Anda di halaman 1dari 24

DISKUSI KASUS

FISTULA ANI

Oleh:
Adji Nabila Chintia 21704101006
Lela Fitrotin Nazila 21704101036

.
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Sejak dahulu, fistula ani adalah penyakit yang cukup umum dijumpai. Diskusi
mengenai fistula ani dapat kita lihat pada literatur kedokteran yang berasal dari tahun 400 SM.
Meski demikian, fistula tetap menjadi topik yang hangat hingga sekarang dan masih menjadi
kasus yang menantang bagi para dokter di seluruh dunia1.

Pasien dengan fistula dapat mengeluhkan keluarnya cairan perianal yang berbau
busuk, gatal, abses berulang, demam, atau nyeri di daerah perianal akibat tersumbatnya
saluran. Nyeri dapat timbul baik saat duduk, bergerak, buang air besar, bahkan saat batuk
sekalipun. Nyeri dapat ringan hingga berat dan dirasakan terus menerus sepanjang hari. Tak
pelak lagi, hal ini tentu dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderitanya,
yang sebagian besar adalah orang dengan usia produktif2.

Meski nyeri dapat berkurang atau hilang dengan sendirinya jika terbentuk saluran
keluar baru, tetapi ini berarti kompleksitas fistula semakin bertambah. Rasa tidak nyaman
juga tetap ada dan saluran keluar yang menimbulkan masalah kebersihan. Jika tidak diobati,
fistula yang terinfeksi berulang kali dapat menimbulkan masalah sistemik, seperti sepsis
hingga mencetuskan terjadinya keganasan. Pengobatan dengan obat-obatan tidak dapat
membantu menutup fistula. Pengobatan dengan herbal telah diperkenalkan oleh ahli
pengobatan India di zaman dulu, yaitu oleh Sushruta. Meski pengobatan ini masih diwariskan
selama bertahun-tahun, tetapi efektivitasnya belum dapat dibuktikan dan tidak menutup
kemungkinan fistula kambuh kembali2.

Hingga saat ini, pembedahan adalah modalitas terapi yang menjadi pilihan saat
menghadapi kasus fistula. Namun, bukan berarti setelah dioperasi fistula tidak lagi dapat
menimbulkan komplikasi. Pembedahan dapat menimbulkan masalah baru seperti retensi
urine, perdarahan, pembentukan abses, tidak dapat menahan cairan dan flatus, dan kambuhnya
fistula3.

Terapi konservatif medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta


profilaksis antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren. Perlu dibahas lebih
dalam mengenai farmakologi kasus fistula ani sehingga dapat memberikan pemahaman
mengenai penatalaksanaan kasus fistula ani menggunakan obat disamping terapi bedah3.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Fistula ani adalah hubungan abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis
dari kulit perianal. Biasanya merupakan kelanjutan dari abses anorektal, sehingga fistula ani
merupakan bentuk kronis dari abses anorektal. Dalam muara interna (primer) hampir selalu
berada dalam kripta, fistula biasanya tunggal dan hanya melibatkan bagian muskulus sfingter;
fistula majemuk atau fistula-fistula yang melibatkan seluruh muskulus sfingter eksterna
kurang lazim ditemukan3.

Hampir semua fistula anus disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abses anorektum,
sehingga kebanyakan fistula mempunyai satu muara di kripta di perbatasan anus dan rectum
dan lubang lain di perineum di kulit perianal. Kadang, fistula disebabkan oleh colitis disertai
proktitis seperti TBC, amobiasis dan morbus Crohn. Bila gejala diare menyertai fistula
anorektal yang berulang, perlu dipikirkan penyakit Crohn, karena 50 % penderita penyakit
Crohn mengalami fistula anus4.

Fistula dapat terletak di subkutis, submukosa, antar sphingter atau menembus sfingter.
Fistula mungkin terletak di anterior, lateral atau posterior. Bentuknya mungkin lurus,
bengkok, atau mirip sepatu kuda. Umumnya fingter bersifat tunggal, kadang ditemukan yang
kompleks4.

