Anda di halaman 1dari 64

Efektifitas Terhadap Penggunaan Video Sebagai Media Penyuluhan

TB Dalam Rangka Meningkatkan Pengetahuan Pasien


Di Puskesmas Koya Barat

Proposal Penelitian
Diajukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan penelitian

Trisno La’bi Allo


20180811024023

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih
2022
PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa
Proposal Penelitian yang berjudul :

Efektifitas Terhadap Penggunaan Video Sebagai Media Penyuluhan TB Dalam


Rangka Meningkatkan Pengetahuan Pasien
Di Puskesmas Koya Barat

Dipersiapkan dan disusun oleh :


Trisno La’bi Allo
20180811024023

Telah disetujui sebagai Proposal Penelitian dan dinyatakan


Telah memenuhi syarat untuk diujikan

Pembimbing I Pembimbing II

Fransisca B. Baticaca, S.pd.,S.Kep., Juliawati, S.Kp., M.Kep.,Sp.Kep.An


M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom,
NIP. NIP.
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati Penulis panjatkan Puji dan Syukur Kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin, rahmat serta hidayah-Nya, Penulis dapat
menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Efektifitas Terhadap Penggunaan
Video Sebagai Media Penyuluhan TB Dalam Rangka Meningkatkan Pengetahuan
Pasien Di Puskesmas Koya Barat”.
Penulisan proposal penelitian ini merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih dalam Tugas Akhir.
Penulis menyadari, berhasilnya studi dan penyusunan proposal penelitian ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan doa
kepada Penulis, sehingga sepatutnya pada kesempatan ini Penulis mengucapkan rasa
terima kasih kepada :
1. Kedua Orang Tua tercinta yang selalu mendoakan dan memotivasi untuk
senantiasa bersemangat dan tak mengenal putus asa. Terimakasih atas segala
dukungannya, baik secara material maupun spiritual hingga terselesaikannya
Proposal Penelitian ini.
2. Bapak Dr. Ir. Apolo Safanpo, ST.,MT, selaku Rektor Universitas Cenderawasih.
3. Bapak dr. Trajanus Laurens Yembise, Sp.B, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih.
4. Ibu Fransisca B. Baticaca, S.pd.,S.Kep.,M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom, selaku Ketua
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih
sekaligus selaku dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya serta
memberikan bimbingan dalam menyusun Proposal Penelitian ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Ibu Juliawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.An, selaku dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya serta memberikan bimbingan dalam menyusun Proposal
Penelitian ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibu Indah Puspita Sari, S.Psi.,M.Si, selaku dosen wali penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya Proposal Penelitian
ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan Proposal Penelitian
ini, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang bersifat
membangun sebagai masukan dalam Proposa Penelitian ini. Semoga Proposal
Penelitian ini dapat dimanfaatkan dan dapat menjadi bahan bacaan untuk Penulis dan
pembaca sekalian.
Jayapura, April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tuberkulosis menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit

menular yang di sebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyerang

paru-paru. Tuberculosis menyebar dari orang melalui udara, ketika penderita TBC

paru batuk, bersin atau meludah, mereka akan mendorong kuman TBC ke udara.

Seseorang yang menghirup udara akibat dari batuk penderita TBC akan dapat

menular dan terinfeksi (WHO 2020). Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya

masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru, kemudian

kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau

penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Ressa Stevany A, Yuldan Faturrahman

, Andik Setiyono, 2021).

Jumlah kasus tuberkulosis secara Global sebesar 6,4 juta atau 64% dari 10 juta

kasus. Angka kematian tuberculosis mengalami peningkatan dari 1,3 juta pada tahun

2018 menjadi 1,5 juta pada tahun 2020. Namun peringkat kematian yang disebabkan

tuberculosis menurun yang sebelumnya termasuk di dalam 10 penyebab kematian

tertinggi pada tahun 2018 mengalami penurunan menjadi urutan ke 13 penyebab

kematian tertinggi pada tahun 2020 (WHO, 2020).


Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah kasus tuberkulosis Paru

yang berada di urutan 3 terbesar dunia setelah India dan China. Kasus Tuberkulosis

Paru di Indonesia mencapai 842.000. Sebanyak 442.000 pengidap Tuberkulosis Paru

melapor dan sekitar 400.000 lainnya tidak melapor atau tidak terdiagnosa. Penderita

TB Paru tersebut terdiri atas 492.000 laki-laki, 349.000 perempuan, dan sekitar

49.000 diantaranya anak-anak, (WHO, 2018). Hal ini terjadi dikarenakan pada tahun

2018 banyak pasien kasus TBC tidak terdeteksi karena beberapa diantaranya pasien

tidak melapor.

Papua merupakan daerah yang memiliki angka prevalensi infeksi tuberkulosis

terbanyak yang menyerang pasien HIV-AIDS (Elfride Irawati, Rusnaeni 2017).

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, jumlah kasus Tuberkulosis di

wilayah Kabupaten Jayapura yang terdeteksi mencapai 1022 kasus dari target yang

diberikan kementerian kesehatan sebanyak 1570 kasus. Menurut cakupan program

Tuberkulosis di Indonesia pada Tahun 2020 untuk daerah Papua sendiri sudah

melakukan cakupan pengobatan Tuberkulosis sebanyak 46% dan cakupan

keberhasilan pengobatan Tuberkulosis di Indonesia yaitu Papua berada di urutan 4

terbawah di Indonesia yaitu keberhasilannya sekitar 60% yang artinya masih sangat

kurang untuk keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dari beberapa Provinsi lainnya.

Prevalensi TB paru di Provinsi Papua dengan masalah tertinggi di usia 25-34

tahun dengan 1,21% atau sekitar 4,592 orang sedangkan untuk lansia di atas umur 75

tahun adalah yang terendah 0,12% dengan jumlah 69 orang (Riskesdas, 2018).

Proporsi penderita TB (<6 bulan) yang minum obat secara rutin menurut karakteristik

di Provinsi Papua, Riskesdas 2018 dengan jumlah terbanyak berada di umur 25-34
tahun dengan jumlah rutin minum obat 84,51% dan terendah di umur 55-64 tahun

dengan 42,29% yang berarti pada usia tersebut masih kurang dari segi pengetahuan

minum obat Tuberkulosis

Menurut Dinas Kesehatan Kota Jayapura tahun 2019 untuk kasus Tuberkulosis

yaitu sebanyak 9.244 kasus. Dimana data ini merupakan hasil dari setiap PKM, RS,

serta klinik yang sudah melapor jumlah kasus Tuberkulosis di Kota Jayapura dan

untuk Puskesmas Koya Barat sendiri terdapat 184 kasus.

Faktor penghambat keberhasilan Pengobatan TB diantaranya yaitu pengobatan

pasien TB yang tidak lengkap dan tidak adekuat berasal dari ketidakteraturan dan

ketidakpatuhan Pasien minum obat, reglmen, dosis, dan cara pemakaian obat yang

tidak benar, terputusnya ketersediaan OAT, dan kualitas obat yang rendah. Pasien

yang sedang dalam menjalani pengobatan sering berada di bawah kondisi yang sulit

dan tantangan yang berat karena harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu

yang lama (Anrivana Iriavanti, 2020).

Menurut Andarmoyo (2015 dalam Mardiatun dkk 2019) penderita Tuberkulosis

membutuhkan asupan pengetahuan yang adekuat. Pendidikan kesehatan sudah

layaknya menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan Tuberkulosis. Upaya

pemberian pendidikan atau promosi kesehatan sangatlah penting untuk memberikan

pemahaman mendasar kepada penderita Tuberkulosis sehingga diharapkan bisa

meminimalkan angka kejadian Tuberkulosis.

Penggunaan kombinasi berbagai metode dan media promosi kesehatan akan

sangat membantu dalam proses penyampaian informasi kesehatan kepada

masyarakat. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima suatu pesan
yang disampaikan maka semakin banyak dan jelas pula pengertian/pengetahuan yang

diperoleh oleh seseorang (Notoatmodjo, 2007 dalam Mardiatun dkk 2019)

Media berasal dari Bahasa latin medius yang secara harafiah berarti ‘tengah’,

‘perantara’ atau pengantar (Arsyad 2014:3 dalam Adhi Yoga dkk 2018). Video adalah

alat yang dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep-

konep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau memperlambat waktu

dan mempengaruhi sikap (Cecep 2013:64 dalam Adhi Yoga dkk 2018).

Diharapkan dengan menggunakan media video dalam penyuluhan dapat

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB yang dimana dengan

menggunakan video akan membawa masyarakat lebih dapat cepat memahami karena

ada indera pendengaran yang digunakan dan indera penglihatan yang dapat

meningkatkan rasa penasaran saat menonton dan akan membuat masyarakat jauh

lebih paham tentang masalah penyakit TB.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat efektifitas terhadap penggunaan video sebagai media penyuluhan

TB dalam rangka meningkatkan pengetahuan pasien di Puskesmas Koya Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas terhadap penggunaan video sebagai media

penyuluhan TB dalam rangka meningkatkan pengetahuan pasien di Puskesmas Koya

Barat.

