FISTULA RECTOVAGINA
Di Susun Oleh :
Binsar Edison H.S
20170305001
Universitas Esa Unggul
A. Pengertian
Fistel atau fistula merupakan saluran yang berasal dari rongga atau tabung normal
kepermukaan tubuh atau ke rongga lain, fistula ini diberi nama sesuai dengan
hubunganya (misalnya : rekto-vaginal, kolokutaneus) (Sylvia A. Price, 2005).
Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga internal
atau antara organ berongga internal dan dengan tubuh bagian luar. Nama fistula
menandakan kedua area yang berhubungan secara abnormal (Suzanne C. Smeltzer. 2001).
Fistula adalah sambungan abnormal diantara dua permukaan epitel (Chris Brooker.
2008).
Dari ketiga definisi diatas, penulis menyimpulkan fistula adalah saluran abnormal
yang menghubungkan dua organ tubuh atau rongga tubuh pada kulit.
Salah satu etiologi dari terbentuknya fistel adalah dari pembedahan. Biasanya
karena terjadi kurangnya ke sterilan alat atau kerusakan intervensi bedah yang
merusak abdomen. Maka kuman akan masuk kedalam peritoneum hingga terjadinya
peradangan pada peritoneum sehingga keluarnya eksudat fibrinosa (abses),
terbentuknya abses biasanya disertai dengan demam dan rasa nyeri pada lokasi abses.
Infeksi biasanya akan meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan
(perlengketan/adesi), karena adanya perlengketan maka akan terjadinya kebocoran
pada permukaan tubuh yang mengalami perlengketan sehingga akan menjadi
sambungan abnormal diantara 2 permukaan tubuh. Maka dari dalam fistel akan
meneluarkan drain atau feses.
Karena terjadinya kebocoran pada permukaan tubuh yang mengalami
perlengketan maka akan menyumbat usus dan gerakan peristaltik usus akan
berkurang sehingga cairan akan tertahan didalam usus halus dan usus besar (yang
bisa menyebabkan edema), jika tidak di tangani secara cepat maka cairan akan
merembes kedalam rongga peritoneum sehingga terjadinya dehidrasi.
E. Pathway Keperawatan (jalan munculnya semua masalah keperawatan sesuai teori)
F. Penataklaksanaan
Pengobatan untuk fistula bervariasi tergantung pada lokasi dan beratnya
gejala. Penatalaksanaan disini tujuannya adalah menghilangkan fistula, infeksi dan
ekskoriasi dengan cara :
a. Pembedahan pada fistula vesikovaginal dan fistula uretrovaginal atau pada
abdomen untuk fistula yang lebih tinggi dalam abdomen.
b. Non-bedah jika fistula merupakan akibat dari karsinoma, tuberkolosis, penyakit
crohn atau colitis, maka penyakit primer harus diterapi dengan tepat agar lesi ini
sembuh. Kebanyakan ahli bedah menolak melakukan operasi anorektum pada pasien
dengan penyakit peradangan usus, karena kekambuhan local dan kegagalan
penyembuhan luka.
c. Diet enteral
Yaitu suatu nutrisi cair yang diambil melalui mulut atau diberikan melalui tabung
pengisi. Dimana formula ini menggantikan makanan padat cair dan mengandung
nutrisi penting. (biasanya diet ini diresepkan untuk, fistula enterocutaneous,
enterovesicular dan enterovaginal).
d. Pemberian obat-obatan
Biasanya obat flagly (antibiotik) dan immunosuppressant.
G. Pemeriksaan Penunjang
Fistulografi, yaitu memasukkan alat ke dalam lubang/fistel untuk mengetahui
keadaan luka.
Pemeriksaan harus dilengkapi dengan rektoskopi untuk menentukan adanya
penyakit di rektum seperti karsinoma atau proktitis tbc, amuba, atau morbus Crohn.
Fistulografi: Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan
anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula.
Ultrasound endoanal / endorektal: Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke
dalam kanalis ani untuk membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari
lesi transfingter. Transduser water-filled ballon membantu evaluasi dinding rectal
dari beberapa ekstensi suprasfingter.
MRI: MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk
memperbaiki rekurensi.
CT- Scan: CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit crohn
atau irritable bowel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah inflamasi.