2.2 Insiden & Epidemiologi


Fistula perianal sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun, berkisar 1-3 kasus
tiap 10.000 orang. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak semua abses
menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula5.

2.3 Etiologi
Kebanyakan fistula berawal dari kelenjar dalam di dinding anus atau rektum. Kadang-
kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada abses anorektal. Terdapat
sekitar 7-40% pada kasus abses anorektal berlanjut menjadi fistel perianal. Namun lebih
sering penyebabnya tidak dapat diketahui. Organisme yang biasanya terlibat dalam
pembentukan abses adalah Escherichia coli, Enterococcus sp dan Bacteroides sp. Fistula juga
sering ditemukan pada penderita dengan penyakit Crohn, tuberkulosis, devertikulitis, kanker
atau cedera anus maupun rektum, aktinomikosis dan infeksi klamidia. Fistula pada anak-anak
3
biasanya merupakan cacat bawaan. Fistula yang menghubungkan rektum dan vagina bisa
merupakan akibat dari terapi sinat x, kanker, penyakit Crohn dan cedera pada ibu selama
proses persalinan5.

2.4 Patofisiologi
Pada kanalis anal terdapat kelenjar kriptoglandur yang mengalir menuju kripta pada
linea dentata. Bila kelenjar mengalami infeksi dan salurannya tersumbat akan menyebabkan
abses anorektal. Dapat berada pada perianal, ischiorectal space, intersphincteric space, dan
pelvirectal space6.
Bila keadaan ini terus berlanjut akan berlanjut menjadi fistula dimana abses akan
berusaha mencari jalan keluar dan dapat timbul juga setelah drainase, kadang jaringan
granulasi berlapis dapat tertinggal dan menyebabkan gejala berulang6.

Gambar 1. Teori kriptoglandular


2.5 Klasifikasi
Fistula diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan kompleks anal sphincter
sebagai berikut6:
 Fistula intersphincteric  berawal dalam ruang diantara M. Sfingter Eksterna dan
Interna dan bermuara berdekatan dengan lubang anus7.

Gambar 2. Fistula intersphincteric (Colon and Rectal Surgery, 2005)


4
 Fistula transsphincteric  berawal dalm ruang diantara M. Sfingter Eksterna dan
Interna, kemudian melewati M. Sfingter Eksterna dan bermuara sepanjang ½ inchi di
luar lubang anus8.

Gambar 3. Fistula transsphincteric (Colon and Rectal Surgery, 2005)

 Fistula suprasphincteric  berawal dari ruang diantara M. Sfingter Eksterna dan


Interna dan membelah ke atas M. Puborektalis lalu turun diantara puborektal dan M.
Levator ani lalu muncul ½ inchi di luar anus9.

Gambar 4. Fistula suprasphincteric (Colon and Rectal Surgery, 2005)

 Fistula extrasphincteric  berawal dari rektum/colon sigmoid dan memanjang ke


bawah, ,elewati M. Levator ani dan berakhir di sekitar anus. Biasanya akibat dari
trauma, Chron’s Disease, PID, dan abses supralevator10.

5
Gambar 5. Fistula extrasphincteric (Colon and Rectal Surgery, 2005)

Gambar 6. Principles of Surgery (Schwartz’s, 2004)

Gambar 7. Fistula transsphincteric, intersphincteric, extrasphincteric, dan suprasphincteric


6
Hukum Goodsall

Fistula ani terdiri lubang interna dan eksterna. Dengan melihat adanya lubang externa
dapat diperkirakan letak lubang internanya dan salurannya dengan Goodsall’s rule. Secara
umum, jika lubang eksterna berada di sebelah anterior dari anal tranversal line maka
salurannya berjalan radier membentuk garis lurus. Sebaliknya bila lubang eksterna berada di
sebelah posterior dari anal transversal line maka saluran akan melengkung menuju posterior
midline11.

Gambar 8. Goodsall Rule Gambar 9. Goodsall Rule


(emedicine.medscape.com) (Sabiston Textbook of Surgery, 17th edition)

2.6 Penegakan Diagnosa

 Anamnesis
Dari anamnesis biasanya ada riwayat kambuhan abses perianal dengan selang
waktu diantaranya, disertai pengeluaran nanah sedikit-sedikit. Pada colok dubur
umumnya fistel dapat diraba antara telunjuk dianus (bukan di rectum) dan ibu jari
dikulit perineum sebagai tali setebal kira-kira 3mm (colok dubur bidigital). Jika fistel
agak lurus dapat disonde sampai sonde keluar di kripta asalnya. Fistel perineum jarang
menyebabkan gangguan sistemik, fistel kronik yang lama sekali dapat mengalami
degenerasi maligna menjadi karsinoma planoseluler kulit. Sering memberikan sejarah
yang dapat diandalkan nyeri sebelumnya, bengkak, dan spontan atau drainase bedah
direncanakan dari abses anorektal12.

7
Tanda dan gejala sebagai berikut13 :

 Nyeri pada saat bergerak, defekasi dan batuk


 Ulkus
 Keluar cairan purulen
 Benjolan (Massa fluktuasi)
 Pruritus ani
 Demam
 Kemerahan dan iritasi kulit di sekitar anus
 General malaise

Fistula kompleks adalah sebagai berikut14 :

 Radang usus
 Divertikulitis
 Sebelumnya terapi radiasi untuk kanker prostat atau dubur
 Tuberkulosis
 Terapi steroid
 Infeksi HIV

 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik tetap menjadi andalan diagnosis. Pada pemeriksaan
fisik di daerah anus (dengan pemeriksaan digital/rectal toucher) ditemukan satu atau
lebih eksternal opening fistula atau teraba adanya fistula di bawah permukaan kulit15.

Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul (bila abses belum pecah) atau
tampak sebagai saluran yang dikelilingi oleh jaringan granulasi. Internal opening
fistula dapat dirasakan sebagai daerah indurasi/ nodul di dinding anus setinggi garis
dentata. Terlepas dari jumlah eksternal opening, terdapat hampir selalu hanya satu
internal opening16.

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis fistula ani antara lain17:
 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada studi laboratorium khusus yang diperlukan; studi pra operasi
normal dilakukan berdasarkan usia dan komorbiditas18.

8
 Pemeriksaan Radiologi19
- Fistulografi : Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan
anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur
fistula.

Gambar 10. Fistulografi tampak anteroposterior

- Ultrasound endoanal / endorektal : Menggunakan transduser 7 atau 10


MHz ke dalam kanalis ani untuk membantu melihat differensiasi muskulus
intersfingter dari lesi transfingter. Transduser water-filled ballon membantu
evaluasi dinding rectal dari beberapa ekstensi suprasfingter.
- MRI : MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk
memperbaiki rekurensi.
- CT- Scan : CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit
crohn atau irritable bowel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan
daerah inflamasi. Pada umumnya memerlukan administrasi kontras oral
dan rektal.
- Barium Enema : untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit
inflamasi usus.
- Anal Manometri : evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna
pada pasien tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma
persalinan, atau pada fistula kompleks berulang yang mengenai sphincter
ani.

9
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi dari fistula ani adalah eradikasi sepsis tanpa menyebabkan
inkonstinensia. Terapi dari fistula tergantung dari jenis fistulanya sendiri20.
Simple intersphincteric fistula sering diterapi dengan fistulotomy (membuka tract
fistula), kuretase, dan penyembuhan sekunder.

