Anda di halaman 1dari 35

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Cedera Kepala


1. Pengertian
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges,
(1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang
terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,
leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana
terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang
menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera
kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi
baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan kematiaan.

2. Klasifikasi
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan
oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi
jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan

3
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio
memar, dan laserasi.
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai
dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
1) GCS = 13 - 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 - 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
a. GCS = 3 - 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

4
3. Anatomi Fisiologis

Gambar 1. anatomi dan fisiologi kepala


a. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan
struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan
luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai
busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya
terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis,
oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium

5
b. Meningen
Pearce, Evelyn C (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa
pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal
yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi
terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit
kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh
yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan
dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
6
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang
di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.
c. Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara
lain yaitu:
1) Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus Otak

7
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2
bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap
henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-
masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:

a) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah
dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
b) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.
Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari
daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi
pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini

8
disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan
yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan
baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari lainnya.
c) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan
memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
d) Lobus Oksipitalis
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini
otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
2) Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri
posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski
yaitu;
merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang
luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol

9
gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input
sensori.

3) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata.
Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum
dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons
terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta
merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula
dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-
pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan,
frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan
bersin.
4) Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot
siliaris dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

10
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan
saraf otak besar, sarafnya yaitu:
i) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian
depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola
mata.
ii) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
iii) 3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya
mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai
saraf penggoyang sisi mata
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut
motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di
dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis)
untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk
menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa
rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya
sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil
dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf
motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus,

11
gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam
abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

4. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

5. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur
objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan

12
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya,
kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak
sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita
lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi
pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses
yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan
lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra
kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

13
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala berdasarkan tipe trauma kepala :
a. Kromosio Serebri/ geger otak (cedera kepala tertutup)
1) Kehilangan kesadaran dalam waktu singkat, yang terjadi sekunder karena
gangguan pada system aktivasi retikuler (reticular activating system, RAS);
keadaan ini mngkin disebabkan oleh perubahan tekanan mendadak di
daerah yang mengatur kesadaran, perubahan pada polaritas neuron,
iskemia atau distorsi structural pada neuron.
2) Muntah akibat cedera dan kompresi setempat
3) Amnesia anterograde danretrrograd ( pasien tidak ingat kejaidan sesuadah
peristiwa kecelakaan atau cedera atau kejadian yang menimbulkan
kecelakaan atau cedera; semua ini berkaitan dengan gangguan pada
system aktiitas retikuler.
4) Iritabilitas atau letargi akibat cedera dan kompresi setempat
5) Perilaku berubah akibat cedera setempat
6) Keluhan pening, mual atau sakit kepala heat akibat cedera dan kompresi
setempat.
7) Kontusio serebri (memear jaringan otak; lebih serius daripada komosio
serebri)
8) Luka yang berat pad kulit kepala akibat cedera langsung
9) Pernapasan tampak berat dan kehilangan kesadaran yang terjadi sekunder
karena kenaikan tekanan intracranial akibat memar jaringan otak
10) Gejala mengantuk, bingung, disorientasi, pasien berontak atau mengamuk
terjadi karena tekanan intracranial akibat trauma kepala.
11) Hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan aliran darah ketempat
cedera
12) Postur tubuh ekortikasi atau deserebrasi akibat kerusakan korteks serebri
atau disfungsi hemisfer
13) Reaksi pupil yang tidak sama (anisokor) akibat lesi pada batang otak.
14) hematoma epidural
15) periode tidak sdarkan diri ang singkat setelah terjadi cedera yang
mrncerminkan efek konkusi pada trauma kepala; periode ini akan diikuti
oleh interval lusidum selama 10-1 menit hung bebrap jam atau kadang-
kadang sampai berhari-hari.
16) Sakit kepala hebat
17) Kehilangan kesadaran dan kemunduran tanda-tanda neurologi progresif
akibat peluasan lesi dan ekstrusi bagian medial lobus temporalis melalui
lubang tentorium.
18) Kompresi batang otak oleh lobus temporalis yang menimbulkan manifestasi
klinis hipertensi intracranial.
19) Penurunan tingkat kesadaran yang terjadi karena kompresi formasio
retikularis pada batang otak ketika lobus temporalis yang mengalami
herniasi pada bagian atasnya.

