Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fistula ani atau yang biasanya disebut fistel perianal maupun fistel para-

anal, disebabkan oleh perforasi atau adanya aliran abses anorektum. Fistula

perianal lebih sering terjadi pada laki - laki, usia 20 40 tahun. Insidensi kejadian

fistula ani berkisar 1-3:10.000 jiwa. Kebanyakan fistel mempunyai satu muara di

kripta pada perbatasan anorectum, terkadang disertai lubang lain di daerah

perineum pada kulit perianal. Fistel dapat disebabkan oleh colitis yang disertai

proktitis, seperti TBC, amubiasis, dan morbus Crohn. Fistel dapat terletak di

subkutis, submukosa, antarsfingter, atau menembus sfingter. Fistel juga dapat

terletak disisi anterior, lateral, maupun posterior. Bentuk fistel dapat lurus,

bengkok, atau mirip sepatu kuda. Umumnya sfingter bersifat tunggal, akan tetapi

ditemukan pula yang bersifat kompleks. Fistel dengan lubang kripta disebelah

anterior umumnya berbentuk lurus, fistel dengan lubang yang berasal dari kripta

disebelah dorsal umumnya tidak lurus, tetapi bengkok ke depan karena radang dan

pus terdorong di anterior disekitar m. puborektalis dan dapat membentuk satu

lubang perforasi atau lebih di sebelah anterior, sesuai hukum goodsall.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Abses perianal adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan

terkumpulnya nanah di daerah anus yang disebabkan oleh infeksi bakteri dari lesi-

lesi di kulit atau kelenjar yang tersumbat pada anal. Ada dua tipe dari abses anus:

Abses Perirektal dan Abses Perianal. Abses perirektal adalah terkumpulnya nanah

di jaringan dalam sekitar anus sedangkan abses perianal adalah terkumpulnya

nanah secara langsung di bawah kulit sekitar anus. Abses anus umumnya terjadi

pada penderita penyakit menular seksual, inflammatory bowel disease dan orang

yang melakukan anal sex. Kondisi ini kadang - kadang dapat juga terjadi pada

bayi dan balita yang masih menggunakan popok. Meskipun abses anus bukan

merupakan kondisi yang mengancam jiwa, perawatan segera sangat diperlukan

karena kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi yang fatal seperti sepsis (darah

yang keracunan akibat infeksi bakteri dalam darah). Abses tersebut dapat diterapi

melalui pembedahan untuk mengeluarkan nanah (drainase). Sedangkan Fistula ani

atau yang biasanya disebut fistel perianal maupun fistel para-anal, disebabkan

oleh perforasi atau adanya aliran abses anorektum.

2.2. Anatomi

Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis

epitel. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh

anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar. Kanalis analis

2
dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persyarafan sensoris somatik dan peka

terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persyarafan

autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Darah vena di atas garis anorektum

mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke

sistem kava melalui vena iliaka. Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya

melalui pembuluh limfe sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah

kelenjar limfe paraaorta melalui kelenjar limfe Iliaka Interna, sedangkan limfe

yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal.

Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Sumbunya mengarah

ke ventrokranial yaitu mengarah ke umbilikus dan membentuk sudut yang nyata

ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi, sudut ini

menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis

mukokutan, linea pektinata atau linea dentata. Pada daerah ini terdapat kripta anus

dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di sini dapat

menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan antar-

sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok

dubur dan menunjukkan batas antara sfingter ekterna dan sfingter interna (garis

Hilton). Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter

interna dan sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari

fusi sfingter interna, otot longitudinal, bagian tengah otot levator (puborektalis)

dan komponen m. sfingter eksternus. M. Sfingter internus terdiri dari serabut otot

polos, sedangkan M. Sfingter eksternus terdiri atas serabut olot lurik.

3
Gambar 1. Anatomi Anus dan Rektum

2.3. Fisiologi

Kelenjar di rektum yang terdapat di kripta antar kolumna rektum berfungsi

sebagai barrier terhadap lewatnya mikroorganisme penyebab infeksi yang berasal

dari lumen usus ke daerah perirektal. Kelenjar ini mengeluarkan lender yang

berguna sebagai pelicin/lubrikasi. Saluran ini memiliki klep satu arah agar

produksi bisa keluar tapi feses tidak bisa masuk. Terhalangnya jalan keluar

produksi dari kelenjar ini akibat stasis menyebabkan kuman dan cairan feses

masuk ke dalam kelenjar. Feses yang banyak kumannya berkembang biak ke

dalam kelenjar, membentuk peradangan yang jadi abses. Abses akan mencari

jalan keluar dan membentuk semacam pipa yang menembus kulit. Akibatnya,

4
kulit jadi tampak seperti bisul lalu pecah. Pecahan ini tidak bisa menutup karena

nanah selalu keluar dan tidak bisa kering karena berhubungan dengan feses.

Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

2.4. Epidemiologi

Fistula perianal sering terjadi pada laki laki berusia 20 40 tahun, berkisar

1-3 : 10.000. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses, akan tetapi tidak

semua abses menjadi fistula. Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk

fistula.

2.5. Etiologi

Kebanyakan fistula berawal dari kelenjar dalam di dinding anus atau

rektum. Kadang - kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada

abses anorektal. Terdapat sekitar 7 - 40% pada kasus abses anorektal berlanjut

menjadi fistel perianal. Namun lebih sering penyebabnya tidak dapat diketahui.

Organisme yang biasanya terlibat dalam pembentukan abses adalah Escherichia

coli, Enterococcus sp dan Bacteroides sp. Fistula juga sering ditemukan pada

penderita dengan penyakit Crohn, tuberkulosis, divertikulitis, kanker atau cedera

anus maupun rektum, aktinomikosis dan infeksi klamidia. Fistula pada anak-anak

biasanya merupakan cacat bawaan. Fistula yang menghubungkan rektum dan

vagina bisa merupakan akibat dari terapi sinar x, kanker, penyakit Crohn dan

cedera pada ibu selama proses persalinan.

5
2.6. Klasifikasi Fistula Perianal

Berdasarkan lokasi internal opening, maka fistula dibagi dalam dua

kelompok yaitu :

a) Fistula letak rendah dimana internal opening fistel ke anus terdapat di

bawah cincin anorektal. Fistula letak rendah dapat dibuka tanpa takut

adanya resiko inkontinensia permanen akibat kerusakan bundle anorektal.

b) Fistula letak tinggi dimana internal opening fistel ke anus terdapat di atas

cincin anorektal. Pada fistula letak tinggi dilakukan koreksi bertahap

dengan prosedur operasi yang lebih sulit.

Sistem klasifikasi Parks menjelaskan ada 4 tipe fistula perianal yang

terjadi akibat infeksi kriptoglandular, yaitu:

a) Interspingterika merupakan bentuk fistula yang sering terjadi. Saluran

fistel berada di daerah intersphingterika.

b) Transphingterika, biasanya disebabkan oleh abses isiorektal. Fistula

menghubungkan intersphingtrerika dengan fosa isiorektal oleh adanya

perforasi di sphingter eksternal dan kemudian ke kulit.

c) Suprapshingterika, biasanya merupakan hasil dari abses supralevator.

Seperti Transphingterika tapi saluran berada di atas sphingter eksternal dan

ada perforasi di muskulus levator ani.

d) Ekstrasphingterika. Saluran melewati rektum ke lapisan kulit perineum,

fossa isiorektal melalui m. levator ani dan akhirnya ke dalam anus.

