LAPORAN KASUS
PERITONITIS
Pembimbing :
dr. Syahbuddin Harahap, Sp.B
Oleh :
Adetya Indah Sari (190131002)
Angrayni Putri Muselli (190131014)
Binsyah Sari Indah Gajah Manik (190131030)
Chandra Agusrly (190131032)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Peritonitis”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini
sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi
maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Peritonitis sekunder, paparan peritoneum terhadap cairan steril (yaitu, lambung, empedu, atau
urin), enzim pankreas, atau benda asing. Empedu dan urin aseptik menyebabkan peradangan
peritoneum minimal, sedangkan kebocoran cairan lambung dan enzim pankreas menyebabkan
reaksi peritoneum yang lebih intens. Kebocoran isi gastrointestinal dapat terjadi melalui dinding
lambung dan usus yang telah mengalami ulserasi, obstruksi benda asing, neoplasia, trauma,
kerusakan iskemik, atau dehiscence dari sayatan bedah sebelumnya. Perforasi gastroduodenal
spontan dapat dikaitkan dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid tetapi juga dapat terlihat
4
dengan pemberian kortikosteroid, neoplasma gaster, dan penyakit hati.
2
1.2 Tujuan Makalah
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman tentang penyakit peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang terdapat dalam
tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan batas-batas :1
1. Anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
2. Posterior : retroperitoneum
3. Inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
4. Superior : bagian bawah dari diafragma
Peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal semipermiabel yang berguna
untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya
kemampuan untuk digunakan sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap
cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus. 5
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:5
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunikaserosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui suatu
duplikatur yang disebut mesenterium.5
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari bagian
dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu
bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian
kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi pada wanita. 6
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan kolon ascenden
dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis
dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ reproduksi
interna pada wanita
3
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)
lOMoARcPSD|19534284
4
Omentum adalah dua lapisan peritoneum berupa jaringan lemak adipose pada permukaan
organ intraperitoneal yang menghubungkan gaster dengan organ viscera lainnya seperti dengan
hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum majus), dan dengan limpa (omentum
gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut
mesoappendix dari colon transversum dan sigmoideum disebut mesocolontransversum dan
sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk organ
viscera yang bersangkutan.6
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan mendapat
persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulitdan otot yang ada si sebelah
luarnya. Iritasi pada peritoneum parietalememberikan rasa nyeri lokal, namun insicipada
peritoneum viscerale tidakmemberikan rasa nyeri. Peritoneum viscerale sensitif terhadap regangan
dan robekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature. 7
5
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri. Dengan
mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana yang
kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau
regio tersebut.7,8
2.2 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun general, melalui proses infeksi akibat perforasi
perforasi saluran cerna, seperti ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi,
asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu.
Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium. 8
2.3 Klasifikasi
Peritonitis berdasarkan luas infeksinya dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis
generalisata.Peritonitis berdasarkan sumber kumannya dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis
primer, sekunder dan tersier. 10,11
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial peritonitis (SBP),
kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan sebagai kelompok penyakit yang
memilikipenyebab berbeda-beda tetapi merupakan infeksi pada ronggaperitoneumtanpa ada sumber
yang jelas. Penyebaran patogen dari peritonitis primer baik secara hematogen maupun limfatik.
Penderita sirosis hepatis dan asites memiliki faktor risiko untuk terjadinya peritonitis primer.12
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis
yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang
berasal dari traktus gastrointestinal 3. Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi
pada rongga peritoneal yang bisa disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangrendari
struktur intraperitoneum maupun retroperitoneum. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis,
divertikulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa
7
penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya
darah ke dalam rongga peritoneumakibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian,
atau aneurisma yang menyebabkan rangsang nyeri innervasi pada peritoneum yang menyebabkan
penderita merasakan nyeri abdomen.
1. Patogen
Terdapat banyak patogen yang dapat menyebabkan peritonitis, yaitu bakteri gram negatif, bakteri
gram positif, bakteri anaerob, dan fungi. Parasit yang paling sering menyebabkan peritonitis adalah
bakteri gram negative, seperti E.coli, Enterobacter, Klebsiella, Proteus sp. Bakteri gram positif
yang dapat menyebabkan peritonitis yaitu Enterococcus, Streptocci, Staphylococci. Bakteri anaerob
yang sebagai pathogen yaitu Bacteriodes dan Clostridium. 13
2. Perforasi
Peradangan pada tratus gastrointestinal yang mengalami perforasi, iskemik intestinal, peradangan
panggul yang perforasi dapat menyebabkan peritonitis yang bersifat akut. 13
3. Pasca Operasi Peritonitis
Prosedur operasi yang tidak sesuai prosedural dapat menyebabkan kebocoran pada
anastomosispembuluh darah pada organ dalam abdomen serta menyebabkan penurunan suplai
darah pada organ abdomen yang dapat menyebabkan iskemik organ, lalu berujung pada nekrosis
jaringan yang menyebabkan peradangan pada peritonitits. 13
4. Pasca Traumatis Peritonitis
Trauma pada abdomen, baik luka akibat pukulan benda tumpul maupun tusukan benda tajam dapat
8
13
menyebabkan peradangan pada organ dalam abdomen.
2.5 Patofisiologi
Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen adalah steril tetapi dalam beberapa
jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edema jaringan dan pertahanan eksudat. Cairan
dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih,
sel-sel yang rusak. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, diikuti oleh
ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar. 13, 14, 15
Berbagai faktor berkontribusi terhadap peritonitis, salah satu faktor predisposisi adanya
pertumbuhan berlebihan pada bakteri usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus
bersamaan dengan gangguan fungsi fagositik, kadar komplemen serum, asites, penurunan aktivitas
sistem retikuloendotelial berkontribusi terhadap insidensi peritonitis. Reaksi awal peritoneum
terhadap invasi bakteri adalah mengeluarkan eksudat fibrinosa yang membatas wilayah inflamasi
yang merupakan patogenesis peritonitis terlokalisir. 14
Peradangan adalah mekanisme proteksi tubuh untuk melawan patogen, cedera, maupun zat
asing lainnya.Peradangan pada jaringan akan menimbulkan tanda-tanda radang, berupa
panas(kalor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor), pembengkakkan (tumor), dan kehilangan fungsi
(less of function). Peradangan pada peritoneum atau peritonitis akan menimbulkan akumulasi cairan
di rongga peritoneum dikarenakan permeabilitas dinding kapiler dan membran sel menjadi
meningkat dan mengalami kebocoran. Akibat proses radang atau inflamasi, maka akan terjadi
kaskade pengaktifan mediator-mediator inflamasi berupa histamin sitokin, IL-3(Interleukin-3), dan
IL-5 (Interleukin-5). Hal ini akan memicu vasodilatasi endotel untuk diapedesis limfosit dan
makrofag.15
9
di dekat otot superfisialis, maka akan menyebabkan spasme otot abdomen. Pasien biasanya akan
berbaring dan diam. Gejala lainnya yang dapat muncul adalah asites, mual dan muntah, dan
diare.17
1. Pemeriksaan Laboratorium
• Pemeriksaan jumlah sel darah putih
Peningkatan jumlah sel darah putih menunjukkan adanya infeksi bakteri. Namun, pemeriksaan ini
memiliki spesifisitas yang rendah dikarenakan peningkatan sel darah putih dapat menjadi suatu
respon non-spesifik seperto latihan yang intens atau stress psikologi. 4
• Pemeriksaan procalcitonin
Terdapat temuan bahwa kadar procalcitonin diatas 10,1 mcg/L dapat menjadi indicator tingkat
keparahan serta mortalitas peritonitis ,terutama peritonitis sekunder. 16
• Kadar Laktat
Laktat merupakan zat hasil glikolisis pada sel. Laktat akan dilepaskan menuju ke vena jika dalam
keadaan berlebihan. Laktat telah dipelajari sebagai penanda hipoperfusi sistemik dan secara tidak
langsung berkaitan dengan sepsis. Sehingga kadar laktat dapat membantu resusitasi awal dan
diagnosis peritonitis.4
• Pemeriksaan Analisis Cairan Peritoneum
Analisis cairan peritoneum dapat diperoleh dengan cara melakukan aspirasi cairan peritoneum.
