Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS KONSTIPASI PADA PASIEN TN. S


DIRUANG WIJAYA KUSUMA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
SALATIGA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Disusun Oleh :
Nama : Putri Nur Fitriani
Nim : 20101440120071

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


STIKES KESDAM IV/DIPONEGORO SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstipasi merupakan suatu permasalahan yang umum dialami oleh anak-
anak dan bisa mengakibatkan masalah yang serius jika tidak ditangani dengan baik.
Konstipasi diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi
feses menjadi keras, ukuran besar, penurunan frekuensi atau kesulitan defekasi.
Konstipasi sering ditandai dengan gejala cemas karena rasa nyeri pada saat buang air
besar (Muzal, 2017). Menurut Turan & Asti (2016) menyebutkan konstipasi adalah
kelambatan dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup
membuat anak menderita. Angka kejadian konstipasi di dunia cukup tinggi, sekitar
12% dari anak di seluruh dunia mengalami konstipasi (Yusri, 2013). Blackmer (2010)
juga berpendapat bahwa konstipasi pada anak memiliki prevalensi di seluruh dunia
dari 7% hingga 30%, dengan kira-kira 30% hingga 75% dari kasus sembelit kronis
pada anak-anak menghasilkan impaksi tinja dubur. Untuk kasus konstipasi di
Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Yusri (2013) mendapatkan hasil bahwa
prevalensi anak dengan konstipasi sebesar 0.3%- 0.8%. Sebanyak 1 dari 3 anak pada
umur 6-12 tahun mengalami konstipasi (Putri, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh
Nasution (2010) dengan menggunakan studi cross sectional di Sumatera Utara
terhadap 82 siswa berusia 10-14 tahun, didapatkan hasil 32 di antaranya mengalami
konstipasi dengan rincian 28% perempuan dan 11% laki-laki serta konstipasi banyak
terjadi pada anak dengan gizi lebih.
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan buang air besar
akibat pengalaman nyeri pada saat buang air besar sebelumnya, biasanya disertai
dengan fisura ani (robekan atau belahnya lapisan anus). Kebiasaan menahan tinja
(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid
yang akan menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus
mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala (pengerasan tinja).
Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar
menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan akan menimbulkan rasa sakit
pada saat buang air besar (Juffrie, 2009). Selain karena menahan pada saat buang air
besar, penyebab lain anak mengalami konstipasi yaitu, karena kurang mengonsumsi
makanan yang banyak mengandung serat dan kurang minum. Pola buang air besar
setiap orang berbeda-beda dan tergantung pada fungsi organ, susunan saraf, pola
makan, serta usia. Menilai pola defekasi berarti menilai frekuensi buang air besar,
konsistensi dan warna dari fesesnya (Eva, 2015). Orang dewasa memiliki frekuensi
buang air besar yang normal terjadi antara tiga kali setiap hari sampai tiga kali setiap
minggu. Frekuensi buang air besar pada anak-anak bervariasi berdasarkan usia. Bayi
yang minum ASI pada awalnya lebih sering buang air besar dibandingkan bayi yang
minum susu formula. Pada usia anak diatas tiga tahun rerata buang air besar sebanyak
dua kali per hari (Suarsyaf, 2015). Beberapa penyebab umum konstipasi adalah
kegagalan merespons dorongan buang air besar, asupan serat dan cairan tidak
memadai, kelemahan otot perut, dan dehidrasi. Konstipasi pada anak merupakan suatu
keadaan yang perlu diperhatikan, karena sekitar 24% dapat menetap hingga dewasa
muda. Jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak
diinginkan seperti enkopresis, enuresis, sakit perut berulang, dan prolaps rektum
(Jurnalis, 2013).
Penanganan konstipasi dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi
nonfarmakologi. Terapi non-farmakologi terdiri dari pemberian edukasi,
demistifikasi, toilet training, dan penjadwalan defekasi harian. Terapi farmakologis
yaitu dengan pemberian perawatan yang terdiri atas tiga langkah : disimpaksi,
perawatan pemeliharaan, dan penyapihan. Pada terapi farmakologi, pengobatan
pertama yang biasa digunakan adalah pemberian obat pencahar oral seperti polietilen
glikol (Koppen et al., 2015). Selain pemberian obat pencahar, pemberian probiotik
juga bermanfaat untuk mengatasi anak dengan konstipasi. Saluran cerna anak dihuni
oleh beragam mikroflora yang berkontribusi terhadap nutrisi pejamu, regulasi
angiogenesis saluran cerna, perlindungan dari kuman iagnose, dan pembentukan
respon imun (Johnson, 2012). Probiotik merupakan mikroorganisme hidup non
iagnose yang memberikan dampak positif bagi kesehatan apabila dikonsumsi dalam
jumlah yang adekuat (Andrea, 2018). Tabbers (2011), menjelaskan bahwa probiotik
memiliki pengaruh positif terhadap mikroflora saluran cerna dengan efek pada
konsistensi tinja dan frekuensi buang air besar. Cukup banyak penelitian yang menilai