1.3.2 Tujuan khusus


Mengidentifikasi :

1. Karakteristik klien Tuberkulosis yang berkunjung di Puskesmas Koya Barat

mencakupusia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.

2. Mengidentifikasi distribusi pengetahuan klien tentang TB sebelum diberikan

penjelasan menggunakan media video.

3. Mengidentifikasi distribusi pengetahuan klien tentang TB sesudah diberikan

penjelasan menggunakan media video.

4. Menganalisis perbedaan pengetahuan klien tentang TB sebelum dan sesudah

mendapatkan penyuluhan dengan menggunakan media video.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi

1. Bagi Puskesmas Koya Barat

Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan untuk rencana perbaikan ke

arah yang lebih dalam memberikan tindak keperawatan kepada pasien sehingga

diharapkan dapat meningkat citra Puskesmas dalam memberikan pelayanan keada

masyarakat.

2. Bagi Pendidikan Keperawatan Psik Uncen

Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan dalam menambah wawasan

dalam memberikan promosi kesehatan sekaligus dapat diterapkan dalam ilmu

keperawatan

1.4.2 Bagi Perawat


Sebagai acuan bagi perawat agar dapat menerapkan penggunan video sebagai

media menambah pengetahuan TB, sehingga dapat menjalin hubungan yang baik

antara pasien dan perawat.

1.4.3 Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan sebagai bahan perbandingan dalam

melaksanakan penelitian.

1.4.4. Bagi pengembangan Ilmu Keperawatan

Sebagai acuan sekaligus referensi pengetahuan untuk diterapkan dalam Ilmu

Keperawatan

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh

manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfa, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke

bagian tubuh lainnya (Ressa Stevany A, Yuldan Faturrahman, Andik Setiyono,

2021).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

basa sehingga sering dikenal dengan Basal Tahan Asam (BTA). Sebagian besar

kuman TB ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru,

namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB

ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang dan organ ekstra paru lainnya

(Kemenkes, 2019).

2.1.2 Etiologi Tuberkulosis

Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB yaitu

mycrobacterium tuberculosis, mycobacterium bovis, mycobacterium africanum,

mycobacterium microti dan mycrobacterium cannettii. Microbacterium tuberculosis

(M.TB) merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dan menular antar manusia
melalui rute udara. Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain

lewat udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar

ketika seseorang yang terinfrksi TB paru atau TB laring batuk, bersin atau bicara.

Percik renik, merupakan partikel kecil berdiameter 1 sampai 5 µm dapat

menampung 1-5 basili dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam

udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki

kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian

melakukan replikasi (Kemenkes, 2019)

Terdapat 3 faktor yang menentukan transmisi mycobacterium tuberculosis

yaitu 1. Jumlah organisme yang keluar ke udara, 2. konsentrasi organisme dalam

udara ditentukan oleh volume ruang dan ventilasi, 3. lama seseorang menghirup

udara yang terkontaminasi.

Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim

ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih lama.

Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basil dengan cepat, namun

bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Orang dengan

kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif disbanding orang

dengan kondisi system imun yang normal. 50-6-% orang dengan HIV-positif yang

terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif (Kemenkes, 2019).

2.1.3 Faktor Resiko Tuberkulosis


Menurut Kemenkes terdapat beberapa kelompok yang memiliki resiko lebih

tinggi untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah : (1); orang dengan

HIV positif dan penyakit imunokompromais lain, (2); orang mengkonsumsi obat

imunosupresan dalam jangka panjang, (3); perokok, (4); konsumsi alkohol tinggi, (5);

anak usia <5 tahun dan lansia, (6); memiliki kontak erat dengan penyakit

Tuberkulosis aktif yang infeksius, (7); berada di tempat dengan resiko tinggi

terinfeksi Tuberkulosis (contoh : lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan

jangka panjang), (8); petugas kesehatan.

2.1.4 Patogenisis Tuberkulosis

Setelah inshalasi, nucleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-

bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiatorik atau alveolus, dimana nucleus

percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan

memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada

kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan baskterisid makrofag alveolus yang

mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal

ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag (Kemenkes, 2019).

Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam sekali

di dalam makrofag. mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin,

sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian

akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 10³-10⁴, yang

merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun sekuler yang

dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan
merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin

yang kemudian akan menstimusi respon imun (Kemenkes, 2019).

Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui

system limfalik menuju nodus limfe hilus, masuk kedalam aliran darah dan menyebar

ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap

replikasi basil ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hamper selalu mudah

terinfeksi oleh mycrobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru,

ginjal, tulang dan otak di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang

pertumbuhan bakteri mycrobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkemang

dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat

membatasi multiplikasinya.

2.1.4.1 Tuberkulosis Primer

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal ini

biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB anak.

Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang belum

pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang

terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian

bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian

mengalami terfagositosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat

kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat

melakukan replikasi di dalam makrofag (Kemenkes, 2019).

Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan

berimigrasi menuju focus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini
kemudian disebut sebagai Ghon focus. Fokus primer ini mengandung 1,000-10,00

basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus

primer akan digantikan dengan jaringan fibrotic dan klasifikasi, yang didalamnya

terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika system

imun host adekuat.

Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukan hasil

tuberculin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon

imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan

menyebar dari system limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,

menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan (Kemenkes, 2019).

2.1.4.2 Tuberkulosis Pasca Primer

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang

sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang

memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat

dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi. Reaktivitasi terjadi ketika

basili dorman yang menetap di jaringan selama beberapa bulan atau beberapa tahun

setelah infeksi primer, mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan

respon dari melemahnya system imun host karena terinfeksi HIV.

Reinfeksi terjadi ketika seseorang yang pernah mengalami infeksi primer

terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.

Karakteristik dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior

paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukan hasil
uang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorikal (Kemenkes,

2019).

2.1.5 Gejala Klinis Tuberkulosis

Menurut (Kemenkes 2019) gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi,

sehingga dapat menunjukan manifestasi klinis seperti batuk ≥ 2 minggu, batuk

berdahak, batuk berdahak dapat bercampur darah, dapat disertai nyeri pada dada,

sesak nafas, malaise, penurunan berat badan , menurunya nafsu makan, mengigil,

demam dan berkeringat di malam hari.

2.1.6 Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis

Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan

atau gejala klinis mendukung TB (sebelum dikenal sebagai terduga TB). Pasien TB

yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti positif bakteriologi

pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan

jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB atau biakan.

Termasuk dalam kelompok dalam kelompok ini adalalah 1). Pasien TB paru BTA

positif, 2). Pasien TB paru hasil biakan MTB positif, 3). Pasien TB paru hasil tes

cepat M.TB positif, 4). Pasien Tb ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik

dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. 5). TB

anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

2.1.6.1 Pasien TB Terdiagnosis Secara Klinis

Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi

didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan

pengobatan TB. Contoh yang termasuk dalam kelompok pasien ini adalah : (1);
Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB,

(2); Pasien TB paru BTA negative dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan

antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor resiko TB, (3); Pasien TB ekstra paru

yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa

konfirmasi bakteriologis, (4); TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Diagnosis Tuberkulosis menurut (Kemenkes 2019) dengan konfirmasi

bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan:

a. Klasifikasi Berdasrkan Lokasi Anatomis

1. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB

milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi diparu. Pasien yang

mengalami TB paru dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.

2. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru

seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria, kulit,

sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara

klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi

bakteriologis.

b. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau

riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila memakai

obat program).

2. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT

1 bulan atau lebih (≥28 dosis bila memakai obat program).


3. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini

ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru

yang disebabkan reinfeksi).

4. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

5. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan

atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan

dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.

6. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil

akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.

7. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak

diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan

dalam salah satu kategori di atas (Kemenkes 2019).

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Berdasarkan hasil uji kepekaan menurut (Kemenkes 2019), klasifikasi TB terdiri

dari :

1. Monoresisten : Resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

2. Poliresisten : Resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

3. Multidrug resistant (TB MDR) : Minimal resisten terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.


4. Ekstensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap salah

satu OAT golongan Fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (kanamisin, kapreomisin dan amikasin).

5. Rifampicin resistant (TB RR) : Terbukti resistan terhadap Rifampisin baik

menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional),

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam

kelompok TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR

yang terbukti resistan terhadap rifampisin.

2.1.6.2 Klasifikasi Berdasarkan Status HIV

1. Kasus TB dengan HIV positif

Kasus TB dengan HIV adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau

terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif, baik yang

dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah

terdaftar di register HIV (register pra ART atau register ART).