14
20) Respirasi yang pada awalnya tampak dalam keadaan berat kemudian
menjadi dangkal dan tidak teratur ketika batang otak terjepit.
21) Deficit motoric kontralateral yang mencerminkan kompresi traktus
kortikospinalis yang berjalan melalui batang otak
22) Pelebaran pupil ipsilateral (pada sisi yang sama) akibat kompresi nervus
kranialis ketiga
23) Serangan kejang yang mungkin terjadi karena tekanan intracranial yang
tinggi
24) Serangan kejang yang mungkin terjadi karena tekanan intracranial yang
tinggi
25) Perdarahan koninu yang menimbulkan degenerasi neurologi yang progresif;
keadaan ini dibuktikan dengan adanya pelebaran pupil bilateral, respons
desrebrasi bilateral, kenaikan tekanan darah sistemik, penurunanfrekuensi
nadi dan koma yang dalam disertai pola pernapasan yang tidak teratur.

b. Hematoma Subdural
Serupa dengan hematoma epidural meskipun perjalanannya memiliki awitan
yang secara signifikan lebih lambat karena perdarahanya berasal dari vena
c. Hematoma intraserebral
1) Keadaan tidak bereaksi segera atau interval lusidu sebelum pasien tidak
sadarkan diri (koma) sebagai akibat kenaikan tekanan intracranial dan efek
massa yang ditimbulkan oleh perdarahan
2) Kemungkinan deficit motoric dan respons dekortikasi atau derebrasi akibat
kompresi pada traktus kortikospinalis serta batang otak
d. Fraktur tengkorak
1) Kemungkinan asimptomatik, yang bergantung pada trauma otak yang ada
dibalik tulang tengkorak
2) Diskotuinitas dan pergeseran struktur tulang pada fraktur yang berat
3) Disfungsi sensorik-motorik dan nervus kranialis bila fraktur tengkorak
disertai fraktur tulang wajah (fraktur fasialis)
4) Penderita fraktur fosa anterioir basis kranii dapat mengalami ekimosis
periorbital (raccon eyes), anosmia (gangguan penciuman akibat lesi pada
nervus kranialis pertama) dan kelainan pupil (bila lesi mengenai nervus
kranialis kedua dan ketiga)
5) Rinore cairan serebrospinal (pembesaran/kebocoran cairan serebrospinal
lewat hidung), orete cairan serebrospinal (kebocoran lewat telinga),
hematimpaniumn(penumpukkan darah pada membrane timpani), ekimosis
didaerah os mastoideus tanda Battle) dan paralisis fasialis (cedera nervus
kranialis ketujuh) semua ini dpat menyertai fraktur fosa media basis kranii.
6) Tanda-tanda disfungsi medulla oblongata, seperti kegagalan kardiovaskuler
dan respirasi akan menyertai fraktur fosa posterior basis kranii.
(,)

15
7. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala adalah;
a. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk
memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian. Perawat harus membuat
persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah
yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan
pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera

16
lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan
dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada
system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan.
c. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung
atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
d. Infeksi

8. Penatalaksanaan
a. Penanganan emergency sesuai dengan beratnya trauma kapatis ringan,
sedang, berat
1) Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien yang meliputi
tindakan-tindakan :
 A = Airway ( Jalan Napas)
Bebaskan jalan napas dengan memriksa mulut dan mengeluarkan darah,
gigi yang patah, muntahan, dsb. GCS 3-8 sebagainya dipasang intubasi
(waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher)
 B = Breathing (Pernapasan)
Pastikan pernapasan adekuat.
Perhatikan frekuensi, pola napas dan pernapasan dada atau perut serta
kesetaraan pengembangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada
gangguan pernapasan cari penyebab apakah terdapat gangguan pada
sentrak (otak atau batang otak) atau perifer (otot pernapasan atau paru-
paru). Bila perlu, berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target
saturasi O2 > 95%.

