OLEH:
Kelompok 4:
Abd Gani Baeda 1506706843
Aby Yazid Al Busthomy Rofi’i 1506706862
Akhyarul Anam 1506706906
Devia Putri Lenggogeni 1506706982
Dhian Luluh Rohmawati 1506778804
Ika Ainur Rofi’ah 1506778905
Rahmiwati 1506707543
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq, serta hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas kelompok
dengan judul makalah “Konsep Teoritis Fistula Ani”. Makalah kelompok ini
disusun untuk memenuhi tugas mata ajar KMB Lanjut II.
Makalah ini berhasil disusun karena adanya bantuan dan arahan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Agung Waluyo, SKp., MSc., PhD selaku koordinator mata kuliah KMB
Lanjut II yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah ini
2. Ibu Dr. Debbie Dahlia, S.Kp, MHSM, selaku Tim Pengajar Mata Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II.
3. Teman-teman sekelompok KMB Lanjut II yang telah berdiskusi memberikan
ide-ide dan masukan dalam penyusunan makalah ini
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dalam menjalankan
penelitian ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawaasan baru
bagi semua pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fistula adalah hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel (Chris
Brooker,2008). Fistula ani merupakan alurgranulomatosa kronis yang berjalan
dari anus hingga bagian kulit luar anus, atau dari suatu abses hingga anus atau
daerah perianal (Price, 2005) . Fistula ani merupakan penyakit anorektal yang
umum terjadi dan terkait dengan ketidaknyamanan dan kesakitan pada pasien.
Fistula anus merupakan kondisi kronik, di mana operasi merupakan satu-satunya
penyembuhan (Black & Hawks, 2014).
Fistula perianal sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun, berkisar 1-3
kasus tiap 10.000 orang. . Biasanya mengenai laki-laki dengan rasio laki-laki:
perempuan 2:1. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak
semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk
fistula. Gejala yang paling utama adalah adanya discharge ( pada 65 % kasus)
tetapi nyeri lokal karena inflamasi juga sering di keluhkan.
Lebih dari 90% fistula perianal diyakini timbul sebagai akibat drainase yang tidak
baik dari kelenjar anal. Infeksi dan obstruksi pada aliran kelenjar anal dapat
menyebabkan abses perianal akut. Beberapa dapat sembuh secara spontan
sedangkan lainnya memerlukan insisi dan drainase sacara operatif. Abses yang
tidak dapat dialirkan dengan baik akan bertahan dan mencari jalur drainase
lainnya melalui intersfingter space atau menyebrangi kompleks sfingter sehingga
menimbulkan suatu track fistula. Sisannya ( 10%) diakibatkan oleh kelainan
lainnya seperti crohn disease, tuberkulosis, divertikulitis, infeksi pelvis, trauma,
karsinoma anorektal atau terapi radiasi
Keperawatan sebagai salah satu profesi dalam pelayanan kesehatan memiliki
peran vital dalam penanganan pasien pasca operasi, termasuk pasca bedah
digestif. Selama periode pasca operatif, proses keperawatan diarahkan pada upaya
menstabilkan kembali equilibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri dan
pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera dapat
membantu pasien dalam mengembalikan fungsi optimalnyadengan cepat, aman
dan senyaman mungkin.
Bahaya laten dalam pembedahan mencakup tidak hanya risiko prosedur bedah
tetapi juga bahaya komplikasi pasca operatif yang dapat memperpanjang
penyembuhan atau secara merugikan mempengaruhi hasil pembedahan. Perawat
mempunyai peran penting dalam bagian pencegahan komplikasi ini dan
berkolaborasi dengan dokter serta anggota tim perawatan lain dalam
penatalaksanaan mereka, bila mana terjadi komplikasi. Komplikasi pasca operatif
pada pasien fistula ani mencakup perdarahan, nyeri, inkontinesia, infeksi berulang
dan kemungkinan gangguan psikosis pasca operatif.
2.1 Definisi
Fistula adalah saluran sinus yang terjadi antara dua rongga tubuh atau antara
rongga tubuh dengan permukaan tubuh. Fistula dapat berupa terowongan yang
mengarah dari dalam lubang anus pada kulit sekitar anus. Definisi lain
menyebutkan bahwa fistula anal adalah pembukaan yang tidak normal dari
permukaan kutaneus dekat anus. Menurut Smeltzer dan Bare (2005) fistula anal
adalah saluran tipis, tubuler, fibrosa yang meluas ke dalam saluran anal dari
lubang yang terletak disamping anus. Fistula rektal adalah suatu saluran yang
berasal dari kanal anus menuju kulit di luar anus atau dari suatu abses pada kanal
anus atau area perianal.
2.2 Etiologi
Secara umum fistula ani terjadi akibat infeksi pada dubur pada kelenjar hasil di
perpanjangan sepsis melalui ruang intersphincteric ke jaringan perianal kelenjar
yang dimaksud adalah pada kelenjar anus kryptoglandular sehingga terjadi
supurativ anorektal. Kelenjar ini terdapat di dalam ruang intersphinteric. Keadaan
ini diawali kelenjar anus terinfeksi, kemudian sebuah abses kecil terbentuk di
daerah intersfincter. Abses ini kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di
bagian luar kelenjar anus di garis kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari
kelenjar tersebut akan mengakibatkan proses peradangan yang meluas sampai
perineum, anus atau seluruhnya, yang akhirnya membentuk abses perianal dan
kemudian menjadi fistula. Setelah pembedahan atau drainase spontan pada kulit
periani, biasanya jaringan granulasi dari traktus tertinggal, menyebabkan gejala
yang berulang
Fistula dapat muncul secara spontan atau sekunder karena abses perianal (atau
perirektal). Biasanya berhubungan dengan infeksi kelenjar anal atau dengan kata
lain kelenjar Hermann dan Desfosses. Faktanya, setelah drainase dari abses
periani, hampir 50 % terdapat kemungkinan untuk berkembang menjadi fistula
yang kronik. Fistula lainnya dapat terjadi Secara sekunder karena trauma,
penyakit Crohn. fisura ani, karsinoma, terapi radiasi, aktinomikosis, dan infeksi
klamidia juga dapat terjadi pada pasien dengan kondisi inflamasi berkepanjangan
pada usus, seperti pada Irritable Bowel Syndrome (IBS), diverticulitis, colitis
ulseratif, kanker rectum, tuberculosis usus, HIV-AIDS, dan infeksi lain pada
daerah ano-rektal.
2.3 Patofisiologi
Fustula timbul setelah infeksi pada kelenjar di sekitar lubang anus telah
menyebabkan abses yang mungkin telah pecah dengan sendirinya atau
diperlukan drainase oleh dokter bedah. Setelah terowongan telah terbentuk
mereka akan menyebabkan debit intermiten dari pintu keluar dari terowongan di
kulit, ini dapat berbentuk darah ke nanah, ke cairan ke gas. Sumber pakan
terowongan adalah pintu masuk di lubang anus. Jika pintu keluar dari
terowongan menutup dan pintu masuk tetap terbuka maka akan ada membangun
dari isi di dalam terowongan yang tidak bisa melarikan diri. Isi kemudian dapat
terinfeksi dan abses bisa terbentuk yang kemudian dapat menyebabkan lebih
banyak kerusakan pada jaringan sekitarnya atau menyebabkan cabang di sisi
samping dari terowongan. Terowongan akan selalu melewati beberapa otot
sfingter di sekitar lubang anus, ini mungkin sebagian otot kecil atau besar. Otot
sphincter sangat penting karena membuat flatus dan fese.
Penamaan fistula disesuain dengan klasifikasinya:
- Transsphincteric fistula adalah hasil abses iskiorektalis, dengan perpanjangan
saluran melalui sfingter eksternal. Mencapai sekitar 25 % dari semua fistula.
- Fistula intersphincteric terbatas pada ruang intersphincteric dan sfingter
internal. Mereka menghasilkan dari abses perianal. Jumlah untuk sekitar 70
% dari semua fistula.
- Fistula suprasphincteric adalah hasil dari abses supralevator. Mereka melewati
otot levator ani, dari atas otot puborectalis, dan ke dalam ruang
intersphincteric. Mencapai sekitar 5 % dari semua fistula.
- Fistula Extrasphincteric melewati lubang anus dan mekanisme sfingter,
melewati melalui fossa iskiorektalis dan otot levator ani, dan terbuka tinggi di
rektum. Menyumbang sekitar hanya 1 % dari semua fistula.
