Anda di halaman 1dari 8

SISTEM KOMPLEMEN

Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein
yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di
sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua
jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur
alternatif. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai
substansi biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen
tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan
mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat
endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan
jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen

Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan komponen protein yang terdapat
di dalam serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi protein fungsional yang
menggambarkan elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan fungsi
pengendalian.

Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh
sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga
dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel
fagosit mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi.
Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr,
CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan
unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya
Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi komplemen, baik
melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Konsentrasi C3 jauh lebih besar
dibandingkan dengan fraksi lainnya, hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang
penting dalam pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di
dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan konsentrasi komplemen yang
menurun. Juga penurunan kadar C3 saja dapat dipakai sebagai gambaran adanya
aktivasi pada sistem komplemen.

AKTIVASI KOMPLEMEN
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui
suatu proses enzimatik yang terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan
enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks
protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif menjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu
mengakibatkan banyak molekul komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.

Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif terdiri
atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c)
pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme
terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) (lihat Gambar 5-1) .
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-antibodi,
sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat
aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur
serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen (lihat Gambar 5-2).

Aktivasi komplemen jalur klasik


Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi
menjadi 3 tahap.

1. Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1
inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.

2. Aktivitas C1 inhibitor. Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian
besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan
melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.

3. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa


regulator.

C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan dengan
C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini
bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam
merusak C4b.

Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya
C4b2b.

Aktivasi komplemen jalur alternatif


Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat
pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.

Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang sedikit
baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di
dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama
dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D
menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini
berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi
pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan
pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 53).
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan
menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari
pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau
zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular.
Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak
dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan
menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai;
enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3
dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula.
Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh
karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini
C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam
jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada
pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b.
Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

FUNGSI BIOLOGIK PROTEIN KOMPLEMEN


Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan besar, 1) lisis
sel sasaran oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk
selama aktivasi.
1. Sitolisis Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi adalah C5-C9. Mekanisme
ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif
maupun jalur klasik.

2. Sifat biologik aktif


Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis

Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin merupakan
mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis ini
juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan
dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor
spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu
untuk terjadinya fagositosis.
Anafilaksis dan kemotaksis

C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan sel basofil untuk
melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos
vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos dan
limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag,
dan sel endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi
otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang
paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena C5a juga
mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik selsel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak;
proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif
dari sel fagosit tersebut sehingga dapat meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme
atau benda asing tersebut
Proses peradangan

Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang
diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses
ini disebut peradangan.

Pelarutan dan eliminasi kompleks imun

Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan dapat meningkat secara
dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen. Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat
membahayakan oleh karena dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan kompleks imun bilamana
berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc.
Oleh karena itu pengikatan komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat
membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem komplemen dapat
meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor yang terdapat pada permukaan
eritrosit. Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen
C3b yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada
permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit
dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang terdapat pada
permukaan sel eritrosit tersebut.
REGULASI
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu 1) komponen komplemen
yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan
dengan komplemen berikutnya akan rusak, 2) adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya
C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3) pada permukaan membran sel terdapat protein
yang dapat merusak fragmen komplemen yang melekat.

Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1
inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
1. Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar
C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan
melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
2. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan dengan

C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini
bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam
merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya
C4b2b.
Regulasi jalur alternatif

Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein dalam sirkulasi maupun
yang terdapat pada permukaan membran.
Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan C3b. Juga CR1 dan DAF
dapat berikatan dengan C3b sehingga berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan
ini maka pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat pembentukan
C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I memecah
C3b dan yang tertinggal melekat pada permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat
membentuk C3 konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.
Penyakit Dalam Sistem Komplemen
Penyakit pada manusia yang berkaitan dengan sistem komplemen dapat terjadi oleh karena dua keadaan. Pertama
adalah adanya defisiensi dari salah satu protein komplemen atau protein regulator. Kedua, suatu sistem komplemen
yang normal diaktifkan oleh stimulus yang tidak normal seperti mikroorganisme yang persisten atau suatu reaksi
autoimun.

Defisiensi protein regulator Pada beberapa keadaan dapat terjadi defisiensi protein
regulator, baik yang larut maupun yang berikatan pada membran sel. Edema angioneurotik herediter
(HANE) adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi C l INH. Manifestasi klinis kelainan ini
adalah edema pada muka, ekstremitas, mukosa laring, dan saluran cerna yang akan menghilang setelah
24 sampai 72 jam. Pada serangan berat disamping gangguan saluran cerna juga dapat terjadi obstruksi
saluran nafas. Mediator yang berperan dalam kelainan ini adalah C3a, C4a, dan C5a yang bersifat
sebagai anafiltoksin. Di samping itu oleh karena fungsi C l INH juga merupakan regulator kalikrein
dan faktor XII, maka kemungkinan aktivasi faktor ini juga memegang peran. Defisiensi regulator jalur
alternatif yang larut (faktor H dan I) sangat jarang terjadi. Akibat defisiensi ini C3 akan diaktifkan
terus menerus. Pasien dengan antibodi ini sering menderita glomerulonefritis yang mungkin
disebabkan oleh kurang adekwatnya pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan mengendap pada
membran glomerulus ginjal.

Defisiensi genetik Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan alternatif meliputi C1q, C1r,
C1s, C4, C2, C3, properdin, dan faktor D. Defisiensi fragmen awal dari jalur klasik biasanya
berhubungan dengan penyakit autoimun seperti glomerulonefritis dan lupus eritematosus sistemik
(LES). Yang terbanyak dijumpai pada manusia adalah defisiensi C2. Lebih dari seperdua dari pasien
dengan defisiensi C2 dan C4 menderita LES. Pasien dengan defisiensi C2 dan C4 tidak menunjukkan
kenaikan frekuensi terkena infeksi. Defisiensi C3 biasanya berhubungan dengan sering terjadinya

infeksi bakteri piogen yang fatal. Hal ini mungkin menunjukkan pentingnya peran C3 pada opsonisasi,
peningkatan fagositosis, dan penghancuran mikroorganisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan fungsi utama dari jalur klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun dan jalur altematif
untuk eliminasi bakteri.

Defisiensi komplemen Defisiensi dalam sistem komplemen dapat terjadi pada jalur klasik,
altematif, kompleks serangan membran, atau pada protein regulator. Defisiensi ini dapat terjadi sejak
lahir, atau didapat setelah lahir oleh karena terdapatnya mutasi gen.

Defisiensi fragmen kompleks serangan membran Defisiensi fragmen


kompleks serangan membran yang mencakup C5, C6, C7, C8 dan C9 menyebabkan tidak terdapatnya
kemampuan untuk melisis organisme asing. Tetapi kenyataan yang menarik pada pasien dengan
defisiensi kompleks serangan membran, hanya mendapat infeksi sistemik yang berat dengan bakteri
neiseria intraselular termasuk N. meningitidis dali N. gonorrhoeae. Tetapi oleh karena jumlah sampel
pasiennya hanya sedikit, belum dapat disimpulkan bahwa kompleks serangan membran terutarna
penting untuk pertahanan terhadap organisme tersebut.

Daftar Pustaka
1. Frank MM. Complement and kinin. In Stites DP, Terr AI. Basic and clinical immunology;
7th edition . NorwaIk: Appleton & Lange, 1991; 161-74.
2. Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. In fundamental immunology. 3rd edition. New
York: Raven Press, l985; 645-68.

Anda mungkin juga menyukai