17
 C = Circulation (Sirkulasi)
Pertahankan Tekanan Darah Sistolik.
Pasang intravena, berikan cairan NaCl 0,9% atau RL yang dihangatkan.
Hindari cairan hipotonis. Bila perlu berikan obat vasopressor dan/
inotropic. Pengukuran CPP (Cerebral perpus Preasure) harus dilakukan
berdasarkan tekanan darah pasien, normalnya adalah 70-95 mmHg.
Ada tiga komponen yang harus kita pahami dalam mengukur CPP:
1. MAP (Mean Arteial Preasure), 2 Diastolik + 1 Sistolik : 3, dam ICP (Intra
Cranial Preasure/ Tekanan Intra Kranial) normalnya 5-15 mmHG.
Rumus CPP = MAP – ICP. Jika tekanan darah 90/50, nilai CPP nya
adalah 48 mmHg, pasien mengalami hipoksia berat. Tugas perawat
adalah berkolaborasi dengan tim medis untuk menaikkan tekanan
darah pasien. Tekanan darah pasien harus diatas 120 mmHg sistolik
untuk mencegah gangguan perfusi serebral. Konsultasi ke ahli bedah
saraf berdasarkan indikasi.
 D = Disability, yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum
dengan pemeriksaan cepat status umum dn neurologi.
- Skala Coma Glasgow (GCS)
- Pupil : ukuran, bentuk dan refleks cahaya.
- Pemeriksaan neurologis cepat : hemiparesis, refleks patologis
- Anamnesa: AMPLE (Allergies, Medication, Pass illnesses, Last Meal,
Event/Eviroent related to the injury)
2) Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi
pasien stabil.
 E = Laboratorium
Darah : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, ureum, kretinin, gula
darah sewaktu, analisi gas darah dan elektrolit. Urine : Perdarahan (+) / (-)
Radiologi :
- Foto polos kepala (scedel), Posisi AP, lateral, tangensial
- CT Scan Otak
- Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal)

18
 F = Menajemen Terapi/Folly Catheter
- Siapkan untuk operasi pad pasien yang mempunyai indikasi
- Penangan luka
- Pemberian terapi obat=obatan sesuai kebutuhan
- Observasi jumlah dan warna urine
 G = Gastric Tube, pemasangan dapat melalui, nasal atau oral

b. Penatalaksanaan Perawatan
1) Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
2) Bila perlu, dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi). Dosis awal
1 gr/kg BB.
3) Pertahankan CPP 70-95 mmHg.
4) Pertahankan ICP 5-15 mmHg.
5) Berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek.
6) Pada kasus resiko tinggi, infeksi akibat fraktur basis kranii/fraktur terbuka
profilaksis antibiotika, sesuai dosis.
7) Pencegahan infeksi (pneumonia) dan decubitus.
8) Gastrointestinal : pemasangan NGT untuk pemberian obat dan nutrisi.
9) DIC : pasien dengan trauma kpatis tertutup cenderunf mengalami
koaugulupati akut.
Ket :
- Manitol merupakan diuretika osmotika yang bekerja dengan cara
memindahkan cairan ke kompartemen vaskuler =, meningktakan volume
sirkulusi, serta mengurangi viskositas darah.
- Syarat pemberian manitol :
 Osmolaritas < 320 mOsmol/L
 CVP 6-12 cmH2o
 Tekanan darah sistolik 110 mmHG
 Diuresis 24 jam positif
 Fungsi ginjal normal
 HB > 10 mg/dl

19
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen
tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi

20
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk
mengatasi kejang.
10. Discharge Planning
a. Jelaskan tentang kondisi yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
b. Ajarkan untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan
bicara.
c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi
dari pemberian obat.
d. Ajarkan untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-
hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas
bermain, dan latihan ROM bila mengalami gangguan mobilitas fisik.
f. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
g. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal.
h. Ajarkan pada keluarga bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
1) Airway : Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
2) Breathing : Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman
nafas.
3) Circulation: Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.

