Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN KASUS
Asuhan Keperawatan pada Tn. B dengan Open Fraktur Cruris + Osteomyelitis
Tibia Dekstra on Exfix di Ruang Gedung Prof. Soelarto lt. 1 RS Fatmawati

Disusun Oleh : Kelompok II


RS Fatmawati

Edianto 1606859361
Chairul Huda Al Husna 1606947276
Sinta Wijayanti 1606947692

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK
NOVEMBER, 2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses keperawatan merupakan metode pendekatan yang digunakan dalam


ilmu keperawatan sebagai upaya dalam membantu klien untuk mencapai
derajat kesehatan setinggi-tingginya. Melalui proses ini ilmu dan
keterampilan keperawatan akan diterapkan, dengan memberikan bantuan
pada kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dipenuhi klien secara
mandiri. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang serba berkebutuhan,
sehingga secara naluriah akan berusaha mencukupi apa yang sedang
dibutuhkan bukan apa yang diinginkan. Ketidak adekuatan akan suplai
kebutuhan dasar tersebut akan menghasilkan respon yang bermacam-macam
pada setiap individu, hal ini lah yang disadari oleh Sister Callista Roy sebagai
respon tidak efektif terhadap stimulus yang harus diatasi.

Roy mengembangkan sebuah model adaptasi pada tahun 1984 untuk


menyelesaikan masalh yang timbul akibat munculnya stimulus, dalam
tulisanya dijelaskan bahwa “a stimulus is any factor that provokes any
respone” (Roy dalam Tomey, 2009). Stimulus dapat berasal dari lingkungan
internal maupun dari lingkungan eksternal seseorang, untuk itu tingkatan
adaptasi dibentuk dari dampak tiga stimulus yang dianggap paling
berpengaruh olr Roy, yaitu ; stimulus fokal yaitu hal yg sedang atau akan
segera dihadapi oleh individu, stimulus kontekstual yaitu hal yang
menyebabkan stimulus fokal terjadi, dan stimulus residual yaitu faktor
lingkungan yang efeknya belum jelas pada situasi tertentu.

Level adaptasi dalam teori ini adalah sebagai input yang kemudian akan
dihubungkan dengan mekanisme koping individu untuk diberikan penguatan.
Koping yang efektif akan memberikan dampak pada fungsi kehidupan
seseorang yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi yang diharapkan akan menimbulkan luaran adaptasi yang
adaptif maupun inadaptif. Konsep ini dapat digunakan pada semua klien
dengan berbagai jenis penyakit.

Pada kasus pasien dengan gangguan sistem Muskuloskeletal dan kasus


lainnya, model ini dapat diterapkan mengingat penderita penyakit gangguan
sistem Muskuloskeletal merupakan tantangan yang besar bagi
perawat.Karena setiap sistemorgan berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi
ataupun kangker. Disamping penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi
masalah emosional, sosial, dan etika. Rencana keperawatan penderita harus
disususn secara individu untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien.

Berdasarkan paparan diatas, penulis mempunyai keinginan untuk membahas


penerapan model konsep adaptasi Roy pada klien dengan gangguan sistem
Muskuloskeletal.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum :
Kajian ini untuk memahami penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan sistem Muskuloskeletal (Fraktur) menggunakan
pendekatan model adaptasi Sister Callista Roy
1.2.2 Tujuan Khusus :
1. Menerapkan proses keperawatan pada klien gangguan sistem
Muskuloskeletal dengan menggunakan konsep model adaptasi
Sister Calista Roy

1.3 Manfaat Penulisan


Meningkatkan kemampuan dalam asuhan keperawatan pada kasus gangguan
sistem Muskuloskeletal dengan menggunakan model pengkajian
keperawatan adaptasi Roy.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1.1 PENGERTIAN
Fraktur merupakan rusak atau terputusnya kontinuitas tulang dan
mengakibatkan terganggunya kebutuhan manusia untuk mobilisasi
dan sensasi (Ignatavicius & Workman, 2010). Maher, Salmond &
Pellino (2002) menyebutkan bahwa fraktur adalah keadaan dimana
terputusnya, kontinuitas tulang baik komplit maupun inkomplit.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai dengan jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntur mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim.
(Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.2 JENIS FRAKTUR


1. Berdasarkan garis patah tulang dan Bentuk patah tulang
a. Fraktur greenstick, yaitu fraktur tidak sempurna dan
sering terjadi pada anak-anak. Korteks tulangnya
sebagian masih utuh, demikian juga periosteum. Fraktur
ini akan segerah senmbuh dan akan segera mengalami
remodelingke bentuk dan fungsi normal.
b. Fraktur transversal, adalah fraktur yang garis patahnya
yegak lurus terhadap sumbuh panjang tulang. Pada
fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang di
yang patah direposisi atau direduksi kembali
ketempatnya semula, maka segmen-segmnet itu akan
stabil, dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
c. Fraktur spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi
tungkai/lengan tulang. Fraktur ini timbul akibat torsi
pada ekstremitas. Fraktur ini hanya menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak, dan fraktur semacam
ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
d. Fraktur oblik, yaitu fraktur yang garis patahnya miring
membentuk sudut melintasi tulang. Fraktur ini tidak
stabil dan sulit diperbaiki.

2. Berdasarkan bentuk patah tulangnya


a. Fraktur komplet, adalah patah pada seluruh garis tengah
tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser
dari posisi normal).
b. Fraktur inkomplet, patah hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
c. Fraktur kompresi/impaksi, terjadi ketika dua tulang
menumbuk (akibat tubrukan) tulang ke tiga yang
bearada diantaranya, seperti satu vertebra dengan dua
vertebra lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat
di diagnosis lewat radiogram. Pandangan lateral dari
tulang punggung menunjukan pengurangan
pengurangan tinggi vertical dan sedikit membentuk
sudut pada satu atau beberapa vertebra. Pada orang
muda dapat disertai dengan perdarahan retroperitoneal
yang cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, pasien
dapat secara cepat mengalami syok hipovolemik dan
meninggal jika tidak dilakukan pememriksaan denyut
nadi, tekanan darah dan pernapasan secara akurat, dan
berulang dalam 24 – 48 jam pertama setelah cedera.
Ileus dan retensio urin dapat terjadi pada cedera ini.
d. Fraktur segmental, dua fraktur berdekatan pada satu
tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral
dari suplai darahnya. Fraktur semacam ini sulit
ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki
pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan
keadaan ini mungkin memerlukan pengobatan secara
bedah.
e. Fraktur kominuta, adalah serpihan-serpihan atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua
fragmen tulang.

3 Klasifikasi Fraktur
a. Fraktur tertutup (simple fraktur)
Tidak menyebabkan robeknya kulit.
b. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks)
Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau
membrane mukosa sampai ke patahan tulan. Fraktur
terbuka digradasi menjadi grade I-III.
1) Grade I : dengan luka bersih, kurang dari 1
cm panjangnya
2) Grade II : Luka lebih luas tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, atau
laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi
tidak terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi (terobeknya
secara paksa) kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang jaringan.
3) Grade III : Luka dengan luas 6-8cm dengan
4) Grade III A : Jaringan lunak cukup menutup
tulang yang patah
5) Grade III B : Disertai kerusakan dan kehilangan
jaringan lunak, tulang tidak dapat
ditutup dengan jaringan lunak.
6) Grade III C : Disertai cedera arteri yang
memerlukan repair segera.
2.1.3 MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur
Bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan ;uar biasa)
bukannya tetap rigid (kaku) seperti normalnya. Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lain sampai 2.5 – 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan Krepitus yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dan lainnya. (uji krepitus
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit
terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap


fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear
atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling
terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung
pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera didaerah
tersebut.

2.1.4 PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR


Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
1. Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur Prinsip pertama
adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anannesis,
pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik
yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi
selama pengobatan.
2. Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang &
kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi
tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari
penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian
memanupulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal/dengan
traksi mekanis. 12 Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi
tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat
frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen,
kawat, skrup dan plat. Reduction interna fixation (orif) yaitu
dengan pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang
berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam
fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang
yang fraktur secara bersamaan.
3. Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran
fregmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union.
Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami
fraktur) adalah dengan traksi. Traksi merupakan salah satu
pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-
tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban
keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah
reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,
mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan
mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi
yaitu : skin traksi dan skeletal traksi.
4. Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal
mungkin

2.1.5 PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR


Penyembuhan terjadi melalui regenerasi jaringan bukan dengan
jaringan parut. Proses penyembuhan tulang pada penyembuhan
fraktur sama dengan mekanisme pembentukan tulang selama
pertumbuhan dan pemeliharaan normal. Urutan pembentukan
tulang melibatkan mineralisasi terorganisir matriks tulang yang
disintesis oleh osteoblast, diikuti dengan remodeling untuk
membentuk tulang dewasa. Pembentukan tulang dapat terjadi baik
sebagai enchondral, intra membran atau pembentukan
appositional. Pembentukan enchondral terjadi dalam tulang
rawan, pembentukan intra membrane terjadi di dalam matriks
membran organik, dan pembentukan appositional terjadi ketika
tulang baru disimpan pada tulang yang telah ada (Maher et al,
2002).

Faktor yang paling penting dalam proses penyembuhan tulang


adalah sirkulasi yang adekuat pada area fraktur dan imobilisasi
yang adekuat. Tingkat dan efektivitas proses penyembuhan tulang
dapat berubah karena adanya penyakit sistemik atau penyakit
tulang dan juga dipengaruhi oleh usia dan kesehatan umum dari
individu, karakteristik fraktur dan metode pengobatan. Fraktur
pada bayi dapat sembuh dalam waktu 4 sampai 6 minggu,
sedangkan fraktur yang sama pada orang dewasa membutuhkan
waktu 6 sampai 10 minggu untuk sembuh. Usia tidak akan
mengubah penyembuhan fraktur secara signifikan setelah usia 20
tahun kecuali individu memiliki gangguan metabolisme seperti
osteoporosis. Dibawah ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi penyembuhan tulang antara lain menurut Maher,
et al (2002):

Baik (Favorable) Tidak Baik (Unfavorable)

 Lokasi  Pemisahan yang luas


 Suplai darah yang baik dari ujung fragmen
pada ujung tulang  Distraksi fragmen
 Kerusakan jaringan dengan traksi
lunak yang minimal  Tumbukan yang parah
 Reduksi anatomi  Kerusakan jaringan
 Imobilisasi lunak yang parah
 Topangan berat pada  Kehilangan bagian
tulang panjang tulang akibat dari cedera
atau eksisi bedah
 Gerakan dan rotasi di
area fraktur akibat
fiksasi yang tidak
adekuat
 Infeksi
 Gangguan aliran darah
ke salah satu atau lebih
fragmen tulang
 Lokasi (midshaft-
penurunan aliran darah)

Ehara (1997) dalam Maher, et al (2007) menjelaskan bahwa 70 –


80 % kegagalan dalam penyembuhan fraktur merupakan
kegagalan secara teknis yang meliputi infeksi, reduksi yang tidak
adekuat, distraksi, gerakan kontinu pada area fraktur dan
gangguan suplai darah akibat cedera maupun pengobatan. Sisanya
sebesar 20% adalah kegagalan karena masalah biologis seperti
gagalnya pembentukan kallus, hambatan dalam proses
mineralisasi kalus (osteomalacia), tahap remodeling yang
abnormal (tertundanya pergantian kallus dengan tulang lamellar),
dan penyakit sistemik seperti DM dan neuropati perifer.
Salah satu faktor favorable yang mempengaruhi penyembuhan
tulang adalah imobilisasi. Imobilisasi yang adekuat pada fragmen
fraktur merupakan hal yang sangat penting dalam proses
penyembuhan. Manipulasi yang berulang atau gerakan pada
fragmen fraktur dapat mengakibatkan terbentuknya pseudoartritis.
Hal tersebut berkaitan dengan disrupsi fibrin yang mengakibatkan
kegagalan dalam pembentukan kallus eksternal. Fiksasi fraktur
dapat memfasilitasi penyembuhan tulang tetapi tidak
mempercepat perbaikan tulang. Imobilisasi yang memungkinkan
sanggahan berat dapat menstimulasi proses penyembuhan
(Maher, et al, 2002).

Dua jenis penyembuhan tulang yang terjadi setelah fraktur.


Pembentukan periosteal atau eksternal kalus umum terjadi pada
patah tulang yang dirawat dengan metode tertutup. Jenis
penyembuhan ini tergantung pada integritas suplai darah ke
jaringan lunak di sekitar dan derajat gerakan yang terkontrol pada
area fraktur. Pembentukan kalus medullary terjadi dengan
imobilisasi kaku pada situs fraktur. Penyembuhan bergantung
pada proses pergantian tulang di mana pertumbuhan tulang baru
dari tulang hidup memasuki tulang kortikal mati yang berdekatan
dengan fraktur. Maher et, al (2002) menjelaskan bahwa terdapat
lima tahapan pada proses penyembuhan tulang. Tahapan tidak
terjadi secara terpisah untuk masing-masing tahapan namun
terjadi tumpang tindih selama proses tersebut berlangsung. Dua
atau lebih tahapan penyembuhan dapat terjadi pada waktu yang
bersamaan di bagian tulang yang berbeda (Hamblen & Simpson,
2007).

Tahap I

Terjadi pada 3 hari pertama setelah cedera dan dimulai dengan


terbentuknya hematoma pada area fraktur. Ukuran hematoma
tergantung pada besarnya kerusakan pada tulang, jaringan lunak,
dan pembuluh darah di sekitar fraktur. Bekuan darah terbentuk
diantara dua ujung, mengelilingi fragmen fraktur dan memberikan
sedikit stabilisasi pada fraktur. Nekrosis dan kematian tulang yang
dekat dengan area fraktur terjadi sebanding dengan hilangnya
aliran darah ke fraktur dan meluas ke titik di mana suplai darah
kolateral dimulai.

Inflamasi aseptik dimulai dengan munculnya sel mati dan debris


pada area fraktur. Dilatasi vaskular dan eksudat fibrin kaya
plasma memulai migrasi sel inflamasi akut ke daerah fraktur. Sel
fagosit memulai pelepasan jaringan debris. Tahap I pada
penyembuhan fraktur paling dipengaruhi oleh kehilangan suplai
vascular ke area fraktur.

Tahap II

Terjadi pembentukan jaringan granular (atau fibrokartilago) yang


terdiri dari pembuluh darah, fibroblast, dan osteoblast dan terjadi
3 hari sampai 2 minggu setelah fraktur. Fibroblast, osteoblast dan
chondroblast berpindah ke area fraktur sebagai bagian dari proses
inflamasi. Pembentukan hematoma menjadi dasar untuk jaringan
reparatif dan penyembuhan tulang. Sel yang dilibatkan dalam
pemulihan fraktur terutama berasal dari pembuluh darah di
sekeliling jaringan granulasi tetapi juga berasal dari periosteum
atau endothelium. Aktivitas osteoblastik distimulasi oleh trauma,
pembentukan hematoma, pengupasan periosteal, dan elevasi.
Tahapan awal dari organisasi hematoma dan pembentukan
jaringan fibrosa disebut dengan primary callus dan menghasilkan
peningkatan bertahap dalam stabilitas fragmen fraktur. Tahap II
dipengaruhi oleh vaskuler dan faktor mekanis seperti gerakan dan
distraksi fragmen.
Tahap III

Pembentukan callus, terjadi dari 2 sampai 6 minggu setelah


fraktur ketika jaringan granulasi matur. Tulang fibrosa dibentuk
ketika kalsium disimpan dalam jaringan kolagen dari jaringan
granulasi. Ukuran dan bentuk kallus sebanding dengan
perpindahan fragmen fraktur dan besarnya kerusakan tulang.
Tahap III merupakan tahapan yang penting dalam menentukan
hasil akhir dari fraktur. Jika tahapan ini lambat atau terganggu,
paling sedikit dua tahapan tidak dapat terjadi dan mengakibatkan
terjadinya malunion atau nonunion.

Tahap IV

Osifikasi, terjadi dari 3 minggu hingga 6 bulan setelah fraktur,


celah pada tulang mulai menyatu dan terjadi union. Kallus, yang
sering disebut bridging callus, disekeliling ujung fragmen fraktur
dan pada fragmen yang lain. Pembentukan kallus medullary
menghubungkan celah antara fragmen fraktur bagian dalam dan
membentuk kontinuitas diantara rongga sumsum tulang dan
cortices pada fragmen fraktur. Kallus secara berangsur-angsur
digantikan oleh tulang trabekular sepanjang garis stress, dan
kallus yang tidak dibutuhkan kemudian diserap kembali.

Tahap V

Konsolidasi dan remodeling dengan pembentukan kembali kanal


medullary. Wolff’s Law menyatakan bahwa perubahan dalam
bentuk atau fungsi tulang diikuti oleh perubahan bentuk eksternal
(remodeling). Tahapan remodeling akan dimulai 6 minggu setelah
fraktur dan akan terus berlanjut hingga kurang lebih 1 tahun.

2.1.6 KOMPLIKASI FRAKTUR

Maher, et al (2002) menggelompokkan jenis komplikasi akibat


fraktur dan imobilitas menjadi
1. Immediate Complication
a. Syok Hipovolemik
Komplikasi awal setelah fraktur adalah kemungkinan syok
yang berakibat fatal pada beberapa kondisi (Black &
Hawks, 2009). Syok yang mungkin terjadi adalah syok
hipovolemik atau traumatic akibat perdarahan (baik
kehilangan darah eksternal maupun internal). Tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler sehingga jika
tulang mengalami kerusakan akibat fraktur sangat berisiko
mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang besar
khususnya pada fraktur femur. Penanganan pertama untuk
mencegah terjadinya syok adalah dengan mempertahankan
volume darah, mengurangi nyeri, melakukan pembebatan
dan melindungi pasien dari cedera yang berkelanjutan.
b. Emboli Lemak
Emboli lemak dapat terjadi pada fraktur panjang, fraktur
multiple atau pada cedera remuk terutama pada usia
dewasa muda (20-30 tahun). Glukosa dan lemak masuk ke
dalam darah saat terjadi fraktur karena tekanan sum-sum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang dihasilkan akibat reaksi stress akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak bersama
trombosit membentuk emboli yang akan menyumbat
pembuluh darah kecil yang mengalir ke otak, paru, ginjal
dan organ lainnya. Awitan gejalanya dalam beberapa jam
sampai satu minggu setelah cedera, paling sering terjadi
dalam 24 sampai 72 jam.
c. Cedera pada saraf
Pada fraktur femur, ketika arteri utama rusak, batang saraf
dapat di rusak oleh fragmen tulang pada saat awal cidera.
Parahnya kerusakan bervariasi mulai dari transient
neuropraxia sampai pada kerusakan saraf secara
keseluruhan.

d. Sindrom Kompartmen
Kompartmen adalah ruang yang tertutup oleh membrane
fibrosa atau fascia. Kompartmen di dalam tungkai dan
lengan akan tertutup dan menyokong tulang, saraf, dan
pembuluh darah. Sindrom kompartemen merupakan
masalah yang terjadi pada saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
Sindrom kompartemen terjadi ketika tekanan yang
berlebihan pada area yang terbatas menekan stgruktur di
dalam kompartemen dan menurunkan sirkulasi ke otot dan
saraf. Sindrom kompartemen akut dapat terjadi dari
perdarahan dan edema di dalam kompartemen yang
menyertai fraktur akibat kecelakaan atau dari kompresi
eksternal pada anggota gerak yang terpasang gips yang
terlalu kencang. Peningkatan tekanan di dalam ruang
kompartemen yang terjepit akan mengakibatkan
terjeratnya saraf, pembuluh darah dan otot (Lemone &
Burke, 2004).
e. Trombosis Vena Dalam
Thrombosis vena dalam (DVT) adalah bekuan darah yang
terjadi di sepanjang intimal lining vena besar. Precursor
yang berhubungan dengan pembentukan DVT adalah (1)
statis vena, atau penurunan aliran darah, (2) cedera pada
dinding pembuluh darah dan (3) gangguan koagulasi
darah. 5 persen dari DVT akan masuk ke sirkulasi paru
dan mengakibatkan emboli paru.
f. Infeksi
Keterlambatan dalam penanganan trauma skeletal selama
penanganan terhadap cedera yang lain atau saat
pemindahan ke fasilitas pengobatan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi luka. Pada fraktur femur
terutama pada fraktur terbuka (compound), kontaminasi
karena infeksi pada tulang merupakan komplikasi
potensial yang penting. Pada fraktur ‘compund from
within’ dimana kulit ditusuk dari dalam oleh fragmen
tulang yang tajam, kontaminasi tidak dapat diabaikan dan
risiko osteomielitis sangat sedikit. Jika fraktur terjadi
akibat luka tembakan atau luka ledakan dimana terdapat
kontaminasi berat dan kerusakan jaringan yang luas, risiko
infeksi juga akan meningkat.

2. Delayed Complication
a. Kekakuan sendi (Joint Stiffness)
Kekakuan sendi dapat terjadi karena edema, kontraktur
sendi yang disebabkan oleh bursa atau adhesi capsular atau
dari imobilisasi lama yang diharuskan untuk pengobatan
fraktur. Kekakuan sendi yang menyertai fraktur biasanya
terjadi pada ekstremitas atas seperti di bahu, siku, dan jari-
jari. Pada ekstremitas bawah, bagian lutut adalah yang
paling sering terkena dampak. Penyebab paling umum
kekakuan sendi adalah aktivitas otot dan alat gerak yang
tidak adekuat, edema berkepanjangan, infeksi, dan
imobilisasi berkepanjangan pada fraktur intra-artikular.
Pada fraktur femur, sendi yang paling sering mengalami
kekakuan adalah sendi lutut.
b. Post-Traumatic Arthritis
Permukaan artikular yang menopang berat badan
membutuhkan reduksi anatomis pada permukaan artikular
dan fraktur tulang panjang untuk mencegah atau menunda
terjadinya arthritis pasca trauma. Untuk mencegah
peningkatan kejadian arthritis pasca trauma, hal penting
yang harus dilakukan adalah mengeliminasi stress dan
strain pada sendi atau area fraktur, mengatur tingkat
maksimal efisiensi otot pengontrol tulang dan sendi, dan
menghindari kelebihan kapasitas fungsional sendi atau
tulang.
c. CRPS (reflex sympathetic dystrophy)
Disfungsi yang mennimbulkan nyeri dan sindrom disuse
ditandai dengan nyeri abnormal dan pembengkakan
ekstremitas dan biasanya dipicu oleh trauma minor.
d. Myositis ossificans
Pada kondisi ini terjadi pembentukan tulang heterotropic
(abnormal dan tidak pada tempatnya) pada tulang terdekat
biasanya merupakan respon trauma. Penyebab osifikasi
heterotropik masih belum diketahui tetapi biasanya terjadi
karena factor sistemik local yang belum teridentifikasi.
e. Delayed Union
Empat bulan merupakan waktu rata-rata untuk fraktur
shaft femur menyatu. Tidak ada batasan waktu yang pasti
untuk menyatakan suatu penyatuan tertunda (delayed
union), tetapi jika union tidak cukup untuk memungkinkan
menyanggah berat badan tanpa perlindungan bantalan
setelah 5 bulan dukungan dalam splint, metode pengobatan
tambahan mungkin dibutuhkan.
Saat kalus terbentuk dengan baik tetapi terjadinya sangat
lambat lebih disarankan untuk menggunakan cast-brace
dan memperbolehkan pasien untuk mulai berjalan. Metode
ini mengurangi kemungkinan untuk dilakukan operasi,
namun metode ini lebih efektif pada pasien yang muda dan
aktif dibandingkan dengan pasien lansia. Pada kasus
tertentu, operasi bone grafting mungkin menjadi solusi
terbaik untuk mengatasi masalah. Jika locking screw
digunakan pada kedua ujung IM nail, melepaskan screw
pada satu ujung akan memungkinkan terjadinya proses
penyatuan.
f. Non-Union
Jika union gagal terjadi dan permukaan fraktur menjadi
rounded dan sclerotic, operasi harus dilakukan. Ujung
tulang diperbaharui dan dilakukan bone graft.
g. Malunion
Suatu keadaan dimana tulang yang telah patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk
sudut atau miring, tidak sesuai dengan posisi awal yang
normal. Contohnya adalah pada kasus fraktur femur yang
dilakukan traksi, kemudian dilakukan gips untuk
imobilisasi dimana kemungkinan gerak rotasi pada
fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan sehingga
setelah terapi selesai anggota tubuh bagian distal akan
memuntir ke dalam dan penderita tidak dapat
mempertahankan tubuhnya dalam posisi netral.
Komplikasi dapat dicegah dengan melakukan pengamatan
yang cermat saat mempertahankan reduksi sebaik mungkin
terutam pada periode awal penyembuhan.

2.1.7 PENGKAJIAN KEPERAWATAN


1. Aktifitas / istirahat
Tanda :

Keterebatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang


terkena (mungkin segera, atau terjadi secara sekunder,
fraktur itu sendiri dari pembengkakan jaringan, nyeri )

2. Sirkulasi
Tanda :
 Hipertensi (kadang kadang terlihat sebagai repon
terhadap nyeri atau ansietas) atau hipotensi
( kehilangan darah ).
 Tachikardi ( respon stres, hipovolemia )
 Penurunanan atau tidak ada nadi pada bagian distal
yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada
bagian yang terkena
 Pembengkakan jaringan atau massa haemetom pada
sisi cedera
3. Neurosensori
Gejala :

Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, kesemutan


(parastesi)

Tanda :

Deformitas lokal : angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,


krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan
atau hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubugan dengan
nyeri atau ansietas atau trauma lain.

4. Nyeri / kenyamanan.
Gejala :

Nyeri berat tiba tiba pada saat cedera (mungkin


terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang :
dapat berkurang pada imobilisasi) tidak ada nyeri akibat
kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah
imobilisasi).

3 Keamanan
Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan,
perubahan warna. Pembengkakan lokal ( dapat meningkat
secara bertahap atau tiba-tiba ).
4 Pengkajian Diagnostik:
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada
fraktur adalah:

a. X-ray: menentukan lokasi/luasnya fraktur


b. Scan tulang: memperlihatkan fraktur lebih jelas,
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
c. Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada
tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung Darah Lengkap : hemokonsentrasi mungkin
meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan
lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

2.2 KONSEP OSTEOMIELITIS

2.2.1 DEFINISI

Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon


(tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis
(inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang
terinfeksi oleh mikroorganisme (Madder dkk, 1997, Lazzarini
dkk, 2004). Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang
mencakup sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen
(infeksi masuk dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal
dari dalam tubuh). (Reeves, 2001:257).

Osteomyelitis dapat timbul akut atau kronik. Bentuk akut


dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik maupun
manifestasi lokal yang berjalan dengan cepat. Osteomyelitis akut
adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal
akut atau trauma tulang, biasanya disebabkan oleh escherichia
coli, staphylococcus aureus, atau streptococcus pyogenes (Tucker,
1998:429). Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis
akut yang tidak ditangani dengan baik (Price, 1995:1200).

Gambaran patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya


tulang mati, pembentukan tulang baru, dan eksudat dari
leukosit polymorphonuclear bersama dengan jumlah besar dari
limfosit, histiosit, dan juga sel plasma (Lazzarini dkk, 2004).
Pada osteomielitis kronis dapat terjadi episode infeksi klinis
yang berulang (Spiegel & Penny, 2005). Tulang tibia
merupakan tempat paling sering terjadinya infected nonunion
dan osteomielitis kronis setelah trauma (Patzakis dkk, 2005)

2.2.2 ETIOLOGI

Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui


darah) dari fokus infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang
terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas).
Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi
ditempat di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi
rendah kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi
jaringan lunak (mis. Ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus
vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis, fraktur ulkus
vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis. Fraktur terbuka,
cedera traumatik seperti luka tembak, pembedahan tulang.

Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah


mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan atau penderita
diabetes. Selain itu, pasien yang menderita artritis reumatoid,
telah di rawat lama dirumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid
jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi
sekarang atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang
menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka
mengeluarkan pus, mengalami nekrosis insisi marginal atau
dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma
pascaoperasi.

Penyebab osteomielitis kronis multifactor yaitu danya kondisi


avaskuler dan iskemik pada daerah infeksi dan pembentukan
sequestrum pada daerah dengan tekanan oksigen rendah
sehingga tidak bisa dicapai oleh antibiotik. Rendahnya tekanan
oksigen mengurangi efektivitas bakterisidal dari
polymorpholeukocytes dan juga merubah infeksi aerobik
menjadi anaerob (Wirganowicz, 1999). Penyebab tersering
osteomielitis termasuk patah tulang terbuka, penyebaran bakteri
secara hematogen, dan prosedur pembedahan orthopaedi yang
mengalami komplikasi infeksi (DeCoster dkk, 2008).

2.2.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi oleh Cierny-Mader berdasarkan pada karakteristik


anatomi dari tulang dan fisiologi dari inang. Debridemen
osteomielitis ditentukan dari evaluasi karakteristik anatomi.
Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi baik lokal
maupun sistemik, dapat membantu mengidentifikasi potensi
masalah. Optimalisasi kondisi pasien sebelum operasi dan
hindari prosedur rekonstruksi kompleks pada pasien yang
bermasalah (Cierny dkk, 2003).

- Osteomielitis medula (type I) melibatkan permukaan


intramedula.
- Osteomielitis superfisial (type II) melibatkan
permukaan tulang. Ini disebabkan oleh infeksi langsung
ketika permukaan tulang berdekatan dengan luka
jaringan lunak.
- Osteomielitis lokal (type III) melibatkan seluruh tebal
korteks dan menyebar ke kanal intramedula, namun
pengeluaran sequestrum dengan pembedahan tidak
mempengaruhi stabilitas tulang.
- Osteomielitis difus (type IV) melibatkan tulang secara
melingkar, membutuhkan reseksi tulang dan stabilisasi.
Instabilitas pada osteomielitis difus, dapat terjadi baik
sebelum maupun sesudah debridemen. Infected
nonunions, yang meli batkan osteomielitis dif us,
memberikan tantangan paling besar (Cierny dkk, 2003).

2.2.4 MANIFESTASI KLINIS

Jika infeksi dibawah oleh darah, biasanya awitannya mendadak,


sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia (mis.
Menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat dan malaise umum).
Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi gejala lokal secara
lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks
tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan
bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri
tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang
semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan
tekanan pus yang terkumpul.

Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di


sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala
septikemia. Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan nyeri
tekan. Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus
yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode
berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus.
Infeksi derajat rendah dapat menjadi pada jaringan parut akibat
kurangnya asupan darah.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pada osteomielitis akut, pemeriksaan sinar – x awal hanya
menunjukkan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2
minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nekrosis tulang
baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis
definitif awal. MRI dapat mendeteksi adanya lesi dalam 24 hingga
72 jam setelah onset terjadinya infeksi. Infeksi tahap lanjut dapat
didiagnosis dengan rontgen biasanya 3 hingga 4 minggu setelah
berkembang. Pemeriksaan darah memperlihatkan peningkatan
leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kultur darah dan
kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang
sesuai.

Pada osteomielitis kronik, besar, kavitas iregular, peningkatan


periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada
sinar – x. pemindaian tulang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi area infeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel
darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi
kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif
dan terapi antibiotik yang tepat.

2.2.6 Pengkajian
- Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (mis. Nyeri
lokal, pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan
keluarnya pus dari sinus disertai nyeri, pembengkakan
dan demam sedang.
- kaji adanya faktor risiko (mis. Lansia, diabetes, terapi
kortikosteroid jangka panjang) dan cedera, infeksi atau
bedah ortopedi sebelumnya.
- Pasien selalu menghindar dari tekanan didaerah tersebut
dan melakukan gerakan perlindungan.
- Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami
kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
- Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah
inflamasi, pembengkakan nyata, hangat yang nyeri tekan.
Cairan purulen dapat terlihat. Pasien akan mengalami
kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
- Pasien akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
- Pada osteomielitis kronik, peningkatan suhu mungkin
minimal, yang terjadi pada sore dan malam hari.

Dasar data pengkajian pasien menurut Doenges (2000:761)


Aktifitas- atau istirahat
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi
secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
-
Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah).
Takikardi (respon stress, hipovolemia)
Penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera.
Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, Kebas/kesemutan (parastesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi.
Krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi
Nyeri /kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi).
Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna,
pembekakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala
: Lingkungan cidera
Rencana Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan
diri, dan tugas pemeliharaan perawatan rumah

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Tahap pertama penanganan osteomielitis kronis adalah


membuat diagnosis. Karena diferensial diagnosis pada
pemeriksaan radiologi termasuk neoplasma, sering diperlukan
biopsi. Setelah menegakkan diagnosis, penanganan
osteomielitis kronis adalah pembedahan. Sangat penting untuk
memperbaiki status fisiologi inang melalui nutrisi yang baik,
koreksi anemia, dan terapi infeksi lain yang ada (Spiegel &
Penny, 2005).

Manajemen osteomielitis dan infected nonunions termasuk


kontrol infeksi dengan debridemen dan antibiotik, stabilisasi
fraktur, penanganan defek dengan tujuan memperoleh union
tulang yang aseptik. Penyelamatan ekstremitas pada
osteomielitis kronis yang difus terdiri dari debridemen,
stabilisasi tulang, pemberian antibiotik sistemik dan lokal,
penutupan jaringan lunak, dan manajemen patah tulang yang
belum union serta defek tulang (Patzakis dkk, 2005, DeCoster
dkk, 2008).
Tahap I: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi antibiotik.

Debridemen

Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah


“débridement,” yang artinya memotong jaringan yang
kontraktur disekitar luka. Saat ini istilah tersebut digunakan
untuk prosedur yang lebih ekstensif dari insisi dan eksisi
jaringan yang rusak. Untuk menentukan jaringan mana yang
akan di eksisi, ahli bedah mengidentifikasi otot yang masih
hidup dengan bantuan 4 C: contraction (kontraksi saat
dijepit), consistency (tidak lunak), capillary bleeding saat
dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau gelap)
(Bowyer, 2006).

Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap


semua jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan
lunak dan tulang. Untuk memastikan semua fokus infeksi
sudah dibuang, debridemen dilakukan hingga berdarah,
jaringan yang hidup harus terdapat pada batas reseksi.
Tulang yang hidup ditandai dengan titik-titik perdarahan
(paprika sign). Debridemen harus radikal dan tidak dibatasi
oleh kekhawatiran membuat defek tulang atau jaringan
lunak seperti yang terlihat pada Gambar 2.2 (Wirganowicz,
1999, Patzakis dkk, 2005). Tidak ada perbedaan bermakna
dari angka kejadian infeksi pada patah tulang terbuka yang
dilakukan debridemen awal dan terlambat berdasarkan
waktu (Schenker, 2012).

Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka


dan pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi,
drainase, debridemen jaringan nekrotik dan irigasi yang
banyak harus dikerjakan. Perhatian harus diberikan untuk
tidak merusak jaringan lunak diatas periosteum dan merusak
involucrum. Periosteum sebaiknya diinsisi secara
longitudinal untuk membuang sequestrum. Meninggalkan
sequestrum di dalam involucrum tidak dianjurkan karena
dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum
harus dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler.
Imobilisasi sangat penting setelah operasi. Pemasangan gips
dapat membantu. Debridemen dengan pembedahan
merupakan hal penting dalam penanganan osteomielitis
kronis selain antibiotik dan imobilisasi pada anak-anak
(Unal dkk, 2006).

Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa


pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan, biofilm harus
dieksisi dan luka harus di revitalisasi. Luka yang hidup,
bersih dan dapat dikendalikan sangat diperlukan untuk
keberhasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
termasuk kesehatan inang, ekstensi dari jaringan nekrotik,
lokasi dari infeksi, dan keterbatasan karena penyakit.

Debridemen radikal terhadap semua jaringan mati dan


terinfeksi (A). Debridemen yang

kurang baik. (B). Debridemen yang baik. (C). Pemberian bone


graft untuk menutup defek
Stabilisasi tulang

Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk


kontrol infeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna,
mikroorganisme dilindungi oleh biofilm yang melekat pada
permukaan implan. Oleh karena itu, keputusan untuk
mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi
berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung pada beberapa
faktor yaitu status penyambungan tulang, stabilitas yang
disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak
dilakukan fiksasi fraktur (Patzakis dkk, 2005).

Antibiotik lokal.

Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi


oleh polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang
dikombinasi dengan antibiotik, seperti tobramycin,
vancomycin, atau antibiotik spesifik lainnnya yang tahan
panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis dkk,
2005). Penggunaan PMMA beads dengan antibiotik lokal
dapat mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka
yang berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan
setelah 24 hingga 48 jam berdasarkan tingkat kontaminasi
dan kerusakan jaringan lunak (Ostermann, 1995).

Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level


sistemik meningkatkan kerja terhadap patogen dan
mengurangi efek sistemik. Jumlah yang direkomendasikan
per 40 g PMMA adalah 2.4 hingga 4.8 g tobramycin, dan
vancomycin. Antibiotic-impregnated beads digunakan bila
terdapat ruangan kosong dan revisi akan dikerjakan, seperti
debridemen ulang, penutupan jaringan lunak dan bone graft.
Bila memungkinkan, defek dapat diisi dengan flap otot.
Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi dibawah
flap hingga digantikan oleh bone graft pada
prosedur
berikutnya (Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008).

Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotik dari


antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate (PMMA)
beads dapat menghilangkan koloni biofilm. Lebih lanjut,
antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate (PMMA)
beads dapat mengisi ruangan kosong (spacer effect). Setelah
penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan dapat
dilakukan rekonstruksi sebagai pembedahan yang bersih
(Forsberg dkk, 2011). Beads menutupi ruangan kosong
sehingga mencegah akumulasi hematom yang dapat
berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads antibiotik juga
dapat mengurangi pembentukan jaringan parut pada defek
tulang. Bila infeksi menetap, debridemen ulang, kultur dan
pergantian beads antibiotik dapat dikerjakan beberapa hari
atau minggu kemudian. Setelah infeksi telah terkontrol,
beads dikeluarkan. Untuk kasus non union, bone graft dapat
ditempatkan pada daerah beads (DeCoster dkk, 2008).

Antibiotik sistemik

Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4


sampai 6 minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat
jalan. Manajemen dengan periode yang lebih singkat dari
terapi intravena (hingga 1 minggu), diiikuti oleh antibiotik
oral selama 6 minggu, sukses dicatat pada 91% pasien
(Swiontkowski, 1999, Mader dkk, 1999).

Tahap II : Manajemen luka

Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau


penutupan luka primer dapat dikerjakan pada pasien dengan
jaringan lunak yang cukup. Debridemen ulang sering
diperlukan. Dengan adanya jaringan yang rusak, penutupan
dapat dicapai dengan flap lokal atau free flap, tergantung
pada lokasi dan ekstensi defek jaringan lunak (Wirganowicz,
1999, Patzakis dkk, 2005). Penutupan luka primer setelah
debridemen yang cermat tidak berhubungan dengan
peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah kontaminasi
sekunder dan dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat
dan biaya. Akan tetapi dapat berpotensi terjadinya clostridial
myonecrosis, yang dapat berakhir bukan hanya hilangnya
ekstremitas tetapi juga kehilangan nyawa (Zalavras, 2003).

Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi


terapi tambahan yang penting pada manajemen luka trauma
dan insisi pembedahan yang berhubungan dengan trauma
musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT termasuk
stabilisasi lingkungan luka, mengurangi edema,
meningkatkan perfusi jaringan, dan stimulasi sel-sel pada
permukaan luka. NPWT menstimulasi jaringan granulasi
dan angiogenesis dapat mendukung penutupan primer dan
mengurangi kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai
tambahan, NPWT mengurangi kontaminasi bakteri gram
negatif (Streubel dkk, 2012).

Tahap III : Manajemen defek tulang dan fraktur nonunion

Bone Graft

Bone graft dari iliac crest dapat digunakan untuk


penanganan defek tulang hingga 6 cm. Bone graft
dikerjakan bila jaringan lunak penutup sudah sembuh,
adanya flap yang viabel dan infeksi telah terkontrol,
biasanya dalam 6 hingga 8 minggu setelah transfer otot
(Patzakis dkk, 2005). Tulang cancellous mempunyai daya
tahan yang lebih dibandingkan dengan tulang kortikal,
mungkin karena paling terakhir terjadi gangguan
vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft diperlukan
dasar
graft yang baik vaskularisasinya (DeOliveira, 1971).
BAB III LAPORAN
KASUS
Pengkajian Kasus Berdasarkan Analisis Teori Model Adaptasi Roy

Identitas Klien
Nama : Tn. B
Umur : 32 tahun
Pendidikan : SMA
Suku : Batak
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Ruang Rawat : Gedung Prof. Soelarto (GPS) lt. 1
No. Rekam Medik : 015425xx
Tanggal Pengkajian : 23 Oktober 2017 jam 09.00
Diagnosa Medis : Open Fraktur Cruris + Osteomyelitis Tibia
Dekstra on Exfix
Informan : Klien dan Ibunya
Keluhan Utama : Klien mengeluh nyeri di kaki kanan bawah,
nyeri muncul sejak setelah kecelakaan dan operasi. Skala nyeri 3 (diam) dan
7 (terberat/saat rawat luka). Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan nyeri dirasakan
semakin meningkat saat rawat luka & saat kedinginan.

Riwayat Kesehatan Sekarang :


Klien mengalami kecelakaan lalu lintas (motor dengan motor) pada bulan
September. Selanjutnya klien dibawa RS lalu pulang paksa dan ke dukun
tulang selama kurang lebih 3 hari dan dilakukan pijat serta ditarik-tarik.
Besoknya klien dibawa ke RS Thamrin lalu dilakukan rawat luka dan operasi
pemasangan OREF. Kurang lebih 2 minggu kemudian dipindahkan ke RS
Fatmawati karena keterbatasan alat. Selama di RS Fatmawati dilakukan
rawat luka dan menunggu tindakan selanjutnya. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 23 Oktober dan klien mengeluh nyeri.

Riwayat Kesehatan sebelumnya : Riwayat merokok (+), DM (-), HT (-),


alergi (-)
Pengkajian Model Adaptasi Roy

MODE ADAPTASI FISIOLOGIS


Pengkajian Perilaku Pengkajian Stimulus
Stimulus Fokal Stimulus Stimulus
Konstektual Residual
1. Oksigenasi  Klien tidak mengeluh sesak dan batuk Adaptif Adaptif Riwayat
 Klien mengatakan punya riwayat merokok 1 pak/hari merokok
 Tidak ada riwayat HT sebelum sakit
 Inspeksi : RR : 22 x/mnt, irama normal, simetris, tidak ada
retraksi dada, tidak ada sianosis
 Palpasi : taktil fremitus +/+ simetris, TD = 113/93 mmHg, N =
80 x/mnt, irama regular, CRT < 2 detik, akral hangat
 Perkusi : resonan
 Auskultasi : suara nafas vesikuler, bunyi jantung S1 S2 normal
 Hasil radiologi : thoraks foto (12/10/17) : tidak tampak kelainan
radiologis pada jantung dan paru
 Hasil lab hematologi (16/10/17)
 Eritrosit : 4.01 juta/ul ↓
 Hb : 12.1 g/dl ↓
 Hct : 38%
 Leukosit : 11.5 ribu/ul ↑

2. Nutrisi  Tidak ada keluhan gangguan makan, Adaptif Adaptif Adaptif


 Tidak ada keluhan mual dan muntah
 TB : 168 cm, BB : 50 kg, IMT : 17,72 kg/m2
 Porsi makan dari RS habis, tidak ada pantangan makanan
 Hasil lab (16/10/17)
 Hb : 12.1 g/dl↓
 Hct : 38%
 Albumin : 3.60 g/dl
 SGOT : 17 u/l
 SGPT : 20 u/l

3. Eliminasi  Tidak ada keluhan saat BAK dan BAB Adaptif Adaptif Adaptif
 BAK dan BAB spontan
 Frekuensi BAB : 1 x/hr
 Frekuensi BAK : 3-4 x/hr
 Hasil lab (16/10/17)
 Ureum darah : 47 mg/dl ↑
 Kreatinin serum : 0.7 mg/dl

4. Aktivitas  ADL klien dibantu ibunya Adanya Adaptif Adaptif


dan Istirahat  Kemampuan berjalan dengan menggunakan alat bantu gangguan pada
 Kemampuan rentang gerak ekstremitas kanan bawah terbatas system
karena nyeri, ROM dan kekuatan otot pada pedis dekstra sulit muskuloskeletal
dikaji, sensorik adekuat, nadi dorsalis pedis teraba lemah, (OREF, nyeri)
bengkak pada pedis kanan
5555 I 5555
 Kekuatan otot : −−55 I 5555
 Tidak ada keluhan masalah tidur, biasanya tidur mulai jam 23.00
dan bangun pada 04.00, di siang hari tidur hanya sekitar 30
menit
 Hasil rontngen ankle AP/LAT kanan (12/10/17) :
 Terpasang fiksasi eksterna berupa screw dengan screw di
diafisis distal os tibia pada fraktur komplit diafisis distal os
tibia kanan dengan angulasi fragmen distal fraktur kearah
posterolateral. Masih tampak garis fraktur komplit kominutif
cum contractionum di diafisis distal os fibula kanan dengan
angulasi fragmen distal fraktur kearah posterolateral.
Tampak diskontinuitas di metadiafisis distal os tibia kanan
bagian posterior. Celah sendi tidak menyempit.
 Cruris AP/LAT kanan (12/10/17) :
 Terpasang fiksasi eksterna berupa screw dengan screw di
diafisis posterior, distal dan middiafisis os tibia pada fraktur
komplit diafisis distal os tibia kanan dengan angulasi
fragmen distal fraktur kearah posterolateral. Masih tampak
garis fraktur komplit kominutif cum contractionum di diafisis
distal os fibula kanan dengan angulasi fragmen distal fraktur
kearah posterolateral. Tampak pula fragmen tulang di cruris
proksimal di antara caput fibula dan proksimal os tibia
kanan. Celah sendi tidak tampak menyempit.
 Pedis AP/LAT kanan (12/10/17) :
 Tulang-tulang pedis superposisi dengan fiksasi eksterna.
Tampak fraktur komplit di distal metatarsal V pedis kanan
dengan kedudukan relative segaris. Celah sendi tidak
menyempit. Jaringan lunak kesan tenang.

5. Proteksi  Tampak kaki kanan bawah anterior dibalut verband dengan Cidera pada Adaptif Adaptif
warna kecoklatan dan terpasang eksternal fiksasi pada tulang jaringan lunak
tibia kanan dan tulang
 Ketika kassa dibuka tampak luka dengan panjang ± 25 cm,
diameter ± 6 cm, warna merah, tampak fraktur komplit tulang Prosedur bedah
tibia yang menonjol.
 Klien tidak terpasang kateter, hanya terpasang IV line
 Suhu tubuh : 36 o C
6.  C S A
Se K i u d
ns li d h a
as en e u p
i m r d ti
en a n f
ge g
lu p n
h a
7.  A A A
C K d d d
air li a a a
an en p p p
da be i i ti
n rk f
El e
ek m
tr ih
oli de
8.  A A A
N K d d d
eu es a a a
ro ad p p p
lo ar i i ti
gi an f
C
9. M
 A A A
E K d d d
nd li a a a
ok en p p p
ri m i i ti
n en f
Pe
St k
S S
i t t
K R
K Keti oK eA
l dak d
i past a
e ian p
n pe ti
f

P
Stim S eS
ulus t t
Kl FokalA iA iA
ie d d d
n a a a
be pt p p
lu if i ti
P
S S eS
t t t
Se iA i A iA
la d d d
Te
ra
pi
:

C
e
f
r
a
x
Rencana Keperawatan

N
O
1 N Se Pa
ye tel in
ri ah M
ak dil an
ut ak aj
b uk e
e an m
tin en
r da :
h ka 1.
u n La
b ke ku
pe ka
u
ra n
n w pe
g at ng
a an
kaj
2 K S Pe
er et ra
u el w
s a at
a h an
k d lu
a il ka
n a 1
in k
te u 2
g k
ri a 3
ta n
3 H Se Te
a tel ra
m ah pi
b dil lat
a ak ih
t uk an
a an :
n tin M
da ob

Catatan Perkembangan Klien

H J Eva
a a
N Se 09 1. S:
ye ni .3 M Kl
ri n/ 0 en ie
ak 23 ga n
ut O ka m
be kt ji en
rh ob ka ga
ub er ra ta
un 20 kt ka
ga 17 eri n
n sti m
d k as
e ny ih
n eri n
g (P y
a Q e
n R r
S i
a T) s
k s
e a
a te
k on
ta ol
n (3)
dSe 9. 1. S:
a la 00 M Kl
nsa e ie
k/ n n
i 24 g m
nO a en
m k ga
kt
e aj ta
mob i ka
e er k n
g20 ar ny
a 17 a eri
n kt b
g er e
k is
a r
ti k
ki k
y u
n r
a y
n a
er
g n
i
s (P g
k Q
t R k
te S a
rd T r
aR 16 1. S: e
ab .0 M Kl
u/ 0 en ie
2. n
M y
en e
gk r
aji i
fa s
kt e
or p
ya e
ng r
da t
pa i
t d
m i
en t
ye u
ba s
bk u
an k
ny -
eri t
K Se 1. S
er ni M :
us n/ e Kl
ak 23 n ie
an O g n
int kt g m
eg ob a en
rit er nt ga
as 20 i ta
ja 17 b ka
ri al n
n ut m
g a as
a n ih
lu b
A
:
M
as
Se 1. al
S
la M :
sa e Kl
/ n ie
24 g n
O g m
kt a en
ob nt ga
er i ta
20 p ka
17 os n
is m
i as
p ih
as b
ie i
R n
1. S s
ab M :
u/ e 
25 m
O an b
kt ta a
ob u g
er ko i
20 nd
a
17 isi
ba n
lut
b
an
lu a
p
e
r
b
a
i
k
H Se 1. S
a ni M :
m n/ e Kl
b 23 n ie
a O e n
t kt nt m
a ob k en
n er a ga
20 n ta
m 17 b ka
o at n
b as m
i p as
l er ih
i g b
t er i
a Se a1. S s
s la M :
f sa e Kl
i / n ie
s 24 e n
i O nt m
k kt u en
ob k ga
b er a ta
e 20 n ka
r 17 b n
d
a
r
i
t
i
R 1. S d
ab M :
u/ e Kl
25 n ie
O e n
kt nt m
ob u en
er k ga
20 a ta
17 n ka
b n
at se
as tel
p ah
er o
g p
er e
a r
DAFTAR PUSTAKA

AAGBI Safety Guidelines. Management Of Proximal Femoral Fracture 2011.


(2012). The Association of Anaesthetistsof Great Britain and Ireland 21
Portland Place. London

Ackley, B. J., & Ladwig, G. B. (2011). Nursing Diagnosis handbook: an evidence


based guide to planning care. (9 ed). USA: Mosby Elsevier.

American Nurses' Association and National Association of Ortliopaedic Nurses


Orthopaedic Nursing Practice . (1998). Process And Outcome Criteria For
Selected Diagnoses.

Corwin, E.J. (2009). Buku saku: patofisiologi, ed.3. Jakarta: EGC.

Elstrom, J.A., Virkus, W.W., Pankovich, A.M. (2006). Handbook of fractures, 3rd
ed. McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Hamblen, D.L., Simpson, A.H.R.W. (2007). Adams’s outline of fractures
including joint injuries, 12th ed. Chruchill Livingstone Elsevier.
Hieber, Katheriene. (1998). Mobility health assessment. Orthopaedic Nursing; 17.
4. Academic Research Library.
Ignatavicius, D.D., & Workman, M. L. (2010). Medical Surgical nursing: patient
centered collaborative care vol:3 (6ed). USA: Saunders Elsivier.

LeMone, P., & Burke, K. (2008). Medical Surgical Nursing: critical thinking in
client care, vol:1. (4ed). USA: Pearson International Edition

Maher, A. B., Salmond, S. W., & Pellino, T. A. (2002). Orthopaedic nursing


(6ed). USA: W. B Saunders Company.

Mark V Paterno, Michael T Archdeacon, Kevin R Ford. (2006). Femoral Shaft


Fracture Early Rehabilitation Following Surgical Fixation of a Doug Galvin
and Timothy E. Hewett. PHYS THER.; 86:558-572.

NANDA International. (2012). Diagnosa keperawatan: definisi dan klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi; konsep klinik proses- proses
penyakit. Edisi. 6. Jakarta: EGC

Roy, S.C. (2009). The roy adaptation model, 3rd ed. New Jersey: Pearson
Kecelakaan Motor
(Motor menimpa kaki kiriklien)

Menolak OP dan pen- Kerusakan pembuluh


Gaya tekan yang besar pada bagian tibia gobatan alternatif darah & port de
entree

FRAKTUR TIBIA Fraktur Terbuka Infasi kuman ke tulang & sendi

Osteomielitis
Cedera pada jaringan lunak / Dx : Kerusakan
tulang Integritas
jaringan Reaksi Inflamasi

General PENATALAKSANAAN:
Mengaktivasi respon inflamasi, Mediator Kimia anestesi/muscle relaxan  OREF (open reduction with external fixa-
merangsang pengeluaran media-
tor kimia (serotonin, bradikinin, tion): metode reduksi terbuka dengan fiksa
histamitamin &prostaglandin) Meningkatkan si internal di mana prinsipnya tulangditrans-
Perubahan kapiler pembuluh Sitokinin Bradikinin Histamin vaskularisasi fiksasikan di atas dan di bawah fraktur ,
darah, aliran darah meningkat, Blockade neromuskular/ sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
pening- katan permeabilitas kapiler blokadepersambungan proksimaldan distal kemudian dihubungkan
sehingga protein plasma Neutrophil segmen Merangsang Meningkatkan otot lurik satu sama lain dengan suatu batang
dan leukosit keluar dari Menyentuh ujung saraf aferen melawan Bakteri s. nyeri suhu tubuh, Edema
lainFiksasi eksternal digunakan untuk men-
sirkulasi
gobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringanlunak .
Menghasilkan pus Nyeri Hipertemi Tidak terjadi influk ion
Merangsang nosiseptor kalsium yang memicu
Cairan intrasel keluar ke intersisial (reseptor nyeri) asetil kolin
Peningkatan tekanan Nyeri saat digerakkan
intramedular Luka bekas operasi
Edema keterbatasan Lorong ion tertutup,
Mekanisme nyeri ( transduksi, Mengaktivasi respon inflamasi,
Transmisi, modulasi, Gang. Vaskularisasi tidak terjadi petukaran merangsang pengeluaran media-
persepsi) tulang ion Na dan K Terputusnya tor kimia (serotonin, bradikinin,
Penurunan
Kemampuan kontinuitas histamitamin &prostaglandin)

Nyeri Akut Iskemik Repolarisasi otot


Hambatan pernafasan Menyentuh ujung saraf aferen
Mobilitas Dx : Kerusakan
Nekrosis fisik Integritas jarin-
Ketidakmampuan menggerak- gan Merangsang nosiseptor
kan pinggul dan lutut Pola nafas inefektif (reseptor nyeri)
Sequestrum
Perubahan pada
Keterbatasan rentang gerak anggota tubuh
Involukrum Mekanisme nyeri ( transduksi,
Transmisi, modulasi,
persepsi)
Dx: Hambatan Mobilitas
PENATALAKSANAAN: Ketidak mampuan
dalam gerak dan
 Pemotongan Fragmen tulang mobilisasi Dx : Nyeri Akut
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E.J. (2009). Buku sak u: patofisiologi, ed.3. Jakarta: EGC.
Lemone, P. & Burke, K. (2004). Medical surgical nursing, vol 2, 3rd Dx : Hambatan mobilitas
ed. fisik
New Jersey: Pearson Education South Asia.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: k onsep k linis proses-
proses penyakit, ed 6. Ja ka rta : EGC.
Roy, S.C. (2009). T he roy adaptation model, 3rd ed. New Jersey:
Pearson
Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia: dari sel k e sistem, ed. 6.
Jakarta:
EGC.
Smeltzer, SC., Bare, BG. (2002). T extbook of Medical-Surgical
Nursing
ed. 8 Vo. 3. Penerbit : LWW, Phila delphia .

Anda mungkin juga menyukai