Gambar 11. Teknik fistulotomi (Colon and Rectal Surgery, 2005)

Pada fistula transsphinteric terapi tergantung dari lokasi kompleks sphincter yang
terkena. Bila fistula kurang dari 30% otot sphincter yang terkena dapat dilakukan
sphincterotomy tanpa menimbulkan inkonstinensia yang berarti. Bila fistulanya high
transsphincteric dapat dilakukan dengan pemasangan seton20.
Pada fistula suprasphenteric biasanya diterapi juga dengan pemasangan seton. Pada
fistula extrasphincteric terapi tergantung dari anatomi dari fistula, biasanya bila fistula diluar
sphincter dibuka dan didrainase21.
Seton digunakan untuk identifikasi tract, sebagai drainase, dan merangsang terjadinya
fibrosis dengan tetap menjaga fungsi dari sphincter. Cutting seton terbuat dari karet yang
diletak pada fistula untuk merangsang fibrosis. Noncutting seton terbuat dari plastic yang
digunakan sebagai drainase21.
Beberapa metode telah diperkenalkan untuk mengidentifikasi tract fistula saat berada
di kamar operasi22 :
 Memasukkan probe melalui lubang eksternal sampai ke bukaan internal, atau
sebaliknya.
 Menginjeksi cairan warna seperti methylene blue, susu, atau hidrogen peroksida, dan
memperhatikan titik keluarnya di linea dentata.
 Mengikuti jaringan granulasi pada traktus fistula.
 Memperhatikan lipatan kripta anal saat traksi dilakukan pada traktus. Hal ini dapat
berguna pada fistula sederhana namun kurang berhasil pada varian yang kompleks

10
 Terapi Konservatif Medikamentosa
yaitu dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis antibiotik jangka
panjang untuk mencegah fistula rekuren23.

 Terapi pembedahan23 :
- Fistulotomi : Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit, dibiarkan
terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat mungkin dilakukan
fistulotomi.
- Fistulektomi : Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya terbuka.
- Seton : Benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua macam
Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual untuk memotong
otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana benang Seton ditinggalkan
supaya terbentuk granulasi dan benang akan ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri
setelah beberapa bulan.
- Advancement Flap : Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi keberhasilannya
tidak terlalu besar.
- Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam saluran
fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh. Penggunaan fibrin
glue memang tampak menarik karena sederhana, tidak sakit, dan aman, namun
keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya 16%.

Pasca Operasi

Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah operasi.
Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap beberapa hari. Setelah
operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan dari luka operasi untuk beberapa
hari, terutama sewaktu buang air besar25. Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath
(merendam daerah pantat dengan cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin.
Obat obatan yang diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif.
Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja setelah
beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang. Pasien tidak
dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan untuk duduk diam berlama-
lama26.

11
2.8 Komplikasi
Komplikasi dini pasca operasi, sebagai berikut27 :

 Retensi urin
 Pendarahan
 Impaksi tinja
 Thrombosed wasir
Komplikasi tertunda pascaoperasi, sebagai berikut28 :

 Kambuh
 Inkontinensia
 stenosis Anal: Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis dari lubang anus. Bulking
agen untuk membantu mencegah bangku sempit29.

2.9 Prognosis
Fistel dapat kambuh bila lubang dalam tidak turut dibuka atau dikeluarkan,
cabang fistel tidak turut dibuka, atau kulit sudah menutup luka sebelum jaringan granulasi
menempel permukaan30. Setelah fistulotomy standar, tingkat kekambuhan dilaporkan
adalah 0-18% dan tingkat dari setiap inkontinensia tinja adalah 3-7%. Setelah
menggunakan Seton, melaporkan tingkat kekambuhan adalah 0-17% dan tingkat dari
setiap inkontinensia feses adalah 0-17%. Setelah flap mukosa kemajuan, tingkat
kekambuhan dilaporkan adalah 1-17% dan tingkat dari setiap inkontinensia feses adalah
6-8%31.

12
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. AE
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Sudah menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Bandung
II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Benjolan pada kedua pantat.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik Bedah dengan keluhan terdapat benjolan pada


pantat sebelah kiri di dekat anus sejak satu bulan yang lalu. Kemudian benjolan
tersebut pecah dan mengeluarkan cairan berwarna putih seperti nanah, tidak ada darah
dan terasa nyeri. Satu minggu kemudian muncul benjolan pada pantat sebelah kanan di
dekat anus. Benjolan terasa nyeri dan keras, kemudian benjolan tersebutpun pecah dan
mengeluarkan cairan berwarna putih seperti nanah tapi tidak ada darah. Demam dan
pusing dirasakan bersamaan dengan nyeri. Mual dan muntah tidak ada. Buang air
besar lancar. Buang air kecil lancar.

Pasien pernah berobat ke poliklinik didekat rumahnya dan hanya diberi obat,
kemudian merasa enakan. Setelah itu nyeri terasa kembali dan pasien datang ke
poliklinik bedah.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat diabetes melitus tidak ada, hipertensi tidak ada. Pasien memiliki
riwayat maag.
13
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat diabetes melitus dan hipertensi dalam keluarga tidak ada.

Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Tanda-tanda Vital

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital
o TD : 110/80 mmHg
o Nadi : 92 x/menit
o Respirasi : 24 x/menit
o Suhu : 36,4°C

Status Generalis

 Kepala : Normocephal
 Mata : CA (-/-), SI (-/-)
 Mulut : Tonsil TI – TI tenang, Faring hiperemis (-)
 Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba membesar, trakea terletak
ditengah.
 Thorak : Bentuk dan Gerak simetris
 Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus vokal pada hemithoraks kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri
Auskultasi : VBS (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

14
 Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : NT/NK/NL -/-/-, hepar dan lien tidak teraba membesar,
Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
 Ekstremitas
Atas : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Bawah : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Status Lokalis

a/r perianal : ditemukan benjolan pada regio perianal dextra arah jam 3 dan pada regio
perianal sinistra arah jam 9 dan arah jam 10, masing-masing berdiameter ±1cm,
berwarna kemerahan, massa (-), permukaan licin.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Fistulografi
2. Endoanal/endorectal ultrasonografi
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Fistula Ani
2. Hidradenitis Supurativa
3. Fistel Proktitis
VI. DIAGNOSIS KERJA
Fistula Ani
VII. PENATALAKSANAAN
Fistulotomi
15
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

16
ANALISIS KASUS

Fistula ani, fistula in ano, atau sering juga disebut fistula perianal merupakan sebuah
hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal.
Fistula ani adalah bentuk kronik dari absess anorektal yang tidak sembuh sehingga
membentuk traktus akibat inflamasi.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis fistula ani berdasarkan :
 Keluhan utama
Benjolan pada kedua pantat
 Anamnesis
Pasien datang ke poliklinik Bedah dengan keluhan terdapat benjolan pada pantat
sebelah kiri di dekat anus sejak satu bulan yang lalu. Kemudian benjolan tersebut
pecah dan mengeluarkan cairan berwarna putih seperti nanah, tidak ada darah dan
terasa nyeri. Satu minggu kemudian muncul benjolan pada pantat sebelah kanan di
dekat anus. Benjolan terasa nyeri dan keras, kemudian benjolan tersebutpun pecah dan
mengeluarkan cairan berwarna putih seperti nanah tapi tidak ada darah. Demam dan
pusing dirasakan bersamaan dengan nyeri. Mual dan muntah tidak ada. Buang air
besar lancar. Buang air kecil lancar.
 Pemeriksaan Fisik
Pada perianal ditemukan benjolan pada regio perianal dextra arah jam 3 dan pada
regio perianal sinistra arah jam 9 dan arah jam 10, masing-masing berdiameter ±1cm,
berwarna kemerahan, massa (-), permukaan licin.
 Penatalaksanaan pada pasien ini dapat dilakukan fistulotomi.

17
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

Pada kasus ini, obat antibiotik diberikan pada pasien sebagai terapi profilaksis
setelah tindakan operasi pada pasien fistula perianal. Pemberian antiobiotik tersebut mampu
secara signifikan mengurangi formasi fistula.
Pada kasus diatas diberikan obat kombinasi Metronidazole 1000 mg dan
ciprofloxacin 500 mg. Hal itu disesuaikan dengan cara kerja ciprofloxacin yang bekerja
menghambat gram prositif/negatif, dan metronidazol yang bekerja pada bakteri anaerob
sehingga memiliki efek yang kuat pada perkembangan bakteri yang berperan terhadap
pembentukan fistula.