21
4) Disability : Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.
5) Exposure of extermitas : Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang
cukup hangat
b. Pengkajian Sekunder

1. Focus assessment

Anamnesis harus lengkap karena akan menimbulkan gambaran mengenai

cedera yang mungkin diderita

A : alergi

M : medikasi atau obat-obatan

P : penyakit sebelumnya yang diderita : hipertensi, DM

L : last meal (waktu terakhir makan, bukan makan apa)

E : event, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera

2. Head To Toe Assessment

Meliputi pemeriksaan inspeksi, auskultasi palpasi dan perkusi

a) Kulit kepala

Seluruh kepala diperiksa, cukup sering terjadi bahwa penderita yang

tampaknya cidera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari

tetesan luka belakang kepala

b) Wajah

Ingat prinsip “look listen feel” apabila ada cedera di sekitar mata jangan

lupa untuk memeriksa mata, karena pembengkakan dimata akan

menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya sulit

22
1) Mata : pemeriksaan kornea ada cidera atau tidak, pupil mengenai

isokor serta refleks cahaya, acies virus dan acies campus

2) Hidung : apabila ada pembengkakan, lakukan palpasi akan

kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur

3) Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi

akan terjadinya fraktur zygoma

4) Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani

atau ketidakmampuan

5) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas

6) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur, perhatikan adanya

tanda fraktur basis

7) Crania : hasil hematom atau raccoon eyes (mata panda), blody

rinorhea (peradangan hidung), bloody otorhe (pendarahan telinga) dan

battle sig (lebam di belakang telinga)

c) Leher

Pada pemeriksaan leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan seseorang

untuk melakukan fiksi pada kepala. Untuk leher daerah belakang, jika

akan dilakukan inspeksi, penderita harus dimiringkan dengan “log roll”

Inspeksi-palpasi (DCAP-BLS-TIC-JVD) :

D : deformitas (perubahan bentuk)

C : contusio (memar)

A : abrasi (babras)

P : penetrasi (tusukan)

23
B : burn (luka bakar)

L : laserasi (robek)

S : swelling (bengkak)

T : tendernes

I : instability (tidak stabil) tidak boleh ditekan

C : crepitasi

J : juguler

V : vena

D : distensi

d) Thoraks

Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel inspeksi-palpasi (DCAPP-

BLS)

D : deforitas

C : contusio

A : abrasi

P : penetrasi

P : paradoksal

B : burn

L : laserasi

S : swelling

e) Abdomen

Inspeksi (DCAP-BLS)

D : deformitas

24
C : contusio

A : abrasio

P : penetrasi

B : burn

L : laserasi

S : swelling

Palpasi pada 4 kuadran :

Apabila perut seperti papan, tanda adanya pendarahan internal

f) Pelvis

Inspeksi-palpsi (DCAP-BLS-TIC)

D : deforitas

C : contusio

A : abrasi

P : penetrasi

P : paradoksal

B : burn

L : laserasi

S : swelling

T : tenderness

I : instability (tidak stabil) ditekan pada dua sias

C : crepitasi

Jika pada primary survey sudah ditemukan nyeri pada pelvis maka TIC

tidak diperiksa lagi

25
g) Genetalia

Inspeksi pada daerah meatus uretra atau paling luar, adanya

pendarahan, pembengkakan dan memar

h) Ekstermitas

Pemeriksaan dilakukan dengan “look file move”. Ekstermitas bawah,

inspeksi-palpasi (DCAP-BLS-TIC-PMS-ROM) :

D : deforitas

C : contusio

A : abrasi

P : penetrasi

P : paradoksal

B : burn

L : laserasi

S : swelling

T : tenderness

I : instability

C : crepitasi

P : pulse

M : motorik

S : sensorik

ROM : rangge off motion

Ekstermitas atas, pemeriksaan dimulai dari garis tengah tubuh (klavikula-

bahu-lengan-tangan). Inspeksi-palpasi (DCAP-BLS-TIC)

26
D : deforitas (perubahan bentuk)

C : contusio (memar)

A : abrasi (babras)

P : penetrasi (tusukan)

B : burn

L : laserasi

S : swelling

T : tenderness

I : instability

C : crepitasi

i) Bagian punggung

Pemeriksaan punggung dilakukan dengan log roll (memeringkan

penderita dengan tetap menjaga kesegarisan). Pada saat ini dapat

dilakukan pemeriksaan punggung dengan inspeksi-palpasi (DCAP-BLS-

TIC)

D : deformitas (perubahan bentuk)

C : contusio (memar)

A : abrasi (babras)

P : penetrasi (tusukan)

B : burn (luka bakar)

L : laserasi (robek)

S : swelling (bengkak)

T : tenderness

27
I : instability (tidak stabil)

C : crepitasi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan cedera medula spinalis
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
c. Ketidakseimbanagan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
kelemahan
f. Resiko kekurangan Volume Cairan

28
3. Intervensi

N Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
o Keperawatan
1 Ketidakefektifan pola NOC : NIC :
napas a. Respiratory status :
Definisi : Pertukaran Ventilation Airway Management
udara inspirasi dan/atau b. Respiratory status : a. Buka jalan nafas, gunakan
ekspirasi tidak adekuat Airway patency teknik chin lift atau jaw thrust
Batasan karakteristik : c. Vital sign Status bila perlu
a. Penurunan tekanan Kriteria Hasil : b. Posisikan pasien untuk
inspirasi/ekspirasi a. Menunjukkan jalan memaksimalkan ventilasi
b. Penurunan pertukaran nafas yang paten (klien c. Identifikasi pasien perlunya
udara per menit tidak merasa tercekik, pemasangan alat jalan nafas
c. Menggunakan otot irama nafas, frekuensi buatan
pernafasan tambahan pernafasan dalam d. Keluarkan cairan dengan
d. Dyspnea rentang normal, tidak batuk atau suction
e. Nafas pendek ada suara nafas e. Auskultasi suara nafas, catat
abnormal) adanya suara tambahan
Faktor yang berhubungan b. Tanda Tanda vital f. Berikan bronkodilator bila
: dalam rentang normal perlu
- Keletihan otot (tekanan darah, nadi, g. Atur intake untuk cairan
pernafasan pernafasan mengoptimalkan
- Cedera medula keseimbangan.
spinalis h. Monitor respirasi dan status
- Disfungsi O2
neuromuskular
- Kerusakan Terapi oksigen
neurologis a. Bersihkan mulut, hidung dan
secret trakea
b. Pertahankan jalan nafas yang
paten
c. Atur peralatan oksigenasi
d. Monitor aliran oksigen
e. Pertahankan posisi pasien
f. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
g. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


a. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
b. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah

29
c. Monitor kualitas dari nadi
d. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
e. Monitor suara paru
f. Monitor pola pernapasan
abnormal
g. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
h. Monitor sianosis perifer

2 Ketidakefektifan perfusi NOC : NIC :


jaringan perifer Circulation status. Perawatan sirkulasi:
Batasan Karateristik : Kriteria Hasil : a. Lakukan pengkajian
 Perubahan mendemonstrasikan status komprehensif terhadap
karateristik kulit sirkulasi yang ditandai sirkulasi perifer
 Nadi arteri lemah dengan : b. Pantau status cairan termasuk
 Edema  Tekanan sistole dan asupan dan haluaran
 Kulit pucat saat diastole dalam rentang Peripheral Sensation
elevasi dan tidak yang diharapkan. Management (Manajemen
kembali saat menunjukkan fungsi sensasi perifer):
diturunkan sensori motoric yang utuh : a. Anjurkan pasien atau
 Perubahan suhu tingkat kesadaran keluarga untuk memantau
kulit mambaik. posisi tubuh saat duduk,
 Nadi lemah atau berbaring, atau mengubah
tidak teraba. posisi.
Faktor yang berhubungan b. Anjurkan pasien atau
- Edema serebral keluarga untuk memeriksa
- Peningkatan TIK kulit setiap 2 jam untuk
mengetahui perubahan
integritas kulit.
c. Hindari trauma kimia atau
panas yang melibatkan
ekstremitas
d. Diskusikan dan identifikasi
penyebab sensasi tidak
normal atau perubahan
sensasi.
e. Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada
lesi atau laserasi
Diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensasi

30
3 Ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi kurang dari  Nutritional Status : Nutrition Management
kebutuhan tubuh food and Fluid Intake a. Kaji adanya alergi makanan
Definisi : Intake nutrisi Kriteria Hasil : b. Kolaborasi dengan ahli gizi
tidak cukup untuk a. Adanya peningkatan untuk menentukan jumlah
keperluan metabolisme berat badan sesuai kalori dan nutrisi yang
tubuh. dengan tujuan dibutuhkan pasien.
Batasan karakteristik : b. Berat badan ideal c. Berikan makanan yang
- Membran mukosa dan sesuai dengan tinggi terpilih(sudah
konjungtiva pucat badan dikonsultasikan dengan ahli
- Kelemahan otot yang c. Mampu gizi)
digunakan untuk mengidentifikasi d. Monitor jumlah nutrisi dan
menelan/mengunyah kebutuhan nutrisi kandungan kalori
- Luka, inflamasi pada d. Tidak ada tanda tanda e. Berikan informasi tentang
rongga mulut malnutrisi kebutuhan nutrisi
- Dilaporkan atau fakta e. Tidak terjadi penurunan f. Kaji kemampuan pasien
adanya kekurangan berat badan yang untuk mendapatkan nutrisi
makanan berarti yang dibutuhkan
- Perasaan
ketidakmampuan
untuk mengunyah Nutrition Monitoring
makanan a. Monitor adanya penurunan
- Keengganan untuk berat badan
makan b. Monitor lingkungan selama
- Nyeri abdominal makan
dengan atau tanpa c. Jadwalkan pengobatan dan
patologi tindakan tidak selama jam
- Kurang berminat makan
terhadap makanan d. Monitor turgor kulit
- Pembuluh darah e. Monitor mual dan muntah
kapiler mulai rapuh f. Monitor kadar albumin, total
- Diare dan atau protein, Hb, dan kadar Ht
steatorrhea g. Monitor makanan kesukaan
- Suara usus hiperaktif h. Monitor pucat, kemerahan,
Faktor-faktor yang dan kekeringan jaringan
berhubungan : konjungtiva
Ketidakmampuan i. Monitor kalori dan intake
menelan makanan nuntrisi
j. Catat adanya edema,
hiperemik, papila lidah dan
cavitas oral.