6
Gambar 2. Klasifikasi Park Tipe Fistula Perianal

2.7. Patofisiologi

Hipotesa kriptoglandular menyatakan bahwa infeksi yang pada awalnya

masuk melalui kelenjar anal akan menyebar ke dinding otot sphingter anal

menyebabkan abses anorektal. Abses yang pecah spontan, akhirnya meninggalkan

bekas berupa jaringan granulasi disepanjang saluran, sehingga menyebabkan

gejala yang berulang. Anal kelenjar biasanya berfungsi untuk melumasi dubur.

Obstruksi hasil kriptus dubur dalam stasis sekresi kelenjar dan kemudian

terinfeksi. Abses ini biasanya terbentuk dalam ruang intersphinteric dan dapat

menyebar di sepanjang ruang berbagai potensi.

2.8. Diagnosis

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kambuhan abses perianal dengan

selang waktu diantaranya, disertai pengeluaran nanah sedikit - sedikit. Pada colok

dubur umumnya fistel dapat diraba antara telunjuk dianus (bukan di rectum) dan

7
ibu jari dikulit perineum sebagai tali setebal kira - kira 3 mm (colok dubur

bidigital). Jika fistel agak lurus dapat disonde sampai sonde keluar di kripta

asalnya. Fistel perineum jarang menyebabkan gangguan sistemik, fistel kronik

yang lama sekali dapat mengalami degenerasi maligna menjadi karsinoma

planoseluler kulit. Sering memberikan sejarah yang dapat diandalkan nyeri

sebelumnya, bengkak, dan spontan atau drainase bedah direncanakan dari abses

anorektal.

Tanda dan gejala sebagai berikut :

Nyeri pada saat bergerak, defekasi dan batuk

Ulkus

Keluar cairan purulen

Benjolan (Massa fluktuasi)

Pruritus ani

Demam

Kemerahan dan iritasi kulit di sekitar anus

General malaise

Fistula kompleks adalah sebagai berikut:

Radang usus

Divertikulitis

Sebelumnya terapi radiasi untuk kanker prostat atau dubur

Tuberkulosis

Terapi steroid

8
Infeksi HIV

Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik tetap menjadi andalan diagnosis. Pada

pemeriksaan fisik di daerah anus (dengan pemeriksaan digital/rectal toucher)

ditemukan satu atau lebih eksternal opening fistula atau teraba adanya fistula di

bawah permukaan kulit. Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul (bila abses

belum pecah) atau tampak sebagai saluran yang dikelilingi oleh jaringan

granulasi. Internal opening fistula dapat dirasakan sebagai daerah indurasi/ nodul

di dinding anus setinggi garis dentata. Terlepas dari jumlah eksternal opening,

terdapat hampir selalu hanya satu internal opening.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada studi laboratorium khusus yang diperlukan; studi pra operasi

normal dilakukan berdasarkan usia dan komorbiditas.

Pemeriksaan Radiologi

a. Fistulografi : Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan

anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur

fistula.

b. Ultrasound endoanal/endorektal : Menggunakan transduser 7 atau 10

MHz ke dalam kanalis ani untuk membantu melihat differensiasi

muskulus intersfingter dari lesi transfingter. Transduser water-filled

ballon membantu evaluasi dinding rectal dari beberapa ekstensi

suprasfingter.

9
c. MRI : MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk

memperbaiki rekurensi.

d. CT- Scan : CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit

Crohn atau irritable bowel syndrome yang memerlukan evaluasi

perluasan daerah inflamasi. Pada umumnya memerlukan administrasi

kontras oral dan rektal.

e. Barium Enema : untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit

inflamasi usus.

f. Anal Manometri : evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna

pada pasien tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma

persalinan, atau pada fistula kompleks berulang yang mengenai sphincter

ani.

2.9. Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif:

Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis

antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren. Kemungkinan

terulangnya timbul kembali fistula selalu ada (20% - 40%) tergantung apakah

fistula itu sederhana atau susah dan letaknya fistula itu sendiri. Pada fistula yang

susah, tidak mungkin saluran dibelah begitu saja karena banyak otot yang ikut

terpotong dan menyebabkan inkontensi sehingga kotoran tidak dapat di tahan.

10
2. Terapi Pembedahan:

Gambar 3. Hukum Goodsall & Garis Hilton

Fistulotomi : Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit,

dibiarkan terbuka,sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat

mungkin dilakukan fistulotomi.

Fistulektomi : Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk

menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah

membiarkannya terbuka.

Seton : Benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua

macam Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual

untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana

benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan

ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.

Advancement Flap : Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi

keberhasilannya tidak terlalu besar.

11
Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke

dalam saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh

tubuh. Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana,

tidak sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak

tinggi, hanya 16%.

3. Pasca Operasi

Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama

setelah operasi. Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap

beberapa hari. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan

dari luka operasi untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar.

Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah bokong dengan

cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang

diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif.

Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja

setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang.

Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan

untuk duduk diam berlama-lama.

2.10 . Komplikasi

Komplikasi dini pasca operasi, sebagai berikut :

Retensi urin

Perdarahan

Impaksi tinja

Thrombosed wasir

12
Komplikasi tertunda pasca operasi, sebagai berikut :

Kambuh

Inkontinensia

Stenosis Anal: Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis dari lubang

anus. Bulking agen untuk membantu mencegah bangku sempit.

2.11. Prognosis

Fistel dapat kambuh bila lubang dalam tidak turut dibuka atau dikeluarkan,

cabang fistel tidak turut dibuka, atau kulit sudah menutup luka sebelum jaringan

granulasi menempel permukaan. Setelah fistulotomy standar, tingkat kekambuhan

dilaporkan adalah 0-18% dan tingkat dari setiap inkontinensia tinja adalah 3-7%.

Setelah menggunakan Seton, melaporkan tingkat kekambuhan adalah 0-17% dan

tingkat dari setiap inkontinensia feses adalah 0-17%. Setelah flap mukosa

kemajuan, tingkat kekambuhan dilaporkan adalah 1-17% dan tingkat dari setiap

inkontinensia feses adalah 6-8%.

13
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Fistula ani atau yang biasanya disebut fistel perianal maupun fistel para

-anal, disebabkan oleh perforasi atau adanya aliran abses anorektum. Fistula

perianal lebih sering terjadi pada laki - laki, usia 20 40 tahun. Sebagian besar

fistula terbentuk dari sebuah abses, akan tetapi tidak semua abses menjadi fistula.

Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula. Untuk prognosisnya

fistula dapat kambuh bila lubang dalam tidak turut dibuka atau dikeluarkan,

cabang fistel tidak turut dibuka, atau kulit sudah menutup luka sebelum jaringan

granulasi menempel permukaan. Setelah fistulotomy standar, tingkat kekambuhan

dilaporkan adalah 0-18% dan tingkat dari setiap inkontinensia tinja adalah 3-7%.

Setelah menggunakan Seton, melaporkan tingkat kekambuhan adalah 0-17% dan

tingkat dari setiap inkontinensia feses adalah 0-17%. Setelah flap mukosa

kemajuan, tingkat kekambuhan dilaporkan adalah 1-17% dan tingkat dari setiap

inkontinensia feses adalah 6-8%.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.1994.

2. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.

Jakarta :EGC.2000.
3. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.

Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 747-748


4. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta :

Erlangga.2006.
5. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.

2000

6. Gracia-Aguilar, Julio, Rothenberg, David A. Chapter 28.4 Anorectal

Abscesses and Fistula-in Ano. In; Morris-Oxford Textbook of Surgery 2nd

Edition.p.149

7. Drainage of Ischiorectal Abscess and Excision of Fistula in Ano. In;

Zoolingers Atlas of Surgical Operation 18th edition.

8. Sjamsuhidajat, R, de Jong, Wim. Dalam : Usus Halus, Apendiks, Kolon


dan Anorektum. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi. EGC, Jakarta,
1997. hal.833-924.

15

Anda mungkin juga menyukai