Pada umumnya memerlukan administrasi kontras oral dan rektal.
Barium Enema: untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit inflamasi
usus.
Anal Manometri: evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada
pasien tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma persalinan, atau pada
fistula kompleks berulang yang mengenai sphincter ani.
H. Pengkajian Focus (pengkajian riwayat kesehatan, perubahan pola fungsi,pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang terfokus pada kasus)
1. Identitas pasien dan penanggung jawab
Identitas pasien diisi mencakup nama, umur, jenis kelamin, status pernikahan,
Agama, pendidikan, pekerjaan,suku bangsa, tgl masuk RS, alamat. Untuk penangung
jawab dituliskan nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2. Riwayat Kesehatan
Mengkaji keluhan utama apa yang menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab
dan pencetus timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat
sakit kemana minta pertolongan, apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas
kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan merokok, minum alkohol,
minum kopi atau minum obat-obatan.
3. Riwayat Penyakit
Penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat penyakit yang sama atau
penyakit lain yang pernah di derita oleh pasien yang menyebabkan pasien dirawat.
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau
riwayat penyakit lain yang bersifat genetik maupun tidak.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas akibat
adanya bisul pada daerah anus.
b. Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat dan pernafasan meningkat.
c. Pemeriksaan Kepala Dan Leher
1) Kepala Dan Rambut
Pemeriksaan meliputi bentuk kepala, penyebaran dan perubahan warna rambut serta
pemeriksaan tentang luka. Jika ada luka pada daerah tersebut, menyebabkan
timbulnya rasa nyeri dan kerusakan kulit.
2) Mata
Meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek pupil terhadap cahaya dan gangguan
penglihatan.
3) Hidung
Meliputi pemeriksaan mukosa hidung, kebersihan, tidak timbul pernafasan cuping
hidung, tidak ada sekret.
4) Mulut
Catat keadaan adanya sianosis atau bibir kering.
5) Telinga
Catat bentuk gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan serumen.
Pada penderita yang bed rest dengan posisi miring maka, kemungkinan akan terjadi
ulkus didaerah daun telinga.
6) Leher
Mengetahui posisi trakea, denyut nadi karotis, ada tidaknya pembesaran vena
jugularis dan kelenjar linfe.
d. Pemeriksaan Dada Dan Thorax
Inspeksi bentuk thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama pernafasan, vokal
premitus, adanya suara tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung tambahan,
perkusi thorax untuk mencari ketidak normalan pada daerah thorax.
e. Abdomen
Bentuk perut datar atau flat, bising usus mengalami penurunan karena immobilisasi,
ada masa karena konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor jika dispensi abdomen
atau tegang.
f. Urogenital
Inspeksi adanya kelainan pada perinium. Biasanya klien dengan fistula ani yang baru
di operasi terpasang kateter untuk buang air kecil.
g. Muskuloskeletal
Adanya fraktur pada tulang akan menyebabkan klien bedrest dalam waktu lama,
sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.
h. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran dikaji dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila terjadi
nyeri hebat (syok neurogenik) dan panas atau demam tinggi, mual muntah, dan kaku
kuduk.
i. Pemeriksaan Kulit
a. Inspeksi kulit
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk membran mukosa, kulit
kepala, rambut dan kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji yaitu warna, suhu,
kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularitas.
Yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu :
1) Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi, suhu badan dan
produksi pigmen.
Lesi yang dibagi dua yaitu :
a) Lesi primer, yang terjadi karena adanya perubahan pada salah satu komponen
kulit
b) Lesi sekunder adalah lesi yang muncul setelah adanya lesi primer.
Gambaran lesi yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu warna, bentuk, lokasi dan
kofigurasinya.
2) Edema
Selama inspeksi kulit, perawat mencatat lokasi, distribusi dan warna dari daerah
edema.
3) Kelembaban
Normalnya, kelembaban meningkat karena peningkatan aktivitas atau suhu
lingkungan yang tinggi kulit kering dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
lingkungan kering atau lembab yang tidak cocok, intake cairan yang inadekuat.
4) Integritas
Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk, warna, distribusi, apakah ada drainase
atau infeksi.
5) Kebersihan kulit
6) Vaskularisasi
Perdarahan dari pembuluh darah menghasilkan petechie dan echimosis.
7) Palpasi kulit
Yang perlu diperhatikan yaitu lesi pada kulit, kelembaban, suhu, tekstur atau
elastisitas, turgor kulit.
I. Diagnosa Keperawatan
kolaborasi
8) Berikan cairan parenteral, transfusi darah sesuai indikasi.
Rasional : mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan untuk
memperbaiki kehilangan/anemia. Catatan : cairan mengandung natrium dapat dibatasi
pada adnya enteritis regional.
9) Awasi hasil laboraturium, contih elektrolit (khususnya kalium, magnesium) dan GDA
(keseimbanga asam-basa).
Rasional : menentukan kebutuhan penggantian dan keefektifan terapi.
10) Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : mengoptimalkan evaluasi.
f. Koping individu tak efektif berhubungan dengan stressor besar, pengulangan periode
waktu, proses penyakit yang tak diduga, kerentanan pribadi, nyeri hebat, kurang tidur,
istirahat, krisis situasi, tidak adekuat metode koping; kurang sistem pendukung.
Tujuan :
koping individu kembali efektif.
Kriteria hasil :
1) Mengkaji situasi saat ini dengan tepat.
2) Mengidentifikasi perilaku koping tidak efektif dan konsekuensinya.
3) Mengakui kemampuan koping sendiri.
4) Menunjukan perubahan pola hidup yang perlu untuk membatasi/mencegah kejadian
berulang.
Intervensi :
1) Kaji pemahaman pasien/orang terdekat dan metode sebelumnya dalam menerima
proses penyakit.
Rasional : tentang masalah saat ini. Ansietas dan masalah lain dapat mempengaruhi
penyuluhan/belajar pasien sebelumnya.
2) Tentukan stress luar, misalnya : keluarga, teman, lingkungan kerja atau sosial.
Rasional : stress dapat mengganggu respon saraf otonomik dan mendukung eksaserbasi
penyakit. Meskipun tujuan kemandirianpada pasien tergantung menjadi penambah
stressor.
3) Berikan kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan bagaimanan penyakit telah
mempengaruhi hubungan, termasuk masalah seksual.
Rasional : stressor penyakit mempengaruhi semua area hidup dan pasien mengalami
kesulitan mengatasi perasaan lemah/nyeri sehubungan dengan kebutuhan
hubungan/seksual.
4) Bantu pasien mengidentifikasi keterampilan koping efektif secara individu.
Rasional : penggunaan perilaku yang berhasil sebelumnya dapat membantu pasien
menerima situasi/rencana saat ini untuk masa datang.
5) Berikan dukungan emosi : pertahankan bahasa tubuh yang tidak menghakimi bila
merawat pasien.
Rasional : mencegah penguatan perasaan pasien tentang menjadi beban.
6) Berikan periode tidur/istirahat tanpa gangguan.
Rasional : kelelahan karena penyakit cenderung merupakan masalah berarti,
mempengaruhi kemampuan mengatasinya.
7) Dorong penggunaan keterampilan menangani stress, misalnya teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi, latihan nafas dalam.
Rasional : memusatkan kembali perhatian, meningkatkan reaksasi dan meningkatkan
kemampuan koping.
Kolaborasi
8) Masukan pasien/orang terdekat dalam tim pertemuan untuk mengembangkan
program individual.
Rasional : meningkatkan kontinnuitas perawatan dan memampukan pasien/orang terdekat
untuk merasakan sebagai bagian perencanaan,memberikan mereka perasaan kontrol dan
meningkatkan kerja sama dalam program terapi.
9) Berikan obat sesuai indikasi : antipsikosis, agen antiansietas
Rasional : bantuan dalam istirahat psikologik/fisik. Menghemat energi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
10) Rujuk ke sumber sesuai indikasi, misalnya : pekerja sosial, perawat psikiatrik,
penasehat agama.
Rasional : dukungan tambahan dan konseling dapat membantu pasien/ orang terdekat
menerima stress khusus/area masalah.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Price, S.A dan Wilson, LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, vol 2.
Jakarta: EGC.
Semiardji, Gatut. 2003. Penyakit Kelenjar Tiroid. Jakarta: Balai Penerbit FKUI