Anda di halaman 1dari 21

PERANAN KOMPLEMEN PADA PENYAKIT JIWA

KOMPLEMEN C4 PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Imunologi

Oleh :

Ayu Zahra 6511418065

Rombel 4B

Dosen Pengampu :

dr. Ngakan Putu D.S., M.Kes.

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI GIZI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem imun memiliki banyak sekali komponen-komponen yang tersusun dari berbagai
sel untuk membentuk pertahananan tubuh. Antibody, antigen, serta komplemen menjadi
bagian dari sistem imun pada tubuh. Disetiap penyakit, sistem imun memiliki perannya
masing-masing dalam menjaga imunitas tubuh si penderita. Salah satunya adalah peranan
komplemen pada penyakit jiwa. Penyakit jiwa tidak hanya gangguan jiwa, melainkan ada
banyak seperti skizofrenia, bipolar, depresi mayor, dll. Guna mengetahui peran komplemen
dalam penyakit jiwa, skizofrenia akan diambil sebagai contoh untuk menelaah lebih dalam
komplemen apa yang berperan dalam imunitas penderita. Skizofrenia merupakan penyakit
mental yang ditandai dengan episode psikokis yang kambuh. Pada skizofrenia, ada
komplemen yang ikut serta berperan, yakni komponen komplemen 4 atau biasa disebut C4.
C4 sendiri adalah sebuah glikoprotein yang berperan pada aktivasi lintasan kekebalan klasik.
C4 teraktivasi saat terjadi ikatan antara antibodi dengan molekul target tertentu, dan teriris
oleh C1s menjadi C4a dan C4b. C4d merupakan degradasi dari C4.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud komplemen pada sistem imun?
b. Apa fungsi komplemen pada sistem imun?
c. Apa itu skizofrenia?
d. Apa peran komplemen pada penderita skizofrenia?

1.3 Manfaat
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud komplemen pada sistem imun
b. Untuk mengetahui fungsi komplemen pada sistem imun
c. Untuk mengetahui apa yang dimaksud skizofrenia
d. Untuk mengetahui peran komplemen pada penderita skizofrenia

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sistem Komplemen


Suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya
sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi darah dalam keadaan
tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak bergantung satu
dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem komplemen
menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif yang
diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut selain
bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan
mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi
komplemen akibat endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-
menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit. (Children Allergi
Center, 2009)

A. Komplemen
 Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan komponen protein
yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi protein
fungsional yang menggambarkan elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur
yang menunjukkan fungsi pengendalian.
 Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh
sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga
dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel
fagosit mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi.
 Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr,
CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan
unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya
 Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi komplemen, baik
melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Konsentrasi C3 jauh lebih besar
dibandingkan dengan fraksi lainnya, hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang
penting dalam pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di
dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan konsentrasi komplemen yang
menurun. Juga penurunan kadar C3 saja dapat dipakai sebagai gambaran adanya
aktivasi pada sistem komplemen.

B. Aktivasi Komplemen
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif terdiri atas tiga mekanisme :
a) pengenalan dan pencetusan
b) penguatan (amplifikasi)
c) pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel
(mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran).

Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-


antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b
dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan
memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya
dinding sel antigen.
a. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
1. Regulasi jalur klasik
Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1
inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.   
2. Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1
dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks
antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.   
3. Penghambatan C3 konvertase
Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.  

C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat
berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase).
Disamping itu kedua reseptor ini bersama dengan membrane cofaktor protein
(MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga
mencegah terbentulmya C4b2b.
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga
reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak
memerlukan antibodi IgG dan IgM.
b. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif
Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam
jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim
proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah
menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg ++ dan
faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi
C3bBb yang aktif (C3 konvertase). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus
dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi
pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan
selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat
dilarutkan  dalam plasma.

Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan
melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak,
maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah
aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa
mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi
komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang
tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.

Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel
sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka
aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih
diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar
dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi
awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh
karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh
proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H
dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi
C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan
membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada
permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan
dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur
altematif (kompleks serangan membran).

