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga thorax maka
tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan.
2) Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak akan dapat
memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral.
3) Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary arrest.

c. Penghentian Tindakan resusitasi

1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5 jam
jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling sedikit 30
menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara klinis
terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap sebagai
indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
a. Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
b. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi. Setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.

D. Disability

1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU


2. Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –
tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
Pada skenario :
1) E2M4V2 (Stupor)

E. Exposure

1. Buka pakaian penderita


2. Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.

5. Secondary Survey

Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe


examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru
dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC-
nya penderita dipastikan membaik. Pada secondary surveyini dilakukan
pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum
dilaksanakan dalam survey primer, pada kasus ini perlu diperhatikan pula tanda
lateralisasi, dan reaksi pupil untuk mendeteksi kemunduran neurologi sedini
mungkin . Pada secondary survey ini juga dilakukan pemeriksaan radiologi yg
diperlukan.. Evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan
pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita memerlukan pemeriksaan
berulang-ulang.8,9,10

ANAMNESIS

A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta)Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)
PEMERIKSAAN FISIK

1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani
diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di
mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari
cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral
(C1-C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari
pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks,
pneumothoraks, dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan
intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau
laparatomi cito harus segera diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan
adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan
adanya fraktur pelvis.
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan
spinal levels.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang
bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG,
radiologi, dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada
umumnya meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar
hemoglobin, hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya
dapat dikerjakan di rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum,
pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin
lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah.
Pada kasus tertentu (meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal)
diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan
serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada
CT Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati
otak (brain death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak
(GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma
metabolik pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala.
Dalam kasus demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik
lebih bermanfaat. Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis
dan riwayat sebelumnya.

RE-EVALUASI
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus
menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat
ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi
urin orang dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam.
Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal
CO2 monitoring. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan
opiate atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra
muscular.

TERAPI DEFINITIF
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai.
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria.
Apabila keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah
sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien
FARMAKOLOGI
Tujuan utama dari perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
apabila sel saraf otak diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya apabila saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian. Adapun obat-obatan yang dapat digunakan:8,9,10

1) Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemia. Cairan yang dianjurkan, yaitu cairan larutan garam fisiologis atau
”RL” (Ringer’s Lactate). Kadar natrium dan serum juga harus dipertahankan
dalam batas normal.
2) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada penderita-penderita
dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak
hipotensi
3) Flurosemid
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5
mg/kg BB, secara intravena.

4) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah. Karen itu
obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi.

Obat-obatan yang digunakan untuk pasien gawat darurat:

1) Adrenalin (epinephrine)
Farmakodinamik:
Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan
menghilangkan bronkospasme. Pada jantung paru, adrenalin merangsang reseptor
α agar terjadi vasokonstriksi perifer dan merangsang reseptor  di jantung agar
pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah ke miokard
menjadi lebih baik. Adrenalin mengubah “fine ventricular fibrillation” menjadi
“corse ventricular fibrillation” yang lebih mudah disembuhkan dengan defibrilasi
(DC syok).
Sediaan:
Pada pasien dengan syok ringan, dosis diberikan 0.3-0.5 mg secara subkutan
dalam larutan 1:1000. Pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau
ditingkatkan 0.5-1 mg. Inhalasi ephinephrin adalah larutan tidak steril 1% HCl tu
2% epi bitartat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) untuk mengatasi
bronkonstriksi (bronkospasme). Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0.5-1 mg
dalam larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya pendek.

2) Ephedrine
Farmakodinamik:
Efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada pemberian oral,
potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang. Ephedrine
merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada
reseptor adrenergic dan secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran
katekolamin.
Sediaan:
Untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau depresi
halotan diberikan ephedrin dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV.

3) Dopamin
Farmakodinamik:
Dopamin dipakai untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada syok
septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi jantung. Sebelum diberikan pada
penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi terlebih dahulu.
Sediaan:
Dosis dopamin dimulai dari 2-5 g/kgBB/menit, 5-10 g/kgBB/menit, sampai
>10 g/kgBB/menit. Dosis tersebut memberikan efek yang berbeda.

4) Atropin
Farmakodinamik:
Atropin menghambat pengaruh N.Vagus pada SA node. Dapat meningkatkan
denyut nadi pasien sinus bradikardia atau blok AV derajat 1 atau 2.
Sediaan:
Sediaan atropin yaitu 0.25 dan 0.5 mg tablet dan suntikan. Untuk bayi dan anak-
anak diberikan 0.01 mg/kgBB karena mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis.

5) Lidokain
Farmakodinamik:
Lidokain merupakan obat pilihan aritmia ventrikuler, efeknya segera dan masa
kerjanya pendek.
Sediaan:
Dosis untuk penyuntikan intravena 1-1.5 mg kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan dalam tetesan infus 15-50 g/kgBB/menit.

6) Cedilanid
Farmakodinamik:
Obat ini digunakan untuk pasien tachyarythmia supraventricular dan kegagalan
jantung kongestif.
Sediaan:
Dosis digitalisasi jumlah totalnya 0.8-1.6 mg IV, dibagi 4 kali pemberian selang 6
jam, diikuti dosis pemeliharaan 0.2 mg IM tiap 12 jam.8,9,10
6. Syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita
dengan penurunan kesadaran
Rujukan
1) Rujukan dilaksanakan jika tindak lanjut penanganan terhadap pasien
tidak memungkinkan untuk dilakukan di Puskesmas Klinik/tempat
praktik mandiri Dokter dan Dokter Gigi/ tenaga kesehatan karena
keterbatasan sumberdaya.
2) Sebelum Pasien dirujuk, terlebih dahulu dilakukan koordinasi dengan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dituju mengenai kondisi Pasien, serta
tindakan medis yang diperlukan oleh Pasien.
3) Proses pengiriman Pasien dilakukan bila kondisi Pasien stabil,
menggunakan ambulans Gawat Darurat atau ambulans transportasi yang
dilengkapi dengan penunjang resusitasi, didampingi oleh tenaga
kesehatan terlatih untuk melakukan tindakan resusitasi dan membawa
surat rujukan. Bagi tempat praktik mandiri Dokter dan Dokter
Gigi/tenaga kesehatan, penyediaan ambulans dilaksanakan berkoordinasi
dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan rujukan atau PSC 119.

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan


Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk.
Adapun Kriteria pasien yang dirujuk adalah apabila memenuhi salah satu dari
:
1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi.
2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata
tidak mampu diatasi.
3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi
pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan.
4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.
Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak
yang terlibat yaitu pihak yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan
dengan rincian beberapa prosedur sebagai berikut :
1. Prosedur standar merujuk pasien
2. Prosedur standar menerima rujukan pasien
3. Prosedur standar memberi rujukan balik pasien
4. Prosedur standar menerima rujukan balik pasien

Prosedur standar merujuk pasien


a. Prosedur klinis
(1) Melakukan anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
medik untuk menentukan diagnosa utama dan diagnosa banding.
(2) Memberikan tindakan pra rujukan sesuai kasus
(3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan
(4) untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas
medis/paramedis yang berkompeten dibidangnya dan mengetahui
kondisi pasien
(5) apabila pasien diantar dengan kendaraan puskesmas keliling atau
ambulans, agar petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di IGD
tujuan sampai ada kepastian pasien tersebut mendapat pelayanan dan
kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.
b. Prosedur Administratif
(1) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan
(2) Membuat catatan rekam medis pasien
(3) Memberi informed consent (persetujuan / penolakan rujukan)
(4) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2 lembar pertama dikirim ke
tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua
disimpan sebagai arsip.Mencatat identitas pasien pada buku regist
rujukan pasien.
(5) Menyiapkan sarana transportasi dan sedapat mungkin menjalin
komunikasi dengan tempat rujukan.
(6) Pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah diselesaikan
administrasi yang bersangkutan.

Persiapan Rujukan
Persiapan yang harus dilakukan sebelum merujuk adalah :
1) Persiapan tenaga kesehatan, pastikan pasien dan keluarga didampingi
oleh minimal dua tenaga kesehatan (dokter dan/atau perawat) yang
kompeten.
2) Persiapan keluarga, beritahu keluarga pasien tentang kondisi terakhir
pasien, serta alasan mengapa perlu dirujuk. Anggota keluarga yang lain
harus ikutmengantar pasien ke tempat rujukan.
3) Persiapan surat, beri surat pengantar ke tempat rujukan, berisi identitas
pasien,alasan rujukan, tindakan dan obat–obatan yang telah diberikan
pada pasien.
4) Persiapan Alat,bawa perlengkapan alat dan bahan yang diperlukan.
5) Persiapan Obat, membawa obat–obatan esensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk.
6) Persiapan Kendaraan, persiapkan kendaraan yang cukup baik, yang
memungkinkan pasien berada dalam kondisi yang nyaman dan dapat
mencapai tempat rujukansecepatnya.Kelengkapan ambulance, alat, dan
bahan yang diperlukan.
7) Persiapan uang, ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah
cukup untuk membeli obat-obatan dan bahan kesehatan yang diperlukan
di tempatrujukan.
8) Persiapan donor danar, siapkan kantung darah sesuai golongan darah
pasien atau calon pendonor darah dari keluarga yang berjaga – jaga dari
kemungkinan kasus yang memerlukan donor darah

Jenis-Jenis Dari Transportasi Pasien


Transportasi pasien pada umumnya terbagi atas dua yaitu Transportasi gawat
darurat dan kritis.
a. Transportasi Gawat Darurat
Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila
diduga patah tulang belakang) penderita dapat diangkut ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan dilakukan Survey Primer, Resusitasi jika perlu.
b. Transportasi Pasien Kritis
Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau
lebih system tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring
dan terapi. Transport intra hospital pasien kritis harus mengikuti
beberapa aturan, yaitu:
1. Koordinasi sebelum transport
• Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah
siap untuk menerima pasien tersebut serta membuat rencana
terapi.
• Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi
antar dokter dan perawat juga harus terjalin mengenai situasi
medis pasien.
• Tuliskan dalam rekam medis kejadian yang berlangsung
selama transport dan evaluasi kondisi pasien.
2. Peralatan untuk menunjang pasien
• Transport monitor
• Blood presure reader
• Sumber oksigen dengan kapasitas prediksi transport, dengan
tambahan cadangan 30 menit
• Ventilator portable, dengan kemampuan untuk menentukan
volume/menit, pressure FiO2 of 100% and PEEP with
disconnection alarm and high airway pressure alarm.
• Mesin suction dengan kateter suction
• Obat untuk resusitasi: adrenalin, lignocaine, atropine dan
sodium bicarbonate
• Cairan intravena dan infuse obat dengan syringe atau pompa
infuse dengan baterai
• Pengobatan tambahan sesuai dengan resepobat pasien tersebut
3. Monitoring selama transport.
Tingkat monitoring dibagi sebagai berikut:
Level 1= wajib, Level 2= Rekomendasi kuat, Level 3= ideal
• Monitoring kontinue: EKG, pulse oximetry (level 1)
• Monitoring intermiten: Tekanan darah, nadi, respiratory rate
(level 1 pada pasien pediatri, Level 2 pada pasien lain).

Teknik/prosedur Memindahkan Pasien


a. Memindahkan pasien dari brankar ke Tempat Tidur /sebaliknya
1) Menjelaskan prosedur pemindahan
2) Atur brankar / Tempat Tidur dalam kondisi terkunci
3) Berdiri di sisi kanan atau kiri pasien
4) Kemudian masukkan tangan ke bawah tubuh pasien
5) Silangkan tangan pasien di atas dada
6) Pasien diangkat oleh sekurang-kurangnya 2 - 3 orang perawat (sesuai
kebutuhan)
7) Ketiga perawat berdiri disisi sebelah kanan pasien :
 Perawat I (paling tinggi) dan berdiri di bagian kepala sebagai
pemberi istruksi).
 Perawat II berdiri di bagian pinggang
 Perawat III berdiri di bagian kaki
8) Lengan kiri perawat I berada di bawah kepala/leher dan pangkal
lengan pasien,dan lengan kanan dibawah punggung pasien
9) Lengan kiri perawat II dibawah pinggang pasien, lengan kanan
dibawah bokong pasien.
10) Kedua lengan perawat III mengangkat seluruh tungkai pasien.
11) Setelah siap, salah seorang perawat memberi aba-aba untuk bersama-
sama mengangkat pasien.
12) Dengan langkah bersamaan, berjalan menuju ke tempat tidur /
brankar yang telah disiapkan.
13) Setelah pasien berada di atas TT/brankar, posisi pasien diatur, selimut
dipasang atau dirapikan.

Gambar 1
b. Memindahkan pasien dengan tarikan Selimut atau alas
1) Atur brankar dalam posisi terkunci pada tiap sisinya dan dekatkan
dan sejajarkan dengan tempat tidur atau brankar atau stretcher yang
akan digunakan selanutnya.
2) Satu perawat berada disisi tempat tidur, sedangkan posisi dua
perawat yang lain di samping brankar.
3) Gunakan pengalas dibawah tubuh klien untuk media mengangkat
dapat berupa selimut maupun alas brankar
4) Silangkan tangan pasien didepan dada untuk mencegah terjepit
5) Perawat yang berada di sisi tempat tidur siap memegang dan
mendorong pasien
6) Dua perawat lain yang berada di samping brankart memulai aba-aba
secara bersamaan dan mengangkat/ menarik pengalas di bawah
tubuh pasien dan pasien hingga mencapai tempat tidur satunya.
Apabila pasien dalam kondisi cedera berat ataupun fraktur yang luas
maupun memiliki bobot tubuh yang sedikit berlebih anjurkan
minimal terdapat 4 perawat yang masing-masing berada pada sisi
kepala, samping kanan kiri dan kaki.
7) Jauhkan brankar
8) Baringkan pasien ke kiri atau kanan dan tarik pengalas atau selimut.
9) Atur posisi pasien hingga merasa nyaman.

Gambar 2

7. Perpektif Islam

“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut
nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari
Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan
syetan pun akan menjauh darinya.”
(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat yang
telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya
Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan, taqwa dan amal yang
Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan
dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak dari jauhnya bepergian dan
pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah Engkau adalah teman
dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi harta maupun keluarga kami.”
(HR. Muslim).
Daftar Pustaka

1 Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar


Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara :
Jakarta. 2011.
3. Aryamehr Syahyad, Dr. Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Makassar
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesi FK UNHAS ; 2003.h.1-40.
4. Farzaneh A, Sorond. “Does hypertension affect cerebral blood-flow auto
regulation?” J Neural Sci[internet]. 2002 [diakses tanggal 15 april
2016]; 1(1).
5. Buku Ajar Neurologi Fakulta Kedokteran Universitas Hasanuddin.
6. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
2018. “ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The
Committee on Trauma: American College of Surgeons.
7. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
8. Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar
Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
9. American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS
Pusat. 2006.
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140.
11. Menteri Kesahtan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan
Kegawatdaruratan. Jakarta : 2018.
12. Buana KR. 2014. Sistem Rujukan Penyakit Kulit Dan Kelamin Di Pusat
Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Dionegoro.
13. Suarningsih Ni K.A. 2017. Pelaksanaan Teknik Memindahkan Pasien
Trauma. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
14.

Anda mungkin juga menyukai