Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Dasar
1.1.1 Anatomi Fisiologi
1.1.1.1 Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur
tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi
lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum.
2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu,
membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan
serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan


gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit
kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh
yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang
di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.
Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara

lain yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium
serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang
terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang
masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah
dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalisbertanggung jawab
terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.
Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari
daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi
pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini

disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan


yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan
bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal
dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita
bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian
maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan
memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak
suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif
dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior
dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu;
merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang
luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol
gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input
sensori.

c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak
tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum
dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons
terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta
merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula
dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat
otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan,
frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan
bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot
siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan
saraf otak besar, sarafnya yaitu:

1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian


depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola
mata.

1.1.2 Definisi
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang
mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual,
emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (Smeltzer,2000)
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar,
yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini
dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya
tingkat kesadaran (Valadka, 1996). Berdasarkan mekanismenya cedera otak di
bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head
injury) (Valadka, 1996).
1.1.3 Etiologi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas
pada daerah dimana dapat merobek otak. Kerusakan menyebar karena
kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. Benda tajam, kerusakan
terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam.

1.1.4 Klasifikasi
1.1.4.1 Cidera otak primer
Cidera otak primer adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi memar otak, laserasi.
1.1.4.2 Cidera otak sekunder
Cidera otak sekunder adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan
biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma
terjadi apabila benturan hebat pada objek yang keras atau
benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak
kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian otak
yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka,
menyebabkan isi kepala nampak dari luar seperti skull,
meningens, atau jaringan otak termasuk dura.
Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai kesadaran:
a. Cidera otak ringan (GCS 13 15): tidak terjadi ganggguan
neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran
selama kurang dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam
b. Cidera otak sedang (GCS 9 12): penurunan kesadaran
dalam 1-24 jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.

c. Cidera otak berat (GCS 3-8): penurunan kesadaran lebih


dari 24 jam dan amnesia post trauma lebih dari satu
minggu.
Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan
mampu membuat jaringan otak mengenai tulang
tengkorak namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan
memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran
yang menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur
tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan
merasa kepala berputar dan diatasnya ada burung-burung
emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat
setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48
jam. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat,
mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi,
letargi, pusing.
b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius
daripada concussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya
perdarahan arteri otak, darah biasanya terakumulasi
antara tulang tengkorak dan dura. Gejala: penurunan
kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.
c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses
ekselerasi-deselerasi atau coup-contracoup yang
menyebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pada
daerah otak yang mengalami memar. Gejala: penurunan
kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut
menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala
yang parah, kompresi batang otak, keabnormalan

pernafasa (pernfasan dalam), gangguan motorik yang


bersifat kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah
dengan trauma, kejang, perdarahan. Epidural hematoma
merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena
terjadi pada artesi otak.
d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering
terjadi. Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan
akumulasi darah pada daerah subdural (antara duramater
dan arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks
cerebri (jarang sekali mengenai arteri). Gejala: mirip
dengan epidural hematoma namun dengan onset of time
yang lambat karena sobekan pembuluh darah terjadi pada
vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan
yang sub akut dan memiliki prognosa yang lebih baik
karena aliran darah pada pembuluh darah yang robek
berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada bagian frontal
dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi.
Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak
perdarahan, gangguan motorik, peningkatan tekanan
intracranial.
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe
yaitu linear, comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur
pada bagian depan dan tengah tulang tengkorak akan
mengakibatkan sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin
asimtomatik tergantung pada penyebab trauma,
displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang,
perubahan sensor motorik,periorbital ekimosis (bercak

merah pada mata), adanya battles sign (ekimosis pada


tulang mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.

1.1.5 Manifestasi Klinis


1.1.6 Patofisiologi
Patofisiologi cedera otak ditinjau darisaat kejadiannya terdiri atas cedera
otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera otak
sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui proses
patologis yang berlanjut.
1.1.6.1 Cedera Otak Primer
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada
neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal,
multifokal ataupun difus.
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan
DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun
global.
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase
lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992;
Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1) Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2) Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan

3) Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah.
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
1.1.6.2 Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering
terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan bahwa kasus
kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B, 1982).Kontusio serebri adalah
memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera
akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim
otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan
serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan
perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun
perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002). Freytag dan Lindenberg (1957)
mengemukakan bahwa padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu
daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami
pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan
seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan
keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini
disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone
sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial
pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini
berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini
memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
1.1.6.3 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi
1.1.7 WOC
1.1.8 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala addalah;
1) Edema pulmonal Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru,
etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom
distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak,
bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi
akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit
70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada
penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum
menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

2) Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3) Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten
dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi
kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling
banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam,
frekuensi dan irama pernafasan.
4) Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
5) Infeksi
1.1.1 Pemeriksaan Medis
1.1.2

CT Scan: untuk melihat adanya dan letak

perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan kepadatan


jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
1.1.3

Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya

perdarahan atau PTIK melalui analisa CSF. Pada kasus

subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan


kandungan protein rendah).
1.1.4

EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus

contusion akan ditemukan gelombang theta dan delta


dengan amplitude yang tinggi.
1.1.5

X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau

adanya fraktur pada tulang tengkorak.


1.1.6

MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau

perubahan struktur dalam otak

1.1.7 Penatalaksanaan Medis


Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut
(Japardi, 2002):
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau
pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau
gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi
medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan
central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah
aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi.
Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan

hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari


dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan
syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang
hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial.
Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar
dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen
diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan
harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologi
f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun
naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal
adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2)
27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2
sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan
CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan
untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik

Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan


otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm

Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat


pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial

pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai


efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum
3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan
bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak.
Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh
karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera
kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi
tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala
dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi,
supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga
drainase vena otak menjadi lancar.
g. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000
ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid
seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan

cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan


hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 34 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 22,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar
epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila
ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral
pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:

Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan


3-4 x 100 mg/hari

Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat


diulang dalam 15 menit.

Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan


tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh
karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat
lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18
mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan
dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada
pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti

pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita


dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan,
jaringan nekrosis, atau bagian tulang tengkorak yang masuk
kedalam jaringan otak.
1.2 Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
1.2.1.1 Riwayat Penyakit
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing, mual atau bahkan
penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala
antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan 2 tahun, usia 1524 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita
adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal
pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie,
2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan
trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat Perdarahan yang sering
ditemukan:
1) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media
yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri
karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2
hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian
dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
2) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir
lambat, kejang dan edema pupil.

3) Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler,
vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda
vital.
4) Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi
pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
1.2.1.2 Pemeriksaan Fisik
1) BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2) BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3) BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.


e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4) BLADDER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi
5) BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan
menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6) BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang
terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
1.2.1.3 Pemeriksaan Diagnostik:
1) CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia(hipovolemia, disritmia jantung)
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau
kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

3) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi


dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4) Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif.
6) Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan,
misal: tirah baring, imobilisasi.
7) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Kekurangan nutrisi.
8) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk
mengunyah, menelan.
9) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang
mengingat/keterbatasan kognitif.

1.2.3 Intervensi Keperawatan


1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
(1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala.
(2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial.
(3) Peningkatan kesadaran, GCS 13
(4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
Intervensi
1. Kaji tingkat kesadaran.
2. Pantau status neurologis secara
teratur, catat adanya nyeri kepala,
pusing.
3. Tinggikan posisi kepala 15-30
derajat
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input

Rasional
1. Mengetahui kestabilan
klien.Mengkaji adanya
kecendeungan pada tingkat
kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
2. Untuk menurunkan tekanan vena

dan output, lalu catat hasilnya.


5. Kolaborasi pemberian Oksigen.
6. Anjurkan orang terdekat untuk
berbicara dengan klien.

jugularis. Peningkatan tekanan


darah sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik
serta napas yang tidak teratur
merupakan tanda peningkatan TIK.
Mengurangi keadaan hipoksia
Ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa klien koma yang akan
menurunkan TIK.

1.2.4 Implementasi Keperawatan


1.2.5 Evaluasi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai