TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Dasar
1.1.1 Anatomi Fisiologi
1.1.1.1 Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur
tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi
lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum.
2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu,
membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan
serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
lain yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium
serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang
terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang
masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah
dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalisbertanggung jawab
terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.
Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari
daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi
pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak
tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum
dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons
terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta
merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula
dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat
otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan,
frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan
bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot
siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan
saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1.1.2 Definisi
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang
mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual,
emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (Smeltzer,2000)
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar,
yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini
dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya
tingkat kesadaran (Valadka, 1996). Berdasarkan mekanismenya cedera otak di
bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head
injury) (Valadka, 1996).
1.1.3 Etiologi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas
pada daerah dimana dapat merobek otak. Kerusakan menyebar karena
kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. Benda tajam, kerusakan
terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam.
1.1.4 Klasifikasi
1.1.4.1 Cidera otak primer
Cidera otak primer adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi memar otak, laserasi.
1.1.4.2 Cidera otak sekunder
Cidera otak sekunder adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan
biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma
terjadi apabila benturan hebat pada objek yang keras atau
benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak
kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian otak
yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka,
menyebabkan isi kepala nampak dari luar seperti skull,
meningens, atau jaringan otak termasuk dura.
Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai kesadaran:
a. Cidera otak ringan (GCS 13 15): tidak terjadi ganggguan
neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran
selama kurang dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam
b. Cidera otak sedang (GCS 9 12): penurunan kesadaran
dalam 1-24 jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.
3) Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah.
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
1.1.6.2 Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering
terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan bahwa kasus
kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B, 1982).Kontusio serebri adalah
memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera
akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim
otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan
serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan
perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun
perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002). Freytag dan Lindenberg (1957)
mengemukakan bahwa padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu
daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami
pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan
seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan
keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini
disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone
sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial
pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini
berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini
memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).
Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
1.1.6.3 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi
1.1.7 WOC
1.1.8 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala addalah;
1) Edema pulmonal Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru,
etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom
distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak,
bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi
akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit
70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada
penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum
menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2) Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3) Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten
dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi
kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling
banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam,
frekuensi dan irama pernafasan.
4) Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
5) Infeksi
1.1.1 Pemeriksaan Medis
1.1.2
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2)
27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2
sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan
CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan
untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
3) Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler,
vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda
vital.
4) Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi
pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
1.2.1.2 Pemeriksaan Fisik
1) BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2) BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3) BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Rasional
1. Mengetahui kestabilan
klien.Mengkaji adanya
kecendeungan pada tingkat
kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
2. Untuk menurunkan tekanan vena