2.4 Manifestasi klinis
Dengan kondisi fistula ani biasanya pasien mengeluhkan beberapa gejala yaitu :
a. Nyeri, yang bertambah pada saat bergerak, defekasi, dan batuk.
b. Keluar darah atau nanah dari lubang fistula.
c. Iritasi atau ulkus di kulit di sekitar lubang fistula.
d. Gatal sekitar anus dan lubang fistula.
e. Benjolan (Massa fluktuan) bila masih berbentuk abses.
f. Demam, dan tanda tanda umum infeksi.
c. CT-abdomen
CT scan umunya diperlukan pada pasien dengan penyakit chron atau
irritable bawel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah
daerah inflamasi. Pada umunya memerlukan administrasi kontras oral
dan rectal. CT scan sangat membantu pada kondisi penyakit inflamasi
perirectal daripada kondisi fistula mampu menggambarkan kantung yang
cairan yang terjadi pada inflamasi perirectal daripada menggambarkan
fistula.
CT dapat menggambarkan fistula khususnya jika digunakan kontras pada
IV dan rektal. Akan tetapi menggambarkan fistula saja tidaklah cukup.
Fistula harus diklasifikasikan dengan tepat dan CT kurang dapat
memberikan informasi secara akurat disebabkan atenuasi anal sfingter
dan dasar pelvis sangatlah mirip dengan fistula
Peran perawat sebelum pemeriksaan CT-abdomen
Menyiapkan informed consent
Pasien dipuasakan 4 jam sebelum pemeriksaan
Menyiapkan hasil pemeriksaan laboratorium terkait ureum, creatinin
MRI menjadi studi pilihan untuk evaluasi fistula kompleks dan fistula
reccurent. Telah terbukti mengurangi tingkat kekambuhan dengan
memberikan informasi yang lebih dalam mengenai fistula. MRI dipilih
apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks untuk memperbaiki
rekurensi.
Persiapan MRI:
a. Informed consent
b. Pasien diharapkan puasa 6 jam sebelum pemeriksaan
c. Mengurangi aktivitas fisik berat 24 jam sebelum pemeriksaan
d. Melepaskan aksesoris yang terbuat logam dan besi
e. Barium Enema:
Pemeriksaan X-ray pada usus besar (colon) yang sebelumnya colon diisi
dengan barium radiopaque medium. Dilakukakn untuk fistula multiple,
& bisa mendeteksi penyakit inflamasi usus.
Persiapan barium enema:
Informed conset
Membersihkan colon sebelum pemeriksaan bisa dengan pemberian
enema atau dengan pemberian laksative
Sebelum tindakan pasien dipuasakan selama 6 jam
Pada fistula tinggi terdapat hubungan dengan resiko tinggi inkontinensia. Terapi
dapat berupa memotong sfingter secara bertahap (dengan menyusuri sambil
membuka saluran dalam beberapa tahap atau dengan mengeratkan secara
progresif elastik seton), atau dengan menutup saluran fistula dengan injeksi
perekat biologis, meletakkan flap mukosa atau kulit, atau dengan penjahitan kulit
langsung. Tindakan serupa dilakukan pada fistula rendah jiga sfingter sudah
rapuh atau jika pasien memiliki gangguan transit intestinal (Pigot, 2015).
Terapi pembedahan
a. Fistulotomi : Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit,
dibiarkan terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat
mungkin dilakukan fistulotomi. Tehnik fistulotomi memiliki angka
kekambuhan yang paling rendah (Pigot, 2015). Sementara itu Kronborg, 1985
dalam Phillips 2015 menyampaikan bahwa tehnik ini dapat meningkatkan
kesembuhan, namun jumlah otot sfingter yang terpotong akan mempengaruhi
resiko inkontinensia.
b. Fistulektomi : Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.
c. Seton : Benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua
macam Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual
untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana
benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan
ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.
Terapi ini merupakan terapi definitif atau dapat digunakan untuk drainase
sepsis sebelum terapi lainnya dan dapat dikombinasikan dengan fistulotomi
saluran ekstrasfingter. Angka kekambuhan dengan tehnik ini berkisar antara
16-80% dan kejadian inkontinensia hingga 22% (Phillips, 2015).
d. Advancement Flap : Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi
keberhasilannya tidak terlalu besar. Kegagalan tehnik meningkat pada pasien
yang telah mengalami perbaikan flap sebelumnya. Inkontinensia minor
dilaporkan mencapai 31% dan kekambuhan hingga 45% (Phillips, 2015).
e. Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke
dalam saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh
tubuh. Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana,
tidak sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi,
hanya 16%.
Pasca Operasi
Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah
operasi. Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap
beberapa hari. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun
cairan dari luka operasi untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar.
Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah pantat dengan
cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang
diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif.
Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja
setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang.
Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan
untuk duduk diam berlama-lama.