1. Metronidazole
Farmakodinamik
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazol efektif terhadap bakteri anaerob
dan bakteri yang memiliki sifat mikroaerofili.32 Metronidazole dikonversi menjadi
bentuk radikal bebas short-lived nitroso didalam sitoplasma bakteri. Metrnidazole dalam
bentuk konversi bersifat sitotoksik dan akan berinteraksi dengan molekul DNA bakteri
yang dengan cara menghambat sintesis asam nukleat sehingga terjadi degradasi DNA
dan berakibat pada kematian sel33.
Farkamokinetik
Metronidazole memiliki bioavailabilitas 93-100% saat dikonsumsi melalui oral,
ataupun diberikan secara intravena. Konsentrasi puncak metronidazole dicapai setelah 1
jam konsumsi 500 mg metronidazole per-oral, atau setelah pemberian 10 mcg/ml secara
intravena32.
Metronidazole didistribusikan dalam cairan dan jaringa tubuh. Metronidazole
mampu melewati sawar darah-otak, sawar plasenta, dan dapat juga ditemukan pada air
susu ibu (ASI) dalam konsentrasi yang sama sengan konsentrasi serum (15-25mcg/ml).
Sebanyak 77% metronidazole dieksresikan melalui urine, dan 14% dieksresikan melalui
feses.
Indikasi
Pengobatan hipertensi sedang hingga berat dapat digunakan sendiri atau
dikombinasi dengan obat hipertensi lain, terutama diurotic tipe thiazide Pengobatan

18
kepada pasien dengan gagal jantung yang tidak cukup atau tidak dapat diobati dengan
terapi konvensional33. Captopril dapat digunakan dengan diuretic dan digitalis
Dosis.
Dosis metronidazole3
 Dewasa : Metronidazol deberikan 500mg, 2 x sehari. Pemberian metronidazole
diberikan selama 7 hari.
 Anak : PO 35 - 50 mg/KgBB/hari. 3x sehari selama 10 hari. Dengan dosis maksimal
750mg per-hari
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi ialah kejang, neuropati perifer, metallic taste,
glossitis, stomatitis, dan pertumbuhan Candida. Selain itu insomnia, ruam, mual,
muntah, dan sakit kepala.
Interaksi obat
Pemberian obat antikoagulan tidak bisa diberikan bersama dengan
metronidazole. Metronidazole akan menghambat metabolisme antikoagulan. Pemberian
metronidazole bersamaan dengan obat yang menghambat aktivitas enzim mikrosom
hepar seperti Simetidin akan memperpanjang waktu paruh obat.

2. Ciprofloxacin
Farmakodinamik
Ciprofloxacin merupakan obat dengan golongan derivat kuinolon bekerja
dengan menghambat mekanisme kerja enzim DNA gyrasi bakteri yang berperan pada
pembelahan sel bakteri35.
Farmakokinetik
Ciprofloxacin memiliki bioavailabilitas sebesar 70% saat dikonsumsi per-oral.
Konsentrasi meksimum didapat 1-2 jam setelah konsumsi per-oral dengan konsentrasi
rata-rata 12 jam setelah pemberian dosis 250 mg adalah 0,1 mg/mL.
Setelah dikonsumsi melalui oral, ciprofloxacin didistribusikan ke seluruh tubuh.
Ciprofloxacin ditemukan aktif di saliva, sputum, sekret nasal, bronkus. Obat ini juga
ditemukan dengan konsentrasi rendah pada aqueous humor dan vitreus humor.
Ciprofloxacin dieksresikan melalui urin setelah 24 jam.
Indikasi
Hidroklorotiazid menjadi pilihan pertama untuk hipertensi ringan-sedang.
Dosis
Ciprofloxacin dikonsumsi 2 jam sebelum makan atau 6 jam setelah makan.
19
 Dewasa :
o Peroral 250 - 500 mg 2x sehari35
o Parenteral 2x 200-400 mg IV
 Anak-anak :
6 bulan - 12 tahun. Berat Badan <50 kg. IV 6 - 10mg/KgBB/hari. Tidak boleh
melebihi 400mg per-hari, Diberikan selama 10 hari
>12 tahun. PO 15 mg/kgBB/hari selama 10 hari
Efek Samping
Tanda reaksi alergi (syok anafilaktik), kesulitan bernafas, diare, inkontinensia
urin, dan insomnia, fotosensitif, diare.
Interaksi Obat
Konsumsi ciprofloxacin dengan makanan (kalsium pada buah, multivitamin,
mineral) akan mengganggu penyerapan obat pada saluran cerna akibat efek kation
divalen dan trivalen. Konsumsi ciprofloxacin bersamaan dengan kopi akan
mempercepat detak jantung ataupun meningkatkan stimulasi SSP.

3. Ketorolac
Farmakodinamik
Ketorolac merupakan obat golongan antiinflamasi non-steroid (NSAID) yang
merupakan derivat pyrrolo-pyrole. Ketorolac bekerja dengan menghambat sintesis
prostaglandin yang berperan pada proses inflamasi, respon nyeri, pada organ target36.
Farmakokinetik
Ketorolac memiliki bioavailabilitas sebesar 100% saat dikonsumsi per-oral,
intramuskular, dan intravena. Ketorolac 99% berikatan dengan protein plasma, dan
konsentrasi obat di plasma akan berkurang setelah 6 jam. Ketorolac dieksresikan
melalui urin sebanyak 91,4% dan feses sebanyak 6,1%
Indikasi
Ketorolac digunakan sebagai analgetik untuk nyeri akut yang berat dengan pemberian
jangka pendek <5 hari37.
Dosis.
Dewasa : Pada nyeri berat pasca operasi diberikan dosis 30 - 90 mg/ 6 jam. Dengan
dosis maksimal 120mg/hari.
Efek Samping
Ulkus, perdarahan saluran cerna, syok anafilaktik

20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

2. SARAN

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sainio P. Fistula-in-ano in a defined population. Incidence and epidemiological


aspects. Ann Chir Gynaecol. 1984;73:219–24.
2. Snell R. Anatomi Klinik. Edisi 6, Jakarta: EGC 2006.
3. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.1994.
4. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6. Jakarta :
EGC. 2000.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2004. Hal 747-748
6. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga.2006.
7. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara. 2000.
8. Corman, M.L. Colon and Rectal Surgery 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005.
9. Abcarian H. Anorectal infection: abscess – fistula. Clin Colon Rectal Surg.
2011;24:14–21.
10. Whiteford MH. Perianal abscess/fistula disease. Clin Colon Rectal Surg.
2007;20:102–9.
11. Zanotti C, Martinez-Puente C, Pascual I, Pascual M, Herreros D, García-Olmo D. An
assessment of the incidence of fistula-in-ano in four countries of the European Union.
Int J Colorectal Dis. 2007;22:1459–62.
12. Read DR, Abcarian H. A prospective survey of 474 patients with anorectal abscess.
Dis Colon Rectum. 1979;22:566–8.
13. Henrichsen S, Christiansen J. Incidence of fistula-in-anocomplicating anorectal sepsis:
a prospective study. Br J Surg. 1986;73:371–2.
14. Nelson R. Anorectal abscess fistula: what do we know? Surg Clin N Am.
2002;82:1139–51.
15. Ramanujam PS, Prasad ML, Abcarian H, Tan AB. Perianal abscesses and fistulas. A
study of 1023 patients. Dis Colon Rectum. 1984;27:593–7.
16. McElwain JR, MacLean MD, Alexander RM, Hoexter B, Guthrie JF. Anorectal
problems: experience with primary fistulectomy of anorectal abscess: a report of 1000
cases. Dis Colon Rectum. 1975;18:646–9.
17. Ramanujam PS, Prasad ML, Abcarian H. The role of Seton in fistulotomy of the anus.
Surg Gynecol Obstet. 1983;157:419–22.