2. Kasus TB dengan HIV negatif

Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau

terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negative untuk tes HIV yang

dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila psien ini diketahui HIV positif di

kemudian hari maka harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

3. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui

Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi

bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak

memilikis bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini
diketahui HIV positif dikemudian hari maka harus kembali disesuaikan dengan

klasifikasinya (Kemenskes, 2019).

2.1.7 Pathway Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis

Mycrobacterium tuberculosis Baru terdiagnosa TB paru Kurang terpapar imformasi

Masuk melalui jalan napasMK : Manajemen kesehatan tidak efektif

Menempel pada paru

Terjadi reaksi inflamasi Pertahanan primer tidak adekuat


MK : Hipertermia

MK : Bersihan jalan napas tidak efektif


Pembentukan sputum berlebih Pembentukan tuberkel

Perubahan membran alveolus MK : Gangguan pertukaran gas


Batuk terus menerus

Intake nutrisi kurang


Distensi abdomen Anoreksia

MK : Defisit nutrisi

Gambar 2.1 Pathway tuberculosis paru (Nurarif dan Kusuma, 2015)


2.1.8 Diagnosis Tuberkulosis

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk

mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan

apusan dari sediaan biologis (dahak atau specimen lain), pemeriksaan biakan dan

identifikasi Mycobacterium tuberculosis atau metode diagnostic cepat yang telah

mendapatkan rekomendasi WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau

mutunya melalui system mutu eksternal, kasus TB paru BTA positif ditegakan

berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu specimen. Pada daerah

dengan laboratorium tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif

bila paling sedikit terdapat dua specimen dengan BTA positif (Kemenkes, 2019).

2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis

2.1.8.1 Tujuan Pengobatan

Pengobatan dari TB adalah bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah

kematian, kekambuhan penyakit TB serta memutus rantai penyebaran dari penularan.

Adapun tujuan TB menurut Kemenkes yaitu : (1); Menyembuhkan, mempertahankan

kualitas hidup dan produktivitas pasien, (2); Mencegah kematian akibat TB aktif atau

lanjutan, (3); Mencegah kekambuhan TB, (4); Mengurangi penularan TB kepada

orang lain, (5); Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat.

2.1.8.2 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan

TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat menurut

Kemenkes harus memenuhi prinsip:


1. Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

2. Diberikan dalam dosis yang tepat.

3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelas

Obat) sampai selesai masa pengobatan.

4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal

serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

2.1.8.3 Tahapan Pengobatan Tuberkulosis

Menurut Kemenkes tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :

1. Tahap awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah

dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh

pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang sudah resisten

sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua

pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan

secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun

setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

2. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada

dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase

lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.


Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama
Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

Dosis (mg/BB) Maksimum (mg) Dosis Maksimum


(mg/kgBB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) -
(Kemenkes, 2019)

Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700mg perhari,

beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10mg/kgBB pada pasien kelompok usia

ini. Pasien dengan berat badan dibawah 50kg tidak dapat mentoleransi dosis lebih

dari 500-700mg perhari.

2.1.9.4 Paduan Obat Standar Untuk Pasien Dengan Kasus Baru

Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali :

1. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten Isoniazid.

2. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resisten obat. Pasien kasus baru

seperti ini cenderung memiliki pola resisten obat yang sama dengan kasus

sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal

pengobatan dan sementara menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan obat

yang berdasarkan uji kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai. Panduan

obat standar pasien TB kasus baru (Dengan asumsi atau diketahui peka OAT).

Tabel 2.1 Panduan obat standar pasien TB kasus baru


Fase Intensif Fase Lanjutan
RHZE 2 bulan RH 4 bulan
(Kemenkes, 2019)
Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan paduan

standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH (Rekomendasi A). Jika tidak

tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan 2RHZE/4R3H3 dengan syarat

harus disertai pengawasan yang lebih ketat secara lansgung untuk setiap dosis obat

(Rekomendasi B).

Pada akhir fase intensif, bila hasil apusan dahak tetap positif maka fase

sisipan tidak lagi direkomendasikan namun dievaluasi untuk TB-RO (uji kepekaan),

sementara pengobatan diteruskan sebagai fase lanjutan. Pasien TB paru sebaiknya

mendapat paduan obat : 2RHZE/4HR, selama 6 bulan dan untuk TB ekstra paru

diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6 bulan.

2.1.9.5 Pemantauan Respon Pengobatan

Semua pasien harus dipantau untuk menilai respon terapinya.pemantauan

regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksanaan reaksi

obat yang tidak diinginkan. Respon pengobatan TB harus dipantau dengan sputum

BTA. Perlu adanya rekaman medis tertulis yang berisi seluruh obat yang diberikan,

respons terhadap pemeriksaan bakteriologis, resistensi obat dan reaksi yang tidak

diinginkan untuk setiap pasien pada kartu berobat TB. WHO merekomendasikan

pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif pengobatan untuk pasien yang

diobati dengan OAT lini pertama baik kaus baru maupun pengobatan ulang.

Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan kediua (2RHZE/4RH) untuk

kasus baru dan akhir bulan ketiga (2RHZE/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan

ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif

(kemenkes, 2019).
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal

berikut ini :

1. Supervise yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk.

2. Kualitas OAT yang buruk.

3. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.

4. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah jumlah kuman

yang banyak.

5. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi.

6. Penyebab TB pada pasien adalah microbacterium tuberculosis resistan obat yang

tidak memeberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama. Bila hasil sputum

BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan menandakan

pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat TB MDR sesuai alur

diagnosis TB MDR. Pada pasien dengan sputum BTA negative di awal

pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahal lebih lanjut.

Pemantauan klinis dan berat badan merupakan indicator yang sangat berguna

(Kemenkes, 2019)

2.1.9.6 Menilai Respon OAT Lini 1 Pada Psien TB Dengan Riwayat Pengobatan
Sebelumnya.
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada fase intensif,

maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Bila BTA sputum

positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan), maka

pengobatan dinyatakan gagal dan dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji

kepekaan (Kemenkes, 2019).


Hasil pengobatan ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan

pada akhir pengobatan, seperti pada table berikut ini :

Tabel 2.1 Menilai respom OAT lini 1

Hasil Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis positif pada
awal pengobatan dan BTA sputum negatif atau biakan negatif
pada akhir pengobatan dan memiliki hasil pemeriksaan negatif
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
dan tidak memiliki gagal pengobatan tetapi juga tidak memiliki
hasil BTA sputum atau biakan negatif pada akhir pengobatan
dan astu pemeriksaan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan
atau karena hasilnya tidak ada.
Pengobatan gagal Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA sputum atau biakan
positif pada bulan kelima atau akhir pengobatan.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun sebelum dan
selama pengobatan TB.
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan setelah terdiagnosis
TB atau menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien yang tidak memiliki hasil pengobatan pada saat akhir
pelaporan kohort pengobatan, termasuk pasien yang sudah
pindah ke fasilitas kesehatan lain dan tidak diketahui hasil
pengobatannya oleh fasilitas yang merujuk pada batas akhir
pelaporan kohert pengobatan.
Keberhasilan pengobatan Jumlah kasus dengan hasil pengobatan sembuh dan lengkap.
(Kemenkes, 2019)
Namun untuk pasien yang TB sensitive OAT yang kemudian terbukti resistan obat

dikeluarkan dari pelaporan kohort hasil pengobatan.

2.1.9.7 Efek samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami

efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping

yang signifikan sehingga mengganggu pekerjaanya sehari-hari. Penting dilakukannya

pemantauan gejala klinis pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan

tersebut dapat dideteksi segera dan ditata laksanaan dengan tepat (Kemenkes, 2019).
Neuropati perifer menunjukan gejala kebas atau rasa seperti terbakar pada

tangan atau kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan HIV,

kasus penyalahgunaan alcohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik dan gagal

ginjal. Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan pencegahan dengan

peridoksin 25 mg/hari diberikan bersama OAT. Efek tidak dinginkan dari OAT dapat

diklasifikasikan menjadi efek mayor dan minor (Kemenkes, 2019).

Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya menlanjutkan

pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang mengalami efek

samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan

pemberiannya. Efek samping dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan

efek samping ringan. Bila terjadi efek samping yang masuk ke dalam klasifikasi

berat, maka OAT dihentikan segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi

(Kemenkes, 2019).

Tabel 2.1 Efek samping OAT


Efek samping Kemungkinan Penyebab Pengobatan
BERAT
Ruam kulit dengan atau tanpa Streptomosisn, Isoniazid, Hentikan OAT
gatal. Rifampisin Pirazinamid
Tuli. Streptomisin Hentikan Streptomisin
Pusing vertigo dan nystagmus Streptomisin Hentikan Streptomisin

Ikterik tanpa penyakit hepar Streptomisin, Isoniazid, Hentikan OAT


(hepatitis) Rifampisin, Pirazinamid
Bingung (curigai gagal hati imbas Isoniazid, Pirazinamid, Hentikan OAT
obat bila terdapat ikterik). Rifampisin sebagian besar OAT
Gangguan penglihatan (singkirkan Etambutol Hentikan Etambutol
penyebab lainnya)
Syok, purpura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan Rifampisin
(sangat jarang terjadi akibat
gangguan imunologi).
Oligouria. Streptomisin Hentikan Streptomisin
RINGAN
Anoreksia, mual nyeri perut dan Pirazinamid, Rifampisin dan Berikan obat dengan bantuan
nyeri sendi Isoniazid sedikit makanan atau
menelan OAT sebelum tidur
dan sarankan menelan pil
secara lambat dengan sedikit
air. Bila gejala menetap atau
memburuk, atau muntah
berkepanjangan atau terdapat
tanda-tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke
dokter ahli segera. Untuk
nyeri sendi berikan Asipirin
atau obat anti infalami non-
steroid atau parasetamol.
Sindrom flu (demam, mengigil, Pemberian Rifampisin Intermiten Ubah pemberian Rifampisin
malaise, sakit kepala, nyeri Intermiten menjadi
tulang).
Rasa terbakar, kebas atau Isoniazid Pridoksin 50-75 mg/hari (13)
kesemutan di tangan dan kaki.
Rasa mengantuk. Isoniazid Obat dapat diberikan
sebelum tidur
Air kemih berwarna kemerahan. Rifampisin Pastikan pasien
diberitahukan sebelum mulai
minum obat dan bila hal ini
terjadi adalah normal.
(Kemenkes, 2019)

2.1.9.8 Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat

Pada dasarnya prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR

adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan dengan menggunakan minimal 4 macam OAT yang efektif

2. Jangan mrnggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang

(cross-resistance).

3. Membatasi untuk tidak menggunakan obat yang tidak aman.


4. Gunakan obat dengan kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya.

Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari

Tim Ahli Klinis (TAK) sesuai program (Mariati, Fransisca dan John Toding

Padang 2019).

Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Pada tahap awal diberikan suntikan dengan minimal 6 bulan atau 4 bulan

saat terjadi konversi biakan.

1. Masa pengobatan minimal lamanya 18 bulan setelah konversi biakan. Dikatakan

konversi jika hasil dari pemeriksaan biakan 2 kali secara berurutan dengan jarak

pemeriksaan 30 hari.

2. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan

mempunyai prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO

diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan. Pilihan pada paduan

baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar

(standardized treatment) yaitu : Km – E – Eto – Lfx – Z – Cs / E – Eto – Lfx – Z

– Cs (Mariati, Fransisca dan John Toding Padang 2019).

2.1.9.9 Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus

1. Kehamilan

Pada dasarnya untuk pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan

pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hamper semua OAT aman untuk

kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak boleh dipakai pada saat

kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barrier placenta.
Akibat keadaan ini dapat memicu gangguan pendengaran dan keseimbangan yang ada

pada bayi yang akan dilahirkan (Mariati, Fransisca dan John Toding Padang 2019).

2. Ibu Menyusui Dan Bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan

pengobatan pada umumnya. Namun terdapat konsentrasi OAT yang diseksresikan

pada ASI namun konsentrasinya minimal dan bukan merupakan kontraindikasi pada

ibu menyusui. Konsentrasi OAT pada ASI sangat rendah sehingga bukan sebagai

pengobatan TB pada bayi. Ibu dengan TB paru sensitif obat dapat melanjutkan OAT

sambal menyusui. Pemberian OAT yang cepat dan tepat merupakan cara terbaik

mencegah penularan ke bayi (Kemenkes, 2019).

3. Pasien Tuberkulosis Pengguna Kontrasepsi

Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,

dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB dan

susuk KB), karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat

kontrasepsi hormonal berkurang, maka dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi

non-hormonal. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

(Kemenkes, 2019).

4. Pasien Tuberkulosis Dengan Diabetes Mellitus

Pada penyandang DM harus dilakukan skrining TB dengan pemeriksaan gejala

TB dan foto toraks. Sebaliknya untuk pasien TB dilakukan penapisan DM dengan

pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial atau gula darah

sewaktu. Diagnosis DM ditegakkan jikagula darah puasa lebih dari 126mg/dl atau

gula darah sewaktu lebih dari 200mg/dl (Kemenkes, 2019).


5. Pasien Tuberkulosis Dengan Kelainan Hati

Pada pasien hepatitis akut atau klinis ikterik OAT ditunda sampai hepatitis

akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan

Streptomisin dan Etambutol maksimal 3 bulan. Alternative lain adalah dengan

pemberian panduan OAT standar setelah kelainan hepar akutnya mengalami

penyembuhan, sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru atau spesialis penyakit dalam

(Kemenkes, 2019).

6. Pasien Tuberkulosis Dengan Hepatitis Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat

hepatotoksik. Gejala yang paling sering ditemukan adalah mual, muntah dan

anoreksia. Untuk tata laksana hepatitis imbas obat dapat dilakukan bila ditemukan

gejala klinis yaitu Ikterik, gejala mual/muntah, maka OAT dihentikan. Bila ditemukan

gejala klinis disertai peningkatan SGOT dan/ SGPT≥3 kali, maka OAT dihentikan

dan bila ditemukan gejala klinis, OAT dapat dihentikan apabila hasil laboratorium

bilirubin >2, atau SGOT, SGPT≥5 kali. Apabila SGOT, SGPT≥ 3 kali, maka

pengobatan dapat dilanjutkan, dengan pengawasan (Kemenkes, 2019).

7. Pasien Tuberkulosis Dengan Ginjal Kronik

Pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani dianalisis atau pasca

transplatasi ginjal mempunyai peningkatan resiko tuberculosis. Pasien gagal ginjal

kronik mempunyai respons terhadap uji tuberkulin yang menurun sekitar 50%

sehingga hasil uji tuberkulin negatif tidak menyingkirkan diagnosis TB. Pengobatan

TB yang dianjurkan adalah 2 bulan Isoniazid, Rifampisin, Etambutol dan Pirazinamid

dilanjutkan dengan 4 bulan Isoniazid dan Rifampisin. Isoniazid dan Rifampisin


dieliminasi melalui eksresi bilier sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis

(Kemenkes, 2019).

8. Pasien Tuberkulosis dengan Reaksi Alergi pada Kulit

Jika seseorang terjadi gatal tanpa ruam dan tidak ada penyebab yang jelas selain

OAT, maka pendekatan yang direkomendasikan adalah mencoba pengobatan

sistomatik dengan antihistamin dan pelembab kulit dan pengobatan TB dapat

dilanjutkan sambal dimonitor. Jika terjadi ruam kulit, semua obat anti-TB harus

dihentikan. Apabila kemudian terjadi ruam, semua OAT harus dihentikan sementara

(Kemenkes, 2019).

2.1.10 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis

Menurut teori yang dikemukakan oleh Jhn Gordon bawha timbulnya suatu

penyakit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu

(host) dan lingkungan (invirontment). Untuk mengidentifikasi suatu penyakit, model

ini menekankan perlunya sebuah analisis dan pemahaman dari masing-masing

komponen. Penyakit dapat terjadi pada tubuh manusia karena adanya

ketidakseimbangan abtara ketiga komponen tersebut. Model ini lebih dikenal dengan

sebutan model triangle epidemiologi atau triad epidemiologi dan cocok untuk

menerangkan suatu penyebab penyakit infeksi serta sebab dari agent (yaitu mikroba)

mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan (Sitepu 2014 dalam Mariati,

Fransisca dan John Toding Padang 2019).