Post-operasi
a. Risk for Infection
1. Incision Site Care
Melakukan inspeksi incision site, catat adanya redness, welling, atau
tanda dari dehiscence atau evisceration
Mencatat karakteristik dari drainase
Monitoring proses penyembuhan pada incision site
Membersihkan sekitar area incision site dengan cleaning solution
Monitor incision site dari tanda dan gejala infeksi
Mengganti balutan secara berkala
Memberikan kesempatan pasien untuk melihat incision site
Menginstruksikan pasien tentang bagaimana perawatan insisi selama
mandi
Mengajarkan pasien tentang bagaimana meminimalisis stres di sekitar
lokasi insisi
Mengajarkan pasien atau keluarga tentang bagaimana perawatan insisi,
meliputi adanya tanda dan gejala.
2. Infection Control
bersihkan area luka setiap pasien BAB
mengganti peralatan perawatan yang sesuai protokol
menghindarkan pasien dari paparan yang memungkinkan terjadi
penyakit
pertahankan tehnik pertahanan tubuh
pastikan melakukan perawatan luka yang sesui
rencanakan terapi antibiotik
menginstruksikan pasien minum antibiotik sesuai resep
3. Nutrition Management
Menganjurkan pemasukan kalori
Menganjurkan intake protein,zat besi dan vitamin C
Menganjurkan diit yang mengandung serat, menganjurkan makan
makanan buah yang segar
Memonitor dan mencatat intake dan kandungan nutrisi dan kalori
4. Perineal Care
pertahankan perineum ( pasien wanita)
inspeksi kondisi insisi atau robekan jika ditemukan
pertahankan pasien dalam posisi/keadaan senyamuan mungkin
menerapkan pemakaian absorbent pad jika memungkinkan untuk
drainage
5. Wound Care
Memonitoring karakteristik meliputi drainase, warna, luas, dan bau
Membersihkan dengan normal saline atau nontoxic cleanser (jika
diperlukan)
Memakai dressing sesuai tipe dan jenis luka
Mempertahankan kesterilisasian dressing dalam melakukan perawatan
luka
Perhatikan keadaan luka setiap mengganti balutan
Catat dan bandingkan setiap perubahan luka
Cegah posisi yang dapat menyebabkan penekanan pada luka
mengajarkan keluarga dan pasien sesuai instruksi
mengajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala
mendokumentasikan lokasi luka dan ukuran dan tampilan luka
b. Bowel Incontinence
1. Bowel Incontinence Care
Menjelaskan penyebab terjadinya inkontinensia fekal
Menjelaskan tujuan dari bowel management program kepada pasien
atau keluarga
Mempertahankan kulit dari kelembabab yang berlebihan dari urin atau
diberikan moisture barrier cream (petrolatum, lanolin, dimethicone)
Monitoring kulit perianal yang mengalami fistula dari infeksi
Monitoring keadekuatan bowel evacuation
2. Bowel Management
Mencatat kapan terakhir pasien BAB
Monitoring tanda dan gejala dari konstipasi
Mengevaluasi inkontinensia fekal yang terjadi
Kolaborasi dengan tim gizi: mengurangi pemberian makanan yang
mengandung gas
3. Bowel Training
Merencanakan bowel program dengan pasien atau keluarga
Kolaboratif dengan dokter dalam pemberian supositoria
Meningkatkan intake cairan yang adekuat
Meningkatkan latihan secara adekuat (mobilisasi)
Mengevaluasi gangguan inisiasi konsistensi waktu untuk defekasi
4. Nutrion Management
Memastikan makanan yang dibutuhkan oleh pasien sesuai dengan
kondisi penyakitnya
Kolaboratif dengan tim gizi dalam pemberian diet tinggis erat
Mengajarkan pada pasien bagaimana untuk menjaga food diary
2.9 Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi langsung sesudah operasi / tertunda. Komplikasi yg bisa
langsung terjadi diantaranya:
a. Perdarahan
b. Impaksi fecal
c. Hemorrhoid
Komplikasi yg tertunda diantaranya ialah:
a. Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dgn banyaknya otot sfingter yg terpotong,
khususnya pada pasien dgn fistula kompleks seperti letak cukup tinggi & letak
posterior. Drainase dari pemanjangan secara tak sengaja bisa merusak saraf-
saraf kecil & memunculkan jaringan parut lebih berlimpah. Apabila pinggiran
fistulotomi tak tepat, kian anus bisa tak rapat menutup, yg membuat dampak
bocornya gas & feces. Risiko ini jg berkembang/berubah naik seiring menua
& pada wanita.
b. Rekurens
Terjadi dampak kegagalan dlm mengidentifikasi bukaan primer /
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas / ke samping. Epitelisasi dari
bukaan interna & eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab
persistennya fistula. Risiko ini jg berkembang/berubah naik seiring penuaan &
pada wanita.
c. Stenosis kanalis
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal.Penyembuhan
luka yg lambat. Penyembuhan luka membutuhkan waktuminus lebih 12
minggu, kecuali ada penyakit lain yg menyertai (seperti penyakit Crohn).
2.10 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini sangat baik sesudah sumber infeksi & fistula
teridentifikasi. Fistula mau menetap kalau/jika tak didrainase dgn benar.
Dgntindakan yg tepat & mengikuti anjuran , kian prognosis dari fistula ani baik.
Komplikasi pun bisa terhindarkan.
Inkontinensia fekal sering terjadi pada orang dewasa sampai 15% dan beberapa tanda
gastrointestinal seperti muntah, diare dan nyeri abdomen yang berhubungan dengan
gangguan motilitas gastrointestinal. Kontinensia fekal tergantung dari fungsi dari
sfingter ani internal (IAS) dan kemampuan dari sfingter ani eksternal (EAS) dan
konstraksi dari otot dasar panggul sebagai respon dari distensi rectal yang tiba-tiba
atau peningkatan tekanan rectal untuk mempertahankan tekanan saluran anal lebih
tinggi dari pada tekanan rectal.
Sfingter ani internal terdiri dari serat otot seperti cincin yang mengelilingi lubang
anus. Sekitar 55% tekanan istirahat anus dipengaruhi oleh IAS dimana 10 % adalah
aktivitas miogenik IAS dan 45% disebabkan oleh induksi saraf dari IAS. Sisanya
sebanyak 45% dipengaruhi oleh pleksus hemoroid (15 % dari pleksus hemoroid dan
30% oleh EAS) yang merupakan cincin otot lurik dibawah control volunteer di
sekitar anus. Baik saraf simpatik maupun parasimpatik dipersarafi oleh system saraf
otonom yang menginervasi IAS. Reflek relaksasi dari IAS merupakan respon dalam
peningkatan tekanan di rectum yang dikenal sebagai rectoanal inhibitory reflex
(RAIR).
Pernafasan tidak hanya terkait dengan oksigenasi. Ketika seseorang bernapas dengan
cepat karena keadaan panik atau nyeri yang merupakan cerminan dari nervus
simpatik yang mengakibatkan pelepasan noradrenalin. Pada saat relaksasi nervus
parasimpatik diaktifkan. Kontrol bernafas menunjukkan penurunan simpatetik dan
meningkatkan parasimpatetik.
Penyakit kronik seperti Crohns disease yang merupakan penyebab salah satu fistula
ani dapat mengakibatkan inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal mengakibatkan
peningkatan stimulasi saraf simpatik sehingga meningkatkan gangguan masalah di
saluran cerna dimana gangguannya berupa urgensi dan frekuensi fekal. Oleh karena
itu diberikan relaksasi breathing yang mampu menurunkan stimulasi saraf simpati
dan meningkatkan saraf parasimpatik. Dengan meningkatnya parasimpatis akan
mengurangi urgency dan frekuensi fekal.
Hasil penelitian menunjukkan kelompok penelitian memiliki rerata usia 62,1 tahun
dengan standar deviasi 21,1 tahun. 26% dari responden adalah laki-laki. Sementara
20 orang telah menjalani pembedahan sebelumnya. Seluruh responden menjalani
latihan relaksasi pernapasan secara tuntas. Satu orang tidak dapat diukur relaksasi
pernapasannya karena mengalami alergi terhadap balon karena adanya fisura anal.
Relaksasi pernapasan menurunkan amplitude tekanan anus secara signifikan pada
seluruh responden yang menjalani operasi usus (p<0,001). Laki-laki memiliki
tekanan anal lebih tinggi secara signifikan dibandingkan perempuan. Efek dari
relaksasi lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan (p = 0,048). Pada
kuesioner yang diberikan sebagai pelengkap penelitian didapatkan data 62,3%
responden merasakan relaksasi pernapasan amat sangat membantu komponen terapi,
34,8% merasakan program sangat membantu dan 2,9% sedikit membantu.
BAB IV
PENUTUP
Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah .(edisi 8). Jakarta : EGC