22
18. Onaca N, Hirshberg A, Adar R. Early reoperation for perirectal abscess: a preventable
complication. Dis Colon Rectum. 2001;44:1469–73.
19. Chrabot CM, Prasad ML, Abcarian H. Recurrent anorectal abscesses. Dis Colon
Rectum. 1983;26:105–8.
20. Yano T, Asano M, Matsuda Y, Kawakami K, Nakai K, Nonaka M. Prognostic factors
for recurrence following the initial drainage of an anorectal abscess. Int J Colorectal
Dis. 2010;25:1495–8.
21. Scoma JA, Salvati EP, Rubin RJ. Incidence of fistulas subsequent to anal abscesses.
Dis Colon Rectum. 1974;17:357–9.
22. Vasilevsky CA, Gordon PH. The incidence of recurrent abscesses or fistula-in-ano
following anorectal suppuration. Dis Colon Rectum. 1984;27:126–30.
23. Parks AG. Pathogenesis and treatment of fistula-in-ano. Br Med J. 1961;1:463–9.
24. Malouf AJ, Cadogan MD, Bartolo DCC. Anal canal. In: Corson JD, Williamson RCN,
editors. Surgery. London: Mosby; 2001, 3.21.1-26.
25. Grace RH. Management of acute anorectal sepsis. In: Carter DC Sir, Russell RCG, Pitt
HA, editors. Atlas of general surgery. 3rd ed. London: Chapman and Hall Medical;
1996. p. 826–33.
26. Lohsiriwat V, Yodying H, Lohsiriwat D. Incidence and factors influencing the
development of fistula-in-ano after incision and drainage of perianal abscesses. J Med
Assoc Thai. 2010;93:61–5.
27. Malik AI, Nelson RL, Tou S. Incision and drainage of perianal abscess with or without
treatment of anal fistula. Cochrane Database Syst Rev. 2010;7:CD006827.
28. Henrichsen S, Christiansen J. Incidence of fistula-in-ano complicating anorectal
sepsis: a prospective study. Br J Surg. 1986;73:371–2.
29. Abeysuriya V, Salgado LS, Samarasekera DN. The distribution of the anal glands and
the variable regional occurrence of fistula-in-ano: is there a relationship. Tech
Coloproctol. 2010;14:317–21.
30. Seow-Choen F, Ho JM. Histoanatomy of anal glands. Dis Colon Rectum.
1994;37:1215–8.
31. Lilius HG. Fistula-in-ano, an investigation of human foetal anal ducts and
intramuscular glands and a clinical study of 150 patients. Acta Chir Scand Suppl.
1986;383:7–88.
32. Editorial, The nitromidazole family of drugs. British Journal of Veneral
Diseases,1978. 54(2): p. 69-71

23
33. Lofmark, S., C. Edlund, and C.E. Nord, Metronidazole is still the drug of choice for
treatment of anaerobic infections. Clin Infect Dis, 2010. 50 Suppl 1: p. S16-23

34. Campoli-Richards DM, Monk JP, Price A, Benfield P, Todd PA, Ward A
“Ciprofloxacin: a review of its antibacterial activity, pharmacokinetic properties and
therapeutic use”. Drugs 35 (1988): 373-447

35. Oliphant, C. M.; Green, G. M. “Quinolones :A comprehensive review”. American


family physician. 2002. 65 (3): 455-64

36. Gillis JC, Brogden RN. Ketorolac - A reappraisal of its pharmacodynamic and
pharmacokinetic properties and therapeutic use in pain management. Drugs.
1997;53:139-188.

37. Campbell L., Plummer J, Own H, Czuchwicki A, Ilsley A. Effect of short-term


ketorolac infusion of recovery following laparoscopic day surgery. Anaesth Intens
Care. 2000;28:654-659.

24

Anda mungkin juga menyukai