C. Fungsi Biologik Protein Komplemen


Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan
besar.
1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membrane.
2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.

1. Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi adalah
C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan
mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif maupun jalur
klasik.  

2. Sifat biologik aktif


Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin
merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur
secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping
berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan antibodi IgG atau IgM.
Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang
terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga
memacu untuk terjadinya fagositosis.
 
Anafilaksis dan kemotaksis
C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan
sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan
permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat
pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a
terdapat pada permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel
endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos
menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah
yang paling poten dan C4a adalah yang paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena C5a
juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a
dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda
asing atau jaringan yang rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah
melekat C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut
sehingga dapat meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau
benda asing tersebut

Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya
sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka
memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses ini disebut
peradangan.

Pelarutan dan eliminasi kompleks imun


Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan dapat
meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen. Kompleks
imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena dapat mengendap
pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Pembentukan kompleks imun bilamana berlebihan, tidak
hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc.
Oleh karena itu pengikatan komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks
imun dapat membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi
lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem
komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor
yang terdapat pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang beredar
mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada
antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan
eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit
dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang
terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.

D. Regulasi
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu
1) komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang
tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan
rusak,
2) adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I
dan faktor H
3) pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen
komplemen yang melekat.

a. Regulasi jalur klasik


Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas
C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
1. Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian
besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1
dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1
INH.

2. Penghambatan C3 konvertase
Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.

C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1)


dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3
konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama dengan membrane
cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam
merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b
sehingga mencegah terbentulmya C4b2b.

b. Regulasi jalur alternatif


Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein
dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran.

Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan C3b.


Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga berkompetisi
dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka pembentukan C3
konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat pembentukan C3bBb;
dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I
memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada permukaan sel adalah inaktif
C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase, selanjutnya iC3b
dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.

2.2 Penyakit Jiwa Skizofrenia


Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini
menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir,
dan perubahan perilaku. Gejala tersebut merupakan gejala dari psikosis, yaitu kondisi di
mana penderitanya kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri. (Willy,
2018)

A. Penyebab Skizofrenia
Meski penyebab utama skizofrenia belum ditemukan, ada beberapa faktor yang
dapat menjadi penyebab dari skizofrenia, antara lain:

Faktor Genetik
Keturunan dari pengidap skizofrenia, memiliki risiko 10 persen lebih tinggi untuk
mengidap skizofrenia. Risiko tersebut akan meningkat 40 peren lebih besar ketika
kedua orangtua sama-sama pengidap skizofrenia. Sementara itu, anak kembar yang
salah satunya menderita skizofrenia, risiko akan meningkat 50 persen lebih besar.
Komplikasi saat Kehamilan dan Persalinan
Skizofrenia dapat disebabkan oleh beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika
masa kehamilan dan dampaknya akan terlihat ketika anak tersebut lahir. Kondisi
tersebut, seperti paparan racun dan virus, ibu seorang pengidap diabetes, perdarahan
dalam masa kehamilan, serta kekurangan nutrisi. Selain dari kehamilan, komplikasi
yang terjadi pada masa persalinan juga dapat menyebabkan seorang anak mengidap
skizofrenia. Contoh komplikasi yang dimaksud, seperti berat badan yang terlalu
rendah saat kelahiran, kelahiran yang prematur, dan asfiksia atau kekurangan
oksigen saat dilahirkan.

Faktor Kimia pada Otak


Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamin pada otak, dapat menjadi salah
satu penyebab dan meningkatkan risiko seseorang mengidap skizofrenia. Keduanya
merupakan zat kimia yang berfungsi untuk mengirim sinyal antara sel-sel otak
sebagai bagian dari neurotransmitter.
Selain itu, pengidap skizofrenia juga memiliki perbedaan struktur dan fungsi otak,
bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki gangguan mental. Perbedaan
tersebut antara lain:
 Ventrikel otak memiliki ukuran yang lebih besar. Ventrikel sendiri adalah
bagian dalam otak yang berisi cairan.
 Lobus temporalis memiliki ukuran yang lebih kecil. Ingatan dalam otak manusia
berkaitan dengan lobus temporalis.
 Sel-sel pada otak memiliki koneksi yang lebih sedikit.

B. Faktor Risiko Skizofrenia


Setiap orang bisa saja terkena skizofrenia tanpa mengenal umur, tetapi umumnya
kalangan remaja dan orang yang baru menginjak usia 20 tahun awal memiliki faktor
risiko yang lebih tinggi untuk terkena skizofrenia. Beberapa faktor yang menjadi
faktor risiko skizofrenia, yaitu:
 Bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat yang tidak normal.
 Faktor genetik dari orangtua.
 Kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi dan terkena virus saat didalam
kandungan.
 Lahir dengan kondisi prematur.
 Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
 Ketidakseimbangan kadar serotinin dan dopamine.
 Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
 Penyalahgunaan dari obat-obat terlarang.

C. Gejala Skizofrenia
Skizofrenia terbagi menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif. Berikut ini
penjelasan dari dua kategori gejala penyakit tersebut:

1. Gejala Negatif
Gejala skizofrenia negatif adalah kondisi ketika sifat dan kemampuan yang dimiliki
orang normal, seperti konsentrasi, pola tidur normal, dan juga memiliki motivasi
hidup menjadi hilang. Umumnya, gejala tersebut ditambah dengan ketidakmauan
seseorang untuk bersosialisasi dan merasa tidak nyaman saat bersama orang lain.
Ciri-ciri orang yang mengidap gejala skizofrenia negatif, yaitu terlihat apatis dan
buruk secara emosi, tidak peduli terhadap penampilan diri sendiri dan menarik diri
dari pergaulan.

2. Gejala Positif
Biasanya berupa delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan adanya perubahan perilaku.

D. Diagnosis Skizofrenia
Jika gejala gangguan kejiwaan skizofrenia terlihat, umumnya dokter kejiwaan akan
melakukan pemeriksaan fisik kepada pengidap. Selain itu, pemeriksaan riwayat
kesehatan keluarga juga akan dilakukan. Sementara untuk pemeriksaan penunjang,
seperti pemeriksaan laboratorium seperti tes darah, pemeriksaan citra otak dengan
CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari
gejala skizofrenia, misalnya tumor otak atau kelainan metabolik yang bisa memiliki
gejala halusinasi seperti skizofrenia. Jika tidak ditemukan gejala atau indikasi
penyakit lain akan gangguan kejiwaan skizofrenia, dokter akan merujuk pasien atau
pengidap untuk ditangani oleh psikiater atau dokter spesialis kejiwaan.
E. Pengobatan Skizofrenia
Skizofrenia dapat diobati dengan menggunakan beberapa cara, seperti
mengombnasikan obat-obatan melalui terapi psikologis. Obat dengan resep pada
pengobatan skizofrenia ini adalah antipsikotik yang dapat memengaruhi zat
neurotransmiter didalam otak, yang bisa menurunkan rasa cemas, menurunkan atau
mencegah halusinasi dan membantu menjaga kemampuan berpikir.
Dokter umumnya akan memberikan obat-obatan antipsikotik kepada pengidap
skizofrenia untuk mengurangi atau menghilangkan gejalanya. Pengobatan lainnya
dengan terapi kejut listrik atau elektrokonvulsif (ECT). Metode ECT dengan cara
memberikan aliran listrik eksternal ke otak pengidap yang sebelumnya sudah di
anestesi atau ditidurkan sehingga kekacauan listrik pada otak penyebab gejala
halusinasi dapat berkurang.
(Aprilia, 2019)
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Kasus