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)
lOMoARcPSD|19534284
10
Cairan peritoneum yang diakibatkan oleh infeksi bakteri umumya menghasilkan cairan yang
eksudat. Umumnya cairan peritoneum adalah transudat.16
2. Pemeriksaan pencitraan
Adapun pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukkan adalah 4:
• Foto polos toraks
Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi tegak maupun foto abdomen pada
posisi decubitus, tetapi adanya pneumoperitoneum pada pemeriksaan radiologis memiliki tingkat
sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya perforasi usus. Tidak ditemukannya udara
bebas tidak seharusnya menunda dilakukannya tindakan operasi
• Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran empedu, dan adanya
penumpukan cairan.
• Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat tempat pasti terjadinya perforasi. Pemeriksaan
CT-Scan dapat mendeteksi adanya lesi diluar dari tempat yang dicurigai berdasarkan gejala klinis
dan berfungsi sebagai pedoman untuk tatalaksana percutaneous drainage cairan peritoneal atau
abses.
• Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam rongga peritoneal melalui kateter.
Jika cairan yang keluar mengandung leukosit lebih dari 500 sel/ml, kadar enzim amylase atau
bilirubin meningkat dari normal atau ditemukannya bakteri pada pewarnaan Gram, maka
kemungkinan diagnosis peritonitis sekunder sebesar 90% .
• Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam menentukan diagnosis peritonitis sekunder dan
banyak penyakit penyebabnya yang dapat ditangani dengan laparoskopi sehingga tidak perlu
dilakukan laparotomi.
11
12
Neoplasma (misalnya, mesothelioma primer, karsinomatosis sekunder, Pseudomyxoma
peritonei )
Infeksi parasit (misalnya, schistosomiasis, ascariasis, enterobiasis, amebiasis,
strongyloidiasis)
Enkapsulasi peritoneal
Kista peritoneal
Limfangiektasis peritoneum
Pielonefritis
Peritonitis sklerosis
Splenosis
Kondisi vaskular (misalnya, embolus mesenterika, iskemia nonoklusif mesenterika, kolitis
iskemik, trombosis vena portal, trombosis vena mesenterika)
Vaskulitis (misalnya, lupus eritematosus sistemik, vaskulitis alergi [Henoch-Schönlein
purpura], penyakit Kohlmeier-Degos, poliarteritis nodosa).
2.9 Tatalaksana
1. Operasi / Bedah
Operasi dilakukan untuk melakukan terapi definitif dan koreksi proses patologis yang tidak
diketahui dan melakukan penelitian organ yang mengalami inflamasi jikalau terdapat peritonitis
yang terlokalisir. Pembedahan pada peritonitis generalisata adalah laparotomi eksploratif,
sedangkan pada peritonitis lokalisata adalah laparoskopi eksploratif.18
2. Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik terdapat agen tunggal dan agen ganda. Single agent yaitu berupa Ceftriaxone
1-2 gram intravena selama 24 jam atau Cefotaxime 1-2 gram intravena. Sedangkan multiple agent
yaitu Ampiciline 2gram intavena, Gentamicine 1,5mg/kg/hari, dan Clindamycine 600-900 mg
intravena atau Metronidazole 500 mg intravena. 18
13
2.10 Komplikasi
Peritonitis dapat menyebabkan masalah kesehatan yang parah. Ini bisa mematikan jika tidak
segera diobati. Peritonitis dapat membuat cairan terisi di perut. Hal ini dapat menyebabkan
kehilangan cairan yang parah atau dehidrasi. Jika peritonitis tidak diobati, infeksi dapat dengan
cepat menyebar ke seluruh tubuh. Ini dapat menciptakan respons ekstrem dari sistem kekebalan
yang disebut sepsis. Sepsis adalah kondisi serius yang bergerak cepat. Itu terjadi ketika bahan kimia
yang dikirim ke aliran darah untuk melawan infeksi menyebabkan pembengkakan (peradangan) di
sebagian besar tubuh Anda. Ini dapat memperlambat aliran darah dan melukai organ. Sepsis berat
dapat menyebabkan tubuh mengalami syok. Ini dapat menyebabkan kegagalan organ dan
kematian.21
Infectious peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk trombosis
vena mesenterika, sindrom gangguan pernapasan dewasa, kegagalan multiorgan progresif, dan
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)
lOMoARcPSD|19534284
14
kematian. Komplikasi berat lebih sering dikaitkan dengan peritonitis sekunder, meskipun anak-
anak dengan gangguan kekebalan memiliki peningkatan risiko terlepas dari sumber peritonitis.
Komplikasi lain termasuk ileus yang berkepanjangan, infeksi luka operasi, abses intra-abdomen,
fistula enterik, dan perlengketan inflamasi. Penebalan inflamasi pada permukaan peritoneum dan
kompartementalisasi rongga peritoneum dapat membatasi efektivitas dialisis peritoneal dan pirau
ventrikuloperitoneal. 22
2.11 Prognosis
Kemampuan pasien peritonitis sekunder untuk bertahan hidup tergantung pada banyak faktor
meliputi, usia, status gizi, kadar albumin, kondisi komorbid atau kondisi lain yang menyertai,
adanya keganasan, lama waktu terkontaminasinya peritoneum, kapan dimulainya pengobatan,
keberadaan benda asing, dan kemampuan tubuh untuk mengontrol sumber infeksi, dan jenis
mikroorganisme yang terlibat. Prognosis memburuk jika ditemukan banyak mikroorganisme pada
eksudat peritoneum. Angka kematian akan meningkat jika sumber kontaminasinya berasal dari
bagian yang lebih distal gastrointestinal. 23
Selama 3 dekade terakhir, prognosis pasien dengan perforasi lambung telah meningkat secara
signifikan. Namun keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan masih dapat menyebabkan
kematian. Faktor-faktor yang terkait dengan kematian yang tinggi meliputi: 20
- Adanya penyakit penyerta
- Usia lanjut
- Malnutrisi
- Adanya komplikasi
- Jenis dan lokasi perforasi
15
BAB III
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri seluruh perut.
Telaah:
Pasien datang ke IGD RSUP Haji Adam Malik 1 jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus
dengan intensitas nyeri kuat seperti ditusuk. Nyeri dirasakan pada ulu hati 3 hari yang lalu dan
tidak menjalar. Saat ini, nyeri dirasakan diseluruh lapangan perut yang disertai dengan demam,
mual, dan muntah. Muntah berwarna hijau tidak dijumpai. Riwayat mengonsumsi obat anti nyeri
selama 1 tahun dijumpai. Riwayat penyakit terdahulu yaitu radang sendi. Pada keluarga pasien
tidak dijumpai hal yang sama. Untuk gaya hidup, pasien jarang minum kopi, alkohol, merokok dan
makanan pedas.
16
Status Lokalisata
Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : edema (-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor ᴓ 2mm/2mm,
17
Kesimpulan : Terdapat free air subdiagfragma berbentuk bulan sabit ( Semilunar shadow) , Kesan
Pneumoperitoneum.
18
Kesimpulan : Kekaburan pada kavum abdomen. preperitoneal fat dan psoas line menghilang.
Adanya udara bebas di subdiagfragma atau intra peritoneal.
3.6 DIAGNOSIS
2. Non-Medikamentosa
- Puasa
19
- Pasang NGT
- Pasang Kateter
- Pembedahan ; Laparatomi
BAB IV
KESIMPULAN
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun general, melalui proses infeksi akibat perforasi perforasi
saluran cerna, seperti ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, asam
lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada
wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium. Parasit yang
paling sering menyebabkan peritonitis adalah bakteri gram negative, seperti E.coli, Enterobacter,
Klebsiella, Proteus sp. Bakteri gram positif yang dapat menyebabkan peritonitis yaitu
Enterococcus, Streptocci, Staphylococci. Bakteri anaerob yang sebagai pathogen yaitu Bacteriodes
dan Clostridium.
Gejala klinis pada peritonitis meliputi nyeri tekan, nyeri lepas, hingga defans muscular.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa darah lengkap, prokalsitonin, laktat, analisis
cairan peritoneum hingga radiologis dan laparoskopi. Penanganan peritontis berupa farmakoterapi
dan pembedahan. Selama 3 dekade terakhir, prognosis pasien dengan perforasi lambung telah
meningkat secara signifikan. Namun keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan masih dapat
menyebabkan kematian.
20
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)
lOMoARcPSD|19534284
DAFTAR PUSTAKA
2. Sembiring OA. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. :90.
3. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal
Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas [Internet]. 2016 Jan 1 [cited 2021 Jun
29];5(1). Available from: https://doaj.org/article/94df8d46c48c45cb8022519beae18724
4. Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: principles of diagnosis and
intervention. BMJ. 2018 Jun 18;361:k1407.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.Jakarta : EGC. 2011.
6. S. Rosidah, A. Soewondo, and M. S. Adi, "Optimasi Kualitas Citra Radiografi Abdomen
Berdasarkan Body Mass Index dan Tegangan Tabung pada Computed Radiography," Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas.2020; 0 : 23-31.
7. Horta, Mariana. Peritoneal Anatomy: Imaging Overview. 2013.
8. Shofa OA. Pengaruh Pemberian Mentanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30 Hari
Terhadap Gambaran Histopatologi Duodenum. Faculty of Medicine Diponegoro University.
2014.
9. Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science,
[Online].Available:https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/Appendisitis
-akut.pdf. [accessed on 28 Juni 2021].
10. Skipworth R, Fearon K. Peritonitis. Dalam: Acute Abdomen. Edisi ke 6. England: University of
Oxford. 2005. h. 98.
11. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola kasus dan penatalaksanaan peritonitis akut di bangsal
bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5:209-13.
12. Hasler WL, Owyang C. Disorder of the gastrointestinal system. Dalam: Kasper, Fauci, Hauser,
& Longo (Eds.), Harrison's Principles of Intenal Medicine. USA: Mc. Graw Hill Education.
2018. h. 1989.
13. Daley BJ. Peritonitis and Abdominal Sepsis Clinical Presentation: History, Physical
Examination [Internet]. Medscape. 2019 [cited 2021 Jun 29]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/180234-clinical
21
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)
lOMoARcPSD|19534284
14. Green, T. E. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). 2018. Diakses pada: 29 Juni 2021.
Tersedia di:https://emedicine.medscape.com /article/789105-overview/).
15. Farhan L. Karakteristik Sosiodemografi dan Angka Mortalitas Pasien Peritonitis di RSUP HAM
Medan Periode Juli-September 2013. 2016;Medan: Universitas Sumatera Utara.[Skripsi]
16. Van Baal JO a. M, Van de Vijver KK, Nieuwland R, van Noorden CJF, van Driel WJ, Sturk A,
et al. The histophysiology and pathophysiology of the peritoneum. Tissue Cell. 2017
Feb;49(1):95–105.
17. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of peritonitis in the critically ill patient. Surg Clin North
Am. 2006 Dec;86(6):1323–49.
18. Ferri FF. Peritonitiss Secondary Bacterial. In Practice Guide to The Care of The Medical Patient.
Elsevier. 2011.
22. S.Long S, G.P C, Fischer M. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease. 5 ed. 2018.
22
Downloaded by Vella Nurfatimah (vellanurfatimah@gmail.com)