2.1.11 Pathway Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis

Faktor Microbakterium Batuk dan Dropleks


Resiko Tuberculosis Bersin

1.Host 1.Pernapasan Jatuh ke tanah Sinar


2.Agent 2.Pencernaan lantai maupun matahari/
3.evironment 3.Luka pada tempat (wadah) suhu udara
kulit yang panas

System
pertahanan Terhirup
tubuh

Terjadi respon
imun (Respon
Infalamasi)

Neutrofil
Fagositosi Basil Akumulasi
mengeluarkan
s berdistribusi sel goblet
Kininogen

Merangsang Peningkatan Pirogen aktif BATUK


reseptor WBC melepaskan
nyeri di protatgladin
pleura

Pasien Menggeser set Droplet di


mengeluh point thermostat inhalasi
nyeri dada dari titik kerja oleh orang
Peningkatan suhu Kuman dikeluarkan
tubuh ke udara

1. Host
Host atau biasa di sebut pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk

burung dan arthropoda yang dapat memebrikan sebuah tenpat tinggal dalam kondisi

alam (Mariati, Fransisca dan John Toding Padang 2019). Manusia merupakan

reservoir untuk penularan dari kuman Mycobakterium turbeculosis, kuman dari

tuberculosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita dari tuberculosis

dapat langsung menularkan 10-15 orang (Kemenkes RI, 2017 dalam Mariati,

Fransisca dan John Toding Padang 2019). Host untuk kuman penyakit tuberculosis

paru adalah manusia dan hewan, namun host yang dimaksud disini adalah manusia.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penularan dari penyakit tuberculosis paru

yaitu faktor jenis kelamin, umur, kondisi sosisal ekonomi, kekebalan, status gizi dan

penyakit infeksi HIV.

a. Jenis Kelamin
Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki lebih sering terkena TB

paru dibandingkan perempuan. Hal ini menjadi tolak ukur karena laki-laki memiliki

aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan untuk

terpapar penyakit TB lebih besar pada laki-laki (Sitepu, 2014 dalam Mariati,

Fransisca dan John Toding Padang 2019). Menurut WHO (2014 dalam Syukran
2017) mengatakan faktor yang membuat laki-laki lebih banyak pengidap TB

dikarenakan pola hidup yang kurang sehat seperti merokok dan minum alkohol.

b. Umur
Di Indonesia diperkirakan hampir 75% penderita penyakit TBC adalah usia

produktif yakni usia 15-50 tahun. Hal ini terjadi pada usia produktif karena usia

produktif ini dibarengi dengan aktivitas yang berat sehingga sehingga dapat

berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat banyak mempengaruhi terhadap

resiko dari penularan penyakit TB paru (Kementerian Kesehatan RI, 2017 dalam

Mariati, Fransisca dan John Toding Padang 2019).

c. Kondisi Sosial Ekonomi


Penyakit tuberculosis bukan hanya menjadi penyakit medis saja melainkan

masalah sosial ekonomi yang rendah karena TB mempengaruhi orang yang

menempati di perumahan kumuh, tidak ada sirkulasi udara, bahkan konsumsi gizi

yang kurang bagus. Status ekonomi adalah hal penting dalam keluarga yang masih

ada tinggi rendahnya suatu penghasilan rendah sanggu mempengaruhi penyakit TB

lantaran pemasukan yang rendah membuat orang tidak patut memadai ketentuan

kesehatan (Muhammad Rizkar, 2021).

d. Kekebalan
Kekebalan tubuh adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang

karena kekebalan tubuh dapat mempertahankan tubuh dari benda asing yang masuk

kedalam tubuh seperti bakteri dan virus. Kekebalan dapat dibagi menjadi dua macam

yakni kekebalan tubuh alamiah dan buatan. Kekebalan alamiah akan didapatkan

apabila seseorang pernah menderita tuberculosis paru dan untuk secara buatan tubuh
akan membentuk antibody, sedangkan kekebalan buatan dapat diperoleh saat

seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Namun jika kekebalan

tubuh lemah maka kuman dari tuberculosis paru akan mudah untuk menyebabkan

penyakit tuberculosis paru (Fatimah, 2018 dalam Mariati, Fransisca dan John Toding

Padang 2019).

e. Status Gizi
Fakor yang mempengaruhi kemungkinan terkena penyakit TB paruh salah

satunya adalah status gizi yang buruk. Status gizi yang buruk akan meningkatkan

resiko penyakit tuberculosis paru. Sebaliknya, TB paru berkontribusi menyebabkan

status gizi yang buruk karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya

tahan tubuh seseorang (Kholis Ernawati dkk 2018).

f. Penyakit Infeksi HIV


Infeksi HIV dapat mengakibatkan kerusakan luas pada system daya tahan tubuh

seluler (celluler immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti

tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan dapat

mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, makan

jumlah penderita tuberculosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan

tuberculosis paru di masyarakat akan meningkat pula (Mariati, Fransisca dan John

Toding Padang 2019).

2. Agen
Faktor agen adalah semua unsur baik elemen hidup atau mati, apabila terjadi

kontak dengan manusia rentan dalam keadaan yang akan memudahkan terjadinya

proses penyakit (Zira, 2017). Yang menjadi agen pada TB paru adalah kuman
Micobakterium tuberculosis. Agen ini di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Mariati, Fransisca dan John Toding Padang

2019).

a. Pathogenitas adalah bakteri yang merupakan kemampuan suatu bakteri pathogen

dalam menimbulkan penyakit. Pathogenitas kuman tuberculosis paru termasuk

pada tingkat rendah.

b. Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh Host

dan melakukan perkembangbiakan di dalamnya. Bersadarkan sumber yang sama

infektifitas kuman tuberculosis paru temasuk pada tingkat menengah.

c. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi Host. Berdasarkan sumber yang

sama virulensi kuman tuberculosis termasuk tingkat tinggi.

3. Environment
Menurut WHO kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang

harus ada antara manusia dan lingkungannya agar dapt menjamin keadaan sehat dari

manusia dengan menjaga dan meningkatkan kondisi lingkungannya menjadi sehat

(Syukran, 2017). Lingkungan rumah yang buruk akan menimbulkan masalah

kesehatan pada anggota keluarga maupun kepada orang lain seperti penyakit TB paru.

Ada beberapa syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang dapat

mempengaruhi kejadian tuberculosis paru antara lain : Lingkungan yang tidak sehat

(kumuh) sebagai salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit menular

seperti tuberculosis. Menurut (Keman 2015 dalam Mariati 2019), syarat-syarat yang

harus dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis sebagai berikut :

a. Kepadatan Penghuni
Kepadatan Penghuni merupakan salah pre-requisite untuk terjadinya proses

penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan suatu penyakit khsusunya

melalui udara akan sangat mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan penghuni pada

tempat tingal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru. Disamping

itu asosiasi pencegahan TB paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistic

bahwa kejadian tuberculosis paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak

memenuhi syarat untuk luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah maka akan

semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena

jumlah penghuni yang semakin banyak akan mempengaruhi kadar oksigen dalam

ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya (Keman, 2015 dalam

Mariati 2019).

b. Kelembaban Udara
Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemaran di udara.

Kelembaban berhubungan terbalik dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara,

maka kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban udara di dalam rumah

minimal 40-70% dan suhu ruangan yang ideal antara berkisar 18-30°C. Bila saat

kondisi ruangan dalam keadaan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan

berdampak pada cepat lelahnya seseorang saat bekerja dan tidak cocok untuk

beristirahat dan sebaliknya bila kondisi suhu ruangan yang terlalu dingin pada orang-

orang tertentu akan dapat menimbulkan alergi (Mariati, Fransisca dan John Toding

Padang 2019).

c. Ventilasi
Ventilasi merupakan tempat masuk dan keluarnya udara sekaligus lubang

pencahayaan dari luar. Ventilasi bermanfaat bagi sirukulasi pergantian udara dalam

rumah serta mengurangi kelembaban. Semakin banyak orang di dalam suatu ruangan

yang sama maka kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari

pernapasan maupun dari keringat. Menurut indikator pengawasan rumah, luas

ventilasi yang memenuhi syarat untuk kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan

luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu <10% dari luas lantai

rumah. Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan berkurangnya

konsentrasi okesigen dan akan bertambahnya karbondioksida yang akan bersifat

racun bagi penguhinya (Keman, 2015 dalam Mariati 2019).

d. Pencahayaan Sinar Matahari

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih,

khususnya cahaya dari alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain

ultraviolet. Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruangan juga

mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk

pencegahanm penyakit tuberculosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar

matahari pagi ke dalam rumah. Kuman tuberculosis dapat bertahan hidup bertahun-

tahun lamanya dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbon dan panas

api.

e. Lantai Rumah
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai

rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan

debu. Jenis lantai dan tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis
paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai menjadi kering sehingga dapat

menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Syukran, 2017).

f. Dinding
Dinding pada bangunan berfungsi sebagai pelindung dari gangguan hujan, angina

serta melindungi dari pengaruh panas dan sebu dari luar sekaligus diinding dapat

menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Ada banyak bahan yang dapat

digunakan sebagai bahan dinding contohnya kayu, bambu/anyaman bambu, batu bata

dan lain sebagainya. Namun dari beberapa bahan tersebut bahan terbaik yang dapat

dipakai untuk membuat dinding adalah batu bata karena memiliki tektur yang kokoh,

tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah untuk diberishkan (Keman, 2015

dalam Mariati 2019).

2.2 Konsep Dasar Pengetahuan

2.2.1 Definisi Pengetahuan


Pengetahuan merupakan hal yang didapatkan dari rasa keingintahuan

seseorang melalui sebuah proses sesnoris menggunakan panca indera terutama pada

mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan memiliki peran yang sangat

penting dalam terbentuknya perilaku terbuka dan open behavior (Donsu, 2017 dalam

Novia Putri 2021).

Pengetahuan merupakan hasil yang didapatkan melalui penginderaan

seseorang terhadap objek yang diamati melalui pabca indera yang dimilikinya. Panca

indera yang dimiliki manusia yang digunakan sebagai penginderaan terhadap suatu
objek meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan perabaan. Berdasarkan

pendapat dari para ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengetahuan

merupakan segala sesuatu yang didapatkan seseorang dari hasil penginderaan

terhadap suatu objek (Novia Putri, 2021).

2.2.2 Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo dalam Novia Putri (2021), pengetahuan seseorang

terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara

garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan, yaitu :

2.2.2.1 Tahu (Know)


Tahu merupakan tingkatan terbawah atau paling rendah. Tahu bisa diartikan

sebagai mengingat kembali (Recall) segala sesuatu yang bisa dikatakan spesifik dari

seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima oleh

seseorang. Untuk dapat mengukur seseorang tahu atau tidaknya seseorang dari

sesuatu yang telah dipelajarinya dapat diukur dengan cara, seseorang dapat

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menanyakan dan sebagainya.

2.2.2.2 Memahami (Comprehension)


Memahami merupakan tingkatan dimana orang tersebut bukan sekedar hanya

tahu objek, tetapi harus dapat menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar

tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah berhasil memahami objek atau

apa yang telah di pelajarinya harus bisa dapat menjelaskan, menyimpulkan dan

menginterpretasikan objek tersebut.

2.2.2.3 Aplikasi (Application)


Aplikasi merupakan tingkatan dimana seseorang telah mamahami materi yang

telah dipelajari dapat menerapkan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada
sebuah situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga dapat diartikan sebagai

aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya

dalam konteks atau situasi berbeda.

2.2.2.4 Analisis (Analysis)


Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan pikiran yang

dimiliki sesorang dalam menjabarkan suatu materi atau objek tertentu ke dalam

sebuah kelompok-kelompok yang mendapatkan masalah dan masih berkaitan satu

sama lain. Untuk orang yang sudah berada pada tahap ini mampu membedakan,

memisahkan, menggambarkan (membuat bagan) dan mampu mengelompokan objek

tersebut.

2.2.2.5 Sintesis (Synthesis)


Sintesin dalam tingkatan ini adalah seseorang yang sudah dapat merangkum

semua komponen pengetahuan yang dimilikinya seseorang yaitu Menyusun, dapat

merencanakan, mengkategorikan, mendesain dan menciptakan sesuatu.

2.2.2.6 Evaluasi (Evaluation)


Evaluasi adalah tingkatan pengetahuan yang dimana seseorang sudah mampu

untuk melakukan penilaian terhadap objek atau materi tententu. Hal-hal yang sudah

dapat dilakukan seseorang pada tahap ini antara lain seperti merencanakan,

memperoleh dan dapat menyediakan informasi.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

menurut (Novia Putri, 2021), yaitu :

2.2.3.1 Pendidikan
Sebuah pengetahuan yang dimiliki seseorang sangat berkaitan erat dengan

pendidikan, dimana seseorang yang berpendidikan tinggi diharapkan juga dapat

memiliki pengetahuan yang luas. Seseorang yang berpendidikan dapat meningkatkan

dan meberikan informasi serta pemahaman akan ilmu pengetahuan. Dimana semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang makan akan lebih mudah untuk menerima dan

mehami berbagai informasi yang didapatnya.

2.2.3.2 Pekerjaan
Pekerjaan adalah lingkungan dimana seseorang dapat memberikan dampak

kepada tempat kerjanya berupa hasil yang diperoleh dari pengalaman dan

pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2.2.3.3 Pengalaman
Pengalaman adalah sebuah peristiwa yang pernah dialami seseorang selama

berinteraksi dengan lingkungannya. Namun pengalaman seseorang sangat penting

karena didapatkan dari diri sendiri maupun juga orang lain. Semakin banyak

pengalaman yang dilalui seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya juga akan

semakin bertambah.

2.2.3.4 Usia
Usia merupakan hal penting dimana aspek psikis dan psikologi dari seseorang

sudah mengalami perubahan. Dengan bertambahnya usia diharapkan kemampuan

seseorang untuk menangkap dan memahami informasi yang diketahui lebih

berkembang agar pengetahuan yang didapatkan mudah untuk dipahami.

2.2.3.5 Lingkungan
Lingkungan adalah tempat seseorang tinggal atau menetap. Lingkungan

tempat seseorang berada juga sangat mempengaruhi pengetahuan yang di dapatkan


dan dimiliki seseorang. Lingkungan yang baik juga akan memudahkan seseorang

untuk memperoleh, memahami pengetahuan dengan mudah dan pengetahuan yang

didapatkan di tempat yang baik sangat berguna bagi pengetahuan seseorang. Akan

tetapi lingkungan yang tidak baik (toxic) dapat mempengaruhi sikap seseorang dan

juga pengetahuannya.

2.2.3.6 Minat
Minat adalah ketertarikan seseorang terhadap sesuatu. Seseorang yang

memiliki minat yang tinggi terhadap suatu hal akam menjadikan seseorang tersebut

ingin berusaha untuk menekuninya sehingga mendapatkan pengetahuan yang lebih

banyak.

2.2.3.7 Informasi
Informasi merupakan pengetahuan yang dicari atau digali seseorang dari sumber-

sumber tertentu. Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang. Semakin banyak dan rajin seseorang mencari informasi,

maka pengetahuan yang di dapatkan akan lebih luas dan banyak.

2.3 Konsep Media


2.3.1 Definisi Media
Media berasal dari bahasa latin yaitu “medium” yang berarti “pengantar atau

perantara”. Media merupakan suatu sarana atau penyalur pesan atau informasi

belajar yang ingin disampaikan oleh sumber pesan kepada penerima pesan tersebut.

Penggunaan media pembelajaran pada suatu kegiatan mengajar dapat membantu

pencapaian belajar atau hasil belajar yang dilakukan oleh sumber kepada penerima.

Menurut AECT (Association of Education and Comunication Technology) “media


merupakan segala sesuatu bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran

informasi” (Winda Seftiana, 2021).

Media pembelajaran merupakan segala sesuatu baik berupa fisik maupun

teknis yang terdapat dalam proses pembelajaran guna membantu pendidik dalam

menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik agar memudahkan

pencapaian suatu pembelajaran yang telah dirumuskan. Media pembelajaran memiliki

peranan penting dalam suatu proses pembelajaran karena media pembelajaran juga

dapat membuat suasana pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan

untuk dipelajari (Winda Seftiana, 2021).

2.3.2 Macam-macam Media Pembelajaran


Menurut Winda Seftiana (2021), media pembelajaran dibedakan menjadi

beberapa kategori, tergantung berdasarkan kategori dan sudut pandang mana yang

melihatnya. Dari sifatnya, media bisa dibedakan sebagai berikut :

1. Media auditif adalah media yang hanya memiliki unsur suara atau hanya bisa

didengar saja, contohnya radio dan rekaman suara.

2. Media visual adalah media yang tidak mengandung unsur suara atau hanya bisa

dilihat saja, contohnya film slide, foto, transparansi, lukisan, gambar, serta segala

hal yang tercetak layaknya media grafis dan sejenisnya.

3. Media audio visual adalah media yang memuat fitur gambar serta suara,

contohnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara dan lain sebagainya.

Karena media ini mengandung dua unsur itulah media ini dianggap lebih menarik

dari media pertama serta kedua.

Ditinjau dari teknik penggunaannya, media bisa diklasifikasikan pada :


a. Media yang diproyeksikan contohnya seperti film, slide, film strip,

transparansi, serta lain sebagainya. Media seperti ini membutuhkan alat

proyeksi tertentu seperti film proyektor untuk memproyeksikan film slide,

OHP guna menampilkan tranparansi. Karena media seperti ini tidak akan

berfungsi tanpa bantuan alat-alat pendukung tersebut.

b. Media yang tidak diproyeksikan, contohnya gambar, foto, lukisan, radio dan

lain sebagainya. Prinsip utama yang harus diperhatikan ialah media digunakan

untuk mempermudah peserta didik dalam memahami materi pembelajaran.

2.3.2 Karakteristik Media Pembelajaran


Karakteristik atau ciri khas dalam suatu media berbeda-beda menurut tujuan

dan pengelompokannya. Karakteristik media ini akan menjadi tolak ukur didalam

pemiligan media dan disesuaikan dengan situasi dan keadaan pembelajaran tertentu

(Winda Seftiana, 2021).

Berikut ini karakteristik beberapa jenis media pembelajaran yang sering digunakan

dalam kegiatan pembelajaran :

2.3.2.1 Media Grafis (visual diam)


Dalam proses pembelajaran, media cetak dan grafis merupakan media yang

paling sering digunakan. Media ini masuk kedalam kategori media visual

nonproyeksi yang mempunyai fungsi sebagai penyalur pesan dari pemberi ke

penerima pesan (guru ke peserta didik). Secara sederhana media grafis diartikan

sebagai media yang mengandung pesan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, huru-

huruf, gambar dan symbol yang didalamnya terdapat arti. Contoh macam-macam

media grafis diantaranya yaitu gambar/foto, sketsa, diagram, bagan, poster, grafik,
media cetak dan display. Karakterisyik dari media grafis ini secara umum yaitu : (1);

melibatkan indera penglihatan, (2); relative lebih murah ditinjau dari segala biayanya,

(3); relative mudah dan sederhana dalam proses pembuatannya.

2.3.2.2 Media Audio Visual


Audio visual adalah alat yang dapat didenngar dan dilihat secara segaligus.

Audio visual ini terdiri dari dua kata yaitu audio (dengar) dan visual (lihat). Proses

pembelajaran dengan menggunakan media audio visual adalah suatu media yang

dapat mengaktifkan indera pendengaran dan indera penglihatan seseorang.

Penggunaan media ini menggunakan perangkat keras seperi mesin proyektor film,

tape recoreder dan proyektor viasual. Media audio visual terdiri atas film, televisi

(TV) dan video.

2.3.3 Fungsi Media Pembelajaran


Pemanfaatan media dalam pembelajaran mengakibatkan keinginan dan minat.

Pemanfaatan media sebagai sarana pembelajaran dapat meningkatkan motivasi,

rangsangan kegiatan belajar dan bahkan berpengaruh secara psikologis (Winda

Seftiana, 2021). Ada beberapa fungsi dari media pembelajaran ini yaitu sebagai

berikut :

2.3.3.1 Fungsi Media Pembelajaran Sebagai Sumber Belajar


Secara teknis, media pembelajaran sebagai sumber belajar ini tercantum

makna keaktifanyaitu sebagai penghubung, penyalur dan lain sebagainya.

2.3.3.2 Fungsi Semantik


Fungsi semantik merupakan suatu kemampuan media dalam menambah

pembendaharaan kata yang memiliki maksud ataupun makna yang benar-benar dapat

dipahami oleh seseorang. Hal tersebut berbentuk lambang (simbol) yang berasal dari
pikiran ataupun perasaan yang telah menjadi satu kesatuan dan tidak dapat

dipisahkan.

2.3.3.3 Fungsi Manipulatif


Fungsi manipulatif ini memiliki ciri-ciri umum yaitu kemampuan untuk

menyimpan, merekam, melestarikan, mentransportasikan sebuah peristiwa ataupun

objek. Berdasarkan ciri-ciri umum diatas, media memiliki dua kemampuan

diantaranya yaitu mengatasi keterbatasan indera dan mengatasi batas-batas ruang dan

waktu.

2.3.3.4 Fungsi Fiksatif


Fungsi fiksatif adalah fungsi yang berhubungan dengan kemampuan suatu

media untuk menangkap, menyimpan, menampilkan kembali suatu objek atau

kejadian yang sudah lama terjadi seperti sejarah.

2.3.3.5 Fungsi Distributif


Fungsi distributif dalam media pembelajaran berarti bahwa dalam sekali

penggunaan satu materi, objek atau kejadian dapat diikuti oleh peserta didik dalam

jumlah jangkauan yang sangat luas sehingga dapat meningkatkan efesiensi waktu dan

juga biaya.

2.3.3.6 Fungsi Psikologis


Dari segi psikologis, media pembelajaran memiliki beberapa fungsi penting

seperti fungsi atensi, afektif, kognitif, imajinatif dan motifasi mendorong seseorang

dalam proses belajar.


2.4 Kerangka Teori

Faktor yang Mempengaruhi Kejadian


Tuberkulosis :

Host
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pengetahuan  Usia
Tuberkulosis  Jenis kelamin
 Kondisi sosial ekonomi
 Definisi  Kekebalan
 Etiologi  Status Gizi
 Faktor resiko  Penyakit infeksi HIV
 Pathogenesis Agent
 Gejala klinis  Pathogenitas
 Klasifikasi  Infektifitas
 Diagnosis  Virulensi
 Pengobatan Environment
 Faktor resiko  Kepadatan penghuni
 Kelembaban udara
 Ventilasi
 Pencahayaan sinar matahari
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Hasil Prepost Test

Karakteristik Pasien TB : Intervensi Pengetahuan TB

Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan  Sangat kurang


Pendidikan, Pekerjaan Kesehatan  Kurang
Menggunakan Video  Baik
 Sangat baik

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Efektifitas Terhadap Penggunaan Video Sebagai Media Penyuluhan TB Dalam

Rangka Meningkatkan Pengetahuan Pasien Di Puskesmas Koya Barat

3.2 Hipotesis Penelitian

Ha = Terdapat Perbedaan tingkat pengetahuan pengunjung sebelum dan sesudah

di lakukan intervensi pendidikan kesehatan menggunakan media video.

3.3 Definisi Operasional

Variabel dan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini akan

dijelaskan dalam bentuk table berikut ini :

Variabel Definisi Operasional Alat dan Cara Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
Video media Video adalah sebuah Kategori : Ordinal
penyuluhan media yang digunakan 1. Sangat kurang =
sebagai promosi 0-25%
kesehatan TBC 2. Kurang = 25%-
kepada pengunjung di 50%
Puskesmas Koya 3. Baik = 50%-
Barat. 75%
4. Sangat baik =
75%-100%
Karakteristik
Responden :
1. Usia Usia adalah hitungan Kuisioner dengan Usia dalam tahun Ordinal
dari awal lahir hingga pertanyaan terbuka
sekarang.

2. Jenis kelamin Keadaan tubuh Kuisioner denngan 1. Laki-laki Nominal


responden yang cara cheklist 2. Perempuan
dibedakan secara fisik

Pendidikan terakhir
3. Pendidikan dari responden Kuisioner denngan 1. Tidak sekolah Nominal
cara cheklist 2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan
Tinggi
Profesi pekerjaan
4. Pekerjaan responden Kuisioner denngan 1. Tidak bekerja Nominal
cara cheklist 2. PNS / TNI /
POLRI
3. Wiraswasta
4. Lain-lain.

Pengetahuan Pengetahuan Kuisioner Kategori : Ordinal


pengunjung pengetahuan TBC 1. Sangat kurang
puskesmas terkait dengan cara : = 0-25%
penyakit TBC yang  Chek list 2. kurang = 25%-
terdiri dari : menggunakan 50%
1. Pengertian pilihan jawaban 3. Baik = 50%-
2. Tanda dan gejala benar dan salah. 75%
3. Pengobatan Bila jawaban 4. Sangat baik =
4. Faktor resiko. positif 75%-100%
 Benar berbobot
1 dan salah
berbobot 0.

Bila jawaban
negatif
 Benar berbobot
0 dan salah
berbobot 1.

3.4 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperiment dengan Pre Test-Post Test. Dengan
design one grup only, karena penelitian ini diarahkan untuk melihat bagaimana
keefektifan video sebagai media penyuluhan TBC terhadap pengetahuan pengunjung
di Puskesmas Koya Barat.

Prestest Perlakuan Posttest


01 1X 02

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian


Keterangan :

01 : nilai pengetahuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan menggunakan

video

1X : perlakuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan menggunakan video

01 : nilai pengetahuan sesudah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan

video

3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian

a. Waktu Penelitian
Peneltian ini dilaksanakan pada bulan Maret s/d Juli 2022
b. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Koya Barat

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian

3.6.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi (suatu kelompok) yang terdiri dari objek

atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2018). Populasi

pada penelitian ini adalah pada pengunjung di Puskesmas Koya Barat.

3.6.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiyono, 2018). Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu

simple random sampling dengan menggunakan teknik probability sampling. Jumlah

besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan simple random sampling, maka

ditetapkan quota atau jatah sampel sebanyak 60 responden yang dibagi 3 kelompok

yaitu hari pertama 20 orang, hari kedua 20 orang dan hari ketiga 20 orang.

Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita TBC yang berobat di Puskesmas Koya Barat

b. Pengunjung di poskesmas Koya Barat

c. Bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eksklusi

a. Penderita TBC yang berobat diluar dari Puskesmas Koya Barat

b. Pengunjung yang tidak bersedia menjadi responden


3.7 Etika Penelitian
Semua penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek harus menerapkan 4

(empat) prinsip dasar etika penelitian menurut (Kemenkes, 2018), yaitu :

1. Menghormati subjek (Resepct For Person)


Menghormati atau menghargai orang perlu memperhatikan hal berikut,

diantaranya yaitu peneliti harus mempertimbangkan secara mendalam terhadap

kemungkinan bahaya dan penyalahgunaan penelitian dan terhadap subjek penelitian

yang rentan terhadap bahaya penelitian maka diperlukan perlindungan. Sebelum

melakukan penelitian, peneliti menjelaskan kepada responden tentang manfaat dan

tuuan peneliti serta dampak yang akan ditimbulkan

2. Manfaat (Beneficience)
Dalam suatu penelitian diharapkan dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-

besarnya dan mengurangi kerugian dengan pemberian inform consent kepada

responden sebagai tanda menyetujui kesepakatan dalam penelitian dan Tidak

Membahayakan Subjek Penelitian (Non Maleficience). Penelitian harus mengurangi

kerugian atau risiko bagi subjek penelitian. Sangat penting bagi peneliti

memperkirakan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi dalam penelitian

sehingga dapat mencegah risiko yang membahayakan bagi subjek penelitian.

3. Keadilan (Justice)
Makna keadilan dalam hal ini adalah tidak membedakan subjek dan Peneliti tidak

boleh membedakan antara sesama responden.. Perlu diperhatikan bahwa penelitian

seimbang antara manfaat dan resikonya. Resiko yang dihadapi harus sesuai

mencakup : fisik, mental dan sosial.

3.8 Prosedur Pengumpulan Data


1. Menyiapkan surat izin penelitian dari Program Studi.

2. Surat dibawa ke Dinas Kesehatan Provinsi Papua untuk dibuatkan surat

rekomedasi penelitian sesuai tempat penelitian yaitu Puskesmas Koya Barat.

3. Peneliti menyerahkan surat tersebut ke Puskesmas Koya Barat dan diserahkan ke

administasi Puskesmas Koya Barat dan diarahkan kepada pengunjung Puskesmas

Koya Barat untuk dilakukan penelitan

a. Data Primer

Data primer yang didapatkan berasal dari kuisioner yang telah di isi pleh

responden, sebelumnya calon responden menandatangani lembar persetujuan

menjadi responden, selanjutnya peneliti menkjelaskan tujuan dari penelitian dan

meminta waktu untuk memberikan informasi dengan tetap menjaga kerahasiaan

responden dengan cara hasil ditampilkan tidak dicantumkan nama responden.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah sata yang didapatkan dari bagian administrasi dari

Kampus dan Dinkes yang diteruskan langsung ke tempat penelitian Puskesmas

Koya Barat dan menjelaskan tujuan dari penelitian ini agar dapat melakukan

pengambilan data.

3.9 Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Instrumen pemgambilan data yang digunakan adalah kuisioner. Kuisioner yaitu

beberapa pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari

responden dari hal-hal yang ingin diketahui (Arikunto, 2002).

3.9.1 Kuisioner A
Berisi pertanyaan identitas responden berupa data demografi responden yang

terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.

3.9.2 Kuisioner B

Berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui tingkat pengetahuan

pengunjung tentang penyakit tuberculosis pada Puskesmas Koya Barat, yang terdiri

dari 20 pertanyaan. Dalam kuisioner ini skala yang digunakan adalah skala guttman,

setiap pilihan jawaban yang tepat memiliki bobot 1, dan jika jawaban salah maka

memiliki bobot 0.

Tabel 3.2. Kisi-kisi Instrumen Tes Pengetahuan Tentang Tuberkulosis

Konstrak Faktor Indikator No item Jumlah


item
Pengetahuan Pengetahuan tentang Pengertian penyakit 1,2,3,4,5 5
tentang penyakit pengertian penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis Tuberkulosis
Pengetahuan tentang Tanda dan gejala 6,7,8,9,10 5
tanda dan gejala penyakit
penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis
Pengetahuan tentang Pengobatan penyakit 11,12,13,14,15 5
pengobatan penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis
Pengetahuan tentang Faktor resiko dari 16,17,18,19,20 5
faktor resiko dari penyakit
penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis
Karakteristik Karakteristik 1. Usia
Responden 2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
Jumlah item 20

3.10 Analisa Data


Berdasarkan data yang di dapatkan, maka dilakukan analisis data pada hasil

kuisioner penelitian ini dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat

yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui frekuensi pada masing-

masing variabel penelitian yang antara lain yaitu karakteristik responden,

pengetahuan dan media penyuluhan metode kesehatan, dalam penelitian ini

menggunakan analisis presentase. Analisis bivariate yang digunakan dalam penelitian

ini untuk menganalisis ada tidaknya efektivitas promosi kesehatan dengan media

video terhadap tingkat pengetahuan tuberkulosis pada pengunjung Puskesmas Koya

Barat. Uji paired t-test atau biasa disebut dengan uji T dependen merupakan uji

parametric yang tujuannya untuk menguji perbedaan rata dua kelompok data

dependen. Skala uji yang digunakan yaitu interval dan ratio, penelitian ini akan

menggunakan uji dependen paired t-test.

Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar. Menurut

(Kemenkes, 2018) ada 4 tahap analisis data yaitu :

1. Editing
Pengeditan adalah pemeriksaan data yang telah dikumpulkan. Pengeditan

dilakukan karena kemungkinan data yang masuk (raw data) tidak memenuhi syarat

atau tidak sesuai kebutuhan.

2. Coding
Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi data dalam

bentuk angka/bilangan. Kode adalah symbol tertentu dalam bentuk huruf atau angka

untuk memberikan identittas data

3. Processing
Processing adalah proses setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar serta

telah diberikan label kode jawaban responden pada kuisioner ke dalam aplikasi

pengolahan data di komputer

4. Cleaning Data
Cleaning data adalah pengecekan kembali data yang sudah dientri apakah sudah

betul atau ada kesalahan pada saat memasukkan data.


DAFTAR PUSTAKA
Sianturi, E. I., & Rusnaeni, R. (2017). PROFIL PASIEN KO-INFEKSI
TUBERCULOSE-HIV DI RSUD DOK II JAYAPURA Tuberculosis-HIV Co-
infection Profile in DOK II Hospital Jayapura. Indonesian Journal of Applied
Sciences, 7(2). https://doi.org/10.24198/ijas.v7i2.3036
Dinas Kesehatan Prov Papua. (2020). LKj 2020 DINAS KESEHATAN PROVINSI
PAPUA.
Kemenkes RI. (2018). Tuberkulosis ( TB ). Tuberkulosis, 1(april), 2018.
www.kemenkes.go.id
Dinas, K., & Kabupaten, K. (2020). 300 Kasus TB di Kabupaten Jayapura Terdeteksi.
Distribusi, P., Rujukan, L., Resistan, T. B., Distribusi, P., Fasyankes, L., Tb, S.,
Laboratorium, P., Terstandarisasi, B., Uji, D. A. N., & Tb, K. (2021). Mobile
Dashboard TB.
Kemenkes.go.id (2022). Prevalensi hipertensi di Papua Tahun 2018.
https://drive.google.com/drive/mobile/folders/1XYHFQuKucZlwmCADX5ff1a
Dhfjggzl-l?usp=drive_open
. Sina, I., No, A. V., Pasien, D. A. N., Di, L., & Paru, P. (2020). Kesehatan. 2(1), 1–
16. https://doi.org/10.3652/J-KIS
Darmayanti, S., & Soedarsono. (2021). Profil kadar adenosin deaminase (ADA) pada
pasien tuberkulosis Paru aktif. J Respir Indo, 41(1), 1–4.

Mujiarto, M., Susanto, D., & Bramantyo, R. Y. (2019). Strategi Pelayanan Kesehatan
Untuk Kepuasan Pasien Di Upt Puskesmas Pandean Kecamatan Dongko
Kabupaten Trenggalek. Jurnal Mediasosian : Jurnal Ilmu Sosial Dan
Administrasi Negara, 3(1), 34–49.
https://doi.org/10.30737/mediasosian.v3i1.572
Ernawati, K., Ramdhagama, N. R., Ayu, L. A. P., Wilianto, M., Dwianti, V. T. H., &
Alawiyah, S. A. (2018). Perbedaan Status Gizi Penderita Tuberkulosis Paru
antara Sebelum Pengobatan dan Saat Pengobatan Fase Lanjutan di Johar Baru,
Jakarta Pusat. Majalah Kedokteran Bandung, 50(2), 74–78.
https://doi.org/10.15395/mkb.v50n2.1292
Saputra, M. R., & Herlina, N. (2021). Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi
dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas , Studi Literature Review.
Borneo Student Research, 2(3), 1772–1780.
Azzahra, Z. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo Kecamatan Sunggal
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2017. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara.
Syukran. (2018). Pengaruh Faktor Host Dan Environment Terhadappenularan Tb
Paru Di Kabupaten Bireuen Tahun 2017. Jurnal Pemberdayaan Hasil
Pengabdian Kepada Masayarakat, 4(01), 29–39.
https://www.usu.ac.id/id/fakultas.html

Anda mungkin juga menyukai