Penduduk yang besar membuat interaksi antar orang semakin komplek ditambah
Indonesia terletak ditropis sehingga menimbulkan banyak penyakit salah satunya penyakit
schizophrenia. Peneilian bidang kesehatan tahun 2015, bahwa 0,467 % penduduk atau
1.193.151 orang menunjukkan mengidap schizophrenia di Indonesia, dan data World Health
Organisation (WHO) 2015 mengenai Global Burden Disease menunjukkan 3.5 persen saja
atau 38.260 orang yang mendapat pelayanan perawatan di rumah sakit baik jiwa maupun
rumah sakit umum atau layanan kesehatan dengan baik, sehingga menjadikan peringatan
tentang gangguan schizophrenia. Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat
Indonesia (ARSAWAKOI), menyebutkan bahwa schizophrenia salah satu diagnosis
gejalanya adalah ditandai tidak normalnya kemampuan menilai sesuatu kenyataan dan
menurunnya kontribusi peran penderita dalam kehidupan serta schizophrenia dimulai dari
usia muda dewasa awal terjadinya gangguan. Schizophrenia merupakan suatu ketakutan yang
luar biasa dengan banyak parameter penyebab dan tahapan penyakit, serta beberapa efek
yang berpengaruh pada keseimbangan yang mempengaruhi yang tidak tampak yaitu genetik
dan yang tampak yaitu fisik dan lingkungan yang mempengaruhi sosial serta budaya, yang
ditandai dengan penyimpangan secara mendasar dan karakter dari suatu pola pemikiran daan
persepsi, serta penyimpangan efek yang kurang normal atau umum, ingatan yang baik dan
tingkat intelektualitas biasanya akan normal, walaupun turunnya pemikiran kognitif akan
berkembang selanjutnya. (Sudarmana et al., 2018)

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang menyebkan ketidakberfungsian secara


meluas. Keluarga sebagai primary caregiver berperan penting dalam membantu memenuhi
kebutuhan fisik, maupun dalam memberikan dukungan secara psikologis. Tantangan berat
yang dirasakan caregiver skizofrenia selain menghadapi perilaku penderita yang cenderung
tidak realistik, adalah pengenaan stigma dan isolasi dari lingkungan sosial. Salah satu faktor
penting yang menentukan kemampuan adaptif seseorang adalah kepribadian. Ciri
kepribadian caregiver skizofrenia selain dapat menentukan pemaknaan atau evaluasi mereka
terhadap stressor, juga menentukan pilihan coping yang akan mempengaruhi kualitas
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) caregiver tersebut. (Nainggolan and
Hidajat, 2013)
3.2 Komplemen pada Penyakit Jiwa Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang diwariskan yang melibatkan gangguan
dalam kognisi, persepsi dan motivasi yang biasanya bermanifestasi pada akhir masa remaja
atau di awal masa dewasa. Mekanisme patogen yang mendasari skizofrenia tidak diketahui,
tetapi pengamat telah berulang kali mencatat fitur patologis yang melibatkan hilangnya
berlebihan materi abu-abu dan mengurangi jumlah struktur sinaptik pada neuron. Sementara
ada perawatan untuk gejala psikotik skizofrenia, tidak ada pemahaman mekanistik, atau
terapi yang efektif untuk mencegah atau mengobati, gangguan kognitif dan gejala defisit
skizofrenia, fitur yang paling awal dan paling konstan. Tujuan penting dalam genetika
manusia adalah untuk menemukan proses biologis yang mendasari gangguan tersebut.

Lebih dari 100 lokus dalam genom manusia mengandung haplotipe (SNP) yang
berhubungan dengan risiko skizofrenia. Alel dan mekanisme fungsional di lokus ini masih
harus ditemukan. Sejauh ini, hubungan genetik yang paling kuat adalah hubungan
schizophrenia yang tidak dapat dijelaskan dengan penanda genetik di seluruh lokus Major
Histocompatibility Complex (MHC), yang membentang beberapa megabase kromosom.
Lokus MHC terkenal karena perannya dalam kekebalan, mengandung 18 gen antigen leukosit
manusia (HLA) yang sangat polimorfik yang menyandikan serangkaian molekul penyajian
antigen yang luas. Pada beberapa penyakit autoimun, asosiasi genetik di lokus MHC muncul
dari alel gen HLA. Namun, hubungan skizofrenia dengan MHC belum dijelaskan.

Meskipun alel fungsional yang memunculkan asosiasi genetik secara umum sulit
ditemukan, asosiasi schizophrenia-MHC secara khusus menantang, karena pola kompleks
skizofrenia untuk penanda di lokus MHC mencakup ratusan gen dan tidak sesuai dengan gen.
linkage disequilibrium (LD) di sekitar varian yang dikenal. Ini mendorong kami untuk
mempertimbangkan pengaruh genetik samar yang mungkin menghasilkan sinyal genetik
tidak konvensional.

A. Struktur Komplemen C4 dan Haplotype MHC SNP


C4 pada manusia ada sebagai dua gen yang berbeda secara fungsional (isotipe), C4A
dan C4B; keduanya bervariasi dalam struktur dan jumlah salinan. Satu hingga tiga
gen C4 (C4A dan / atau C4B) umumnya hadir sebagai array tandem dalam wilayah
kelas III MHC. Produk protein C4A dan C4B mengikat target molekul yang
berbeda. C4A dan C4B terpisah baik dalam bentuk genomik panjang dan pendek
(C4 AL, AS, BL dan BS), dibedakan dengan ada atau tidaknya (dalam intron 9) dari
insersi retroviral (HERV) endogen manusia yang memperpanjang C4 dari 14 hingga
21 kb tanpa mengubah urutan protein C4.

Serangkaian banyak alel SNP sepanjang segmen genomik (haplotipe SNP) dapat
digunakan untuk mengidentifikasi segmen kromosom yang berasal dari nenek
moyang yang sama. Diidentifikasikan haplotype SNP di mana setiap struktur lokus
C4 hadir. Tiga struktur lokus C4 yang paling umum masing-masing hadir pada
beberapa haplotipe MHC SNP. Sebagai contoh, struktur C4 AL-BS (frekuensi 31%)
hadir pada lima haplotipe umum (frekuensi 4%, 4%, 4%, 8%, dan 6%) dan banyak
haplotipe langka. Mencerminkan keragaman haplotype ini, masing-masing struktur
C4 ini menunjukkan korelasi nyata tetapi hanya sebagian dengan SNP individu.
Hubungan antara struktur C4 dan haplotipe SNP umumnya satu-ke-banyak: struktur
C4 mungkin ada pada banyak haplotipe, tetapi haplotipe SNP yang diberikan
cenderung memiliki satu struktur C4 karakteristik.

B. Variasi Ekspresi C4 di Otak


Karena C4A dan C4B bervariasi dalam jumlah salinan dan status C4 -HERV, dan
karena HERV lain dapat berfungsi sebagai peningkat, variasi C4 dapat memengaruhi
ekspresi gen C4.
Pertama, ekspresi RNA C4A dan C4B meningkat secara proporsional dengan jumlah
salinan C4A dan C4B masing-masing. Kedua, tingkat ekspresi C4A adalah 2-3 kali
lebih besar dari tingkat ekspresi C4B, bahkan setelah mengendalikan jumlah salinan
relatif di setiap genom. Ketiga, jumlah salinan urutan C4 -HERV meningkatkan
rasio ekspresi C4A ke C4B.

C. Variasi struktural C4 pada Skizofrenia


Kasus dan kontrol skizofrenia dari 22 negara telah dianalisis lebar genom untuk
SNP, yang melibatkan lokus MHC sebagai yang terkuat dari lebih dari 100 asosiasi
genome-broadignificant. Haplotipe panjang yang ditentukan oleh banyak SNP
membawa alel C4 karakteristik, berpotensi membuatnya untuk menyimpulkan alel
C4 dengan imputasi statistik dari kombinasi banyak SNP. Digunakan 222 haplotipe
terintegrasi dari MHC SNP dan alel C4 sebagai kromosom referensi untuk imputasi.
Ditemukan bahwa empat bentuk struktural paling umum dari lokus C4A / C4B (BS,
AL-BS, AL-BL, dan AL-AL) dapat disimpulkan dengan akurasi yang cukup tinggi
(umumnya 0,70 <r 2 <1,00).

Asosiasi skizofrenia dengan varian genetik ini menunjukkan dua fitur yang
menonjol. Satu fitur melibatkan satu set besar SNP yang berasosiasi dengan rentang
2 Mb di ujung distal wilayah MHC yang diperluas. Puncak lain dari asosiasi
berpusat di C4, di mana skizofrenia terkait paling kuat dengan prediktor genetik
tingkat ekspresi C4A (p = 3,6 × 10−24). Di wilayah dekat C4 (kromosom 6, 31-33
Mb), semakin kuat SNP yang berkorelasi dengan prediksi ekspresi C4A, semakin
kuat hubungannya dengan skizofrenia.

Meskipun variasi di C4 dan di wilayah MHC diperpanjang distal terkait dengan


skizofrenia dengan kekuatan yang sama, korelasinya satu sama lain rendah,
menunjukkan bahwa mereka mencerminkan pengaruh genetik yang berbeda.
Analisis kondisional mengonfirmasi hal ini: dalam analisis yang mengendalikan
rs13194504 atau ekspresi C4A yang diprediksi secara genetik, variabel genetik
lainnya masih menentukan puncak hubungan signifikan-luas-genom (p = 7,8 × 10-
10 dan 8,0 × 1014). Mengontrol untuk kedua variabel genetik mengungkapkan
sinyal asosiasi ketiga hanya proksimal ke MHC locus yang melibatkan SNPs di
sekitar BAK1 dan SYNGAP1, yang terakhir mengkodekan komponen utama dari
kepadatan pascasinaps; mutasi kehilangan fungsi de novo di SYNGAP1 dikaitkan
dengan autisme. Dalam analisis bersama, ketiga sinyal genetik tetap signifikan (p =
8,0 × 10−14, 2,8 × 10−8, masing-masing) dan tidak ada sinyal genomewide
tambahan yang tersisa di MHC locus.

Pada beberapa penyakit autoimun dengan asosiasi genetik di lokus MHC, alel gen
HLA berasosiasi lebih kuat daripada varian lain di lokus MHC, yang tampaknya
menjelaskan hubungan tersebut. Sebaliknya, dalam skizofrenia, alel HLA klasik
yang terkait dengan skizofrenia kurang kuat dibandingkan varian genetik lainnya di
wilayah MHC. Jika setiap alel C4 memengaruhi risiko skizofrenia melalui
pengaruhnya terhadap ekspresi C4A, maka hubungan ini harus terlihat di seluruh
alel C4 spesifik. Tingkat ekspresi C4A dihasilkan oleh keempat alel ini. Risiko
skizofrenia dan tingkat ekspresi C4A menghasilkan urutan yang sama dari seri alel
C4.
Jika rangkaian hubungan alelik dengan risiko skizofrenia ini muncul dari struktur
lokus C4 - alih-alih dari variasi genetik lainnya di lokus MHC - maka struktur C4
yang diberikan harus menunjukkan risiko skizofrenia yang sama terlepas dari
haplotipe MHC yang muncul. Asosiasi skizofrenia dari semua 13 kombinasi umum
struktur C4 dan haplotipe MHC SNP. Di sepanjang seri alelik ini, masing-masing
alel C4 menunjukkan tingkat risiko skizofrenia yang khas, terlepas dari haplotipe
yang muncul.

D. Ekspresi C4A RNA dalam Skizofrenia


Temuan genetik ini memprediksi bahwa ekspresi C4A mungkin meningkat pada
jaringan otak dari pasien skizofrenia. Sekar et al. mengukur tingkat ekspresi RNA
C4A di jaringan otak dari 35 pasien skizofrenia dan 70 orang tanpa skizofrenia.
Ekspresi median C4A dalam jaringan otak dari pasien skizofrenia adalah 1,4 kali
lipat lebih besar dan meningkat pada masing-masing dari lima daerah otak yang
diuji. Hubungan ini tidak bermakna berubah dalam analisis yang disesuaikan dengan
usia atau interval post mortem. Hubungan tetap signifikan setelah mengoreksi
jumlah salinan C4A rata-rata yang lebih tinggi di antara donor otak yang terkena
skizofrenia (1,3 kali lipat lebih besar, p = 0,002). Beberapa penelitian sebelumnya
juga melaporkan peningkatan kadar protein komplemen dalam serum pasien
skizofrenia.

E. Peran C4 dalam Sistem Saraf Pusat pada Tikus Penelitian


C4 adalah komponen penting dari kaskade komplemen klasik, jalur sistem
kekebalan bawaan yang dengan cepat mengenali dan menghilangkan patogen dan
puing seluler. Di otak, gen lain dalam kaskade komplemen klasik telah terlibat
dalam penghapusan atau "pemangkasan" sinapsis.

Sel C4 + dalam material abu-abu dan putih, dengan jumlah terbesar sel C4 +
terdeteksi di hippocampus. Penentuan biaya dengan penanda tipe sel spesifik
mengungkapkan C4 dalam subset neuron NeuN + dan subset astrosit. Sebagian besar
imunoreaktivitas C4 adalah punctate, berkolokasi dengan puncta sinaptik yang
diidentifikasi dengan co-immunostaining untuk penanda pra dan pascasinapsapt
VGLUT1 / 2 dan PSD95. Hasil ini menunjukkan bahwa C4 diproduksi oleh, atau
disimpan pada, neuron dan sinapsis.

Neuron mengekspresikan mRNA C4 dan mengeluarkan protein C4. Neuron


menunjukkan puncta C4-imunoreaktif sepanjang proses dan tubuh sel mereka.
Sekitar 75% imunoreaktivitas C4 terlokalisasi pada proses neuron; dari C4 dalam
proses neuronal, sekitar 65% diamati pada dendrit (proses MAP2 +, NF +) dan 35%
pada akson (proses MAP2-, NF +). Imunoreaktivitas C4 punctate diamati pada 48%
sinapsis struktural sebagaimana didefinisikan oleh sinaptotagmin co-localized dan
PSD-95.

Hubungan peningkatan C4 dengan skizofrenia, kehadiran C4 di sinapsis,


keterlibatan protein komplemen lain dalam eliminasi sinaps, dan laporan
sebelumnya tentang penurunan jumlah sinaps pada pasien skizofrenia, bersama-
sama menyarankan bahwa C4 mungkin bekerja dengan komponen lain dari kaskade
komplemen klasik untuk mempromosikan pemangkasan sinaptik. Gangguan pada
skizofrenia cenderung mempengaruhi fungsi kognitif yang lebih tinggi dan daerah
otak yang baru-baru ini diperluas yang analoginya pada tikus tidak pasti. Namun,
gelombang eliminasi sinapsis pascanatal terjadi di banyak daerah otak, dan model
eksperimental yang kuat telah didirikan di beberapa sistem visual mamalia di mana
proyeksi sinaptik dari sel ganglion retina (RGCs) ke neuron relay thalamic dalam
inti geniculate lateral dorsal (dLGN) dari thalamus visual menjalani penyempurnaan
sinaptik yang bergantung pada aktivitas. C4 RNA diekspresikan dalam LGN dan
dalam RGC yang dimurnikan dari retina.

Dalam sistem kekebalan tubuh, C4 mempromosikan aktivasi C3, memungkinkan C3


untuk secara kovalen menempel pada targetnya dan meningkatkan penyerapannya
oleh sel-sel fagositik. Dalam otak tikus yang sedang berkembang, C3 menargetkan
himpunan bagian dari sinapsis dan diperlukan untuk eliminasi sinaps oleh mikroglia,
sel-sel SSP utama yang mengekspresikan reseptor sebagai pelengkap. Pada tikus
yang kekurangan C4, immunostaining C3 di dLGN sangat berkurang dibandingkan
dengan WT littermates, dengan lebih sedikit input sinaptik menjadi C3-positif
dengan tidak adanya C4. Data-data ini menunjukkan peran C4 dalam deposisi
pelengkap pada input sinaptik.
Kemudian dievaluasi apakah tikus yang kekurangan C4 memiliki cacat dalam
remodeling sinaptik, seperti yang telah dijelaskan untuk tikus yang kekurangan C3.
Tikus yang tidak memiliki fungsional C4 menunjukkan tumpang tindih yang lebih
besar antara input RGC dari kedua mata (p <0,001) dibandingkan kontrol littermate
tipe liar, menunjukkan pengurangan pemangkasan sinaptik. Tingkat defisit pada
tikus C4 - / - mirip dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk tikus C1q - / - dan C3
- / -. Tikus C4 +/− heterozigot, dengan satu salinan tipe liar C4, memiliki fenotipe
sedang. Data ini memberikan bukti langsung bahwa C4 memediasi perbaikan
sinaptik di otak yang sedang berkembang.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hubungan peningkatan C4 dengan skizofrenia, kehadiran C4 di sinapsis, keterlibatan
protein komplemen lain dalam eliminasi sinaps, dan penurunan jumlah sinaps pada pasien
skizofrenia, bersama-sama menyarankan bahwa C4 mungkin bekerja dengan komponen lain
dari kaskade komplemen klasik untuk mempromosikan pemangkasan sinaptik. Gangguan
pada skizofrenia cenderung mempengaruhi fungsi kognitif yang lebih tinggi dan daerah otak
yang baru-baru ini diperluas. Namun, gelombang eliminasi sinapsis pascanatal terjadi di
banyak daerah otak, dan model eksperimental yang kuat telah didirikan di beberapa sistem
visual mamalia di mana proyeksi sinaptik dari sel ganglion retina (RGCs) ke neuron relay
thalamic dalam inti geniculate lateral dorsal (dLGN) dari thalamus visual menjalani
penyempurnaan sinaptik yang bergantung pada aktivitas.

Dalam sistem kekebalan tubuh, C4 mempromosikan aktivasi C3, memungkinkan C3


untuk secara kovalen menempel pada targetnya dan meningkatkan penyerapannya oleh sel-
sel fagositik. Dalam otak tikus yang sedang berkembang, C3 menargetkan himpunan bagian
dari sinapsis dan diperlukan untuk eliminasi sinaps oleh mikroglia, sel-sel SSP utama yang
mengekspresikan reseptor sebagai pelengkap. Pada tikus yang kekurangan C4,
immunostaining C3 di dLGN sangat berkurang dibandingkan dengan WT littermates, dengan
lebih sedikit input sinaptik menjadi C3-positif dengan tidak adanya C4. Data-data ini
menunjukkan peran C4 dalam deposisi pelengkap pada input sinaptik.

4.2 Saran
Untuk saat ini tindakan preventif gangguan kejiwaan skizofrenia secara spesifik belum
tersedia. Namun, tentu saja faktor risiko atas terjadinya skizofrenia bisa dilakukan dengan
diagnosis sedari dini jika ada anggota keluarga yang memiliki indikasi akan adanya gejala
skizofrenia.
Keharmonisan keluarga juga menjadi hal yang penting untuk dijaga, serta melakukan
kegiatan positif dan rutin berolahraga juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental
seseorang. Jika seseorang terdiagnosis mengidap skizofrenia, penanganan medis dan
pemberian resep dokter akan sangat berguna. Hal tersebut tentu saja bertujuan untuk
menghindari gejala skizofrenia semakin parah.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, F. (2019) Skizofrenia, halodoc. Available at:


https://www.halodoc.com/kesehatan/skizofrenia (Accessed: 10 April 2020).

Children Allergi Center (2009) Sistem Komplemen, Indonesian Children. Available at:
https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/04/24/sistem-komplemen/ (Accessed: 9
April 2020).

Nainggolan, N. J. and Hidajat, L. L. (2013) ‘Profil Kepribadian Dan Psychological Well-


Being Caregiver Skizofenia’, Jurnal Soul, 6(1), pp. 21–42.

Sekar, A. et al. (2016) ‘Schizophrenia risk from complex variation of complement


component 4 Schizophrenia Working Group of the Psychiatric Genomics Consortium HHS
Public Access’, Nature. February, 11(5307589), pp. 177–183. doi: 10.1038/nature16549.

Sudarmana, L. et al. (2018) ‘Aplikasi Sistem Pakar Untuk mendiagnosis Gangguan Jiwa
Schizophrenia’, Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (J-PTIIK)
Universitas Brawijaya, 2(2), pp. 40–44. doi: 10.31154/cogito.v2i2.18.94-107.

Willy, T. (2018) Pengertian Skizofrenia, Alodokter. Available at:


https://www.alodokter.com/skizofrenia (Accessed: 10 April 2020).

Anda mungkin juga menyukai