Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP TEORITIS FISTULA ANI

Tugas ini diajukan untuk Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II

OLEH:

Kelompok 4:
Abd Gani Baeda 1506706843
Aby Yazid Al Busthomy Rofi’i 1506706862
Akhyarul Anam 1506706906
Devia Putri Lenggogeni 1506706982
Dhian Luluh Rohmawati 1506778804
Ika Ainur Rofi’ah 1506778905
Rahmiwati 1506707543

PASCA SARJANA ILMU KEPERAWATAN


SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq, serta hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas kelompok
dengan judul makalah “Konsep Teoritis Fistula Ani”. Makalah kelompok ini
disusun untuk memenuhi tugas mata ajar KMB Lanjut II.

Makalah ini berhasil disusun karena adanya bantuan dan arahan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Agung Waluyo, SKp., MSc., PhD selaku koordinator mata kuliah KMB
Lanjut II yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah ini
2. Ibu Dr. Debbie Dahlia, S.Kp, MHSM, selaku Tim Pengajar Mata Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II.
3. Teman-teman sekelompok KMB Lanjut II yang telah berdiskusi memberikan
ide-ide dan masukan dalam penyusunan makalah ini

Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dalam menjalankan
penelitian ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawaasan baru
bagi semua pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fistula adalah hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel (Chris
Brooker,2008). Fistula ani merupakan alurgranulomatosa kronis yang berjalan
dari anus hingga bagian kulit luar anus, atau dari suatu abses hingga anus atau
daerah perianal (Price, 2005) . Fistula ani merupakan penyakit anorektal yang
umum terjadi dan terkait dengan ketidaknyamanan dan kesakitan pada pasien.
Fistula anus merupakan kondisi kronik, di mana operasi merupakan satu-satunya
penyembuhan (Black & Hawks, 2014).

Fistula perianal sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun, berkisar 1-3
kasus tiap 10.000 orang. . Biasanya mengenai laki-laki dengan rasio laki-laki:
perempuan 2:1. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak
semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk
fistula. Gejala yang paling utama adalah adanya discharge ( pada 65 % kasus)
tetapi nyeri lokal karena inflamasi juga sering di keluhkan.

Lebih dari 90% fistula perianal diyakini timbul sebagai akibat drainase yang tidak
baik dari kelenjar anal. Infeksi dan obstruksi pada aliran kelenjar anal dapat
menyebabkan abses perianal akut. Beberapa dapat sembuh secara spontan
sedangkan lainnya memerlukan insisi dan drainase sacara operatif. Abses yang
tidak dapat dialirkan dengan baik akan bertahan dan mencari jalur drainase
lainnya melalui intersfingter space atau menyebrangi kompleks sfingter sehingga
menimbulkan suatu track fistula. Sisannya ( 10%) diakibatkan oleh kelainan
lainnya seperti crohn disease, tuberkulosis, divertikulitis, infeksi pelvis, trauma,
karsinoma anorektal atau terapi radiasi
Keperawatan sebagai salah satu profesi dalam pelayanan kesehatan memiliki
peran vital dalam penanganan pasien pasca operasi, termasuk pasca bedah
digestif. Selama periode pasca operatif, proses keperawatan diarahkan pada upaya
menstabilkan kembali equilibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri dan
pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera dapat
membantu pasien dalam mengembalikan fungsi optimalnyadengan cepat, aman
dan senyaman mungkin.

Upaya besar diarahkan pada mengantisipasi dan mencegah masalah-masalah


yang muncul pada periode pasca operatif. Pengkajian yang cepat dapat mencegah
komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau membahayakan
pasien. Oleh sebab itu, asuhan keperawatan pasien setelah pembedahan adalah
sama pentingnyadengan prosedur pembedahan itu sendiri.

Bahaya laten dalam pembedahan mencakup tidak hanya risiko prosedur bedah
tetapi juga bahaya komplikasi pasca operatif yang dapat memperpanjang
penyembuhan atau secara merugikan mempengaruhi hasil pembedahan. Perawat
mempunyai peran penting dalam bagian pencegahan komplikasi ini dan
berkolaborasi dengan dokter serta anggota tim perawatan lain dalam
penatalaksanaan mereka, bila mana terjadi komplikasi. Komplikasi pasca operatif
pada pasien fistula ani mencakup perdarahan, nyeri, inkontinesia, infeksi berulang
dan kemungkinan gangguan psikosis pasca operatif.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 TujuanUmum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah dapat memahami konsep-
konsep yang berkaitan dengan penyakit Fistula Ani dan proses
perawatannya.
1.2.2 TujuanKhusus
a. Memahami defenisi fistula ani
b. Memahami etiologi fistula ani
c. Memahami patofisiologi fistula ani
d. Memahami manifestasi klinis fistula ani
e. Memahami pemeriksaan penunjang fistula ani
f. Memahami penatalaksanaan medis fistula ani
g. Memahami penatalaksanaan keperawatan fistula ani

1.3 Sistematika Penulisan


Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan teoritis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi
Fistula adalah saluran sinus yang terjadi antara dua rongga tubuh atau antara
rongga tubuh dengan permukaan tubuh. Fistula dapat berupa terowongan yang
mengarah dari dalam lubang anus pada kulit sekitar anus. Definisi lain
menyebutkan bahwa fistula anal adalah pembukaan yang tidak normal dari
permukaan kutaneus dekat anus. Menurut Smeltzer dan Bare (2005) fistula anal
adalah saluran tipis, tubuler, fibrosa yang meluas ke dalam saluran anal dari
lubang yang terletak disamping anus. Fistula rektal adalah suatu saluran yang
berasal dari kanal anus menuju kulit di luar anus atau dari suatu abses pada kanal
anus atau area perianal.

2.2 Etiologi
Secara umum fistula ani terjadi akibat infeksi pada dubur pada kelenjar hasil di
perpanjangan sepsis melalui ruang intersphincteric ke jaringan perianal kelenjar
yang dimaksud adalah pada kelenjar anus kryptoglandular sehingga terjadi
supurativ anorektal. Kelenjar ini terdapat di dalam ruang intersphinteric. Keadaan
ini diawali kelenjar anus terinfeksi, kemudian sebuah abses kecil terbentuk di
daerah intersfincter. Abses ini kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di
bagian luar kelenjar anus di garis kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari
kelenjar tersebut akan mengakibatkan proses peradangan yang meluas sampai
perineum, anus atau seluruhnya, yang akhirnya membentuk abses perianal dan
kemudian menjadi fistula. Setelah pembedahan atau drainase spontan pada kulit
periani, biasanya jaringan granulasi dari traktus tertinggal, menyebabkan gejala
yang berulang

Fistula dapat muncul secara spontan atau sekunder karena abses perianal (atau
perirektal). Biasanya berhubungan dengan infeksi kelenjar anal atau dengan kata
lain kelenjar Hermann dan Desfosses. Faktanya, setelah drainase dari abses
periani, hampir 50 % terdapat kemungkinan untuk berkembang menjadi fistula
yang kronik. Fistula lainnya dapat terjadi Secara sekunder karena trauma,
penyakit Crohn. fisura ani, karsinoma, terapi radiasi, aktinomikosis, dan infeksi
klamidia juga dapat terjadi pada pasien dengan kondisi inflamasi berkepanjangan
pada usus, seperti pada Irritable Bowel Syndrome (IBS), diverticulitis, colitis
ulseratif, kanker rectum, tuberculosis usus, HIV-AIDS, dan infeksi lain pada
daerah ano-rektal.

2.3 Patofisiologi
Fustula timbul setelah infeksi pada kelenjar di sekitar lubang anus telah
menyebabkan abses yang mungkin telah pecah dengan sendirinya atau
diperlukan drainase oleh dokter bedah. Setelah terowongan telah terbentuk
mereka akan menyebabkan debit intermiten dari pintu keluar dari terowongan di
kulit, ini dapat berbentuk darah ke nanah, ke cairan ke gas. Sumber pakan
terowongan adalah pintu masuk di lubang anus. Jika pintu keluar dari
terowongan menutup dan pintu masuk tetap terbuka maka akan ada membangun
dari isi di dalam terowongan yang tidak bisa melarikan diri. Isi kemudian dapat
terinfeksi dan abses bisa terbentuk yang kemudian dapat menyebabkan lebih
banyak kerusakan pada jaringan sekitarnya atau menyebabkan cabang di sisi
samping dari terowongan. Terowongan akan selalu melewati beberapa otot
sfingter di sekitar lubang anus, ini mungkin sebagian otot kecil atau besar. Otot
sphincter sangat penting karena membuat flatus dan fese.
Penamaan fistula disesuain dengan klasifikasinya:
- Transsphincteric fistula adalah hasil abses iskiorektalis, dengan perpanjangan
saluran melalui sfingter eksternal. Mencapai sekitar 25 % dari semua fistula.
- Fistula intersphincteric terbatas pada ruang intersphincteric dan sfingter
internal. Mereka menghasilkan dari abses perianal. Jumlah untuk sekitar 70
% dari semua fistula.
- Fistula suprasphincteric adalah hasil dari abses supralevator. Mereka melewati
otot levator ani, dari atas otot puborectalis, dan ke dalam ruang
intersphincteric. Mencapai sekitar 5 % dari semua fistula.
- Fistula Extrasphincteric melewati lubang anus dan mekanisme sfingter,
melewati melalui fossa iskiorektalis dan otot levator ani, dan terbuka tinggi di
rektum. Menyumbang sekitar hanya 1 % dari semua fistula.
2.4 Manifestasi klinis
Dengan kondisi fistula ani biasanya pasien mengeluhkan beberapa gejala yaitu :
a. Nyeri, yang bertambah pada saat bergerak, defekasi, dan batuk.
b. Keluar darah atau nanah dari lubang fistula.
c. Iritasi atau ulkus di kulit di sekitar lubang fistula.
d. Gatal sekitar anus dan lubang fistula.
e. Benjolan (Massa fluktuan) bila masih berbentuk abses.
f. Demam, dan tanda tanda umum infeksi.

2.5 Pemeriksaan Fisik


Temuan pemeriksaan fisik tetap menjadi andalan diagnosis. Pada pemeriksaan
fisik  di daerah anus (dengan pemeriksaan digital/rectal toucher) ditemukan satu
atau lebih eksternal opening  fistula atau teraba adanya fistula di bawah
permukaan kulit. Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul (bila abses
belum pecah)  atau tampak sebagai saluran yang dikelilingi oleh jaringan
granulasi. Internal opening fistula dapat dirasakan sebagai daerah indurasi/ nodul
di dinding anus setinggi garis dentata. Terlepas dari jumlah eksternal opening,
terdapat hampir selalu hanya satu internal opening.

2.6 Pemeriksaan penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus untuk fistula ani, studi pra
operasi normal dilakukan berdasarkan usia dan komorbiditas.
 Pemeriksaan Radiologi
a. Fistulografi
Fistulografi merupakan pemerriksaan dengan memasukkan alat ke dalam
lubang/fistel untuk mengetahui keadaan luka. Fistulografi merupakan
jenis pemeriksaan radiografi untuk menunjukkan lokasi dan luas dari
fistel dengan menggunakan kontras mediadimana dilakukan injeksi
kontras melalui pembukaan internal diikuti anteroposterior, lateral dan
gambaran X-Ray.

Pada fistulografi, sebelum media kontras dimasukkan terlebih dahulu


dibuat plan foto dengan proyeksi antero posterior (AP), selanjutnya
stoma atau muara dikaterisasi dengan jarum halus dan kontras water
solubel diinjeksikan secara perlahan melalui track fistula yang diikuti
dengan fluoroskopi. Kemudian dilakukan pemotretan pada saat kontras
yang telah diinjeksikan melalui muara fistula telah mengisi penuh
saluran fistula. Hal ini dapat dilihat pada layar fluoroskopi dan ditandai
dengan keluarnya media kontras melalui muara fistula.

Fistulografi memiiliki dua kelemahan utama yang pertama kegagalan


pengisian track primer , hal ini dapat terjadi dikarenakan berisi debris
atau terjadinya refluks kontras yang berlebihan pada stoma interna dan
eksterna. Kedua muskulus sfingter tidak tervisualisasi dengan jelas
sehingga hubungan antara track dengan sfingter tidak jelas. Ketidak
mampuan untuk memvisualisasikan levator plate mengakibatkan
kesulitan dalam menentukan lokasi perluasan apakah infra atau supra
levator.
Peran perawat sebelum pemeriksaan fistulografi
 Menyiapkan informed consent
 Satu hari sebelum pemeriksaan, pasien diberikan makan makanan
lunak tidak berserat
 Malam hari sebelum pemeriksaan pasien diberikan garam
inggris/dulcolax tablet
 Memberitahukan pasien untuk berpuasa 8-10 jam
 Melakukan clisma pada pagi hari
b. Endoanal Ultrasonography
Endosonografi merupakan tehnik pertama yang digunakan untuk
menggambarkan kompleks sfingter ani. Modifikasi sederhana dengan
memutar probe rektal yang telah dilapisi dengan plastic kone
menyebabkan transduser dapat ditarik melalui kanalis analis dan
diletakan sangat dekat dengan struktur target organ. Tehnik ini sangat
membantu dikarenakan dapat memperlihatkan adanya kerusakan pada
sfingter ani. Pemeriksaan ini sederhana, cepat, invasif minimal dan
dapat dilakukan kapan saja. Pasien berbaring lateral dekubitus atau
prone. Probe dimasukan perlahan ke rektum distal kemudian ditarik
sampai kanalis analis.

Pemeriksaan untuk mengevaluasi secara mendalam, menggunakan


ultrasonografi, melihat kelainan dari dinding lubang anus dan bagian
akhir dari dubur, serta daerah sekitarnya. Pemeriksaan ini menggunakan
membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari lesi
transfingter. Transduser water filled ballon membantu evaluasi dinding
rectal dari beberapa ekstensi suprasfingter. Teknik yang sangat akurat
pada pra operasi tumor rektum dan anus, dan studi patologi anorektal,
seperti abses, fistula atau penilaian dari kasus inkontinensia tinja

c. CT-abdomen
CT scan umunya diperlukan pada pasien dengan penyakit chron atau
irritable bawel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah
daerah inflamasi. Pada umunya memerlukan administrasi kontras oral
dan rectal. CT scan sangat membantu pada kondisi penyakit inflamasi
perirectal daripada kondisi fistula mampu menggambarkan kantung yang
cairan yang terjadi pada inflamasi perirectal daripada menggambarkan
fistula.
CT dapat menggambarkan fistula khususnya jika digunakan kontras pada
IV dan rektal. Akan tetapi menggambarkan fistula saja tidaklah cukup.
Fistula harus diklasifikasikan dengan tepat dan CT kurang dapat
memberikan informasi secara akurat disebabkan atenuasi anal sfingter
dan dasar pelvis sangatlah mirip dengan fistula
Peran perawat sebelum pemeriksaan CT-abdomen
 Menyiapkan informed consent
 Pasien dipuasakan 4 jam sebelum pemeriksaan
 Menyiapkan hasil pemeriksaan laboratorium terkait ureum, creatinin

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu pemeriksaan
diagnostik dalam bidang radiologi yang menghasilkan gambaran
potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnit tanpa
menggunakan sinar X. Pemeriksaan MRI yang dilakukan dengan body
or phased-array coils yang tidak memerlukan persiapan khusus pada
pasien dan memberikan detail anatomis sphincter ani dan pelvis yang
sangat baik

MRI menjadi studi pilihan untuk evaluasi fistula kompleks dan fistula
reccurent. Telah terbukti mengurangi tingkat kekambuhan dengan
memberikan informasi yang lebih dalam mengenai fistula. MRI dipilih
apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks untuk memperbaiki
rekurensi.
Persiapan MRI:
a. Informed consent
b. Pasien diharapkan puasa 6 jam sebelum pemeriksaan
c. Mengurangi aktivitas fisik berat 24 jam sebelum pemeriksaan
d. Melepaskan aksesoris yang terbuat logam dan besi
e. Barium Enema:
Pemeriksaan X-ray pada usus besar (colon) yang sebelumnya colon diisi
dengan barium radiopaque medium. Dilakukakn untuk fistula multiple,
& bisa mendeteksi penyakit inflamasi usus.
Persiapan barium enema:
 Informed conset
 Membersihkan colon sebelum pemeriksaan bisa dengan pemberian
enema atau dengan pemberian laksative
 Sebelum tindakan pasien dipuasakan selama 6 jam

f. Anal Manometri: evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna


pada pasien tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma
persalinan atau pada fistula kompleks berulang yang mengenai sphincter
ani. 

2.7 Penatalaksanaan medis


Manajemen Medis Fistula
Terapi fistula meliputi mengatur atau memotong sfingter. Fistulotomi adalah
membuka fistula dengan memotong otot. Fistulektomi dilakukan dengan
menelusuri saluran, hal ini meningkatkan resiko kerusakan sfingter. Tehnik
pengaturan sfingter meliputi seton (penempatan alat untuk menjaga saluran tetap
terbuka agar sepsis dapat keluar), collagen plug, fibrin glue atau ligasi saluran
yang lewat di antara sfingter. Pada kasus yang lebih kompleks feses dapat
dialihkan melalui stoma. Dengan kemungkinan buruknya fungsi sfingter tehnik
yang lebih dipilih adalah pengaturan sfingter (Phillips, 2015).
Terapi Fistula pada Tahap Abses Akut
Insisi sederhana dan drainase pada abses perianal beresiko menimbulkan infeksi
dan fistula, dengan kemungkinan resiko berulangnya abses. Terapi fistula ani
adalah dengan pembedahan dengan mempertimbangkan jalur otot sfingter yang
dilalului. Hampir setengah dari pasien menjalani pembedahan dengan membuka
saluran fistula dalam satu atau dua tahap mengalami masalah dengan
inkontinensia. Kesulitan inilah yang membuat dokter memilih drainase sederhana
ketika menangani abses anal dengan alternative penanganan fistula bila terbentuk
saluran pada pasien. Pasien harus diingatkan akan adanya resiko kekambuhan
dan hasil yang buruk (Pigot, 2015).

Terapi Fistula tanpa Abses


Pada fistula rendah, resiko terjadinya inkontinensia setelah pembukaan saluran
fistula sederhana adalah minimal. Resiko minimal selama hanya terdapat
kerusakan yang minimal pada saat insisi awal dan drainase, sfingter intak (tidak
ada riwayat sfingterotomi, pembedahan multiple karena kambuhnya fistula, tidak
ada riwayat trauma obstetrikal sfingter) dan fungsi usus normal. Pada bebera
kasus dapat dipastikan kesembuhan permanen dari fistula. Pada beberapa kasus
pasien mungkin diberikan pilihan untuk penggunaan tehnik sphincter-sparing
seperti yang digunakan pada fistula tinggi (Pigot, 2015).

Pada fistula tinggi terdapat hubungan dengan resiko tinggi inkontinensia. Terapi
dapat berupa memotong sfingter secara bertahap (dengan menyusuri sambil
membuka saluran dalam beberapa tahap atau dengan mengeratkan secara
progresif elastik seton), atau dengan menutup saluran fistula dengan injeksi
perekat biologis, meletakkan flap mukosa atau kulit, atau dengan penjahitan kulit
langsung. Tindakan serupa dilakukan pada fistula rendah jiga sfingter sudah
rapuh atau jika pasien memiliki gangguan transit intestinal (Pigot, 2015).
Terapi pembedahan
a. Fistulotomi : Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit,
dibiarkan terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat
mungkin dilakukan fistulotomi. Tehnik fistulotomi memiliki angka
kekambuhan yang paling rendah (Pigot, 2015). Sementara itu Kronborg, 1985
dalam Phillips 2015 menyampaikan bahwa tehnik ini dapat meningkatkan
kesembuhan, namun jumlah otot sfingter yang terpotong akan mempengaruhi
resiko inkontinensia.
b. Fistulektomi : Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.
c. Seton : Benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua
macam Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual
untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana
benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan
ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.
Terapi ini merupakan terapi definitif atau dapat digunakan untuk drainase
sepsis sebelum terapi lainnya dan dapat dikombinasikan dengan fistulotomi
saluran ekstrasfingter. Angka kekambuhan dengan tehnik ini berkisar antara
16-80% dan kejadian inkontinensia hingga 22% (Phillips, 2015).
d. Advancement Flap : Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi
keberhasilannya tidak terlalu besar. Kegagalan tehnik meningkat pada pasien
yang telah mengalami perbaikan flap sebelumnya. Inkontinensia minor
dilaporkan mencapai 31% dan kekambuhan hingga 45% (Phillips, 2015).
e. Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke
dalam saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh
tubuh. Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana,
tidak sakit, dan aman, namun keberhasilan  jangka panjangnya tidak tinggi,
hanya 16%.
Pasca Operasi
Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah
operasi. Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap
beberapa hari. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun
cairan dari luka operasi untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar.
Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah pantat dengan
cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang
diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif.
Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja
setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang.
Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan
untuk duduk diam berlama-lama.

2.8 Manajemen Keperawatan


Pre-Operasi
Readiness for Enhanced Knowledge
1. Health Education
2. Teaching Disease Proccess
3. Teaching Procedure and Treatment

Post-operasi
a. Risk for Infection
1. Incision Site Care
 Melakukan inspeksi incision site, catat adanya redness, welling, atau
tanda dari dehiscence atau evisceration
 Mencatat karakteristik dari drainase
 Monitoring proses penyembuhan pada incision site
 Membersihkan sekitar area incision site dengan cleaning solution
 Monitor incision site dari tanda dan gejala infeksi
 Mengganti balutan secara berkala
 Memberikan kesempatan pasien untuk melihat incision site
 Menginstruksikan pasien tentang bagaimana perawatan insisi selama
mandi
 Mengajarkan pasien tentang bagaimana meminimalisis stres di sekitar
lokasi insisi
 Mengajarkan pasien atau keluarga tentang bagaimana perawatan insisi,
meliputi adanya tanda dan gejala.

2. Infection Control
 bersihkan area luka setiap pasien BAB
 mengganti peralatan perawatan yang sesuai protokol
 menghindarkan pasien dari paparan yang memungkinkan terjadi
penyakit
 pertahankan tehnik pertahanan tubuh
 pastikan melakukan perawatan luka yang sesui
 rencanakan terapi antibiotik
 menginstruksikan pasien minum antibiotik sesuai resep

3. Nutrition Management
 Menganjurkan pemasukan kalori
 Menganjurkan intake protein,zat besi dan vitamin C
 Menganjurkan diit yang mengandung serat, menganjurkan makan
makanan buah yang segar
 Memonitor dan mencatat intake dan kandungan nutrisi dan kalori

4. Perineal Care
 pertahankan perineum ( pasien wanita)
 inspeksi kondisi insisi atau robekan jika ditemukan
 pertahankan pasien dalam posisi/keadaan senyamuan mungkin
 menerapkan pemakaian absorbent pad jika memungkinkan untuk
drainage

5. Wound Care
 Memonitoring karakteristik meliputi drainase, warna, luas, dan bau
 Membersihkan dengan normal saline atau nontoxic cleanser (jika
diperlukan)
 Memakai dressing sesuai tipe dan jenis luka
 Mempertahankan kesterilisasian dressing dalam melakukan perawatan
luka
 Perhatikan keadaan luka setiap mengganti balutan
 Catat dan bandingkan setiap perubahan luka
 Cegah posisi yang dapat menyebabkan penekanan pada luka
 mengajarkan keluarga dan pasien sesuai instruksi
 mengajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala
 mendokumentasikan lokasi luka dan ukuran dan tampilan luka

b. Bowel Incontinence
1. Bowel Incontinence Care
 Menjelaskan penyebab terjadinya inkontinensia fekal
 Menjelaskan tujuan dari bowel management program kepada pasien
atau keluarga
 Mempertahankan kulit dari kelembabab yang berlebihan dari urin atau
diberikan moisture barrier cream (petrolatum, lanolin, dimethicone)
 Monitoring kulit perianal yang mengalami fistula dari infeksi
 Monitoring keadekuatan bowel evacuation

2. Bowel Management
 Mencatat kapan terakhir pasien BAB
 Monitoring tanda dan gejala dari konstipasi
 Mengevaluasi inkontinensia fekal yang terjadi
 Kolaborasi dengan tim gizi: mengurangi pemberian makanan yang
mengandung gas

3. Bowel Training
 Merencanakan bowel program dengan pasien atau keluarga
 Kolaboratif dengan dokter dalam pemberian supositoria
 Meningkatkan intake cairan yang adekuat
 Meningkatkan latihan secara adekuat (mobilisasi)
 Mengevaluasi gangguan inisiasi konsistensi waktu untuk defekasi

4. Nutrion Management
 Memastikan makanan yang dibutuhkan oleh pasien sesuai dengan
kondisi penyakitnya
 Kolaboratif dengan tim gizi dalam pemberian diet tinggis erat
 Mengajarkan pada pasien bagaimana untuk menjaga food diary

2.9 Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi langsung sesudah operasi / tertunda. Komplikasi yg bisa
langsung terjadi diantaranya:
a. Perdarahan
b. Impaksi fecal
c. Hemorrhoid
      Komplikasi yg tertunda diantaranya ialah:
a.  Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dgn banyaknya otot sfingter yg terpotong,
khususnya pada pasien dgn fistula kompleks seperti letak cukup tinggi & letak
posterior. Drainase dari pemanjangan secara tak sengaja bisa merusak saraf-
saraf kecil & memunculkan jaringan parut lebih berlimpah. Apabila pinggiran
fistulotomi tak tepat, kian anus bisa tak rapat menutup, yg membuat dampak
bocornya gas & feces. Risiko ini jg berkembang/berubah naik seiring menua
& pada wanita.

b. Rekurens
Terjadi dampak kegagalan dlm mengidentifikasi bukaan primer /
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas / ke samping. Epitelisasi dari
bukaan interna & eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab
persistennya fistula. Risiko ini jg berkembang/berubah naik seiring penuaan &
pada wanita.
c. Stenosis kanalis
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal.Penyembuhan
luka yg lambat. Penyembuhan luka membutuhkan waktuminus lebih 12
minggu, kecuali ada penyakit lain yg menyertai (seperti penyakit Crohn).

2.10 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini sangat baik sesudah sumber infeksi & fistula
teridentifikasi. Fistula mau menetap kalau/jika tak didrainase dgn benar.
Dgntindakan yg  tepat & mengikuti anjuran ,  kian prognosis dari fistula ani baik.
Komplikasi pun bisa terhindarkan.

Pada pasien yg sudah menjalani fistulotomi standar, dilaporkan angka


rekurensnya berkisar antara 0-18% & angka inkontinensia antara 3-7%. Pasien
yg menjalani penggunaan seton, angka rekurensnya 0-17% & angka
inkontinensia antara 0-17%. Sedangkan yg menjalani advancement flap, angka
rekurensnya berkisar antara 1-10% & angka inkontinensia antara 6-8%
BAB III
PEMBAHASAN

Telaah Jurnal : Impact of relaxation breathing on the internal anal sphincter in


patients with faecal incontinence
Fistula ani dapat mengakibatkan kerusakan otot sfingter terutama pada high fistula.
Kerusakan ini dapat menimbulkan masalah keperawatan yaitu inkontinensia fekal.
Inkontinensia fekal merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol pergerakan
bowel, yaitu oleh feses keluar dari rektum secara tidak terkendali. Penyebabnya
adalah diare, konstipasi dan kerusakan otot atau saraf. Kerusakan pada otot terjadi
karena kerusakan cincin akhir otot sampai rectum.

Inkontinensia fekal sering terjadi pada orang dewasa sampai 15% dan beberapa tanda
gastrointestinal seperti muntah, diare dan nyeri abdomen yang berhubungan dengan
gangguan motilitas gastrointestinal. Kontinensia fekal tergantung dari fungsi dari
sfingter ani internal (IAS) dan kemampuan dari sfingter ani eksternal (EAS) dan
konstraksi dari otot dasar panggul sebagai respon dari distensi rectal yang tiba-tiba
atau peningkatan tekanan rectal untuk mempertahankan tekanan saluran anal lebih
tinggi dari pada tekanan rectal.

Sfingter ani internal terdiri dari serat otot seperti cincin yang mengelilingi lubang
anus. Sekitar 55% tekanan istirahat anus dipengaruhi oleh IAS dimana 10 % adalah
aktivitas miogenik IAS dan 45% disebabkan oleh induksi saraf dari IAS. Sisanya
sebanyak 45% dipengaruhi oleh pleksus hemoroid (15 % dari pleksus hemoroid dan
30% oleh EAS) yang merupakan cincin otot lurik dibawah control volunteer di
sekitar anus. Baik saraf simpatik maupun parasimpatik dipersarafi oleh system saraf
otonom yang menginervasi IAS. Reflek relaksasi dari IAS merupakan respon dalam
peningkatan tekanan di rectum yang dikenal sebagai rectoanal inhibitory reflex
(RAIR).
Pernafasan tidak hanya terkait dengan oksigenasi. Ketika seseorang bernapas dengan
cepat karena keadaan panik atau nyeri yang merupakan cerminan dari nervus
simpatik yang mengakibatkan pelepasan noradrenalin. Pada saat relaksasi nervus
parasimpatik diaktifkan. Kontrol bernafas menunjukkan penurunan simpatetik dan
meningkatkan parasimpatetik.

Penyakit kronik seperti Crohns disease yang merupakan penyebab salah satu fistula
ani dapat mengakibatkan inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal mengakibatkan
peningkatan stimulasi saraf simpatik sehingga meningkatkan gangguan masalah di
saluran cerna dimana gangguannya berupa urgensi dan frekuensi fekal. Oleh karena
itu diberikan relaksasi breathing yang mampu menurunkan stimulasi saraf simpati
dan meningkatkan saraf parasimpatik. Dengan meningkatnya parasimpatis akan
mengurangi urgency dan frekuensi fekal.

Hasil penelitian menunjukkan kelompok penelitian memiliki rerata usia 62,1 tahun
dengan standar deviasi 21,1 tahun. 26% dari responden adalah laki-laki. Sementara
20 orang telah menjalani pembedahan sebelumnya. Seluruh responden menjalani
latihan relaksasi pernapasan secara tuntas. Satu orang tidak dapat diukur relaksasi
pernapasannya karena mengalami alergi terhadap balon karena adanya fisura anal.
Relaksasi pernapasan menurunkan amplitude tekanan anus secara signifikan pada
seluruh responden yang menjalani operasi usus (p<0,001). Laki-laki memiliki
tekanan anal lebih tinggi secara signifikan dibandingkan perempuan. Efek dari
relaksasi lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan (p = 0,048). Pada
kuesioner yang diberikan sebagai pelengkap penelitian didapatkan data 62,3%
responden merasakan relaksasi pernapasan amat sangat membantu komponen terapi,
34,8% merasakan program sangat membantu dan 2,9% sedikit membantu.
BAB IV
PENUTUP

Fistula perianal yang merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara


epiteldari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal. Fistula perianal adalah
bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh yang membentuk traktus akibat
inflamasi.
Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abses
anorektum, sehingga kebanyakan fistel mempunyai satu muara di kripta di perbatasan
anus dan rektum dan lubang lain di perineum kulit kepala.
Sebagian besar fistula ani memerlukan operasi karena fistula ani jarang
sembuh spontan. Setelah operasi risiko kekambuhan fistula termasuk cukup tinggi
yaitu sekitar 21% (satu dari lima pasien dengan fistula post operasi akan mengalami
kekambuhan).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah .(edisi 8). Jakarta : EGC

Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C. (2006). Patofisiologi:Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit,Edisi 6, Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta

McCloskey, Joanne C., Bullechek, Gloria M. (2015). Nursing Interventions


Classification (NIC). St. Loui: Mosby.

Anda mungkin juga menyukai