31
4
Nyeri akut NOC NIC

Batasan karakteristik : a. Pain level Pain Management


b. Pain control
Perubahan selera makan c. Comfort level  Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
 Perubahan tekanan Kriteria hasil termasuk lokasi,
darah karakteristik, durasi, frekuens
 Perubahan frekwensi  Mampu mengontrol i,kualitas dan faktor prespitasi
jantung nyeri  Observasi reaksi nonverbal
 Perubahan frekwensi ( tahu penyebab nyeri, dari ketidaknyamanan
pernapasan mampu  Gunakan teknik komunikasi
 Perilaku distraksi ( menggunakan teknik terapeutik untuk mengetahui
mis: berjalan mondar nonfarmakologi untuk pengalaman nyeri pasien
– mandir mencari mengurangi nyeri,  Kaji kultur yang
orang lain atau mencari bantuan ) mempengaruhi nyeri
aktivitas lain )  Kontrol lingkungan yang
 Melaporkan bahwa
 Mengepreksikan dapat mempengaruhi nyeri
nyeri berkurang dengan
perilaku ( mis: seperti suhu ruangan,
menggunakan
gelisah, merengek pencahayaan dan kebisingan.
manajemen nyeri
dan menangis )  Pilih dan lakukan penanganan
 Mampu mengenali
 Sikap melindungi nyeri (nonfarmakologi,
nyeri
daerah nyeri farmakologi dan interpersonal
( skala, intensitas,
 Fokus menyempit ( )
mis : gangguan frekuensi dan tanda
nyeri  Kaji tipe sumber nyeri untuk
presepsi nyeri, menentukan intervensi
hambatan proses  Menyatakan rasa
 Ajarkan teknik
berpikir, penurunan nyaman setelah nyeri
nonfarmakologi
interaksi dengan berkurang
 Berikan analgetik untuk
orang dan
mengurangi nyeri
lingkungan)
 Evaluasi keefektifan kontrol
 Indikasi nyeri yang
nyeri
dapat diamati
 Kolaborasi dengan dokter jika
 Perubahan posisi
ada keluhan dan tindakan
untuk menghindari
nyeri yang tidak berhasil
nyeri
 Monitor penerimaan pasien
 Dilatasi pupil
tentang majemen nyeri
 Melaporkan nyeri
secara verbal Analgesic Administration
 Gangguan tidur
a. Tentukan lokasi,
Faktor yang karakteristik, kualitas dan
berhubungan : derajat nyeri sebelum
pemberian obat
Agen cedera (trauma b. Cek instruksi doktertentang

32
kepala) jenis obat, dosis dan frekuensi
c. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
d. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
e. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal
f. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
g. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali
h. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
i. Evaluasi evektivitas
analgesic, tanda dan gejala

5 Hambatan mobilitas fisik NOC : NIC :


Batasan karakteristik : Exercise therapy : ambulation
 Joint Movement :
Active  Monitoring vital sign
a. Postur tubuh yang
tidak stabil  Mobility Level sebelum/sesudah latihan dan
selama  Self care : ADLs lihat respon pasien saat
melakukan  Transfer latihan
performance  Konsultasikan dengan terapi
kegiatan rutin
fisik tentang rencana
harian
ambulasi sesuai dengan
b. Keterbatasan
Kriteria Hasil : kebutuhan
kemampuan
 Bantu klien untuk
untuk melakukan
keterampilan  Klien meningkat menggunakan tongkat saat
dalam aktivitas berjalan dan cegah terhadap
motorik kasar
fisik cedera
c. Keterbatasan
 Mengerti tujuan  Ajarkan pasien atau tenaga
kemampuan
dari peningkatan kesehatan lain tentang teknik
untuk melakukan
mobilitas ambulasi
keterampilan
motorik halus  Memverbalisasikan a. Kaji kemampuan pasien
perasaan dalam dalam mobilisasi
d. Tidak ada
meningkatkan b. Latih pasien dalam
koordinasi atau
kekuatan dan pemenuhan kebutuhan ADLs
pergerakan yang
kemampuan secara mandiri sesuai
tersentak-sentak
berpindah kemampuan
e. Keterbatasan
c. Dampingi dan Bantu pasien

33
ROM  Memperagakan saat mobilisasi dan bantu
f. Kesulitan penggunaan alat penuhi kebutuhan ADLs
berbalik (belok) bantu untuk pasien.
g. Perubahan gaya mobilisasi (walker) d. Berikan alat Bantu jika klien
berjalan (Misal : memerlukan.
penurunan e. Ajarkan pasien bagaimana
kecepatan merubah posisi dan berikan
berjalan, bantuan jika diperlukan
kesulitan
memulai jalan,
langkah sempit,
kaki diseret,
goyangan yang
berlebihan pada
posisi lateral)
h. Penurunan waktu
reaksi
i. Bergerak
menyebabkan
nafas menjadi
pendek
j. Usaha yang kuat
untuk perubahan
gerak
(peningkatan
perhatian untuk
aktivitas lain,
mengontrol
perilaku, fokus
dalam anggapan
ketidakmampuan
aktivitas)
k. Pergerakan yang
lambat
l. Bergerak
menyebabkan
tremor

Faktor yang
berhubungan :

Penurunan kekuatan otot,


kontrol dan atau masa

34
6 Resiko infeksi NOC : NIC :

Faktor-faktor resiko :  Immune Status Infection Control (Kontrol


 Knowledge : infeksi)
a. Prosedur Infasif Infection control
b. Trauma  Risk control  Bersihkan lingkungan setelah
c. Kerusakan Kriteria Hasil : dipakai pasien lain
jaringan dan  Pertahankan teknik isolasi
 Klien bebas dari tanda
peningkatan  Batasi pengunjung bila perlu
dan gejala infeksi
paparan 
 Mendeskripsikan Instruksikan pada
lingkungan proses penularan pengunjung untuk mencuci
d. Agen farmasi penyakit, factor yang tangan saat berkunjung dan
(imunosupresan) mempengaruhi setelah berkunjung
e. Malnutrisi penularan serta meninggalkan pasien
f. Peningkatan penatalaksanaannya,  Gunakan sabun antimikrobia
paparan  Menunjukkan untuk cuci tangan
lingkungan kemampuan untuk  Cuci tangan setiap sebelum
patogen mencegah timbulnya dan sesudah tindakan
g. Ketidakadekuatan infeksi kperawtan
imum buatan  Jumlah leukosit  Gunakan baju, sarung tangan
h. Tidak adekuat dalam batas normal sebagai alat pelindung
pertahanan  Menunjukkan
sekunder  Pertahankan lingkungan
perilaku hidup sehat
(penurunan Hb, aseptik selama pemasangan
penekanan respon alat
inflamasi)  Ganti letak IV perifer dan
i. Tidak adekuat line central dan dressing
pertahanan tubuh sesuai dengan petunjuk
primer (kulit umum
tidak utuh,  Gunakan kateter intermiten
trauma jaringan, untuk menurunkan infeksi
penurunan kerja kandung kencing
silia, cairan tubuh  Tingkatkan intake nutrisi
statis, perubahan  Berikan terapi antibiotik bila
sekresi pH, perlu
perubahan
peristaltik)
Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)

 Monitor tanda dan gejala


infeksi sistemik dan lokal
 Monitor hitung granulosit,
WBC
 Monitor kerentanan terhadap
infeksi
 Batasi pengunjung
35
 Saring pengunjung terhadap
penyakit menular
 Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi
k/p
 Berikan perawatan kulit pada
area epidema
 Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi
bedah
 Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari
infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
7.
Resiko Kekurangan NOC NIC
volume cairan
a. Fluid balance Fluid management
Faktor resiko b. Hydration
 Monitol vital sign
- Kehilangan c. Nutitional Status : Food
 Monitor status hidrasi
volume cairan & Fluid
(kelembaban membrane
aktif Kriteria Hasil :
mukosa, nadi adekuat,
- Agens
 Tekanan darah, nadi, tekanan darah ortostatik)
fermasutikal
suhu tubuh dalam batas  Monitor hasil HB dan
(misalnya
normal hematokrit
diuretic)
 Tidak ada tanda  Pasang urin kateter jika
dehidrasi diperlukan
 Elastisitas turgor kulit  Pertahankan catatan intake

36
baik, membrane dan output yang akurat
mukosa lembab.  Timbang popok / pembalut
jika diperlukan
 Monitor masukan makanan /
cairan dan hitung intake
kalori
 Monitor status nutrisi
 Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebihan muncul
memburuk
 Monitor berat badan
 Monitor parameter
hemodinamik infasif
 Catat secara akurat intake dan
output
 Kolaborasi dengan dokter

37

Anda mungkin juga menyukai