bagaimana efektifitas probiotik terhadap penyakit, yang salah satunya terhadap
gangguan saluran cerna fungsional anak. Sebuah uji terbuka memperlihatkan efek
Bifidobactrium breve terhadap peningkatan frekuensi buang air besar pada anak
dengan konstipasi fungsional. Selain itu, B. breve juga memiliki efek positif terhadap
konsistensi tinja, menurunkan episode inkontinensia tinja, dan mengurangi nyeri
perut. Berbagai penelitian sudah membuktikan efektifitas probiotik dalam
menyembuhkan gangguan pada saluran cerna, seperti probiotik jenis Lactobacillus
paracasei NCC2461 yang terbukti dapat mencegah dismotilitas setelah infeksi usus
IBS (Irritable Bowel Syndrome) (Collins, 2009 dalam Bardosono, 2015). Pada
penelitian dengan subyek anak, pemberian probiotik Lactobacillus casei rhamnosus
Lcr35 juga dilaporkan memberikan hasil yang efektif pada tata laksana anak dengan
konstipasi kronik. Pasien yang mendapatkan Lcr35 memiliki frekuensi buang air
besar yang lebih tinggi dan tinja yang lebih lunak dibandingkan dengan kelompok
iagnos (Bu LN et al., 2007 dalam Andrea, 2018). Guerra (2011), juga menambahkan
bahwa pemberian yogurt yang dilengkapi oleh B. longum memberikan efek positif
terhadap frekuensi buang air besar. Huang (2017) pada penelitiannya menyimpulkan
dari enam studi telah diidentifikasi, penggunaan probiotik secara signifikan
meningkatkan frekuensi tinja [perbedaan rata-rata (MD), 0,73; Interval kepercayaan
95% (CI), 0,14– 1,31; P = 0,02]. Penilaian subkelompok menunjukkan peningkatan
frekuensi tinja yang signifikan pada pasien Asia (MD, 1,18; 95% CI, 0,33-2,02; P =
0,006), tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsistensi tinja (MD, -0,07;
95% CI, -0,21-0,06 ; P = 0,27). Penelitian yang dilakukan oleh Saneian et al. (2013)
juga menunjukkan dampak positif dalam penggunaan probiotik dimana Saneian
mengungkapkan bahwa suplementasi minyak mineral dengan sinbiotik Lactol
(mengandung L. sporogenes) dapat memperbaiki gejala sembelit anak tanpa efek
samping. Sadeghzadeh juga meneliti keefektifan probiotik dalam pengobatan sembelit
pada anak-anak dan menemukan bahwa frekuensi tinja meningkat serta konsistensi
tinja meningkat dengan probiotik (Sadeghzadeh et al. 2014). Dari hasil pengkajian
yang sudah dilakukan pada An.MZ, Ibu mengatakan bahwa anak tidak suka makan
sayur dan hanya mengonsumsi beberapa buah tertentu saja. Ibu juga mengatakan
bahwa anak jarang minum air putih. Peneliti mengangkat masalah ini sebagai iagnose
pertama dari asuhan keperawatan yang diberikan yaitu konstipasi berhubungan
dengan ketidakcukupan asupan serat. Dari penjelasan latar belakang dan masalah
keperawatan An.Mz diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian leteratur
review mengenai terapi probiotik dalam mengatasi anak dengan konstipasi, serta
intervensi yang diberikan berupa manajemen konstipasi dengan implementai yaitu
pemberian edukasi mengenai pemberian terapi probiotik dalam menangani anak
dengan konstipasi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari karya ilmiah akhir ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
terapi probiotik dalam mengatasi anak yang mengalami konstipasi.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan terapi probiotik yang diberikan kepada anak yang mengalami
konstipasi
b. Menganalisan pengaruh penerapan terapi probiotik yang diberikan kepada
anak yang mengalami konstipasi
D. Manfaat
1. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian karya ilmiah akhir ini diharapakan dapat menjadi sumber atau
dasar bagi perawat untuk memberikan intervensi dalam mengatasi atau mencegah
konstipasi yang dialami oleh anak
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian karya ilmiah akhir ini diharapakan dapat menjadi referensi
kepustakaan dalam menambah ilmu pengetahuan terutama bagi mahasiswa
keperawatan, terutama bagian keperawatan anak dalam menangani anak dengan
konstipasi.
3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian karya ilmiah akhir ini diharapakan dapat menjadi referensi atau
sumber dalam pelayanan kesehatan, terutama di bidang keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami konstipasi.
BAB II
KONSEP TEORI

1. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang tidak normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarkan feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1
sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan
(Mansjoer, 2010).
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan
kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan
konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar
pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah
kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang
kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2015).  
Jadi konstipasi adalah penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan dalam
mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar.

2. Etiologi
a. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,
golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi,
antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.

b. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati


diabetic.
c. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
d. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
e. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus,
iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
f. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang
olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah perut

3. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: Kesulitan
memulai dan menyelesaikan BAB
a. Mengejan keras saat BAB
b. Massa feses yang keras dan sulit keluar
c. Perasaan tidak tuntas saat BAB
d. Sakit pada daerah rectum saat BAB
e. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
f. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
g. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
h. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

4. Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot
polos dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek,
kesadran yang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik  usus besar yang menghantarkan feses
ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang
diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB
dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan
isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis
dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel,
mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh
dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid
disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus
myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar
plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat
endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat
menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks
gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-
otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras,
menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat
penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.
5. Pathway

- Pola konsumsi makanan kurang sehat


- Kurang minum
- Menahan BAB
- Obat-obatan,dll

Obstruksi sal cerna

Kerusakan neuromuscular

Motalitas (peristaltic kolon)

Penurunan pengeluaran ciaran di dalam usus

Penaikan penyerapan air dari tinja di dalam usus

Tinja kering, keras Nyeri Akut

Tinja tertahan di dalam usus

Tinja sulit dikeluarkan

Konstipasi

Sakit perut, melilit, Nafsu makan  Sering buang air Rewel


mules, kembung kecil

Anoreksia Poliuri

Dehidrasi
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan tubuh
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian keperwatan
Identitas pasien seperti nama, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat,
pendidikan, nama orang tua dan pekerjaan orang tua.
2. Keluhan utama
Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama
tidak selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan oleh orang tua pasien.
Pada gangguan nutrisi keluhan utama yang muncul adalah terkait sistem
pencernaannya, input output cairan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kapan mulai sakit, tanggal berapa mulai sakit, faktor yang menyebabkan sakit
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang pernah diderita merupakan kesehatan sebelum saat ini,
terutama yang berhubungan dengan sakitnya yang sekarang. Yang perlu dikaji
apakah anak dulu pernah menderita suatu penyakit yang serius sehingga
menimbulkan penyakit yang sekarang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Berguna untuk mengetahui anggota keluarga ada yang pernah menderita penyakit
yang sama.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan mobilitas gastrointestinal dibuktikan
dengan tidak dapat mengeluarkan feses, tidak bisa kentut, distensi abdomen. (D.
0149)
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi abdomen dibuktikan dengan pasien
mengeluh nyeri, tampak merinis, gelisah, pola nafas berubah, nafsu makan
berubah (D.0077)
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mengabsorpsi nutrien
dibuktikan dengan nyeri abdomen, nafsu makan menurun, membran mukosa
pucat. (D. 0019)
C. Intervensi Keperawatan

NO. DX Tujuan dan Kriteria Hasil Inntervensi

Setelah dilakukan tindakan Manajemen Konstipasi


Konstipasi berhubungan
keperawatan selama 1x8 jam (I.04155)
dengan penurunan
diharapkan fungsi Observasi
mobilitas gastrointestinal
gastrointestinal membaik a. Periksa tanda dan gejala
dibuktikan dengan tidak
dengan kriteria hasil : konstipasi
dapat mengeluarkan
a. Toleransi makanan b. Periksa pergerakan usus,
feses, tidak bisa kentut,
menurun dengan skala 1 karakteristik feses
distensi abdomen. (D.
menjasi meningkat c. Identifikasi faktor risiko
0149)
dengan skala 5 konstipasi
b. Nafsu makan menurun d. Monitor tanda dan gejala
dengan skala 1 menjadi rupture usus atau peritonitis
meningkat dengan skala 5 Terapeutik
c. Mual meningkat dengan a. Anjurkan diet tinggi serat
skala 1 menjadi menurun b. Lakukan massase abdomen,
dengan skala 5 jika perlu
d. Dispepsia meningkat c. Lakukan evakuasi feses
dengan skala 1 menjadi manual, jika perlu
menurun dengan skala 5 d. Berikan edema atau irigasi,
e. Nyeri abdomen jika perlu
meningkat dengan skala 1 Edukasi
menjadi menurun dengan a. Jelaskan etiologi masalah dan
skala 5 alasan tindakan
f. Distensi abdomen b. Anjurkan peningkatan asupan
meningkat dengan skala 1 cairan, jika tidak ada
menjadi menurun dengan kontraindikasi
skala 5 c. Latih buang air besar secara
teratur
d. Ajarkan cara mengattasi
konstipasi/impaksi
Kolaborasi
a. Konsultasi dengan tim medis
tentang penurunan atau
peingkatan frekuensi suara
usus
b. Kolaborasi penggunaan obat
pencahar, jika perlu
Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I. 08238)
Nyeri akut berhubungan
keperawatan selama tindakan Observasi
dengan distensi abdomen
keperawatan selama 1x 8 jam - Identifikasi lokasi,
dibuktikan dengan pasien
diharapkan fungsi karakteristik, durasi
mengeluh nyeri, tampak
gastrointestinal membaik frekuensi, kualitas,
merinis, gelisah, pola
dengan kritteria hasil : intensitas nyeri
nafas berubah, nafsu
- Nafsu makan - Identifikasi skala nyeri
makan berubah (D.0077)
menurun dengan - Identifikasi faktor
skala 1 menjadi memperberat dan
meningkat dengan memperingan nyeri
skala 5 - Identifikasi faktor yang
- Mual meningkat memperberat dan
dengan skala 1 memperingan nyeri
menjadi menurun - Identifikasi pengetahuan
dengan skala 5 dan keyakinan tentang nyeri
- Muntah meningkat - Identifikasi pengaruh
dengan skala 1 budaya terhadap respon
menjadi menurun nyeri
dengan skala 5 - Identifikasi pengaruh nyeri
- Dispepsia meningkat pada kualitas hidup
dengan skala 1 - Monitor keberhasilan terapi
menjadi menurun komplementer yang sudah
dengan skala 5 diberikan
- Nyeri abdomen - Monitor efek samping
meningkat dengan penggunaan analgetik
skala 1 menjadi Terapeutik
menurun dengan - Berikan teknik
skala 5 nonfarmakologis untuk
- Distensi abdomen mengurangi rasa nyeri (mis.
meningkat dengan TENS, hypnosis, akupresur,
skala 1 menjadi terapi music, biofeedback,
menurun dengan terapi pinjat, aromaterapi,
skala 5 teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
- Jelaskan, penyebab, periode
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan monitor nyeri
secraa mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secraa tepat
- Anjurkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasu pemberian
anakgetik, jika perlu
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi ( I. 03119)
Defisit nutrisi
keperawatan selama 1x 8 jam Observasi
berhubungan dengan
diharapkan nafsu makan - Identifikasi nutrisi
ketidak mampuan
membaik dengan kriteria - Identifikasi alergi dan
mengabsorpsi nutrien
hasil : intoleransi makanan
dibuktikan dengan nyeri
- Keinginan makan - Identifikasi makanan yang
abdomen, nafsu makan
memburuk dengan skala 1 disukai
menurun, membran
menjadi membaik dengan - Identifikasi kebutuhan
mukosa pucat. (D. 0019)
skala 5 kalori dan jenis nutrient
- Asupan makanan - Identifikasi perlunya
memburuk dengan skala 1 penggunaan selang
menjadi membaik dengan nasogastric
skala 5 - Monitor asupan makanan
- Asupan cairan memburuk - Monitor berat badan
dengan skala 1 menjadi - Monitor hasil pemeriksaan
membaik dengan skala 5 laboratorium
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
- Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
- Berikan asupan makanan
tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
- Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
- Berikan suplemen makanan,
jika perlu
- Hentikan pemberian makan
melalui selang nasogastric
jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, ika
mampu
- Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
( mis. Pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan, jika perlu
D. Intervensi Keperawatan
Komponen ini merupakan rangkaian prilaku atau aktivitas yang dikerjakan
oleh perawat untuk mengimlementasikan itervensi keperawatan. Tindakan
keperawatan mencakup tindakan observasi, terapeutik, edukasi, mandiri dan
kolaborasi. Implementasi keeprawatann adalah tindakan yang telah direncanakan
mencakup tinsakan mandiri. Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan
berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat serta bukan ats petunjuk tenaga
kesehatan lain. Tindakan kolaboratif adalah tindakan keeprawatan yang didasarkan
oleh hasil keputusan bersama dengan dokter, atau petugas kesehatan lain (Mitayani,
2016).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan penilaian perkembangan hasil implementasi
keperawatan dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.
Evaluasi diharapkan pada pasien kembalinya fungsi fisiologis dan tidak terjadi
komplikasi akibat penatalaksanaan keperawatan maupun medis. (Mutaqin & Sari
2019).

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2010 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.
Perry, P. d. 2015. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik,
Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 7), Jakarta :
EGC

PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai