Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL TUGAS AKHIR

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT

PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RSUD TARAKAN

OLEH :

ASMYATHY 2030702013

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) Paru merupakan salah satu masalah kesehatan yang

berdampak pada status kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Selain

mempengaruhi produktivitas kerja, penyakit TB paru juga dapat menyebabkan

kematian. Saat ini dibandingkan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV),

tuberkulosis masih menjadi penyakit infeksi yang paling mematikan didunia

(WHO, 2018).

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis yang dapat menyerang berbagai

organ terutama paru-paru. Tuberkulosis merupakan penyakit dengan tingkat

morbiditas tinggi dan sangat mudah menyebar di udara ketika seseorang dengan

infeksi TB paru aktif melepaskan bakteri melalui batuk, bersin dan membuang

ludah (Andareto, 2015).

Menurut laporan Global Tuberculoss Report tahun 2018, diperkirakan

jumlah kasus baru TB paru sebesar 6,4 juta orang dan telah menyebabkan 1,3 juta

kematian. Jumlah kasus TB paru terbanyak terjadi di Asia (44%), Afrika (25%).

Terdapat 30 negara dikategorikan sebagai hight burden countries (HBC) terhadap

TB, termasuk Indonesia. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan Indonesia

sebagai peringkat ketiga dengan kasus beban TB paru tertinggi didunia setelah

India dan Cina. Diperkirakan jumlah kasus TB paru di Indonesia sebanyak 842.000

kasus setara dengan 319/100.000 penduduk/tahun.

Data profil kesehatan Indonesia pada tahun 2017, dilaporkan jumlah kasus

tuberkulosis paru mengalami peningkatan dari 360.565 kasus di tahun 2016


meningkat menjadi 425.089 kasus di tahun 2017. Berdasarkan jenis kelamin,

jumlah kasus baru tuberkulosis paru pada laki-laki 1,4 kali lebih besar

dibandingkan pada perempuan. Sedangkan berdasarkan letak wilayah, jumlah

kasus tertinggi dilaporkan berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa

Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 43% dari jumlah

seluruh kasus di Indonesia.Upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dalam

memecahkan masalah TB paru, yakni dengan melakukan pembagian obat anti

tuberkulosis (OAT) secara cuma-cuma, hanya saja terdapat beberapa masalah yang

dijumpai seperti kesulitan penemuan penderita TB paru BTA (+) dan lamanya

waktu pengobatan serta drop out akibat ketidakpatuhan dalam pengobatan

(Kemenkes RI, 2014).

Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) semua kasus tuberkulosis di

Indonesia cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2013 sampai 2017. Pada

tahun 2017 angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis (85,7%), hal

ini masih dibawah target pemerintah yaitu angka keberhasian pengobatan minimal

90%). Provinsi dengan angka keberhasian pengobatan tertinggi yaitu Gorontalo

(97,1%) dan terendah Maluku Utara (64,0%). Sedangkan provinsi Sulawesi Selatan

menempati peringkat ke 15 dengan angka keberhasilan pengobatan (86,1%),

(Kemenkes RI, 2018).

Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (2016), mencatat

bahwa Kabupaten Makassar menduduki peringkat pertama untuk daerah tertinggi

kasus tuberkulosis paru pada tahun 2015. Jumlah penderita tuberkulosis paru di

Kabupaten Makassar mencapai 3,639 kasus yang tersebar di 14 kecamatan di

Kabupaten setempat.
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar 2018,

menyatakan bahwa jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 4926 kasus di tahun 2017,

jumlah ini meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan

pada tahun 2014 yang berjumlah 3.366 kasus.

Berdasarkan data di Puskesmas Sudiang Raya Makassar, tercatat sebanyak

50 pasien sedang menjalani program pengobatan terhitung dari bulan Juni hingga

November 2018. Hasil wawancara peneliti terhadap petugas kesehatan di

Pukesmas Sudiang Raya, diperoleh data bahwa tidak semua pasien patuh

mengkonsumsi obat sesuai yang dianjurkan oleh petugas kesehatan.

Ketidakpatuhan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti penderita merasa

tidak nyaman dengan efek samping obat, penderita merasa dirinya sudah sembuh

karena tidak ada gejala yang timbul.

Ketidakpatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan masalah

yang serius karena selain mengakibatkan kuman menjadi resisten, relaps, juga akan

mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru.

Pengobatan yang tidak sesuai atau tidak tuntas merupakan salah satu faktor

penentu terjadinya TB MDR (Zhang et al., 2016). Selain itu ketidakpatuhan juga

memberikan risiko penularan terhadap komunitas dan berdampak pada gagalnya

pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia (Depkes RI, 2005 dalam Pameswari

2016).

Ketidakpatuhan terhadap pengobatan tuberkulosis sering terjadi pada fase

aktif dua bulan pertama. Ketidakpatuhan ini diakibatkan karena pasien merasa

sudah sehat sehingga menghentikan pengobatan. Ketidakpatuhan tersebut dapat

dipengaruhi oleh berbagai sisi baik dari dalam diri pasien maupun dari pemberi

pelayanan kesehatan (Zhdanov et al., 2017).


Masalah ketidakpatuhan minum obat tuberkulosis banyak berkaitan dengan

perilaku pasien dalam kepatuhan minum obat, salah satu faktor yang

mempengaruhi yaitu keyakinan diri (self efficacy). Menurut Bandura, efikasi diri

adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu

tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya (Alwisol,

2018).

Permatasari dkk., (2014), menyebutkan bahwa self efficacy memiliki

peranan terhadap proses perubahan perilaku kesehatan seseorang, sehingga efikasi

diri sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, perilaku dan keterampilan.

Selain itu ia juga menyatakan bahwa individu dengan self efficacy yang tinggi lebih

mengalami peningkatan terhadap kepatuhan dalam pengobatan, diet hipertensi, dan

melakukan manajemen berat badan.

Berdasarkan data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa selft efficacy

sangat penting khususnya terkait dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis

(OAT), dengan adanya self efficacy yang tinggi dalam diri penderita tuberkulosis,

maka penderita dapat mencegah dan mengurangi keinginan untuk berhenti minum

obat sehingga penderita mampu melaksanakan pengobatan penyakitnya secara

tuntas.

Berdasarkan berbagai uraian permasalahan diatas, maka peneliti merasa perlu

untuk melakukan penelitian tentang “hubungan self efficacy dengan kepatuhan

minum obat pada penderita tuberkulosis paru di RSUD TARAKAN”

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “adakah hubungan Self

Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Paru di Rsud

tarakan”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self efficacy dengan kepatuhan

minum obat pada penderita tuberkulosis paru di Rsud tarakan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui self efficacy penderita tuberkulosis paru di Rsud Tarakan

b. Untuk mengetahui kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis paru di Rsud

Tarakan

c. Untuk mengetahui hubungan self effficacy dengan kepatuhan minum obat

penderita tuberkulosis paru di Rsud Tarakan

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Sebagai sumbangan ilmiah dan bahan bacaan bagi semua kalangan

dengan harapan dapat menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan di

bidang ilmu keperawatan.

1. Manfaat bagi Institusi

Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi bahan

referensi dan kepustakaan untuk mahasiswa keperawatan dalam memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang penyakit Tuberkulosis Paru

2. Manfaat bagi Peneliti


Merupakan pengalaman yang paling berharga dalam menambah

wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai Hubungan self efficacy dengan

kepatuhan minum obat pasien tuberkulosis paru.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan

bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang bisa menyerang berbagai organ,

terutama paru-paru. Bakteri ini mudah menyebar di udara ketika seseorang

dengan infeksi TB paru aktif melepaskan bakteri melalui batuk, bersin dan

membuang ludah (Andareto, 2015).

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

Tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat hidup terutama diparu atau di

berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen

yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya

terutama terjadi pada malam hari (Rab Tabrani, 2013).

Tuberkulosis (TB) yang terjadi saat belum adanya reaksi khusus dari

penderita terhadap bakteri tuberkulois disebut tuberkulosis primer, sedangkan

tuberkulosis sekunder adalah aktivasi kuman tuberkulosis yang terjadi

disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh, alkoholisme, keganasan, silikosis,

penyakit diabetes mellitus dan AIDS (Yusran, 2016).


2. Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi menurut WHO dalam Nurarif & Kusuma (2016) tuberkulosis

dibagi dalam 4 kategori yaitu:

a. Kategori 1, ditujukan terhadap:

1) Kasus baru dengan hasil dahak (+)

2) Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat

b. Kategori 2, ditujukan terhadap:

1) Kasus kambuh

2) Kasus gagal dengan hasil sputum BTA (+)

c. Kategori 3, ditujukan terhadap:

1) Kasus BTA (-) dengan kelainan paru yang luas

2) Kasus tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori.

d. Kategori 4 ditujukan terhadap: tuberkulosis kronik

Sedangkan menurut Kemenkes RI (2014) klasifikasi tuberkulosis paru

yaitu:

a. Klasifikasi tuberkulosis dari sistem lama:

1) Pembagian secara patologis

a) Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

b) Tuberkulosis post- primer (adult tuberculosis)

b. Klasifikasi berdasarkan hasil BTA

1) BTA Positif

a) Sekurangnya 2 hingga 3 kali pemeriksaan dahak memberikan hasil

(+)

b) Bila 1 kali pemeriksaan dahak hasilnya (+) disertai gambaran

radiologi yang menunjukkan tuberkulosis aktif


c) Bila 1 spesimen BTA (+) dan hasil kultur kuman (+)

d) Bila 1 atau lebih spesimen dahak positif setelah 3 pemeriksaan

dahak SPS pemeriksaan sebelumnya hasil BTA (-) dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

2) BTA Negatif

a) Setidaknya 3 kali pemeriksaan menunjukan hasil (-)

b) Gambaran radiologi menunjukkan kearah tuberkulosis

c) Pada pasien HIV (-) setelah pemberian antibiotik non OAT

hasilnya tidak ada perbaikan

d) Dokter mempertimbangkan untuk diberi pengobatan

c. Berdasarkan lokasi anatomi:

1) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim paru.

2) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,

kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan

tulang.

d. Berdasarkan riwayat pengobatan:

1) Kasus baru

Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.

2) Kasus kambuh

Pasien tuberkulosis yang sebelumnya sudah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan dinyatakan sembuh namun kambuh lagi.


3) Kasus setelah putus berobat

Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.

4) Kasus setelah gagal

Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan gagal dalam pengobatan

terakhir.

5) Kasus lain

Pasien tuberkulosis yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan

sebelumnya tidak diketahui.

3. Penyebab Penyakit Tuberkulosis

Menurut Najmah (2016), penyebab penyakit tuberkulosis paru adalah

Mycobacterium Tuberkulosis sejenis kuman berbentuk batang tipis, bergranular

dengan ukuran panjang 1-4/μm dan tebal 0.3-0.6/μm yang tergolong basil tahan

asam (BTA).

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang

membuat kuman lebih tahan terhadap asam basa (asam alkohol) sehingga

disebut bakteri tahan asam (BTA). Kuman ini dapat bertahan hidup dalam

keadaan yang kering maupun dalam keadaan dingin (Wahid & Suprapto, 2013).

Mikroorganisme ini hidup sebagai parasit intra seluler yakni dalam

sitoplasma makrofag karena makrofag banyak mengandung lipid.

Mikroorganisme tuberkulosis adalah bersifat aerob yaitu lebih menyukai daerah

yang kaya akan kandungan oksigen. Oleh sebab itu, Mycobacterium

tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru karena kandungan

oksigennya lebih tinggi dari dari bagian yang lain, sehingga bagian ini
merupakan tempat yang disukai bagi bakteri tuberkulosis (Wahid & Suprapto,

2013).

Masa inkubasi bakteri memakan waktu 2-10 minggu, terhitung mulai saat

masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes

tuberkulosis positif. Setelah infeksi primer, risiko menjadi TB paru dan TB

ekstrapulmoner progresif biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua.

Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Penyakit HIV meningkatkan

risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi (Kunoli, 2013).

4. Patofisiologi

Pada saat seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara

tidak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat

lainnya, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara

dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberculosis yang

terkandung dalam droplet nuclei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup

oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis.

Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah airborne infection. Bakteri

yang terhirup akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan

masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri

akan menggandakan diri (Muttaqin, 2012).

Bakteri tuberkulosis dan fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer

atau fokus Ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama

dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6

minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap protein

yang dibuat bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberkulin atau

tes Mantoux (Muttaqin, 2012).


5. Tanda dan Gejala Penyakit Tuberkulosis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau

malah banyak pasien TB paru ditemukan tanpa keluhan sama sekali dalam

pemeriksaan kesehatan. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita TB

paru apabila ditemukan gejala klinis utama diantaranya: Batuk berdahak (lebih

dari 3 minggu),batuk bercampur darah, sesak nafas dan nyeri dada, demam

tinggi, berkeringat pada malam hari serta terjadi penurunan berat badan

Masriadi (2017).

Menurut Wahid & Suprapto (2013), gambaran klinik tuberkulosis paru

dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik, meliputi:

1) Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan banyak ditemukan. Hal ini

terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum) ini terjadi lebih dari 3

minggu. Keadaan yang lanjut adalah batuk darah karena terdapat

pembuluh darah yang pecah.

2) Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak

berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah

segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena


pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari

besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

3) Sesak nafas

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

dimana infiltrasinya sudah setengah bagian dari paru-paru. Gejala ini

ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada

hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia

dan lain-lain.

4) Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang

ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan di pleura terkena.

b. Gejala sistemik, meliputi:

1) Demam

Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul

pada sore dan malam hari. Biasanya menyerupai demam influenza.

Tapi kadang-kadang panas bahkan dapat mencapai 40-41 °C. Keadaan

ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

2) Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lainnya yaitu keringat dimalam hari, anoreksia,

penurunan berat badan serta malaise (tidak ada nafsu makan).

Timbunya gejala biasanya dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi

penampilan akut dengan batuk, panas, sesak nafas walaupun jarang

juga timbul menyerupai gejala pneumonia.


6. Penularan dan Faktor Resiko

Tuberkolosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara.

Saat penderita batuk, bersin atau berbicara, kuman tuberkulosis yang berbentuk

droplet akan menyebar di udara. Kuman ini dapat bertahan di udara selama

beberapa jam, sehingga cepat atau lambat akan terhirup oleh orang lain

(Masriadi, 2017).

Menurut Brunner (2016), individu yang berisiko tinggi untuk tertular

tuberkolosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai tuberkulosis

aktif.

b. Individu yang mengalami imunosupresif (termaksud lansia, pasien dengan

kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau orang dengan HIV).

c. Seorang tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma, tahanan,

etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak dan dewasa muda.

d. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(misalnya: diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).

e. Pengguna obat IV dan alkohol.

f. Orang yag berimigrasi dari negara dengan insiden TB yang tertinggi (Asia

Tenggara, Afrika, Amerika Latin, Karibia).

g. Setiapa individu yang tinggal diinstitusi (misalnya : fasilitas keperawatan

jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara).

h. Individu yang tinggal didaerah perumahan sub standard kumuh.

i. Petugas kesehatan.

7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer (1999) dalam Nurarif & Kusuma (2016). Pemeriksaan

diagnostik yang dilakukan pada klien dengan tuberkulosis paru, yaitu:

a. Laboratorium darah rutin: LED normal/meningkat, limfositosis.

b. Pemeriksaan sputum BTA: untuk memastikan diagnostik TB paru, namun

pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat

didiagnosis.

c. Test PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen

staininsg untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil

tuberkulosis.

d. Tes Mantoux/Tuberkulin

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen

staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.

e. Teknik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam

meskipun hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat

mendeteksi adanya resistensi.

f. Becton Dickinson Diagnostic Instrument Sistem (BACTEC)

Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari

metabolisme asam lemak oleh mycobacterium tuberkulosis.

g. MYCODOT

Deteksi antibody memakai antigen liporabinomannan yang direkatkan

pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam

jumlah memadai memakai warna sisir akan berubah.


h. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran Rotgen dada yang menunjang diagnosis tuberkulosis,

yaitu:

1) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segmen apikal lobus

bawah

2) Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)

3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda

4) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru

5) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

6) Bayangan millie.

8. Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan, memperbaiki

kualitas hidup, meningkatkan produktivitas, mencegah kematian, kekambuhan,

memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

obat anti TB (Kemenkes RI, 2014).

Prinsip pengobatan tuberkulosis sesuai dengan Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Kemenkes RI tahun 2014 adalah sebagi berikut:

a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan.

b. Untuk menjamin kepatuhan klien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung oleh seorang pengawas minum obat.

c. Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal

(intensif) dan lanjutan.

1) Tahap intensif/Tahap Awal


Pada tahap awal, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

pengawasan langsung untuk mencegah terjadinya ketidakpatuhan yang

dapat menyebabkan resistensi obat. Apabila pengobatan diberikan

secara tepat dan adekuat, pasien menular BTA (+) dapat menjadi tidak

menular BTA (-) dalam kurun waktu 2 bulan (Masriadi, 2017).

2) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jumlah obat lebih sedikit

dengan jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk

membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan. Biasanya dalam tahap lanjutan ini diberikan obat tiga kali

dalam seminggu selama 4 bulan (Masriadi, 2017).

d. Pengobatan tuberkulosis paru menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT)

dengan metode directly observed shortcourse (DOTS).

1) Kategori I (2 HRZE/ 4 H3R3)

a) Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan

INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg

Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali.

b) Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300 mg

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet


Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu (intermiten)

sebanyak 54 kali.

2) Kategori II (2 HRZES/HRZE/ 5 H3R3E3) untuk pasien ulang (pasien

yang pengobatan kategori I gagal atau pasien yang kambuh).

a) Tahap intensif diberikan setiap hari selama 3 bulan yaitu terdiri

dari 2 bulan HRZES

INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 tablet @ 500 mg

Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

Streptomisin (S) : 1,5 gr –2 kali injeksi vial @ 0,75

mg

Dilanjutkan 1 bulan HRZE

INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 tablet @ 500 mg

Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

b) Tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali

dalam seminggu

INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300 mg

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Etambutul (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

3) Kategori III (2 HRZ/ 4H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-),

rontgen (+).

a) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan selama 2 bulan setiap hari
INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 tablet @ 500 mg

b) Tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali setiap

seminggu

INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 tablet @ 500 mg

4) Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan

akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori

II ditemukan BTA (+). Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam

sebelum makan pagi setiap hari selama 1 bulan.

e. Efek Samping Obat Tuberkulosis

Sebagai besar penderita tuberkulosis paru dapat menyelesaikan

pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami

efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek

samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan

dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat

dilanjutkan. Efek samping OAT dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 2.1 Efek samping ringan dari OAT


Efek Samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu Rifampisin Obat diminum malam
makan, mual, sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan s/d INH Beri vitamin B6
rasa terbakar (Piridoksin) 100 mg
dikaki perhari
Warna Rifampisin Beri penjelasan, tidak
kemerahan pada perlu diberi apa-apa
air seni
(Sumber: Nurarif & Kusuma, 2016)

Tabel 2.1 Efek samping berat dari OAT


Efek Samping Penyebab Penanganan
Gatal dan Semua jenis Beri antihistamin dan
kemerahan OAT dievaluasi ketat
pada kulit
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
Ikterik Hampir semua Hentikan semua OAT
OAT sampai ikterik
menghilang
Bingung dan Hampir semua Hentikan semua OAT
muntah- obat dan lakukan uji fungsi
muntah hati
Gangguan Ethambutanol Hentikan ethambutanol
penglihatan
Purpura dan Rifampisin Hentikan rifampisin
renjatan (Syok)
(Sumber: Nurarif & Kusuma, 2016)

9. Komplikasi

Menurut Wahid & Suprapto (2013), Komplikasi yang sering terjadi pada

penderita tuberkulosis stadium lanjut yaitu:

a. Hemomtisis berat yang dapat mengakibatkan kematian akibat syok

hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.


b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

c. Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

d. Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, ginjal, tulang, persendian dan

sebagainya.

f. Penurunan fungsi jantung (Cardio Pulmonary Insufficiency).

10. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Penyakit TB paru dapat dicegah dengan berbagai cara diantaranya :

a. Hidup sehat (makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, hindari

rokok dan alkohol)

b. Lingkungan yang sehat

c. Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Geurin)

Pencegahan penularan di rumah :

a. Ventilasi dan pencahayaan harus memenuhi syarat

b. Saat batuk mulut di tutup dan tidak meludah di sembarang tempat (meludah

ke tissu atau ludah ditutupi dengan tanah)

c. Peralatan makan harus dispisahkan

d. Jika berbicara tidak berhadapan (Wahid & Suprapto, 2013).

A. Tinjauan Umum Tentang Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kepatuhan dapat diartikan sifat

patuh atau ketaatan dalam menjalankan perintah atau aturan. Kepatuhan juga
dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan

terapi (Beelt, 2014).

Kepatuhan (Compliance dan Adherence) adalah istilah yang digunakan

untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang

dosis, frekuensi dan waktunya, yang sesuai dengan instruksi atau saran tenaga

kesehatan (Fauzi & Nishaa, 2018).

Kepatuhan pasien dalam pengobatan sangat dibutuhkan, baik pengobatan

jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien yang menjalani pengobatan

jangka panjang seringkali merasa jenuh, sehingga akan menimbulkan

ketidakpatuhan. Masalah tersebut berdampak pada lambatnya proses

penyembuhan, memperburuk keadaan bahkan dapat menyebabkan kematian

(Ayurini, 2015).

2. Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Kepatuhan minum OAT adalah perilaku penderita tuberkulosis dalam

mengkonsumsi obat sesuai dengan instruksi atau saran medis. Kepatuhan

terhadap pengobatan sangat penting bagi penderita tuberkulosis agar menghindari

terjadinya resistensi dan kegagalan pengobatan (Anderita, 2016).

Kepatuhan pasien dengan regimen obat yang diresepkan merupakan faktor

kunci keberhasilan pengobatan. Tidak hanya meningkatkan keberhasilan

pengobatan, kepatuhan yang baik juga dapat meminimalisir munculnya TB-MDR

(Cadosch, D., Wiesch, P.A.Z., Kouyos,R., Bonhoeffer, S, 2016).

3. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam menggunakan obat.


Kardas. et al., (2013), mengklasifikasikan faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan dalam lima dimensi yaitu:

a. Faktor Sosial dan Ekonomi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan yaitu

kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran,, stigma masyarakat,

jarak ke tempat pengobatan, kurangnya cakupan medis/resep yang tidak

memadai, pengobatan yang mahal, serta kurangnya dukungan keluarga.

b. Faktor Penderita

Faktor penderita yaitu usia, jenis kelamin, pendidiikan, status

pernikahan, pengetahuan, kecemasan akan keadaan yang lebih parah,

motivasi yang rendah, ketidakpercayaan terhadap diagnosis.

Sedangkan persepsi terhadap kebutuhan pengobatan sseorang

dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan, dan pengalaman, serta efek

samping obat. Selain itu pengetahuan dan kepercayaan/keyakinan penderita

terhadap penyakitnya, motivasi untuk mengatur pengobatan, dan harapan

akan kesembuhan mempengaruhi perilaku penderita.

c. Faktor Kondisi

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan yaitu keparahan

gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang

efektif.

d. Faktor Tim kesehatan

Hubungan yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan akan

meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan. Namun terdapat beberapa

faktor yang memberi pengaruh negatif diantaranya: kurangnya akses ke


sistem kesehatan, penyediaan obat yang buruk, kurangnya informasi

tentang pemberian obat.

e. Faktor Terapi

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:

durasi pengobatan, kesiapan terhadap adanya efek samping, serta dukungan

tenaga kesehatan.

4. Dampak Ketidakpatuhan Minum Obat

Bila ketidakpatuhan minum obat terus terjadi maka basil tuberkulosis akan

resisten terhadap berbagai kombinasi obat yang dapat menyebabkan keparahan

bahkan tuberkulosis ekstra paru seperti efusi pleura, TB perikarditis,

pneumotorax, TB meningitis, TB spodilitis, TB pencernaan, dan TB saluran

kemih. Sehingga siapapun yang terpajan dengan galur basil ini, juga dapat

menderita TB resisten multi-obat, yang dalam beberapa tahun dapat

mengakibatkan morbiditas bahkan kematian. Jika sudah demikian, akan

memerlukan terapi yang lebih banyak dan mahal dengan kecenderungan

mengalami kegagalan (Lailatushifa, 2012).

C. Tinjauan Umum Tentang Self Efficacy

1. Pengertian self efficacy

Menurut (Branden (1991) dalam Rahman (2017) self efficacy adalah

keyakinan seseorang terhadap kemampuan dalam berpikir, menilai, memilih, dan

mengambil suatu keputusan. Secara kognitif self efficacy diartikan sebagai

kepercayaan pada diri sendiri.


Self efficacy adalah bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu

tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif,

khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia

mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan (Alwisol, 2018).

Individu dengan self efficacy yang rendah, merasakan ketidakberdayaan dan

ketidakmampuan mengendalikan masalah dalam kehidupannya. Mereka percaya

bahwa semua usaha yang telah dilakukan tidak ada gunanya dan saat menghadapi

suatu hambatan mereka cepat menyerah. Sedangkan individu dengan self efficacy

yang tinggi mereka percaya dapat menghadapi suatu masalah secara efektif.

Mereka memandang kesulitan sebagai tantangan bukan sebagai ancaman. Selft

efficacy yang tinggi akan mengurangi perasaaan takut akan kegagalan dan

meningkatkan kemampuan dalam berfikir analisis dalam memecahkan suatu

masalah (Schulz & Schultz, 2016).

2. Jenis-jenis self efficacy

Menurut Bandura(1994) dalam Alwisol ( 2018), self efficacy dapat

dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Self efficacy expectation (efikasi ekspetasi) adalah persepsi diri sendiri

mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Self

efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan

melakukan tindakan yang diharapkan.

b. Outcome expectation (ekspektasi hasil), perkiraan atau estimasi diri bahwa

tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.

Menurut Bandura, kemampuan seseorang untuk mengorganisasi dan

melaksanakan tindakan utama menyangkut bukan hanya skill yang dimiliki

seseorang, tetapi keputusan yang diambil seseorang dari kemampuan yang


dimilikinya. Keputusan efikasi seseorang diketahui dari hasil yang diharapkan

yaitu kemampuan seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu dimana

hasil yang diharapkan adalah suatu keputusan dengan konsekuensi keuntungan

biaya misalnya : perilaku yang dihasilkan. Skil dan kompetensi memotivasi

individu untuk melakukan tindakan secara unggul. Perasaan berhasil dan ahli

dalam perbuatan akan mendorong seseorang untuk melaksanakan perilaku yang

diinginkan lebih sering dari pada rasa tidak layak/tidak terampil.

Pengetahuan seseorang tentang efficacy diri didasarkan pada empat tipe

info:

a. Feed back eksternal yang diberi orang lain. Pencapaian dari hasil perilaku

dan evaluasi yang sesuai dengan standar diri (self efficacy).

b. Pengalaman orang lain dan evaluasi diri dan feedback dari mereka.

c. Ajakan orang lain

d. Status psikologis kecemasan, ketakutan, ketenangan dari orang yang

menilai kompetensi mereka.

3. Sumber self efficacy

Menurut Bandura (1994) dalam Alwisol (2018), self efficacy seseorang

dapat terbentuk oleh empat sumber yang mempengaruhi. Self efficacy atau

keyakinan diri itu dapat diperoleh, diubah, diturunkan atau ditingkatkan melalui

salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu

prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious

experience), persuasi sosial (social persuation) dan pembangkitan emosi

(Emotional/Physiological states).

a. Pengalaman performansi.
Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada

masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi

pengubah self efficacy yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu)

yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan

menurunkan efikasi (Alwisol, 208).

b. Pengalaman Vikarius

Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Self efficacy

akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya

efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya sama

dengan dirinya ternyata gagal. Bila figur yang diamati berbeda dengan diri

si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya ketika mengamati

kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau

mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamatinya itu

dalam jangka waktu yang lama (Alwisol 2018).

c. Persuasi sosial

Self efficacy dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui

persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, namun rasa percaya

kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan

dapat mempengaruhi self efficacy seseorang (Alwisol 2018).

d. Keadaan emosi

Berdasarkan teori Bandura, keadaan emosi yang mengikuti suatu

kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang

kuat, kecemasan, rasa takut serta stress, dapat mengurangi self efficacy.

Perubahan tingkah laku akan terjadi bila sumber ekspestasi efikasinya


berubah. Pengubahan self efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki

kesulitan dan adaptasi tingkah laku orang mengalami berbagai masalah

behavioral. Keempat sumber tersebut diubah dengan berbagai strategi

(Alwisol, 2018)

4. Dimensi self efficacy

Menurut Ghufron 2014 dalam Imron (2018), dimensi efikasi terdiri dari:

a. Level (Tingkat)

Dimensi yang berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi oleh

individu terkait usaha yang dilakukannya. Dimensi ini akan berimplikasi

terhadap pemilihan perilaku yang dipilih berdasarkan harapan akan

keberhasilannya.

b. Strenght (kekuatan)

Srenght adalah seberapa yakin seseorang mampu melakukan suatu

tugas tertentu. Dimensi ini berfokus pada tingkat bagaimana kekuatan suatu

pengharapan atau keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya.

Keyakinan ataupun harapan yang lemah bisa disebabkan karena adanya

kegagalan, tetapi seseorang dengan harapan yang kuat dalam dirinya akan

selalu berusaha meskipun mengalami kegagalan.

c. Generality (generalisasi)

Dimensi ini berkaitan dengan tugas bidang tingkah laku yang mana

seseorang merasa yakin dan percaya terhadap kemampuannya.

5. Efikasi diri sebagai prediktor tingkah laku

Menurut Bandura (1994), sumber pengontrol tingkah laku adalah

resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Self efficacy merupakan

variabel pribadi yang penting, yang jika digabung dengan tujuan-tujuan spesifik
dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku

mendatang yang penting (Alwisol 2018).

Setiap individu mempunyai efficacy yang berbeda-beda pada situasi yang

berbeda, tergantung kepada:

a. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda.

b. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi ini.

c. Kehadiran fisiologis dan emosional; kelelahan, kecemasan, apatis, murung

(Alwisol 2018).

6. Efikasi kolektif (collective efficacy)

Efikasi kolektif adalah keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka dapat

mengahasilkan perubahan sosial tertentu. Ini bukan jiwa kelompok tetapi lebih

sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerja bersama. Bandura (1994)

berpendapat, orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya

melalui self efficacy individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif (collective

efficacy). Misalnya, dalam bidang kesehatan, orang memiliki efikasi diri (self

efficacy) yang tinggi untuk berobat atau melakukan diet, tetapi mungkin

memiliki efikasi kolektif (collective efficacy) yang rendah dalam hal

mengurangi polusi lingkungan, bahaya tempat kerja, dan penyakit infeksi.

Efikasi diri (self efficacy) dan efikasi kolektif (collective efficacy) saling

melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia (Alwisol, 2018).

Motivasi adalah konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber,

gambaran hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi

tingkah laku saat ini), dan harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman

menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan antara. Dengan kata lain, harapan


mendapat reinforsemen pada masa yang akan datang memotivasi seseorang

untuk bertingkah laku tertentu. Juga dengan menetapkan tujuan atau tingkat

performasi yang diinginkan dan kemudian mengevaluasi performansi dirinya,

orang termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Anak yang lemah

dalam matematik, tampak meningkat performansinya ketika mereka

menetapkan dan berusaha mencapai serangkaian tujuan yang berurutan yang

memungkinkan evaluasi diri segera daripada menetapkan tujuan yang jauh dan

membutuhkan waktu lama mencapainya. Jadi, terus menerus mengamati,

memikirkan, dan menilai tingkah laku diri, akan memberi insentif diri sehingga

bertahan dalam berusaha mencapai standar yang telah ditentukan Alwisol 2018).

BAB III

METODE STUDI KASUS

1.RANCANGAN STUDI KASUS

Rancanga penelitian yang digunakan adalah dekstritif dengan proses pendekatan melalui

observasi studi kasus adakah hubungan self efficacy dengan kepatuhan minum obat pada

penderita tuberculosis paru di RSUD TARAKAN

2.SUBJEK STUDI KASUS

Subjek dari penelitian studi kasus ini adalah pasien tuberculosis paru yang berada di RSUD

TARAKAN berjumlah dua orang.

Dengan kriteria inklunsif:

a). pasien dan keluarga bersedia untuk menjadi subjek penelitian

b). pasien dengan diagnosis tb paru

c). pasien dengan kesadaran stabil


3.FOKUS STUDI

Dalam penelitian ini fokus studi kasus

a). adakah hubungan self efficacy dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberculosis

paru

4. DEFINISI OPERASIONAL EOKUS STUDI

1.Self Efficacy

Keyakinan diri penderita tuberkulosis paru dalam upaya meningkatkan atau mengatasi

penyakit yang diderita dengan meyakini penatalaksanaan terapi.

Kriteria obyektif :

a. Tinggi : Apabila Responden memperoleh nilai ≥ 50

b. Rendah : Apabila Responden memperoleh nilai < 50

2.Kepatuhan Minum Obat penderita tuberkulosis paru

Perilaku positif penderita dalam meminum obat sesuai aturan dan dosis obat yang di

berikan oleh petugas kesehatan.

Kriteria Objektif :

a. Patuh : Apabila responden memperoleh nilai ≤ 2

b. Tidak patuh : Apabila responden memperoleh nilai > 2

5.INSTRUMEN STUDI KASUS

a). pengkajian

menggunakan fprmat pengkajian yang berisi identitas pasien,Riwayat kesehatan dan pola

kesehatan pasien

b). pemeriksaan fisik

alat yang digunakan yaitu tensimeter, reflek,hammer, penlight, thermometer, stetoskop


6.METODEPENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses karakteristik

subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam , 2017).

1.Prosedur pengambilan data

Prosedur dimulai dari responden yang bersedia menjadi responden diberikan informed

concent, kemudian diberikan kuesioner. Setelah kuesioner dijawab oleh responden

kemudian dalam pelaksanaannya diobservasi peneliti dengan checklist.

Data yang dikumpulkan merupakan data:

a.Data primer

Data primer diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari responden yang

menjadi objek penelitian. Data ini diperoleh dengan menggunakan alat pengukuraan atau

alat pengambilan data. Pengumpulan data primer dalam penellitian ini yaitu dengan

menggunakan kuisioner yang telah disediakan oleh peneliti.

b.Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpukan dari berbagai sumber yang ada.

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data mengenai jumlah pasien Tuberkulosiss paru

di RSUD TARAKAN.

7.LOKASI DAN WAKTU STUDI KASUS

A.Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD TARAKAN


B.Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan juli sampai agustus 2022

8.ANALISA DATA DAN PENYAJIAN DATA

A.Analisis univariat

Analisis univariat merupakan suatu analisa yang digunakan untuk menganalisis tiap-tiap

variabel dari hasil penelitian yang menghasilkan suatu distribusi frekuensi dan persentase

dari masing-masing variabel. Analisa univariat dalam penelitian ini adalah distribusi tentang

umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, self efficacy dan kepatuhan minum obat

penderita tuberkulosis.

B.Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah analisis dua variabel yang dilakukan untuk menguji ada tidaknya

hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Penelitian ini akan

menghubungkan self eficacy sebagai variabel independen dengan kepatuhan minum obat

penderita tuberkulosis paru sebagai variabel dependen.

9.ETIKA STUDI KASUS

Menurut Hidayat (2014), masalah etika dalam penelitian keperawatan yang harus

diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.Informed Consent (Lembar Persetujuan Penelitian)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan informed consent adalah agar subjek

mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka
mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka

peneliti harus menghormati hak pasien.

2.Anonimity (Tanpa Nama)

Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan dalam penggunaan subjek

penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan.

3.Confidentiality (Kerahasiaan)

Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

pada hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai